Share

BAB 2 - Hari yang masih panjang

Hujan tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Langit masih gelap dengan gemuruh yang sesekali muncul. Geo merasa bosan sekaligus tidak nyaman. Kalau dilihat dari keseluruhan hari ini, kondisi saat inilah yang paling menyebalkan. Bayangkan saja duduk di bangku kayu sambil ditatap orang asing yang tidak menampilkan ekspresi wajah apa pun. 

Ingin berteriak mesum tapi orang itu tidak mengedipkan mata, ataupun melakukan hal aneh lain selain hanya diam memandangi Geo dengan wajah datar. Awalnya gadis itu berusaha bersikap acuh, tetapi semakin lama semakin menjengkelkan ditatap tanpa mengatakan sepatah kata pun. Seperti sedang diawasi stalker saja.

“Maaf, apa ada sesuatu di wajahku? Atau apa ada yang mau kamu katakan padaku?” Geo akhirnya buka suara. Orang itu menggerakkan sedikit matanya, tetapi ekspresi wajahnya tetap datar.

“Ini seperti takdir. Akhirnya kita dipertemukan juga. Sudah lama aku berharap hal ini akan terjadi. Daripada melihatmu lewat mimpi, bukankah bertemu langsung lebih menyenangkan?” Orang itu mengubah posisi duduknya menjadi lebih condong menghadap Geo.

“Dasar konyol.” Batin Geo. Dia tidak mengerti dengan ucapan cowok di sampingnya itu. Gadis itu lebih memilih membuang muka sambil menyeruput thai tea nya yang tinggal setengah.

Sekitar satu jam Geo berada dalam keadaan yang tidak nyaman itu, selagi motornya diperbaiki. Ban dalam sekaligus ban luarnya harus diganti karena ada tiga paku yang menancap di sana. Gadis itu sudah paham. Kesialannya memang luar biasa di penghujung minggu ini.

Sang montir memberi sinyal bahwa motor Geo sudah selesai diperbaiki dan gadis itu langsung berdiri dengan perasaan lega. Akhirnya dia bisa melepaskan diri dari ketidaknyamanan selama satu jam belakangan. Dia hanya perlu pulang lalu menunggu sampai hari ini berakhir.

“Pak, apa bengkel ini menerima panggilan seperti tadi?” Geo mengaduk-aduk tasnya sambil sedikit berbasa-basi.

“Bener mbak. Salah satu layanan kita adalah menjemput pelanggan.” Pak montir menjawab sambil melap tangannya yang kotor dengan handuk yang sama kotornya. Senyum sumringah terukir di wajahnya yang lelah.

“Kalau gitu boleh minta nomornya, pak? Kayaknya tiap Sabtu saya bakalan balik ke sini terus.” Geo mengeluarkan dompet beserta ponselnya. Dia menjepit dompet di lengannya dan bersiap mencatat nomor bengkel itu. Geo sudah memprediksi kalau hari Sabtunya bakal berantakan secara berkelanjutan. 

Namun, ketika pak montir hampir membuka mulut untuk menyebutkan nomor teleponnya, sebuah tangan panjang langsung menyabet ponsel Geo dan mengetik sesuatu.

“Tanya aku aja nomornya, nih kukasih nomorku. Kalau tiap Sabtu kamu bakal mengalami hal seperti ini, telepon aku. Tiap Sabtu bakal kuantar ke mana aja.” Selesai mengetik sesuatu, dia mengembalikan ponsel Geo ke pemiliknya.

Geo mendongak. Mata mereka bertemu. Kalau dilihat-lihat, cowok itu terlihat tampan dengan mata yang tegas, jidat lebar dan hidung mancung. Dia terlihat seperti bule tapi dengan kearifan lokal. Kulitnya kuning langsat dengan tulang rahang yang tegas. Tubuhnya juga tinggi tegap. Walaupun dengan wajah menawan itu, Geo tetap saja tidak ingin semakin dekat dengannya. Selain karena cowok itu aneh, juga karena ada orang lain yang sudah menarik perhatiannya lebih dulu.

