Share

Sketsa Cinta Arina
Sketsa Cinta Arina
Penulis: Teha

1. Si Tampan yang Angkuh

"Tiba-tiba cinta datang kepadaku... Saat ku mulai mencari cinta...."

Pagi-pagi aku dibangunkan oleh lagu jatuh cinta dari ponselku, bukan suara alarmku yang biasanya. Masih sedikit mengantuk aku mencari ponselku dan mematikan suara pengingat itu. Santi pasti yang telah diam-diam memasangnya. Nggak jelas! Mentang-mentang lagi kesemsem sama seseorang.

Aku bangun, dan bersiap untuk mandi.

"Ibuuu...," panggilku manja, sambil berjalan ke arah dapur. "Masak apa hari ini?"

"Masak aer...."

"Hah!" Aku mencibir dan ngeloyor ke kamar mandi. Ibuku memang nyentrik. Kalimat candaannya hanya itu-itu saja.

Ibuku adalah ibu terbaik di dunia. Namanya Reni Darmanto. Aku anak tunggal. Bapak meninggal waktu masih SMP. Kala itu bisnis Bapak sedang berjalan bagus, kemudian Bapak menjalin kerja sama dengan orang baru, orang kaya dari luar kota. Proyek besar katanya. Tapi kenyataannya ia malah menipu Bapak.

Hati Bapak terlalu lembut. Si penipu kabur tanpa jejak, lalu usaha Bapak menjadi bangkrut karena banyak hutang yang harus dilunasi. Padahal Bapak sudah susah payah merintis usaha itu. Peristiwa itu benar-benar membuatnya terpukul, sampai-sampai ia depresi, terkena serangan jantung dan meninggal.

Ibu harus menjadi tulang punggung keluarga. Berbeda dengan Bapak yang hatinya mudah rapuh, Ibu orang yang berhati kuat.

Beruntung Ibu punya keterampilan menjahit, jadi ia mulai membuka usaha jahitan untuk baju wanita dan anak-anak. Karena tidak mungkin Ibu menyuruhku bekerja jadi pembantu rumahtangga di rumah orang kaya, nanti malah dikira eksploitasi anak.

Awalnya orang-orang menjahitkan baju karena merasa kasihan. Tapi setelah melihat hasil pekerjaan Ibu yang rapi, dan baju yang nyaman dikenakan, lama-lama orang mulai berlangganan menjahit baju di tempat Ibu. Dari situlah Ibu mencukupi kebutuhan kami sehari-hari, juga biaya sekolahku. Hasilnya lumayan, walau kami masih harus berhemat karena biaya sekolah yang cukup besar. Tapi kami bersyukur tidak perlu mengemis pada orang lain.

Sekarang aku sudah lulus kuliah, dan sudah bekerja, namun Ibu masih menjahit. Katanya biar nggak bengong saja di rumah.

Buru-buru aku menyelesaikan acara mandiku, dan segera sarapan. Kami biasa sarapan bersama sambil menikmati obrolan ringan.

"Masakan Ibu memang terbaik," pujiku sambil mengunyah sarapan sederhana masakan Ibu yang selalu cocok dengan lidahku.

"Ya dong, Ibu gitu loh! Memangnya kamu, masak mie instan saja keasinan."

"Lah, salah Ibu sendiri. Kenapa cuma menurunkan kecantikan dan kecerdasan otak padaku? Kenapa nggak menurunkan keterampilan memasak juga? Harusnya aku sudah jago masak dari jaman TK," tuduhku membela diri.

"Bukan dari lahir, Rin?"

"Sejak dalam kandungan, Bu." Ibu tersenyum-senyum mendengar perkataanku.

"Jahitan masih banyak, Bu?" tanyaku sambil menyelesaikan sarapan.

"Enggak. Sudah Ibu kurangi, biar nggak terlalu capek."

"Baguslah! Jaga kesehatan, Bu. Jangan kecapekan, nanti sakit. Kalau Ibu sakit, terus mati, enggak ada lagi loh yang marah-marahin aku," omelku meniru gaya Ibu kalau lagi menasehati aku. Kami memang sudah seperti teman saja kalau sedang ngobrol santai gini.

"Tenang saja, Rin. Sampai nanti kamu nikah, punya anak sepuluh, Ibu masih akan hidup, dan jadi Ibu serta nenek yang galak."

"Idih, sepuluh? Kucing tetangga bisa merasa tersaingi karena jumlah anaknya kalah banyak," protesku.

"Nggak mau sepuluh? Ya sudah sekalian sebelas, biar jadi tim sepakbola."

"Selusin sekalian, Bu," tambahku. Kami tertawa bersama.

"Sudah, buruan. Ngomong terus, telat kamu nanti," gerutu Ibu mulai galak. "Tinggalkan saja piringnya di situ nanti Ibu yang cuci."

