Home / Romansa / Skandal sang Nyonya Muda / BAB 5 - PERTEMUAN EMPAT MATA

Share

BAB 5 - PERTEMUAN EMPAT MATA

Author: UMMA LAILA
last update Last Updated: 2025-04-17 13:10:12

Kantor Reinhardt terletak di lantai atas sebuah gedung perkantoran mewah di pusat kota. Bangunan kaca berarsitektur modern itu memantulkan cahaya matahari siang, membuatnya tampak berkilau megah. Nayara memarkir mobilnya di basement dan berjalan menuju lift dengan langkah tenang, meski di balik kacamata hitam itu, matanya menyimpan bara amarah yang belum padam.

Begitu sampai di lantai lima belas, Nayara disambut oleh seorang resepsionis wanita muda yang langsung berdiri sopan.

“Selamat siang, Ibu Nayara. Silakan masuk, Tuan Reinhardt sudah menunggu Anda di dalam,” ucapnya ramah.

Tanpa banyak bicara, Nayara melangkah menuju pintu ruang kerja Reinhardt. Ia mengetuk pelan, lalu membukanya.

Di dalam, pria itu tengah duduk santai di balik meja kerja besar berbahan kayu mahoni. Jas hitamnya tergantung di kursi, menyisakan kemeja putih yang bagian atasnya sedikit terbuka. Matanya menatap Nayara dengan senyum tipis.

“Nayara Adinata,” sapa Reinhardt, suaranya berat namun tenang. “Senang sekali Anda menepati janji.”

Nayara menutup pintu, lalu duduk di hadapan Reinhardt. Ia melepas kacamata hitamnya, memperlihatkan tatapan tajam yang membuat suasana seketika berubah tegang.

“Aku nggak punya waktu untuk basa-basi,” ucap Nayara dingin. “Kita langsung saja ke inti.”

Reinhardt menaikkan alis, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Baiklah. Saya suka wanita to the point.”

Nayara menarik napas, lalu berkata, “Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini. Raka, Mayunda, dan fitnah yang mereka siapkan untukku. Aku ingin tahu siapa yang memerintahkan foto itu, siapa yang menyebarkannya, dan apa tujuan mereka.”

Reinhardt tersenyum tipis. Ia mengambil sebuah folder cokelat dari laci mejanya, lalu meletakkannya di atas meja, mendorongnya ke arah Nayara.

“Ada banyak hal yang tidak kamu tahu, Nayara,” katanya pelan. “Dan kalau kamu benar-benar ingin membuka semua topeng ini, kamu harus siap menghadapi konsekuensinya.”

Nayara mengambil folder itu, membukanya perlahan. Di dalamnya terdapat beberapa foto candid dirinya di hotel semalam, foto Mayunda bertemu dengan seorang pria tak dikenal, hingga rekaman percakapan Mayunda dan Raka.

“Aku sudah menyiapkan ini sejak semalam,” ujar Reinhardt. “Aku tahu suatu saat kamu bakal datang mencariku.”

Nayara menatap foto-foto itu, dadanya sesak, tapi wajahnya tetap tenang.

“Kenapa kamu bantu aku?” tanyanya pelan, nada suaranya sedikit gemetar.

Reinhardt tersenyum, kali ini lebih lembut. “Karena aku benci orang munafik, Nayara. Dan karena... aku tahu rasanya dikhianati orang terdekat.”

Mereka saling berpandangan sejenak. Sunyi menyelimuti ruangan.

“Aku ingin menuntaskan ini. Aku ingin Raka dan Mayunda merasakan apa yang mereka lakukan padaku,” desis Nayara, kali ini suaranya dingin dan mantap.

Reinhardt mengangguk pelan. “Kalau begitu, mulai malam ini, kita kerjasama.”

Nayara menyelipkan folder itu ke dalam tasnya, lalu berdiri.

“Aku akan hubungi kamu malam nanti,” katanya, lalu berjalan menuju pintu.

Reinhardt berkata pelan, “Hati-hati, Nayara. Permainan ini nggak cuma soal harga diri, tapi soal nyawa.”

Nayara tersenyum tipis tanpa menoleh. “Aku nggak takut.”