“Maaf, ya, kukira tidak ada alasan lain untuk kita bertemu lagi. Urusan kita selesai di sini. Aku tau kamu pasti merasa bersalah sudah menabrakku, tapi rasanya aku tidak ingin memperpanjang masalah kita. Kita cukupkan sampai di sini saja, ya. Makasih juga udah mau nolongin nyari bengkel.” Geo menepuk lengan pemuda tinggi itu lalu meminta pak montir menunjukkan kasirnya. Di sana gadis itu membayar sekaligus meminta nomor telepon bengkel lagi.

Geo melewati pria aneh itu dengan cuek. Dia merasa urusan mereka sudah selesai dan tidak perlu berbasa-basi lagi. Hal yang paling penting adalah segera pulang dan berdiam diri di rumah setidaknya sampai tengah malam. Namun, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangan Geo dan menahan pergerakannya. Sepertinya hari ini masih panjang.

“Kamu nggak bisa seperti itu padaku. Kamu nggak tahu seberapa gilanya aku untuk menemukanmu?” Orang itu makin bicara sembarangan. Geo sampai menatapnya bingung.

“Kalau gila ya silahkan berobat, kenapa menyalahkanku?” Geo menyentak lengannya tapi cengkeraman pemuda itu sangat kuat dan seperti tidak berniat melepaskannya.

“Oke, apa maumu? Coba katakan.” Geo akhirnya mengalah setelah bersusah payah melepaskan pergelangannya dari si pemuda. Orang aneh itu langsung tersenyum senang hingga menampilkan lekukan kecil di pipi kirinya. Gadis itu berdeham untuk menghilangkan pikiran anehnya.

“Aku punya dua tiket nonton bioskop besok, kuharap kamu mau mengambil satu.” Pemuda itu kembali dalam mode datar. Geo mengernyit. Orang itu terlihat lebih ramah kalau terus menampilkan senyumannya.

“Oh, besok. Oke, akan kupertimbangkan.” Geo menatap pemuda itu. Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat sampai Geo memberi sinyal dengan matanya untuk melepaskan pergelangan tangannya yang masih dicengkeram orang itu.

Pemuda itu paham dan langsung melepaskan pergelangan tangan Geo. “Asal kau tahu, aku tidak menerima penolakan.”

Geo melirik sekilas, “Oke.”

“Bodo amat. Aku tinggal tidak perlu datang.” Gadis itu melanjutkan perkataannya di dalam hati. Pertemuan pertama ini sudah dicukupkan sampai sini saja. Tidak perlu ada pertemuan lain lagi.

**

Dibawah rintik hujan, Geo menjalankan motornya dengan tergesa-gesa. Dia tidak peduli pada tubuhnya yang tidak memakai jas hujan. Toh sedari awal, dia sudah basah kuyup. Jantungnya berdegup kencang. Gadis itu bahkan tidak peduli kalau tiba-tiba sebuah mobil menyeruduk dirinya dan mengakibatkan kecelakaan. Biar saja dia mati di hari Sabtu dan tidak lagi merasakan kesialan beruntun tiap minggunya.

Geo membuka gerbang cokelat rumahnya dan memarkir motornya di garasi. Tetesan air mengikuti langkahnya mengitari halaman rumah. Dia harus lewat belakang untuk masuk, karena kondisinya yang seperti habis terendam air.

Angin dingin berhembus begitu pintu belakang rumahnya terbuka. Geo menggigil dan buru-buru menutup pintu lagi. Sekarang dia harus mandi air hangat dan mengeringkan rambutnya. Setelah itu, dia harus bersantai di tempat tidurnya yang empuk bersama Wini, boneka minion kuningnya yang besar.

