Share

2. Sherina, Si Ranger Kuning

[Andre POV]

Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di sini. Kantor Tante Dana, kakak perempuan Papa. Kantor kecil yang bergerak di bidang desain grafis, periklanan dan saudara-saudaranya.

Namanya Famili Advertising. Kenapa bukan family seperti layaknya tertulis dalam bahasa Inggris? Kata Tante biar lebih terkesan lokal, padahal di belakangnya jelas-jelas ada kata dalam bahasa Inggris, 'Advertising'. Namanya famili karena Tante pingin dia dan para pegawainya di sini bisa akrab seperti keluarga. Maklum dia tinggal sendiri, setelah Om Hari meninggal tujuh tahun lalu dan semua sepupuku sudah berkeluarga dan tinggal di tempat lain.

Papa menawariku untuk kerja di perusahaannya, tapi aku tolak. Sejak dari awal kuliah aku jelaskan kalau aku ingin belajar bekerja dari nol. Ingin belajar mengelola bisnis sendiri. Perusahaan papa terlalu besar, dan aku nggak mau nanti dikira nepotisme.

Lain halnya dengan kantor Tante. Katanya jumlah karyawan nggak sampai sepuluh orang. Aku bisa belajar beberapa keahlian baru di sini, walaupun sebenarnya aku sudah ahli di bidang komputer dan fotografi. Dan semoga aku lebih mudah akrab dengan mereka karena jumlah mereka sedikit.

Kemarin Tante bilang supaya aku datang agak pagi, karena aku akan dikenalkan dengan karyawan-karyawan yang lain terlebih dahulu. 

Aku masih menunggu Tante yang sibuk di dalam. Meskipun sudah tua, dia tetaplah perempuan. Dandannya lama. Jadi aku duduk-duduk saja sambil bengong.

Dari arah luar aku dengar suara sepeda motor masuk area parkir. Kantor Tante ini memang praktis. Karena pekarangan luas, ia membangun kantor di depan rumah. Bahkan setelah bangunan kantor jadi, masih ada lahan untuk halaman dan taman kecil. Jadi rumah dan kantor masih satu area. Kantor Tante lima langkah dari rumah.

Dari sini aku bisa melihat ke parkiran. Tampak seorang cewek turun dari sepeda motor bebek. Yang menarik helmnya berwarna kuning terang, jaketnya pun berwarna kuning gading. Mungkin dia sebenarnya ingin jadi Ranger Kuning, tapi Power Ranger tidak membuka lowongan.

Aku lihat dia membuka helm. Mukanya tampak ramah. Sesaat dia memperhatikan motorku. Mungkin heran ada kendaraan baru di parkiran. Tidak ada yang terlalu istimewa dari dia, yang menarik perhatianku, hingga saat dia mulai meninggalkan tempat parkir menuju kantor.

Dia berjalan santai. Namun tiba-tiba bergerak seolah akan menari, lalu dia mulai bernyanyi "betapa bahagianya... punya banyak teman, betapa senangnya", begitu dendangnya seolah dia sedang main opera.

Lalu tiba-tiba kakinya tersandung, dan nyanyiannya terhenti. Aku ikut kaget. Untung dia tidak jatuh. Aku melihat dia bicara sendiri. Orang aneh! Tapi seolah tidak terjadi apa-apa dia kembali menyanyi "betapa bahagianya..." tapi tidak lagi sambil menari.

Aku merasa geli sendiri melihatnya. Hari-hariku di sini bakalan seru kalau ada karyawan yang seperti ini. Aku masih terkekeh sendiri selama beberapa waktu karena ingat tingkahnya. Bukan Petualangan Sherina ini namanya, tapi Sherina Tersandung Batu.

Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Tante masuk ke ruang tamu ini.

"Oke, Aan. Sudah siap?" tanyanya.

"Saya sudah siap dari tadi Tante, nungguin Tante dandan lama, kayak anak gadis saja," gurauku.

Tante Dana tergelak. "Maklum lah, mau mengenalkan keponakan yang ganteng ke orang-orang. Tante harus cantik juga dong," kilahnya.