Namun, langkah Nayara terhenti di depan pintu. Tangan yang tadi hendak meraih gagang pintu kini mengepal. Ia menoleh, menatap Reinhardt dengan sorot mata waspada.

“Tunggu,” ucap Nayara pelan, tapi tegas. “Kerja sama seperti apa yang kamu inginkan, Reinhardt? Aku memang ingin Raka hancur. Tapi, apa yang kamu cari dari semua ini?”

Reinhardt terkekeh pelan, suaranya berat dan dalam, memenuhi ruangan itu dengan aura dingin. Ia bangkit dari kursi kerjanya, lalu berjalan pelan menuju jendela besar di belakang meja. Dari situ, ia memandang langit Jakarta yang mulai temaram, gedung-gedung tinggi berdiri angkuh di bawah semburat jingga senja.

“Pertanyaan bagus,” ujar Reinhardt tanpa menoleh. “Kebanyakan orang terlalu bodoh untuk peduli, asal tujuannya tercapai. Tapi kamu beda, Nayara.”

“Aku nggak suka diperalat,” balas Nayara dingin.

Reinhardt tersenyum tipis, lalu perlahan membalikkan tubuhnya. Tatapannya tajam, penuh rahasia yang belum terucap.

“Yang aku inginkan,” ucapnya pelan namun jelas, “hanya satu. Mahendra Group.”

Kening Nayara berkerut. “Apa maksudmu?”

“Aku ingin Mahendra Group runtuh. Bisnisnya hancur. Kekuasaan mereka habis. Mahendra serta Adinata jatuh dari tahtanya. Termasuk Raka. Termasuk semua orang yang selama ini berada di bawah bendera itu.”

Suasana ruangan seketika menegang. Nayara merasakan desiran dingin merambati punggungnya. Ia menatap Reinhardt, mencoba membaca maksud di balik tatapan pria itu.

“Kamu punya masalah pribadi sama Ayahku?” tanya Nayara, nadanya mengeras.

Reinhardt tak langsung menjawab. Ia menarik nafas panjang, seakan mengumpulkan sisa-sisa emosi lama yang selama ini dipendamnya.

“Sudah lama sekali,” bisiknya. “Dulu… Mahendra dan Adinata mengambil sesuatu yang sangat berharga dariku. Sesuatu yang tak bisa diganti. Dan aku tidak pernah lupa.”

Nayara terdiam. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Reinhardt yang selama ini tak pernah ditunjukkan ke siapa pun. Luka yang jauh lebih dalam dari sekadar permainan bisnis atau ambisi kekuasaan.

“Jadi, kamu mau pakai aku buat balas dendam ke Ayahku?” desak Nayara.

Reinhardt menggeleng pelan. “Aku nggak memanfaatkanmu, Nayara. Aku hanya menawarkan kerjasama karena kita punya musuh yang sama. Bedanya… kamu ingin membalas luka. Aku ingin menagih hutang darah. Lagi pula jika Ayahmu hancur akan Adinata corp akan jatuh ke tanganmu, tak akan rugi bagimu dengan kesepakatan ini hukan?”

Sejenak Nayara kembali diam. Wajah Mayunda dan Raka berkelebat di benaknya. Luka pengkhianatan mereka masih terasa basah. Dadanya sesak, amarahnya kembali menyala.

“Baik,” ucap Nayara akhirnya. “Tapi ingat, Reinhardt… aku nggak suka dipermainkan. Sekali saja kamu berani main belakang, aku sendiri yang akan habisi kamu dan kamu tak boleh menghancurkan Adinata Grup, kamu cukup hancurkan ayahku saja.”

Reinhardt tersenyum simpul, mengangkat tangan seakan menyerah. “Aku Reinhardt. Aku pegang kata-kataku.”

Nayara menatapnya beberapa detik, lalu meraih gagang pintu.

“Kirim detail rencanamu malam ini.”

“Pasti.”

Nayara pun keluar dari ruangan itu. Reinhardt memandangi pintu yang tertutup rapat, lalu kembali duduk di kursinya. Senyumnya perlahan mereka.

“Nayara Adinata….” Rei memanggil nama Nayara dengan ekspresi aneh.

