Share

5: Cinta Pertama Bhisma

Waktu itu, tahun 2008, aku masih sangat amatir hingga tak tau apa bedanya kabel data dan USB. Dan, kamu mengataiku bodoh. Aku marah. Lebih ke malu, sih. Akhirnya aku mendiamkanmu dan beralih mendengarkan radio, kesukaanku waktu itu. Ada yang aneh ketika penyiar radio tersebut membacakan sebuah SMS (ya, waktu itu masih booming SMS 10x gratis 25x). Aku sampai mendekatkan kupingku ke radio butut yang setia menemani masa mudaku itu.

“Hai, SMS berikutnya datang dari nomor akhir 666 nih, request lagunya Filosofi yang judulnya Sadarilah. Salamnya buat seorang amatir yang barusan aku katai bodoh, aku minta maaf.” Deg. Jantungku serasa terhenti. Seorang yang merasa dirinya amatir, yang dikatakan bodoh hari itu, cuma aku aja, kan?? Aku bingung, senang, kesel, campur aduk jadi satu.

Caramu minta maaf yang menurutku terlampau manis, membuatku melompat kegirangan. Aku nggak peduli lagi dengan kata bodoh yang baru saja kau sematkan kepadaku. Yang aku ingat, aku deg-degan tak karuan. Bahagiaku meluap-luap. Bhisma, tahukah kamu, sebenarnya sejak saat itu, aku sudah mulai menyukaimu.

Tiba di lembar ke-10, Bhisma menghentikan perjalanan matanya menjelajahi rimba aksara hasil goresan tinta Aksara. Sketsa Hujan. Ingatannya kembali menjelajah lima tahun silam, kala mereka masih duduk di bangku SMA.

***

Perasaan kesal, jengkel, marah, dan kecewa saling berdesakan memenuhi hati Bhisma. Ia telah melangkah begitu jauh, sejak ia memutuskan menyukai gadis berseragam putih-merah yang dilihatnya tak sengaja di suatu siang dan terus ia simpan diam-diam sampai saat ini ia menjadi remaja yang hampir menyelesaikan masa putih abu-abu. Ia tak juga berani menyatakan perasaannya secara terang-terangan, padahal ia sudah berhasil mendekati perempuan yang didambanya itu dan mereka telah berteman baik, meski beda sekolah. Selain kesal dengan dirinya sendiri, lelaki yang piawai bermain gitar itu juga kesal dengan ketidakpekaan Aksara.

“Kamu itu benar-benar tidak peka atau memang sengaja mengalihkan perasaanku, sih,” gerutu Bhisma seorang diri ketika mendapati ajakannya ditolak Aksara. Beberapa kali ia melontarkan ajakan untuk keluar bersama, sekedar main atau hanya ke warnet bareng, kala itu warung internet adalah satu-satunya surga untuk mendapatkan akses internet, belum seleluasa sekarang. Itupun Aksara juga enggan mengiyakan.

“Aku mau unggah foto tapi nggak punya kabel data,” keluh Aksara melalui pesan singkatnya.

“Yaudah, pakai USB-ku aja. Kamu ambil di rumahku atau aku yang antar ke rumahmu, atau kita langsung ketemu di warnet deket sini?” tawar Bhisma memberikan beberapa alternatif untuk menutup celah penolakan Aksara. Rumah mereka masih terhitung sekampung. Tapi, saking jauhnya dinding kekhawatiran tak beralasan yang membentengi hati Aksara, membuat keduanya sulit sekali bertemu.

“USB itu apa?” tanya Aksara polos. Aksara yang dianggap Bhisma pintar dan ia kagumi, kenapa mendadak menjadi terlihat bodoh seperti itu sih? Sudah memiliki modal perasaan kesal dan kecewa sebelumnya, Bhismapun meluapkan kejengkelannya.

“Bodoh, USB itu ya kabel data itu. Cuma memang, orang-orang yang amatir kaya kamu menyebutnya kabel data.” Terkirim. Lama sekali Bhisma menunggu balasan dari gadis di seberang. 10 menit. 20 menit. 45 menit berlalu. Nihil. Mendadak penyesalan menyelinap di hatinya. Menyesal karena telah mengatakannya bodoh, kata-kata yang dirasanya memang cukup kasar dan tak seharusnya keluar darinya.

