Share

Bab 1 - Memukul Tunangan Jessie

Tiga bulan sebelumnya….

Kriiiiiingggggggggggggg

Suara jam weker yang berisik itu membuat Steve bangun seketika. Ingin sekali ia mengumpat keras karena merasa jika belum saatnya ia bangun. Tapi ketika sebuah jemari menjewer telinganya, ia baru sadar jika kini dirinya tidak sedang berada di dalam apartemennya sendiri.

“Hei, bangung, dasar pemalas!” seruan itu membangunkannya. Bahkan si pemilik suara tidak tanggung-tanggung menjewernya membuat Steve mengerang kesakitan.

“Jess, apa yang kau lakukan? Sial! Kau membuat pagiku sangat buruk.”

“Mr. Morgan, kau pun membuat hariku sangat buruk.” Jessie berkacak pinggang. “Apa kau lupa jika semalam kau datang kemari dalam keadaan mabuk? Lalu memuntahkan isi dalam perutmu diatas karpetku? Dan apa kau juga lupa jika saat ini kau sedang telanjang bulat di atas ranjangku? Bangun dan angkat bokongmu dari tempat tidurku.” ucap Jessie dengan nada marah.

Ini memang bukan pertama kalinya Steve melakukan hal tersebut. Lelaki itu tinggal di gedung apartemen yang sama dengan Jessie tapi berbeda lantai. Jika lelaki itu memiliki masalah, atau Jessie yang memiliki masalah, maka keduanya saling bertamu minum dan tidur bersama –hanya tidur bersama. Tidak ada seks dan sejenisnya. Tapi tadi malam, Steve sepertinya terlalu mabuk. Lelaki itu bahkan tidak minum di apartmen Jessie, tapi dengan begitu menjengkelkannya, lelaki itu datang ke apartemen Jessie, melucuti pakaiannya sendiri hingga telanjang bulat sebelum kemudian memuntahkan isi di dalam perutnya.

“Maaf, kepalaku masih sangat pusing.” Steve memijat pelipisnya. “Dan apa kita melakukan sesuatu tadi malam? Aku tidak berbuat yang aneh-aneh, kan?”

Jessie memutar bola matanya jengah. “Kau muntah di atas karpetku, semalaman aku sibuk membersihkan bekas muntahanmu, kau pikir apa yang bisa kuperbuat?”

“Jadi, tak ada seks?”

“Tidak! Yang benar saja. Sekarang cepat bangun dan mandilah. Aku mau membersihkan ranjangku.”

Sambil menutupi ketelanjangannya, Steve bangkit dan menuju ke arah kamar mandi. “Kau tidak kerja?” tanya Steve saat berjalan melewati Jessie.

“Ini minggu. Astaga, kau bahkan sudah tidak bisa mengingat hari. Berhentilah jadi pemabuk, Steve!”

“Baiklah, kau tidak perlu cerewet.” Setelah kalimatnya itu, Steve masuk ke dalam kamar mandi. Jessie menghela napas panjang. Astaga, sampai kapan hubungannya dengan Steve akan selalu seperti ini? Bagaimanapun juga, mereka adalah sepasang laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, jika terus-terusan seperti ini, maka pasti orang akan beranggapan lain tentang hubungan mereka, padahal, hubungan mereka memang hanya sekedar teman saja.

*****

Steve keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang sudah lebih segar dari sebelumnya. Meski rasa pening di kepalanya masih saja ia rasakan, tapi setidaknya ia sudah bisa berjalan sendiri tanpa terhuyung-huyung.

Steve berjalan menuju bar dapur apartemen Jessie, ia duduk di sana dan mengamati Jessie dari belakang.

“Kau yakin tadi malam tidak ada seks?”

“Ya, tentu saja. Henry saja tidak berani menyentuhku, apalagi kau? Sebelum kau macam-macam, akan kupastikan bahwa kau sudah kutendang dari apartemenku.”

Steve tertawa lebar. “Ayolah, Jess. Kau seperti seorang gadis biara. Aku masih tidak percaya kau masih perawan diusiamu yang sudah Dua puluh tujuh tahun.”

“Karena kau selalu mengacaukannya saat aku ingin melakukannya.” Jessie memberikan Steve sepotong roti isi, tak lupa ia juga memberikan Steve obat pereda nyeri dan juga secangkir kopi.

