Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan karakter, tempat, dan peristiwa, itu mungkin hanya perasaanmu saja. 😬✌️
•••
Tiga bulan belakangan ini terik matahari selalu mendominasi hari. Belum ada setetespun hujan yang berani mengusiknya. Tapi, pembuka Oktober kali ini mungkin akan membawa cerita yang berbeda. Hujan sepertinya akan segera merebut tahtanya.
"Kamu lapar, nggak, Bim?" tanya perempuan berkerudung pink kepada lelaki berjaket baseball yang duduk tidak jauh dari tempatnya bersila dengan setumpuk berkas laporan kegiatan UKM.
"Lumayan, sih. Kamu udah lapar emang?" timpal lelaki seraya mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan tumpukan kertas-kertas yang berserakan di lantai.
"Makan dulu, yuk," ajak perempuan itu diiringi wajah mengiba yang sengaja dibuat-buat, "perutku sudah meronta-ronta, terlilit-lilit, nih. Udah tiga hari nggak dikasih makan," tutupnya sambil nyengir kuda.
"Yaudah, ayo."
"Sekarang?"
"Buruan, sebelum aku berubah pikiran," tanpa menoleh pada lawan bicara yang dilaluinya, lelaki itu meninggalkan aktivitasnya menuju pintu sekretariat. Bergegas wanita berbaju putih itu mengekor di belakangnya. Mereka berjalan beriringan meninggalkan sekretariat menuju Pujasera kampus.
"Eh, tapi mendungnya udah nggantung banget deh, Bim. Kayaknya mau hujan deh ini, ntar," perempuan itu mendongak ke arah langit seraya kakinya tetap melangkah mengiringi langkah karibnya.
"Kamu pilih kelaparan atau kebasahan. Buruan, proposalku belum kelar." Tanpa menimpali lagi ucapan si lelaki yang sudah hampir meninggalkan memasuki pelataran Pujasera, perempuan berkerudung pink bersegera mempercepat langkahnya menyusul sahabat sekaligus partnernya di organisasi.
Sesampainya di pusat kuliner kampus yang berdekatan dengan kompleks UKM tersebut, mereka berpisah menuju stand makanan favorit masing-masing dan kembali bertemu di salah satu tempat duduk yang tersedia. Si lelaki telah lebih dulu berada di sana.
Tak berselang lama menunggu, makanan merekapun datang dan keduanya langsung melahapnya tanpa bersuara. Sepertinya perut mereka telah sama merontanya sehingga berhasil membungkam mulut keduanya. Setelah hampir menghabiskan separuh isi piring mereka, hujanpun menyerbu atap Pujasera yang terdengar mirip langkah seribu serdadu yang berlari bersamaan. Tak hanya sangat lebat, namun hujan yang turun 1 Oktober itu disertai angin kencang yang cukup membuat seisi Pujasera tidak nyaman. Meski begitu, tak ada pilihan lain bagi mereka selain diam di tempat dan menikmatinya.
Ada lebih dari satu jam mereka terkungkung menikmati jebakan hujan. Meski angin kencang membuat mereka sedikit was-was, nyatanya kedua sahabat itu cukup menikmati hujan yang dinanti-nanti itu.
"Hujan pertama," gumam si lelaki lirih, tapi masih dapat terdengar si perempuan berkerudung pink.
"Iya, hujan pertama tepat di pembuka Oktober," perempuan itu menimpali, tapi pandangannya masih terpaku pada hujan di luar Pujasera yang berangsur reda. Setelah terjebak dalam obrolan ngalor-ngidul tentang hujan pertama, mereka meninggalkan Pujasera menerobos hujan yang tinggal menyisakan gerimis lembut.
Sesekali tangan si perempuan itu berusaha menutupi kepalanya dari serbuan gerimis meski ia tahu itu tidak memberinya manfaat yang berarti. Tiba-tiba sesuatu melingkupi kepalanya. Gerimis yang sedari tadi ia halau tak lagi mengenai wajahnya. Jaket baseball itu berhasil menyelamatkannya dari serbuan gerimis lembut yang menghinggapi wajah dan kepalanya. Bak tercekat mendadak kehilangan kata-kata, perempuan itu hanya bisa melihat ekor punggung si lelaki yang melangkah mendahuluinya menuju sekretariat yang sudah semakin dekat.
Perempuan itu memelankan langkahnya, menikmati aroma tanah basah yang beradu dengan aroma harum jaket yang menutup kepalanya itu. Tak ada yang berubah dari aroma yang telah dikenalnya sejak SMA itu. Tapi, ada sesuatu yang tidak disadarinya telah berubah sejak hari itu. Sesuatu yang tiba-tiba membuat dadanya hangat dan berdebar lebih cepat dari biasanya.