"Tante dari dulu sudah cantik, sampai sekarang masih cantik, nggak usah khawatir," godaku.

Ia kembali tertawa. Tante Dana memang saudara Papa yang paling ramah dan mudah didekati.

"Sudah ayo, kita ke kantor. Kamu nggak usah khawatir ya, anak-anak Tante yang di kantor baik-baik kok. Mereka pasti menerima kamu dengan baik. Kamu juga tolong kerja sama yang baik dengan mereka ya," pesan Tante.

"Beres, Bos," jawabku sambil tersenyum. Lalu kami berjalan bersama menuju kantor.

Ruangan kantornya hanya satu, dipakai bersama-sama, selain ruang tamu dan tempat resepsionis yang juga terbuka. Setiap karyawan mendapatkan meja dan kursi masing-masing, dengan sekat yang rendah, sehingga mereka bisa tetap saling melihat. Kata tante tidak ada rahasia dalam satu keluarga, dan setiap anggota keluarga bisa saling membantu. Pintunya ada dua. Satu pintu utama di ruang tamu, dan satu pintu di pinggir.

Meskipun demikian kantornya sangat memadai. Setiap karyawan bisa menggunakan satu laptop atau komputer untuk mengerjakan pekerjaan mereka. Juga ada satu mesin cetak digital di ruangan khusus di dekat pantry. Kalau pesanan banyak atau butuh mencetak dalam jumlah besar, biasanya ada kerjasama dengan percetakan langganan, supaya lebih cepat. Telepon, fax, dan wifi jelas ada, juga satu mesin fotocopy.

Hanya saja ada satu pertanyaan yang mengganjal sewaktu aku mendengar tentang mesin fax tersebut. Di zaman yang serba digital seperti sekarang ini, apakah fax masih digunakan di kantor ini? Kirim dokumen saja sekarang bisa pakai surel, nggak perlu ribet dan nggak pakai lama.

Nah, rupanya mesin fax ini memang sudah tidak pernah dipakai. Tante masih menaruhnya di kantor dengan alasan nostalgia. Dulu Tante Dana dan Om Hari bisa berkenalan karena mereka bekerja di kantor yang sama

Nostalgila ini namanya, Tante. Tepuk jidat! Untung saja telepon di mesin fax-nya masih bisa difungsikan, setidaknya nggak malu-maluin banget.

Dan kini akhirnya aku berkenalan dengan karyawan Famili Advertising. Sewaktu aku masuk aku melihat mereka satu per satu. Oh, itu dia. Aku hampir lupa kalau ada 'Sherina'. 

Lalu Tante mengenalkanku dengan para karyawan satu persatu. Aku harap aku bisa mengingat nama mereka, karena saat ini yang aku inginkan segera berkenalan dengan Sherina KW.

Setelah harus bersabar, berkenalan dengan dua wanita yang tampak sekali kesemsem padaku, akhirnya aku berkenalan dengan dia.

"Andre." Kami berjabat tangan. Tangannya kecil namun kuat.

"Arina," ia pun menyebutkan namanya sambil menatap mataku. Jadi namanya Arina, kebetulan sekali nama itu punya unsur 'rina' sama dengan nama Sherina. Benar-benar Sherina KW. Lalu aku teringat dengan kelakuannya tadi, secara tidak sengaja aku menarik satu sudut bibirku ke atas. Cewek lucu, pikirku. Dia tampak sedikit kaget namun tidak berkata apa-apa.

Tante memberiku meja kerja di dekat pintu kedua. Segera aku menata barang-barang ku yang sebenarnya tidak begitu banyak, sambil berpikir susunan yang bagus untuk menaruhnya.

Ketika aku masih sibuk aku melihat Sherina KW sedang berjalan ke arahku. Mungkin dia mau keluar ruangan. Lalu ketika dia sudah dekat tiba-tiba ia menarik satu sudut bibirnya ke atas sambil memandangku seolah-olah bilang 'Aku juga bisa'.

Aku hanya bisa terbengong. Wow! Gadis ini memang tampaknya berbeda dari yang lain. Kalau dua teman wanitanya tadi tampak terpesona padaku, Si Sherina terlihat biasa saja.

