Share

Somehow 1949
Somehow 1949
Author: Byureii

BAB 1 - Di bawah hujan

Hari Sabtu, harusnya jadi penghujung minggu yang penuh kebahagiaan. Namun, tidak begitu bagi seorang gadis berambut lurus yang tengah mengumpat sambil mendorong sepeda motor matic berwarna merahnya. Weekend nya selalu buruk selama dua minggu terakhir dan sialnya dia masih punya satu minggu lagi di bulan ini.

Entah karena peruntungannya yang jelek atau doa-doa manusia teraniaya yang telah berdoa selama seminggu untuk mendoakan kesialannya yang berakhir terkabul di setiap penghujung minggu. Gadis itu, Geovani, merupakan mahasiswi pelit yang banyak tidak disukai teman seangkatan maupun para senior. Dia bahkan pernah tanpa perasaan mengeluarkan seorang senior yang tidak mau mengumpulkan ringkasan artikel untuk kerja kelompok.

Tidak hanya itu, kepribadiannya yang suka ceplas ceplos tanpa direm juga kemungkinan besar menjadi pemicu sumpah serapah manusia yang membencinya. Geo meniup sejumput rambut yang jatuh menutupi matanya. Rambutnya berkibaran berantakan akibat angin sore yang bertiup cukup kencang. Sepertinya alam juga mendukung kesengsaraannya. Lihat saja langit perlahan mulai menggelap.

Waktu sudah hampir menunjukkan pukul lima sore. Sudah selama satu jam dirinya berjalan mengelilingi kota dengan menuntun motor matic yang cicilannya baru lunas bulan lalu itu. Peluhnya sampai mengucur deras hingga membasahi ujung kemeja. Jangan ditanya. Penampilannya hari ini terlihat sangat kacau. Kucel, dekil, kusam, berantakan, dan lain-lain. 

Mulutnya bergumam-gumam menyumpahi kesialannya. Harusnya dia sudah sampai di rumah daritadi dan bergelung di kasur sambil menonton drama korea favoritnya. Bukan mendorong motor mencari bengkel sampai tubuhnya terasa lengket.

Malam minggu itu biasanya merupakan hari yang paling identik dengan pasangan pemuda yang berkeliaran di sekitar kota berduaan. Jalanan akan ramai dipenuhi pemuda dan pemudi. Harusnya di situasi begitu, bengkel motor akan dapat ditemui dengan mudah. Namun, sudah selama satu jam gadis itu mendorong motornya dan tidak menemukan satupun bengkel yang terlihat.

“Tau begini langsung pulang aja. Bangsat!” Geo menghembuskan napasnya geram. Umpatan kasar lolos dari bibir tipisnya yang masih on dengan lipstik warna nude hasil berburunya minggu lalu. 

Beruntungnya dia masih bisa mendapatkan lipstick itu dengan harga di bawah standar di toko kosmetik paling populer di kotanya karena gadis itu berburu di hari Minggu. Padahal sale besar-besaran dimulai dari hari Sabtu. 

Selama hari terkutuk itu, dia berusaha menahan diri untuk tidak menyerbu toko sambil berdoa semoga lipstick incarannya tidak ludes hari itu juga. Pada akhirnya, dia berhasil mendapatkan benda pemusnah hasil jerih payah menabung selama sebulan itu.

Peluh menetes di punggungnya. Sensasi rasa dingin dan geli menjalar di sekujur tubuhnya. Langit benar-benar sudah gelap dan selama itu pula tidak ada satu pun bengkel motor yang terlihat. Geo mengumpat lagi. Ini merupakan sebuah konspirasi. Bagaimana bisa di kota Yogyakarta, sebuah kota yang sangat terkenal, tidak ada bengkel motor? Mereka semua pasti bersekongkol untuk membuat hari Sabtunya terlihat lebih buruk.

Sepertinya alam memang ingin membuat hari Sabtunya sangat berantakan. Ketika hujan gerimis mulai turun disertai angin kencang, tiba-tiba saja dari arah belakang sesuatu menabrak motornya hingga terjatuh. 

Membawa motor dengan ban yang kempis itu sangat berat apalagi dikejutkan dengan sebuah benturan keras yang mendorong motornya melaju ke depan dengan cepat. Pegangan tangan Geo terlepas dan motornya meluncur lalu ambruk. Body motornya pasti bakal tergores parah dan pastinya akan merogoh kocek lagi untuk menutupi itu.

