“Sepi amat?” gumam Nayara pelan begitu melangkah masuk ke rumah. Matanya menyapu ruang tamu yang sunyi. Tak ada suara televisi, tak ada aroma masakan, hanya keheningan yang menyambutnya.“Bibi?” panggil Nayara, suaranya melengking memecah kesunyian.Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki tergesa dari arah dapur. Seorang wanita paruh baya bertubuh agak gemuk muncul, tersenyum lelah sambil mengusap tangannya pada celemek.“Iya, Nyonya?”“Bi, ini... Tuan Mahendra sudah pulang?”Bibi mengerutkan kening, tampak bingung. “Loh? Bukannya Tuan pergi bersama Nyonya tadi?”Nayara hanya menatap bibi itu sebentar, lalu melambaikan tangan seolah menyuruhnya tak usah ribut.“Ya sudah, lupakan saja, Bi. Aku tahu ke mana Tuanmu itu pergi.”Nada suaranya dingin, sinis, membuat bibi yang polos itu otomatis menunduk. Tak berani bertanya lebih jauh.“Tapi, Nyonya—”“Sudah. Aku capek.” Nayara memotong, lalu menaiki tangga dengan langkah malas. Suasana hatinya sudah buruk, dan mendengar nama Raka ha
"Hmm, jadi begitu ya..."Rei duduk tenang di balik meja kerjanya di gedung megah milik Aldebaran. Jari-jarinya bermain dengan bandul perak yang menghiasi sudut meja, namun sorot matanya tajam—berbahaya."Iya, Tuan. Nona Nayara saat ini sedang pulang dengan taksi," lapor Bima, berdiri tegap di hadapan atasannya. "Sementara Mayunda menuju penthouse tempat Tuan Mahendra dan Nona Selina masih berada."Rei mengangkat dagu sedikit, matanya mengerjap pelan. "Mayunda terlalu lambat. Tekan dia lebih kuat lagi. Kalau perlu—ancam. Bukankah dia masih punya ibu? Gunakan itu. Paksa dia selesaikan tugasnya."Suaranya dingin, nyaris tak beremosi. Jauh berbeda dengan caranya bicara jika sedang menyebut nama Nayara."Baik, Tuan."Bima menunduk. Ia tahu, tak ada ruang untuk keraguan jika Rei sudah bersuara seperti itu. Meski di dalam hati, ia akui—Rei bisa menjadi sosok yang kejam saat menginginkan sesuatu."Lalu, hasil penyelidikanmu soal kesehatan Nayara sepuluh tahun lalu?"Rei menatap lurus ke matan
Nayara sudah duduk di meja VIP dan memesan makanan dengan cepat. Tak lama setelah pelayan pergi, pandangannya jatuh pada sepasang manusia yang membuatnya muak: siapa lagi kalau bukan Raka dan Selina."Hmm..." gumamnya pelan, menopang dagu di telapak tangan, matanya tak lepas dari adegan geli di depan sana."Woah..." bibir Nayara menyeringai saat melihat Selina tiba-tiba memegangi kepala.“Bentar lagi juga pasti pura-pura pingsan…” ia menggumam lagi, malas tapi penasaran. Dan benar saja, Selina menjatuhkan diri ke pelukan Raka, seolah tubuhnya tak kuat berdiri.“Ck, drama historical banget. Bangsawan Victoria yang kelamaan nonton sinetron,” Nayara menggeleng-geleng sambil memainkan sendok.Tak lama, pelayan yang tadi melayaninya kembali, kali ini dengan raut ragu dan kertas catatan kecil."Bu… tadi Tuan Mahendra bilang… Ibu bisa pulang naik taksi saja, karena dompet beliau sudah ada pada Ibu. Dan… beliau berpesan supaya Ibu makan yang banyak agar cepat sehat…” suara pelayan bergetar.N
“Kamu!”Tangan Raka terangkat ke udara.“Apa? Mau mukul aku? Nih, pukul sini!” Nayara maju, mendekatkan wajahnya ke wajah Raka. Matanya tajam, menantang, penuh bara. “Sekalian aja abis ini kita cerai!”Tanpa ragu, Nayara menggenggam pergelangan tangan Raka dan menempelkannya ke pipinya sendiri. Wajahnya pucat, tapi keras.Raka mendengus, menarik tangannya kasar. Jemarinya menyisir rambut acak-acakan, lalu berdiri berkacak pinggang.“Hah~”Nayara membuang muka, melipat tangan di dada, wajah masam.“Kamu lapar, kan? Ayo, keluar. Makan di restoran.” Suara Raka mulai diturunkan, mencoba meredakan ketegangan.“Gak mau!” Nayara melotot. “Ngapain juga kamu sok ngurusin aku? Sana urusin aja gundik kamu yang lagi hamil!” Telunjuk Nayara menghantam dada Raka tanpa ampun.“Cukup, Nay.” Raka menahan pergelangan tangannya. “Aku gak mau ribut di sini. Udah, ayo cari restoran. Lupakan makanan sampah itu.”“Makanan sampah?!” Nayara membentak. “Mulut kamu ringan banget, ya! Itu makanan kesukaan aku! K
Raka terbaring di atas ranjang, kemeja kantor masih melekat. Kancing atas terbuka, dasi longgar di leher, rambutnya acak-acakan. Wajahnya lelah, tapi pikirannya jauh lebih berat daripada tubuhnya yang penat.“Sial… siapa Bara?” desisnya pelan. Suaranya memecah keheningan kamar sore itu.Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Selina terpampang di layar. Raka menutup mata sebentar, memijit pelipis sebelum mengangkat.“Sayang, kamu di mana?” suara Selina terdengar manja dari seberang.“Aku di rumah Nayara. Sore ini aku di sini dulu,” ucap Raka datar.“Hah? Kok gitu sih? Mau aku ke sana aja? Atau kamu ke sini? Hehe,” goda Selina dengan tawa centilnya.“Sel… jangan main-main,” suara Raka rendah, datar, tapi berisi ancaman halus.“Ih, kamu tuh… gitu aja langsung galak,” rengek Selina, pura-pura manja.Raka menghela nafas dalam. “Aku lagi pusing. Besok aku ke sana. Sekarang nggak bisa.”“Hah? Emang kamu nggak kangen sama anak kita di perut aku ini?” suara Selina mendayu-dayu, dibuat seolah penu
“Mau ke mana?”Suara Selina terdengar pelan tapi tegas dari balik sofa. Tatapannya tajam, matanya mengikuti gerak-gerik Mayunda yang sedang berdiri di depan meja rias, merapikan make-up-nya.Mayunda membubuhkan lipstik merah menyala di bibirnya. Aura menggoda terpancar kuat dari sosok wanita itu, mengenakan blouse fit dengan sedikit belahan di dada dan rok selutut yang pas membalut pinggulnya. Seksi — tapi masih dalam batas wajar. Ia menoleh dengan senyum centil.“Mau ngrayu orang,” jawab Mayunda santai, lalu mengedipkan mata ke arah Selina.Selina menyipitkan mata, mencermati penampilan sahabatnya dari kepala hingga ujung kaki. “Ngrayu orang?” nada suaranya terdengar mencurigakan.“Yoi,” Mayunda tertawa pelan. “Aku mau ketemu Bagas. Tau kan dia ngilang pas aku diculik kemarin? Aku mau minta kompensasi. Kalau cuma penjelasan doang mah percuma, Bagas itu kan licin kayak belut, selalu bisa ngeles.”Mayunda membetulkan antingnya. Senyumnya lebar, tapi matanya menyimpan ketegangan. Selina