“Sensitif banget, tapi nggak peka sama perasaan orang. Bisa banget gitu, ya?” lagi, Bhisma mengutuki dalam hati. Tangannya menyambar ponsel. Menekan nomor salah satu stasiun radio yang beberapa hari didapatnya dari Aksara. Iseng, ia penasaran meminta nomor telepon stasiun radio yang tiap malam dipantengin Aksa. Waktu meminta itu, Bhisma asal menyimpan nomor tersebut entah untuk apa. Ia beruntung ternyata itu ada manfaatnya.

Ia sengaja membiarkan HP-nya tergeletak begitu saja di meja belajar. Perkiraannya, 10-15 menit lagi SMS-nya akan terbacakan penyiar dan ponselnya pasti berdering.

Benar saja. Dugaanya tepat bahkan datang lebih cepat. Sebuah pesan dari nomor yang begitu dia kenal tertera di layar. Bibirnya menarik garis lengkung. Hatinya lega mengetahui amarah di seberang sana telah reda.

[Bhismaaaa.... Makasih kiriman lagunya. Kok tau kalau aku pas dengerin radio?] 

Bhisma mengutuki lagi perempuan itu seorang diri. 'Bukannya mencerna lirik lagunya, malah sibuk tanya yang lain. Dasar, perempuan nggak peka!'

***

Deru motor Raka terdengar memasuki halaman kontrakan Bhisma. Tak lama berselang, sahabatnya dari SMA itu telah berada di ujung pintu dan melemparkan badannya ke atas tempat tidur Bhisma. Segera Bhisma menutup Sketsa Hujan dan meletakannya di atas nakas yang berada di samping ranjang tidur.

"Baca apaan, Bhis?" selidik Raka ketika menangkap buku itu berpindah dari tangan Bhisma. 

"Novel," jawab Bhisma singkat. Ia tahu sahabatnya itu pasti heran melihatnya baca novel. Sebuah tawa cemooh keluar dari mulut tetangga kamarnya itu. Persis seperti dugaannya.

"Kesambet setan mana kau? Sejak kapan demen baca novel?" 

"Sejak hari ini," masih cuek menanggapi pertanyaan Raka yang tampak mengernyitkan dahi tak mengerti.

"Novel apaan sih? Ajaib bener bisa mengubah haluanmu." Tangan Raka berusaha menyambar buku itu dari nakas dan berhasil. Matanya menangkap sebaris nama yang tertera di sampul. Ia mengingat nama itu tak asing. 

"Aksara? Ini novel dia yang nulis?" Pertanyaan Raka hanya berbalas anggukan. Raka tahu betul perasaan Bhisma pada Aksara karena dulu ia pernah tidak sengaja mendapati pesan-pesan mereka di ponsel Bhisma ketika SMA. Raka tahu, saat itu, Bhisma hanya fokus pada perempuan itu meski di sekeliling mereka banyak perempuan-perempuan yang lebih cantik dan tentunya menarik. Itu membuat Raka heran dan tak habis pikir jika sampai sejauh ini, sahabatnya itu masih saja menyimpan perasaan tak bertuan itu.

"Masih Aksara? Mau sampai kapan sembunyi sama perasaanmu sendiri? Nggak capek? Tegaslah jadi laki. Lepas atau kejar. Nah, kau,

nggak jelas gini. Ahirnya kau sendiri kan yang ribet sama perasaanmu?" 

Bhisma bergeming. Cercaan Raka memang ada benarnya. Ia sendiri bimbang dengan keinginan hatinya. Di satu sisi, kakinya ingin berlari sejauh mungkin dari masa lalunya itu. Tapi sisi hatinya yang lain masih menariknya untuk bertahan. Bukankah memang sulit melepaskan ingatan tentang cinta pertama? Ingatan yang mengenalkan pada perasaan berdebar juga patah hatinya untuk pertama kali.

Terlebih, ia menyimpan itu begitu lama. Enam tahun masa remajanya ia habiskan hanya untuk mengagumi satu nama yang tak jua menyadari keberadaannya. Hingga akhirnya ia merasa benar-benar lelah dan melepaskan perasaan serta nama itu. Sudah cukup waktunya berjuang. Saatnya berkemas dan menata ulang masa depannya tanpa belenggu nama itu. Tapi, bukankah tidak semudah itu meninggalkan masa lalu yang telah mengisi hari dan hati begitu lama? 