•••
Perempuan itu bernama Aksa, Aksara Sendja Nirmala lengkapnya. Ia telah lama menjadi sahabat karib Bima, Bimasena Langit Permana. Persahabatan mereka telah terjalin sejak SMA dan berlanjut hingga mereka berada di kampus yang sama dan organisasi kemahasiswaan yang sama yang bergerak di bidang penulisan dan jurnalistik.Telah lama menjalin sahabat dan saling mengetahui baik-buruknya masing-masing, membuat keduanya nyaman untuk saling berbagi, entah itu masalah ataupun kebahagiaan. Tak jarang, keduanya juga seperti tikus dan kucing yang selalu bertengkar namun selalu berbaikan meski tanpa ada kata maaf dan saling memaafkan.Persahabatan mereka memang terlihat cukup manis di mata teman-teman yang menjadi saksi bagaimana mereka saling bergantung satu sama lain. Meski mereka berbeda jurusan, Aksa mengambil Sastra Indonesia dan Bima mengambil jurusan Hukum, namun dapat dipastikan di sela kosong jadwal kuliah ataupun istirahat siang, mereka akan sali
Beberapa rindu ditakdirkan untuk tetap menjadi rahasia semesta. Namun, terkadang beberapa orang bertindak melampaui batasnya untuk bersikukuh mengungkapkannya dan yang mereka dapati tak jarang adalah kecewa.Maka, Aksa lebih memilih untuk mengikuti kehendak semesta. Ia pungut potongan rindu dan kenangan yang berjatuhan kala nama Bhisma kembali menjamah ingatannya. Lantas ia menyimpannya dalam tumpukan kata di balik jemarinya. Itulah yang ia sebut dengan membukukan kenangan.Persiapan pameran buku sudah 85%, semua proposal yang dibuat Bima dan anggotanya telah tersebar dan mendapat respons balik. Beberapa diantaranya meminang tawaran untuk kerja sama itu, beberapa senyap tanpa kabar. Aksa dan Bima semakin disibukkan dengan persiapan pameran. Hampir setiap hari mereka menghabiskan waktunya di UKM, bahkan hingga menginap, seperti sore ini."Kamu bikin buku apa tahun ini?" tanya Bima di sela aktivitasnya berhadapan dengan beberap
Apa yang bisa dilakukan hati ketika rindu dan benci merisak secara bersamaan, selain menuntaskan keduanya?***'Hari ini aku ada pameran buku di perpustakaan utama. Kalau ada waktu, tolong datang, ya. Ada buku yang kupersembahkan untukmu.' Sebuah pesan dari aplikasi hijau menghampiri layar ponsel Bhisma. Lelaki penyuka fotografi itu segera membukanya dan langsung mengetahui pengirimnya dari nama yang ia sematkan di nomor itu. Dolphin.Hatinya gamang. Benci dan rindu yang memenuhi hatinya sama besar. Ia tahu perempuan itu pandai menari dalam kata, persis seperti nama yang tersemat pada dirinya, Aksara, dan ia banyak menaruh kagum pada perempuan yang diketahuinya sangat menyukai boneka dolphin itu. Hal itulah yang kiranya membuatnya lambat laun benar-benar jatuh hati. Sembilan tahun silam.***Kala itu lelaki kecil yang masih mengenakan
Waktu itu, tahun 2008, aku masih sangat amatir hingga tak tau apa bedanya kabel data dan USB. Dan, kamu mengataiku bodoh. Aku marah. Lebih ke malu, sih. Akhirnya aku mendiamkanmu dan beralih mendengarkan radio, kesukaanku waktu itu. Ada yang aneh ketika penyiar radio tersebut membacakan sebuah SMS (ya, waktu itu masih booming SMS 10x gratis 25x). Aku sampai mendekatkan kupingku ke radio butut yang setia menemani masa mudaku itu.“Hai, SMS berikutnya datang dari nomor akhir 666 nih, request lagunya Filosofi yang judulnya Sadarilah. Salamnya buat seorang amatir yang barusan aku katai bodoh, aku minta maaf.” Deg. Jantungku serasa terhenti. Seorang yang merasa dirinya amatir, yang dikatakan bodoh hari itu, cuma aku aja, kan?? Aku bingung, senang, kesel, campur aduk jadi satu. Caramu minta maaf yang menurutku terlampau manis, membuatku melompat kegirangan. Aku nggak peduli lagi dengan kata bodoh yang baru saja kau sematkan kepadaku. Yang aku ingat, aku