“Benarkah aku yang mengacaukannya? Atau, itu hanya alasanmu saja?”

“Sebenarnya apa yang kau inginkan? Jika otakmu masih penuh dengan alkohol, lebih baik kau segera keluar. Henry sebentar lagi akan datang.”

“Untuk apa si gay itu datang kemari pagi-pagi buta seperti ini?”

Jessie berkacak pinggang. “Yang pertama, kami tentu akan berkencan. Ini minggu, kami akan menghabiskan waktu bersama. Yang kedua, Bung, ini sudah jam Dua belas siang. Dan yang ketiga, dia bukan Gay, jadi berhenti menyebutnya Gay.”

“Apa sebutan untuk laki-laki yang tidak berani menyentuh kekasih yang sudah dua tahun ia kencani? Jika dia bukan Gay, maka dia tidak tertarik denganmu.”

Jessie tersinggung, tentu saja. Cara diam Jessie membuat Steve sadar jika apa yang ia katakan memang sudah menyinggung temannya itu.

“Maaf, maksudku, kau menarik, tentu saja. Bahkan beberapa kali aku sempat bermain sabun dengan membayangkanmu.”

“Steve, cukup! Kau menjijikkan.”

Steve tertawa lebar. “Oke, aku bercanda. Tapi kau benar-benar menarik Jess. Maksudku, mungkin Henry tidak menyentuhmu karena dia tidak bisa melihat sisi menarikmu.”

“Jika boleh jujur, sebenarnya sudah sejak lama Henry menginginkannya. Tapi, aku yang menolak.”

“Kau yakin? Kenapa Jess?”

“Oh Steve. Aku malu. Kau tahu jika aku tak tahu apapun tentang ranjang. Aku takut dia meninggalkanku karena aku tidak mahir di atas ranjang.”

“Yang benar saja, kau bisa meminta bantuanku, Jess. Kau ingin aku melakukannya dulu?”

Jessie menatap Steve dengan kesal. “Lebih baik kau segera keluar dari apartemenku, sebelum peralatan dapurku melayang menimpa kepalamu.”

“Aku tidak bercanda, Jess. Kau tahu bukan bagaimana hubunganku dengan para gadis? Hampir separuh populasi wanita di New York pernah tidur denganku, seharusnya kau merasa terhormat dengan tawaranku.”

“Keluar!” Jessie sungguh-sungguh.

“Ayolah Jess.”

Jessie menuju ke arah Steve, lalu dengan sekuat tenaga ia menggelandang lelaki itu agar bangkit dari tempat duduknya, kemudian menyeretnya ke arah pintu apartemennya.

“Apa kau ingin aku mencuci otakmu yang mesum itu?” ucapnya dengan sesekli menjambak rambut Steve.

Steve mengaduh, tapi keduanya saling tertawa dengan Jessie yang masih sesekali menyeret Steve menuju ke pintu apartemennya. Saat Jessie membuka pintu apartemennya, saat itulah dia melihat seorang lelaki tampan berdiri di depan pintu apartemennya dengan seikat bunga mawar merah.

Jessie dan Steve menghentikan tawa mereka, sempat terkejut, tapi kemudian Jessie dapat mengendalikan dirinya. Ia segera menghambur ke arah lelaki itu sembari menyebutkan namanya.

“Henry…” Jessie memeluk tubuh Henry, pun dengan Henry yang ternyata segera membalas pelukan Jessie. Setelah itu keduanya berciuman dihadapan Steve, sangat mesra seakan saling melepas rindu.

Ada sebuah rasa kesal dalam benak Steve. Mungkin karena ia merasa Jessie mengabaikannya saat ini. Dan seharusnya ia tidak mempedulikan hal itu.

Jessie menghentikan kemesraan mereka, lalu bertanya “Kau sudah datang?”

“Ya.” Henry menjawab. “Ini untukmu.” Lanjutnya sembari memberikan seikat bunga mawar merah untuk Jessie.

“Oh, kau tidak perlu repot-repot. Masuklah.” Ajaknya. Henry masuk, lalu Jessie menatap ke arah Steve, “Keluar.” Ucapnya pada Steve.