Geo menoleh dengan geram. Dia menyibak rambut panjangnya yang sudah amat sangat berantakan untuk dapat melihat sesuatu yang menabraknya dengan jelas. Sebuah mobil warna putih berhenti di belakangnya. Wiper depan mobil itu bergerak-gerak membuat gadis itu kesulitan melihat sosok di belakang kemudi yang tidak kunjung turun. 

Hujan mulai bertambah lebat. Wajah Geo sudah basah oleh peluh dan air hujan. Mungkin sekarang tampilannya sudah seratus persen mirip tikus got yang direndam air selama dua hari. Tak lama kemudian, pintu mobil terbuka dan muncullah seseorang bersetelan jas warna putih. Orang itu berjalan santai di bawah payung sambil menghampiri gadis itu.

“Maaf ya, aku nggak memperhatikan jalan karena terburu-buru. Lagian kamu jalannya di tengah, sih. Kita damai aja, ya. Berapa biayanya? Biar ku ganti.” Orang itu memandang Geo dengan ekspresi wajah datar.

Geo yang merasa harinya benar-benar sudah kacau tidak peduli lagi untuk menjaga sopan santun dengan orang asing. Ayahnya pasti akan marah besar padanya dan menganggapnya anak tak tahu adab. “Maaf, ya, tuan. Bisa lihat nggak, ini saya jalan di pinggir? Nggak usah ganti, tinggal tunjukin arah ke bengkel aja!”

Gadis itu kini benar-benar menghadap si orang asing itu sambil berkacak pinggang. Rambut dan pakaiannya sudah basah kuyup akibat hujan yang mulai bertambah deras. Orang itu hanya diam memandangi Geo.

Gadis itu mengeratkan rahangnya menahan kesal. Tolong segera menjawab dan bantu dia untuk mengakhiri kesialan hari ini. Geo menatap tajam si orang asing yang masih terdiam.

“Hei, kayaknya kita pernah bertemu.” Orang itu mengangkat payungnya sedikit. Matanya yang besar menatap Geo yang masih berkacak pinggang. Jas putihnya berkibar tertiup angin. 

“Nggak tuh! Tunjukin aja arah ke bengkel yang masih buka.” Geo menyambar dengan sewot. Moodnya sedang jelek dan dia tidak ingin berlama-lama di bawah hujan bersama cowok asing yang pura-pura pernah bertemu dengannya. Dia hanya ingin segera pulang, membasuh diri, dan tidur.

“Kamu anak Fakultas Ekonomi UAI, kan?” Cowok itu masih bersikukuh dengan perasaannya.

“Udah nggak usah basa-basi. Tunjukin aja bengkelnya dimana!” Geo semakin kesal. Pasalnya cowok itu terlihat baik-baik saja di bawah payung sedangkan dirinya berdiri basah kuyup di bawah hujan.

“Kamu Geovani, kan?” 

Geo membelalak, setengah tidak percaya ada cowok asing yang mengenal namanya. Namun, sedetik kemudian dia tersadar. Mungkin cowok itu salah satu korban teraniayanya.

“Udah deh ga usah banyak ngomong, aku kehujanan nih! Tunjukin aja bengkelnya di mana!” Geo sudah tidak sabar. Kalau cowok itu menjawab dengan hal yang tidak nyambung lagi, maka detik itu juga sebuah tendangan akan mengarah padanya.

Perlahan, cowok itu maju beberapa langkah hingga payungnya ikut memayungi Geo. Gadis itu sedikit mengkerut ke belakang. Matanya mendelik galak. Dia mengapresiasi inisiatif si orang asing untuk memayunginya, tetapi sudah terlambat. Geo sudah keburu basah kuyup.

“Jangan mundur-mundur! Katanya kehujanan. Tunggu bentar, aku bakal telepon-in bengkel langgananku. Maaf, ya.” Tanpa diduga dan begitu tiba-tiba, cowok itu minta maaf padanya. Geo hanya mengangkat bahu acuh. Di hari yang buruk ini, dia sudah tidak berharap banyak. Dia hanya menginginkan hari ini cepat berlalu.

Sekitar tiga puluh menit mereka berdiri di pinggir jalan berdua di bawah payung yang sama. Selama itu juga suasana tampak canggung dan sepi. Geo sudah berusaha menghindar dengan keluar dari payung yang memayunginya, tetapi cowok itu menarik lengannya untuk tetap berada di tempat.