"Makasih, ibuku yang bawel. Sayang Ibu," ucapku sambil membentuk tanda cinta yang besar dengan kedua lengan di atas kepalaku. Aku pun segera bersiap-siap untuk bekerja.

"Hati-hati ya, Nak. Nggak usah ngebut," pesan Ibu.

"Dadah, Ibu," ujarku sambil melambaikan tangan saat aku sudah berada di atas motorku dan bergegas pergi ke kantor. Tidak terlalu jauh letaknya, paling naik motor santai 15 menit sudah sampai.

***

Saat sampai di tempat parkir aku melihat ada sepeda motor yang bukan milik teman kerjaku. Masih baru tampaknya. Apakah ada tamu sepagi ini? Aku mengangkat bahu, dan bergegas menuju kantor, sambil bersenandung. Malangnya kakiku, ada batu nakal yang menghambat langkahnya

"Aduh, Batu. Kamu nakal ya." Aku memarahi batu tidak berdosa itu. Lalu kembali aku lanjutkan nyanyianku sambil melangkah menuju kantor.

Begitu masuk aku langsung menyapa teman-temanku, "Pagi, Mbak Rere, Bang Ucok, Cici, Mas Fajar. Santi belum datang ya?"

"Pagi, Arin."

"Pagi," ucap mereka membalas salamku.

"Pagi juga. Santi belum datang, Rin. Nggak tahu tuh, sarapan enak kayaknya jadi lama," keluh Bang Ucok.

"Oh, bisa jadi, Bang. Habisnya kalau lagi dapat makanan enak, bisa nambah sampai lima piring."

Mas Iwan juga masuk ruangan, "Pagi, semua. Pagi, Arin. Makin cantik aja." Cici mencebik mendengar kalimat itu. Mas Iwan memang sedikit ganjen sama aku. Kata Santi Mas Iwan naksir aku, tapi aku cuek saja, karena dia cuma berani menggoda, nggak ada seriusnya.

"Ya dong, Mas Iwan. Aku cantik cantik dari dahulu...," candaku seraya menyanyikan lagu Beautiful milik Cherrybelle dengan sedikit modifikasi. "Cici juga makin cantik deh. Ya kan, Mas Iwan?"

Mas Iwan hanya bisa tertawa tidak ikhlas, sedangkan Cici kembali menyonyong, namun kelihatan jelas kalau dia senang.

"Pagi, semua. Maaf terlambat, eh belum ding ya, hehe," sapa Santi yang baru masuk ruangan beberapa menit kemudian.

"Selamat pagi, Kanjeng Ratu," balasku dengan nada manis sambil mengangkat ponsel di tanganku. "Pagi ini saya mendengar angin berbisik, ada yang tiba-tiba ketiban cinta nih."

"Hehehe...."

Dia hanya tertawa tersipu. Aku sudah hampir memulai interogasi ketika terdengar suara Ibu Bos.

"Pagi, anak-anak. Apa kabar kalian semua? Sehat kan?" sapa Ibu Bos kami dengan begitu ceria. Ibu Bos kami sungguh bos paling ramah sedunia.

"Pagi, Bu."

"Sehat, Bu."

"Pagi juga, Ibu Bos."

"Kabar baik, Bu. Ibu sehat juga kan?"

Jawaban kami enggak kompak, kayak paduan suara kurang latihan.

"Hehehe... Senangnya lihat anak-anak yang semangat bekerja seperti kalian ini. Terus semangat, ya. Nah supaya kalian tambah semangat, saya kasih kalian satu teman baru. An, sini, Nak," ucap Bu Bos memanggil seseorang.

Seorang pria muda berbadan tegap, dan berwajah tampan memasuki ruangan ini. Penampilannya rapi dengan kemeja warna biru muda, dan celana hitam. Sepatunya tampak mengkilap. Dasi batik warna biru tua membuat penampilannya semakin necis.

"Wooow...," suara kagum keluar dari mulut Cici dan Santi.

"Rin, ini yang namanya tiba-tiba cinta datang. Ya ampun gantengnya...," kata Santi.

"Namanya juga cowok, San. Ya ganteng lah, masa cantik?" timpalku acuh tak acuh, padahal dalam hati mengakui kalau pria itu memang tampan.

"Anak-anak, ini Andre ya. Pegawai baru kita. Karena dia masih baru tolong dibantu ya. Jadi apa prok prok prok. Hehehe... Dan ingat jangan galak-galak sama dia," pesan Bu Bos dengan gaya Pak Tarno.

"Dia ini fotografer. Tapi untuk saat ini selain urusan foto, dia akan bantu apa saja, mulai dari komputer, benerin mesin, marketing, bahkan sampai cuci piring dan nyapu lantai."