Sementara itu, Nayara yang berada di dalam lift sedang memegang ponselnya. Sebuah notifikasi pesan masuk di W******p.

Mayunda:

Sist, ayo kita ketemu? Aku khawatir banget sama kamu. Are you okay?

Nayara menyeringai kecil. Melihat nama pengirim pesan itu, sudut bibirnya terangkat sinis.

“Bahkan kamu masih sempat pura-pura peduli ya, May,” gumam Nayara pelan.

Jarinya lincah membalas.

Nayara:

Oke. Kebetulan aku juga lapar. Kita ketemu di cafe biasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB-176 PERASAAN YANG USAI (TAMAT)

    Suara gemericik air kolam ikan di taman samping rumah itu terdengar menenangkan, memantul lembut di antara dedaunan dan dinding marmer. Nayara duduk di bangku kayu dekat ayunan tua—ayunan yang dulu sering ia dorong dengan kaki mungilnya sambil tertawa memanggil ayahnya. Sekarang, ia duduk diam. Tangannya menggenggam wadah kecil berisi pakan ikan berwarna cerah. Ikan-ikan koi itu berenang berputar di air jernih, seolah menunggu kehadirannya. Sekali-sekali, ia tersenyum kecil melihat warna-warna itu bergerak. Damai. Hanya saja, di hatinya masih tersisa ruang kosong—kosong yang bahkan waktu belum sepenuhnya sembuhkan. Ia menghembuskan nafas pelan, lalu menaburkan pakan ke permukaan air. “Masih ingat caranya, rupanya,” suara dalam dan hangat itu terdengar dari belakang. Nayara tertegun. Tubuhnya kaku seketika. Ia menoleh perlahan. Seseorang berdiri di bawah pohon kamboja yang sedang berbunga. Bram Adinata. Ayahnya. Rambutnya sedikit beruban, tapi sorot matanya tet

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB 175 — TAK ADA YANG TERSISA

    Langkahnya berat, tapi tak lagi disertai amarah—hanya penyesalan yang membatu di dada.Dulu ia berjalan dengan keyakinan, merasa bisa mengatur dunia, menaklukkan siapapun dengan kekuasaan dan kata-kata. Sekarang, setiap langkah terasa seperti hukuman.Raka menyalakan mobil tanpa tahu hendak ke mana.Suara mesin memecah keheningan, namun hanya sebentar. Radio di dashboard menyala, memutar lagu lawas yang dulu sering diputar Nayara di rumah mereka. Lagu yang dulu membuatnya tersenyum, kini terdengar seperti ejekan.Tangannya mencengkeram stir erat, urat di punggung tangannya menegang, wajahnya menunduk.“Semua ini... salahku,” gumamnya lirih.Mobil itu terus melaju, melewati lampu jalan yang redup, hingga akhirnya berhenti di depan gedung tinggi yang kini tampak asing—penthouse lama milik Selina.Tempat itu dulu penuh cahaya.Wangi parfum mawar putih selalu menyambutnya di pintu. Suara tawa Selina menggema dari ruang tamu, lembut, hangat, menenangkan. Kini, hanya sunyi yang tinggal.Rak

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB-174 DUA EMOSI

    Raka menekan pedal mobilnya lebih dalam dari yang seharusnya. Mesin meraung, ban menderu di atas aspal basah—seolah ia berusaha mengusir semua amarah itu ke udara. Tangan kanan menggenggam roda kemudi sampai urat-uratnya mengeras; tangan kiri berkali-kali memukul setir, ritme pukulan seirama dengan kalimat-kalimat kasar yang menggelegar di kepalanya.“Kenapa kau melakukan ini, Nayara?!” geramnya dalam hati, suaranya nyaris pecah. “Kenapa kau berikan semuanya pada Reinhardt Aldebaran? Kenapa bukan padaku? Aku—aku bisa membeli saham itu! Aku akan menebusnya! Daripada menyerahkannya pada ular licik itu!”Hujan semalam masih menyisakan udara lembab. Lampu jalan memantul di kaca depan, membentuk garis-garis panjang yang terdistorsi oleh air. Sepanjang jalan, Raka membayangkan skenario demi skenario: bagaimana ia akan merebut kembali Mahendra Group, bagaimana ia akan menghancurkan rencana Reinhardt. Namun setiap rencana yang muncul di kepala selalu berakhir pada satu kata: terlambat.Ia tib