“Ayolah Jess, kau tidak mungkin mengusirku dalam keadaan seperti ini? Cody akan menertawakanku.” Cody merupakan si penjaga apartemen, keduanya memang cukup dekat dengan lelaki paruh baya itu, tapi tetap saja, Steve tidak ingin penampilannya yang selalu keren dan elegant akan ternodai dengan penampilannya saat ini yang sedang mengenakan piyama dengan motif bunga milik Jessie.

Jessie menghela napas panjang. “Baiklah, kau boleh masuk, aku akan ke apartemenmu mengambilkan pakaian ganti untukmu.” Ya, karena hanya Jessielah yang mengetahui password apartemen lelaki terebut, begitupun sebaliknya.

“Ohh, kau benar-benar yang terbaik.” Steve akan memeluk Jessie, tapi Jessie menolaknya.

“Kau tidak perlu memelukku. Masuklah, aku akan keluar sebentar.” Ucapnya dengan wajah datar.

Steve hanya melihat Jessie yang keluar kemudian menutup pintu apartemennya, meninggalkan dirinya hanya berdua dengan kekasih wanita itu.

Steve menatap ke arah Henry yang ternyata sedang mencari minum di lemari pendingin Jessie. Lelaki itu tampak menempatan diri seperti dirumahnya sendiri, dan seharusnya ia tidak ambil pusing dengan hal tersebut.

Meski sedikit risih, tapi Steve tetap bersikap seolah-olah cuek. Ia lalu duduk di sebuah sofa panjang di depan televisi, kemudian mulai menyalakan televisi di hadapannya meski ia tidak tahu harus menonton apa.

“Kemana dia?” Henry bertanya, lelaki itu sudah membawa segelas orange juice dan duduk di sofa yang berbeda dengan Steve.

“Ke apartemenku, mengambilkan baju ganti untukku.” Steve menjawab dengan tak acuh.

Henry baru sadar dengan penampilan Steve saat ini yang ternyata sedang mengenakan piyama milik Jessie. Rasa kesal ia rasakan begitu saja saat memikirkan jika mungkin saja ada hal-hal yang tidak-tidak terjadi diantara Jessie dengan Steve.

“Kau, menginap di sini lagi?” tanya Henry dengan nada tidak suka. Ya, ia memang tahu jika Steve sering menginap di apartemen Jessie, pun sebaliknya. Meski ia tidak suka dengan kenyataan itu, tapi Henry mencoba mengerti jika keduanya adalah sahabat sejak bayi, dan Henry mencoba mengabaikannya meski terkadang kecemburuan itu tumbuh untuk Steve.

“Ya, ada masalah?” Dengan santai Steve bertanya balik.

“Dengar Steve, kau tidak bisa seperti ini terus menerus, Jessie dan aku memiliki hubungan yang serius, kami akan menikah, kau tidak mungkin terus-terusan tidur dengan calon istriku.”

Steve tersinggug, tapi kemudian ia tertawa lebar menertawakan ucapan Henry. “Kau keberatan? Kau yang harus mendengarku, Walter! Hubungan kami lebih dari teman, dan tak ada yang bisa mengerti seberapa dekat ikatan kami berdua.”

“Steve, dia calon istriku.” Henry mengingatkan.

“Dia teman kecilku.”

“Sial! Kalian sudah dewasa. Apa kau tidak bisa melihatnya? Apa kau akan berada diantara kami saat kami bercinta?”

“Bajingan, kau!” Steve berdiri seketia. Jemarinya mengepal, ia tidak suka membayangkan saat dirinya berada diantara Jessie dan juga lelaki sialan itu saat mereka sedang berhubungan intim.

Henry tersenyum mengejek. “Akui saja, Steve. Kau ingin membawanya ke atas ranjangmu, bukan? Kau akan kalah, Steve. Karena malam ini, aku yang akan lebih dulu melakukannya.”

“Sialan!” Setelah ucapannya tersebut, Steve menerkam Henry hingga lelaki itu jatuh terseungkur ke lantai. Tanpa banyak bicara lagi, Steve mendaratkan pukulannya lagi dan lagi pada wajah Henry.

Steve tak dapat mengontrol emosinya. Ya, entah kenapa ia selalu merasa ingin marah saat membahas tentang Jessie dengan lelaki lain.

Apa yang terjadi denganmu, Steve? Apa yang kau lakukan? Dalam hatinya yang paling dalam, Steve bertanya pada dirinya sendiri.

-TBC-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status