Kemudian terdengar suara klakson yang sangat nyaring dari arah sebuah mobil pick up berlogo ‘Bengkel Pak Sabar’. Seseorang berjas hujan turun dan berlari menghampiri Geo dan cowok itu.

“Maaf, mas, tadi nunggu mobil dulu. Kalau gitu langsung diangkut aja ya motornya? Boleh pinjam kuncinya?” Seseorang yang kayaknya montir itu menatap Geo dan si cowok bergantian.

Geo memutar matanya kesal lalu menyerahkan kunci motornya. “Bengkelnya di mana sih, pak? Saya jalan dari arah sana nggak nemu-nemu!”

“Oh, kalau jalan ke arah sini ya jelas nggak nemu. Nggak ada bengkel sepanjang jalan ini, mbak. Tadi harusnya dari lampu merah sana mbaknya nyebrang ke kanan.”

“Ya mana saya tahu!” Geo bersedekap dengan ekspresi wajah kesal. Matanya sudah memerah karena kemasukan banyak air.

Si bapak montir hanya menyeringai. Hujan masih mengguyur. Geo mengacak rambut basahnya sambil berusaha memperbaiki jaketnya yang sedikit melorot.

“Saya ikut bapak, ya. Biar sekalian liat bengkelnya ada di sebelah mana.”

“Oh, boleh mbak. Silahkan.”

Geo hendak melangkah mengikuti pak montir, tapi sebuah suara menjengkelkan terdengar menentang.

“Nggak! Kamu pergi bareng aku. Pak, silahkan pergi duluan, biar mbak ini bareng saya.”

“Oh, yaudah. Duluan ya, mas, mbak.” Pak montir menunduk sopan lalu masuk lagi ke mobil yang langsung pergi begitu saja. 

Geo menoleh dan memelototi cowok asing bin aneh itu. Padahal dengan membiarkan Geo pergi, urusan mereka akan selesai di sana. Benar juga, hari Sabtunya belum berakhir. Masih ada kemalangan lain yang menunggu.

Suasana di dalam mobil tidak berbeda jauh dengan tiga puluh menit di bawah hujan tadi. Canggung, sepi, dan menjengkelkan. Tidak ada yang memulai pembicaraan. 

“Hari ini berat ya buatmu.” Seakan bisa membaca pikiran Geo, cowok itu mulai angkat bicara.

“Ya gitu. Padahal tadi pagi semuanya tampak sangat sempurna.”

“Sesuatu yang berlebihan pasti tidak berakhir baik.”

“Ya, makasih nasehatnya. Ngomong-ngomong, memangnya kita pernah ketemu? Kapan?  Di mana? Aku nggak ingat pernah ketemu kamu.” Geo menoleh. Seingatnya, dia belum pernah tuh bertemu dengan seseorang dengan wajah itu. 

Cowok itu tersenyum. “Kalau aku bilang kamu pasti nggak percaya deh.”

“Cih, apaan. Mendadak sok misterius.” 

Mobil berhenti di lampu merah. Geo membuang wajahnya ke samping untuk menatap tetesan air hujan yang begitu lebat di luar sana. Setidaknya gadis itu bersyukur bisa merasakan sedikit keberuntungan di penghujung minggunya yang berantakan.

Namun, dia tidak suka berada di dalam kecanggungan bersama orang asing.

Geo kembali memalingkan wajahnya ke arah si cowok asing untuk bertanya lagi. Namun, cowok itu sedang berpangku tangan sembari menatapnya. Gadis itu mengangkat alisnya. Cowok aneh itu sedang bertingkah.

“Kenapa sih?”

“Di mimpiku, aku sering lihat kamu.”

“Hah?” Geo menaikkan alisnya. Cowok asing itu kayaknya memang sudah gila.

Geo menggenggam sabuk pengamannya erat-erat. Dia melirik keluar sementara tangannya berusaha melepas sabuknya. Gadis itu berniat kabur selagi lampu lalu lintas masih menunjukkan warna merah.

Seolah mengetahui niatnya, cowok itu mengunci pintu mobil dengan tombol yang ada di kemudinya sampai menimbulkan bunyi klik yang kencang. Tatapan matanya tampak tajam mengintimidasi.

“Jangan coba-coba!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status