"Hoeeey," sebuah lemparan bantal mendarat di kepala Bhisma. Raka membuyarkan monolog hati Bhisma.

"Apaan, sih, Ka, bawel banget kamu kayak emak-emak.".

"Kau yang lebih ribet dari emak-emak. Tinggal ungkapin atau tinggalin, apa susahnya sih?"

"Nggak semudah itu, Ka. Nggak se-simple yang kau pikirkan. Ya bisa aja aku dapatkan dia sekarang, toh, saat ini dia sepertinya masih sendiri dan yang lebih penting, sudah cinta banget sama aku. Akhirnya sadar juga. Atau aku cari cewek lain, mudah saja. Disa mungkin salah satu cewek yang bakal ada di barisan terdepan yang siap jadi cewekku kapan aja," Bhisma terkekeh lalu mengentikan perkataannya. Menghela napas panjang.

"Tapi bukan itu tujuanku. Nggak semudah itu aku bisa mainin cewek. Emang kau? Asal buntingin cewek!" Sebuah bantal yang tadi dilempar Raka kini berbalik meluncur dari tangan Bhisma.

"Sialan, ngapain bawa-bawa aku?" 

"Eh, ngomong-ngomong, gimana si Kartika? Kau tanggung jawab, kan?" 

"Awalnya gitu."

"Lah, maksudnya?"

"Ya, nggak tau, tiba-tiba aja aku kayak ditunjukin kalau ternyata itu janin bukan anakku. Nggak sengaja aja aku lihat ada panggilan telepon di HP dia lama banget dan intensitasnya sering, hampir tiap hari malah. Curiga dong. Aku selidiki, ketahuanlah, doi selingkuhannya Kartika."

"What?? Kartika nyelingkuhin kamu? Setelah bertahun-tahun kalian barengan dan dia dapat materi dan segalanya darimu?"

"Ya awalnya nggak mau ngaku. Setelah kulihatkan bukti-bukti yang udah kukumpulin dan kudesak, akhirnya ngaku juga. Udah jalan di belakangku selama 2 tahun. Sinting nggak tuh? Parahnya lagi, aku nggak sadar."

"Hah?? Terus?" Bhisma masih tak habis pikir dibuatnya.

"Ya kelarlah. Selesai saat itu juga. Gila aja aku masih mau bertahan atau tanggung jawab sama benih yang bukan kutanam. Cowok apaan." 

"Jadi, dalam hal ini, aku sedikit lebih baik, haha," kelakar Bhisma membuat sahabatnya tersenyum kecut. 

"Tidak sedikit labih baik, tepatnya. Jadian, gih, sama Aksara," suruh Raka mengingatkan kembali topik utama perbincangan mereka belum usai, "nanti giliran dia dimiliki orang lain, penyesalanmu nggak akan ada guna."

Bhisma hanya termenung, menggeleng. "Nggak. Dia harus merasakan juga gimana jatuh bangunnya menata perasaan cinta yang tak berbalas. Dia harus mendapati rasa sakit berdekatan namun tak kunjung juga memiliki. Aku mungkin masih memiliki rasa untukknya, tapi bukan lagi cinta. Entah rasa apa ini, yang jelas, Aksara masih orang terpenting untukku. Tapi dia harus melalui pembelajaran atas rasa sakit yang dia torehkan terlebih dahulu. Tidak peduli aku sendiri juga tersiksa dengan itu, yang jelas, sakit hati harus dibayar impas." 

"Ih, ngeri. Jahat banget, kau. Kasihan, tau. Kalian kan dulu pernah jadi sahabat baik."

"Nggak sejahat dengan apa yang sudah dia lakuin ke aku, meski dia melakukannya secara tak sadar. Ya, memang salahnya dia nggak peka dan itu akar masalahnya."

Bhisma mengalihkan pandangannya ke nakas. Tatapannya lurus menghakimi Sketsa Hujan yang terhampar tak berdaya. "Maafkan aku, Ra, tapi ini pembelajaran terbaik bagimu, agar kamu nanti jadi wanita yang lebih peka dan lebih bisa menghargai sekitarmu." Mata elang Bhisma redup. Ada genangan kesedihan yang terpaksa tertahan di bola matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status