Biasanya cewek-cewek kalau melihatku akan tersenyum berusaha terlihat manis, malu-malu, tapi dia malah cuek, bahkan menunjukkan senyum menantang. Yang seperti ini jarang aku temui.

Aku masih melihatnya berlalu, dan beberapa saat kemudian aku melihat dia terkekeh sendiri. Dia masih sempat menengok ke arahku lagi, dan tampak sedikit kaget karena tahu aku melihatnya. Tapi dia tetap melanjutkan tawa kecilnya.

Saat itulah aku baru menyadari bahwa gadis ini sebenarnya punya wajah yang menarik, senyumnya manis, dan tingkahnya sangat kocak. Dari cara dia menirukan hal yang aku lakukan, aku bisa melihat kalau dia cerdas. Kehadirannya di kantor ini akan membuat hari-hariku berbeda. Aku merasakan suatu kehangatan menyusupi hatiku.

***

[Arina POV]

Setelah merasa puas karena telah berhasil membalas cemoohan si makhluk Tuhan paling nyebelin (iya syairnya sudah aku ganti), aku melenggang ke ruangan Bu Bos.

"Permisi, Bu Bosku yang paling cantik, baik hati dan tidak sombong," sapaku saat hendak bertemu Big Boss.

Yang dipanggil tertawa sumringah.

"Ada apa, Bu, memanggil saya?"

"Duduklah, Rin. Kerjaan lancar kan?" tanyanya penuh perhatian.

"Lancar, Bu. Makasih lo sudah ditanyain."

"Gimana dengan penawaran buku tahunan untuk sekolah-sekolah?"

"Sudah dikirimkan, Bu. Tinggal tunggu respons saja."

"Bagus, bagus! Kamu memang bisa diandalkan, pekerja Ibu yang rajin. Semangat ya", pesan Bu Bos padaku. Aku pun tersenyum dan mengangguk dengan yakin. Lalu kami sedikit melanjutkan pembicaraan tentang urusan kantor dan pekerjaan kami. Bu Bos memang perhatian.

Setelah beberapa saat, Bu Bos bertanya lagi dengan nada sedikit pelan, "Ngomong-ngomong, menurut kamu Andre bagaimana?"

"Ha? Eh, maaf. Apa, Bu?" Pertanyaannya membuatku kaget. Sungguh tak ku sangka pembicaraan kami akan berujung di sini.

"Dia ganteng kan? Anaknya baik loh. Dia rajin, mandiri dan bertanggung jawab. Ibu kan paling suka sama kamu, jadi kalau kamu sama Andre, saya setuju saja. Saya sudah kenal kamu sekian lama. Feeling saya sih bilang kalau kalian bisa cocok. Hehehe," sambungnya sambil tersenyum simpul.

"Kok Ibu bisa tahu kalau dia anak yang baik?" tanyaku menyelidik.

"Andre itu keponakan saya, jadi saya tahu dia dari kecil. Hehe, tapi ini bukan nepotisme lo ya. Saya terima dia kerja di sini karena memang punya keahlian," akunya.

Astaga! Ternyata! Andre adalah keponakan Bu Dana.

"Iya, saya percaya Ibu mampu pilih karyawan yang baik. Tapi soal Andre secara pribadi, saya no comment saja. Kan baru kenal. Hehehe," kelitku.

"Gak apa-apa, nanti kan kalau sudah kenal bisa akrab. Ya kan? Dimulai dari tidak kenal, lalu kenal, lalu akrab, lalu... Hehehe. Ya sudah kamu balik kerja sana. Tolong jaga Andre ya," dia berpesan lagi. Eh, emang si Andre bocah mesti dijagain?

"Permisi, Bu. Terima kasih," hanya itu yang bisa aku ucapkan sebelum berlalu dari hadapannya.

Aku tidak paham sepenuhnya maksud Bu Bos. Andre saja begitu cuek, malahan sikapnya padaku nyebelin banget, padahal baru kenal. Apakah Bu Bos ngefans berat sama aku ya, sampai ingin aku jadian sama keponakannya? Hahaha

Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Kami juga baru kenal. Paling ini keinginan Bu Bos sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status