Rei duduk santai di sofa ruang tamu rumahnya. Di tangan kanannya, segelas wine. Matanya menatap layar televisi datar yang menayangkan berita utama pagi ini.Gambar wajah Raka Mahendra memenuhi layar.“Pewaris Mahendra Group yang kini menjabat sebagai Plt. CEO Adinata Group menggantikan kedua mertuanya yang dikabarkan menghilang secara misterius.”Rei menyeringai. Tangannya mengangkat gelas wine itu pelan, lalu menyesapnya.“Hm.”Berita di layar berganti pada potret Raka dan Nayara. Keterangan di bawahnya: Sakit koma, putri tunggal Adinata Group masih dirawat intensif. Suaminya, Raka Mahendra, ambil alih kepemimpinan perusahaan.Rei mendecih.“Wah. Diberitakan kayak pahlawan. Saint banget. Rela susah payah bantu keluarga istri, padahal jelas-jelas mereka itu lintah.”Dia mengangkat remote, mematikan televisi. Rumah kembali hening.Tapi tak lama.Ding dong.Bel rumah berbunyi.Rei menoleh. Keningnya berkerut. Siapa yang datang malam-malam begini? Rei memang tinggal sendiri. Jasa bersih-
“Sudah tenang?” tanya Rei dengan nada lembut, tatapannya tak lepas dari wajah Nayara yang masih terlihat lelah meski sudah jauh lebih tenang dibanding beberapa menit lalu.Nayara mengangguk pelan. “Sudah… terima kasih.” Ia menarik diri, lalu menepuk ringan dada Rei yang tadi sempat menjadi sandarannya. “Sekarang kamu pulang saja. Aku takut Raka datang, nanti kamu bisa kesulitan.”Rei menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi yang tadi sempat ia benarkan, lalu menyentuh dagunya dengan ekspresi berpikir yang dibuat-buat. “Hmmmm…”Nayara memutar bola matanya. “Apa? Kenapa? Kok pasang ekspresi menyebalkan gitu?”“Raka nggak akan datang hari ini, tuan putri.” Rei terkekeh pelan. “Jadi kamu nggak perlu terlalu menanti suami sialanmu itu.”“Hah?” Nayara mengernyit. “Kok kamu yakin banget? Emangnya kamu dukun?” Nada curiganya makin tebal. “Tadi dia bilang sih ada meeting dadakan… Eh, jangan-jangan…”Rei menyeringai, senyumnya licik tapi memikat. “Yap, benar sekali. Aku lah dalang di balik perus
Nayara yang baru sadar bahwa dirinya tengah memeluk Rei, langsung melepas pelukan itu dengan panik. Wajahnya merona hebat, begitu pula dengan daun telinganya. Ia buru-buru menghindari tatapan mata lelaki itu.“A-aku pikir kamu ibuku,” elaknya dengan nada gugup, mencoba terdengar santai meski jelas salah tingkah.Rei tertawa kecil melihat ekspresinya. “Pfft… jadi, ibumu sekarang namanya Rei?” godanya sambil mengangkat sebelah alis. “Padahal setahuku, ibumu itu Mariam Adinata.”“Ah, lupakan!” Nayara cepat-cepat bersedekap, menyembunyikan rasa malunya di balik wajah jutek. “Terus, ngapain kamu ke sini, hah?”“Jangan marah-marah gitu, nggak bagus buat kesehatan jantung,” ujar Rei sambil menarik kursi, lalu duduk di sisi ranjang. Tatapannya lalu tertuju pada sebuah novel berilustrasi pastel di meja kecil. Ia mengambilnya. “Ngomong-ngomong, ternyata kamu masih suka baca cerita model begini, Tuan Putri?” katanya, meletakkan novel itu di pangkuan Nayara.Nayara menatap novel itu sejenak, lalu
Ruangan itu sunyi, hanya ada deru lembut AC yang berhembus pelan. Di tangan Nayara, sebuah novel bercover merah muda tampak belum dibuka. Jari-jarinya menggenggam buku itu dengan ragu, seolah masih bertanya-tanya, untuk apa Raka membawakannya?"Seingatku, kamu dulu suka banget baca novel kayak gini waktu SMA, waktu kuliah juga," ujar Raka sebelumnya sambil menyodorkan buku itu. "Aku takut kamu bosan. Aku harus ke rapat mendadak, maaf ya. Bacain ini dulu, ya?"Nayara tidak menjawab. Tatapannya hanya kosong, menelusuri judul di sampul novel yang bahkan tidak menarik minatnya sedikit pun. Raka berdiri di samping ranjangnya, menunggu respons apa pun—seulas senyum, anggukan kecil, atau bahkan tatapan hangat. Tapi tak ada.Dulu, hanya dengan melambai dari kejauhan, Nayara akan tersenyum selebar matahari. Sekarang, senyumnya entah terselip di mana. Raka bisa merasakannya—dinding dingin yang perlahan dibangun Nayara di hadapannya. Tapi dia tetap mencoba.Raka mendekat. Ia mengecup kening Naya
Nayara membuka matanya perlahan. Cahaya lampu dari sudut ruangan menyapu langit-langit putih kamar rawat inap. Aromanya khas—campuran alkohol medis, wangi antiseptik, dan… keheningan yang membuat dada terasa berat.Seseorang menggenggam tangannya.Raka.Wajah itu tampak lelah. Rambutnya sedikit berantakan, matanya merah dan sembab. Jemarinya menggenggam tangan Nayara seolah tak ingin dilepas."Nay… kamu bangun?" suaranya serak, setengah berbisik.Nayara menatap wajah itu tanpa berkata apa-apa. Ia hanya diam, dan dalam hatinya bertanya—Rei di mana? Kenapa bukan dia yang di sini?Tapi ia cepat-cepat mengusir pertanyaan itu. Ia tahu, ia tak boleh memikirkan Rei sekarang. Tidak di depan Raka. Tidak saat tubuhnya masih lemah, dan luka belum sepenuhnya sembuh—baik luka di tubuh, maupun di hati.Raka memencet bel.“Sebentar, dokter akan datang untuk memeriksamu.”Nayara hanya mengangguk. Kepalanya masih pening, dengan tubuh lemas tak punya daya untuk bertengkar dengan suaminya itu.Tak butuh
"Ah, dasar bocah bodoh itu. Padahal sudah kuberi pondasi yang kuat... tinggal telan Adinata dengan cara merayu Nayara Adinata."Nada dingin meluncur dari bibir Yasmine Mahendra, penuh kekesalan. Jemari tangannya yang lentik menggigiti kuku jari telunjuknya, sesuatu yang hanya ia lakukan saat sedang sangat frustrasi."Namun dia malah sibuk bermain permainan cinta kekanak-kanakan dengan rubah bernama Selina itu. Sial!" desisnya lirih tapi penuh bisa. Tatapan matanya tajam memandangi hamparan taman dari balik jendela ruang kerjanya."Kalau begini, rencanaku akan gagal..." gumamnya lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Ia berdiri, berjalan pelan ke meja, mengambil segelas air, lalu meneguknya cepat seolah ingin menelan kegusaran yang membakar rongga dadanya."Andai saja Selina itu benar-benar hamil," ia kembali bersuara, kali ini lebih pelan tapi mengandung racun, "maka rencanaku untuk menekan Nayara agar down dan patuh karena tak kunjung hamil itu akan berhasil."Tangan Yasm