Teman-teman tertawa kecil mendengar guyonan Bu Bos. Sedangkan orang yang sedang dibicarakan masih menunjukkan senyum mahal, sikap cool, dan tatapan penuh percaya diri.

"Mari, Andre. Saya perkenalkan dengan teman-teman baru kamu." Bu Bos mengajak pegawai baru itu berkenalan dengan kami satu per satu. Mulai dari Mas Fajar, Bang Ucok, Mas Iwan, bahkan Pak Paino yang jadi petugas bersih-bersih juga ikutan nimbrung. 

Cici dan Santi kelihatan banget terpesona dengan ketampanan Andre, bahkan Mbak Rere pun tampak terpukau, walau dia menjaga sikap karena dia sudah menikah.

Saat mereka tiba di hadapanku, aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. Dalam hati aku bernyanyi 'Kamulah makhluk Tuhan yang tercipta yang paling seksi'. Tapi ya itu dalam hati saja, nggak lucu kalau aku nyanyikan beneran.

"Andre," ia menjabat tanganku sambil memperkenalkan diri.

"Arina," ujarku membalas jabatan tangannya. Tangannya terasa kokoh dan hangat. Aku mencoba menatap matanya, hal yang Ibu ajarkan padaku kalau berkenalan dengan orang. Ia juga balas menatap mataku, lalu sesaat kemudian aku melihat dia menaikkan satu sudut bibirnya.

Eh? Apa maksudnya itu? Mencemooh? Ngajak main-main? Baru kenal juga.

"Oke, meja kerja Andre di sini ya, di dekat pintu. Selamat bekerja, anak-anak. Semangat!" pesan Bu Bos sebelum kembali ke ruangannya.

"Ya, Bu."

"Terima kasih, Bu."

"Oke, Bos!"

Jawaban kami tidak kompak lagi. Kami pun kembali ke meja kerja masing-masing. Kulihat Cici masih terkagum-kagum memandang pegawai baru itu dari jauh. Mungkin kalau jadi kartun, di mata sudah muncul love love gitu.

"Ganteng banget...," kicau Santi lagi dengan suara pelan sambil senyum-senyum sendiri.

"Kanjeng Ratu, jangan lupa daratan. Abang Ucok mengawasimu," bisikku menggoda Santi.

Dia memandangku cemberut dan segera terdiam. Aku tertawa kecil. Kena kau, San.

Kami bersiap untuk bekerja. Lalu aku melihat ada pesan masuk di ponselku. Pesan dari Bu Bos yang terhormat.

Arin, tolong ke ruangan saya sebentar ya. Sekarang. 

"San, aku dipanggil Bu Bos nih. Keluar dulu ya," ujarku pada teman kerjaku yang mejanya ada di sebelahku itu.

"Wah, tumben. Ada apa ini? Jangan-jangan gajimu mau dipotong, Rin. Atau malah dikasih bonus. Atau mau dikasih pacar. Hehehe."

"Duh, yang omongannya pacar melulu. Sudah aku ke ruangan Big Boss dulu ya."

Berhubung meja kerja pegawai baru kami berada di dekat pintu, aku terpaksa harus melewatinya. Dia terlihat masih sibuk menata meja kerjanya.

Saat aku sudah hampir mendekat, dia melihat ke arahku. Ah, wajahnya memang nggak kalah ganteng dari oppa-oppa Korea yang aku lihat di drama. Lebih menarik malahan, karena dia terlihat lebih maskulin.

Aku memberanikan diri menatap dia lagi, lalu ketika aku sudah tepat di depannya, dan dia juga masih melihatku, aku menaikkan satu sudut bibirku. Aku membalas apa yang dia lakukan tadi. Dia tampak sedikit kaget namun hanya diam.

Saat aku sudah berada di luar ruangan, aku tak kuasa menahan geli. '1:1, Andre,' aku tertawa dalam hati.

Teha

Ini novel pertama saya. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan. Novel ini akan menggunakan POV orang pertama (Arin), namun ada beberapa yg saya tulis dengan POV Andre supaya ada gambaran lebih jelas tentang hal yg mungkin tidak Arin ketahui. Selamat membaca, semoga suka. Terima kasih.

| 2
Komen (4)
goodnovel comment avatar
septiyana
cerita enteng dan gak muter-muter
goodnovel comment avatar
Dwi Setiawati Puralangga
Suka banget sama cerita latarnya, benar2 dibawa ke kehidupan sehari2, bahasa santai jadi asyik banget, ingat masa2 sekolah dulu hobi baca cerpen... Ini buatku lebih manisssss.. Lanjutin ah bacanya..
goodnovel comment avatar
Kim
emak dan anak sama-sama koplak nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status