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB 173 — TAKHTA YANG DIRAMPAS

    Pintu ruang CEO Mahendra Group terbuka keras.Raka melangkah masuk dengan wajah merah padam, nafasnya berat, dan urat di pelipisnya menonjol.“Sial!” umpatnya seraya melempar jas hitamnya ke kursi tamu.Tangannya mengepal, matanya menyapu ruangan yang dulu jadi simbol kejayaannya—ruangan yang dibangunnya sendiri, dengan setiap detailnya mencerminkan otoritas seorang pemimpin.Namun hari ini, aroma parfum asing bercampur dengan wangi kopi yang bukan racikannya.Dan di sana—duduk dengan santai di kursinya—Reinhardt Aldebaran.Di sisi lain meja, Bagas Mahendra tengah memeriksa beberapa berkas, tersenyum congkak.Sementara di dekat jendela, berdiri Yasmine Mahendra, dengan blus putih mahal dan tatapan dingin yang nyaris sinis.Raka tertegun sesaat. Kemudian suaranya membelah udara.“Apa yang kalian lakukan di sini?!”Bagas hanya menegakkan tubuhnya, memutar kursi, menatap Raka dengan senyum mengejek.“Tenanglah, Kak Raka. Kau tampak... tidak terbiasa dengan perubahan.”“Perubahan apa maks

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB 172 — RAPAT DARAH DAN SAHAM

    Ruang rapat utama Mahendra Group di lantai dua puluh tiga dipenuhi cahaya putih dingin dari lampu gantung kristal. Dinding kaca memantulkan bayangan para direktur, wajah-wajah tegang yang menatap meja panjang dari marmer abu-abu. Di tengahnya, duduk Raka Mahendra — jasnya rapi, dasinya sempurna, tapi matanya menahan letih yang tidak bisa disembunyikan.Hari itu adalah rapat besar pemegang saham, rapat yang sudah tertunda tiga kali karena kisruh internal dan penarikan dana investor asing.Namun bagi Raka, rapat ini punya arti lain — kesempatan untuk melihat Nayara lagi.Sejak perceraian mereka disahkan dua bulan lalu, Nayara belum pernah muncul di publik. Tapi karena ia masih memegang saham besar di Mahendra Group, Raka yakin, cepat atau lambat, mereka akan kembali duduk di ruangan yang sama.Dan hari itu, ia datang dengan harapan yang aneh: sebuah pertemuan bisnis yang diam-diam ingin ia ubah menjadi pertemuan pribadi.Pukul sebelas tepat, pintu kayu tebal di ujung ruangan terbuka. Se

  • Skandal sang Nyonya Muda   BAB 171 — SAHAM YANG DITUKAR CINTA

    Cahaya siang menembus kaca tinggi ruang kerja utama Aldebaran Corp, memantul di permukaan meja kerja berlapis kaca hitam dan menyebar ke seluruh ruangan yang nyaris tanpa suara. Aroma kopi pahit samar tercium di udara, bercampur wangi kayu dari furnitur bergaya minimalis — dingin, tertata, dan tanpa cela.Reinhardt Aldebaran duduk di kursinya, jas abu-abu gelapnya jatuh sempurna di bahu, dan jari-jarinya yang panjang memainkan pena perak dengan ritme lambat. Di hadapannya, Nayara Adinata — perempuan yang selama ini disebut-sebut sebagai satu-satunya orang yang bisa membuat Aldebaran menunggu.Ia datang dengan setelan blazer putih gading, sederhana tapi memancarkan kekuasaan. Tatapannya dingin, namun tenang; wajahnya memantulkan cahaya matahari seperti porselen yang rapuh tapi tak bisa disentuh.Di antara mereka terbentang map tebal berlogo Mahendra Group — berkas peralihan saham terakhir yang menjadi inti dari kesepakatan mereka.“Semua sudah sesuai dengan yang kau minta,” ucap Nayara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status