Namun, rupanya kesialannya masih berlanjut. Tentu saja. Hari ini, kan, belum berakhir. Begitu selesai mandi dan mengeringkan rambut, seseorang telah menunggunya di ruang makan. Untuk sampai ke kamarnya dari kamar mandi memang harus melewati ruang makan dan orang itu sudah duduk manis di salah satu kursi berhadapan dengan aneka camilan yang Geo buat kemarin.

“Ngapain ke sini? Aku lelah, pulanglah.” Geo menyabetkan handuknya yang basah ke arah seorang gadis di depannya menyuruhnya menyingkir.

“Wah, wah, wah, Geovani mengusirku. Hei, nak, aku datang untuk menghiburmu. Aku bawa cokelat.” Dia mengeluarkan sebuah bungkusan besar cokelat dari dalam tasnya. Geo langsung tersenyum. Benar, cokelat adalah obatnya setelah mengalami kesialan beruntun hari ini.

Geo menghampiri orang itu dan duduk di sampingnya. Diraihnya bungkusan cokelat itu dan mulai menikmatinya. Lumeran cokelat meleleh di mulutnya. Senyumnya langsung tersungging begitu rasa manis itu memenuhi kerongkongannya.

“Enak?” tanya orang di sampingnya dengan senyuman aneh.

Geo berhenti mengunyah. Ada sesuatu yang mencurigakan di sini. “Kamu tidak kesini hanya untuk memberiku cokelat, kan?” Geo merasa akan ada kesialan lain yang menghampirinya. Dalam sekejap, Geo meletakkan cokelatnya seolah benda itu terlihat mengerikan.

“Wah, anakku pintar membaca situasi rupanya. Bantu aku mengerjakan tugasku. Aku lupa kalau hari ini deadlinenya. Kamu harus bantu, karena kamu sudah makan cokelatnya.” Orang itu mengedipkan kedua matanya bertingkah sok imut.

“Aisshh … kamu menipuku! Kenapa harus hari ini? Aku lelah, sungguh!” Geo hampir menangis. Sungguh dia hanya ingin beristirahat. Terkadang, temannya itu tidak memahami perasaannya. Padahal temannya itu tahu kalau hari ini adalah hari kesialan Geo.

“Maaf, kumohon. Tidak ada waktu untuk meminta bantuan orang lain.” Orang itu mengaitkan kedua tangannya seakan sedang memohon pada Geo.

“Fin, apa kamu tahu apa yang baru saja kualami?” Geo menyampirkan handuk basahnya ke belakang leher.

“Maaf, Geo. Sekali ini saja.” Gadis itu menautkan kedua tangannya seolah tengah memohon pada Geo.

Geo mendesah panjang. Sesungguhnya dia sudah lelah. “Oke, cepat lakukan. Semakin cepat selesai, semakin cepat juga aku istirahat. Janji, setelah tugasmu selesai kamu harus pulang dan jangan temui aku lagi.”

“Jangan gitu. Lain kali aku tidak akan menemuimu di hari Sabtu lagi. Ini terakhir kalinya. Kumohon.” Fina, gadis di dekatnya itu mendadak sedih. Dia merasa bersalah harus mengganggu temannya di hari Sabtu. Sesaat, dia lupa kalau Geo punya kondisi istimewa setiap akhir pekan.

“Baiklah … Apa tugasmu?”

Orang itu bertepuk tangan senang hingga rambut panjangnya bergoyang heboh. Senyuman bahagia juga tidak lepas dari bibirnya. Geo berpangku tangan sambil cemberut melihat tingkah sahabatnya itu. Inilah kenapa hari sabtu selalu terasa sangat panjang.

“Begini, Pak Bambang meminta kami untuk memberikan komen mengenai sebuah peristiwa. Kami harus membuat narasi yang bagus untuk headline sebuah berita. Yah, kau taulah. Hanya saja topiknya … ehmm … ini sedikit sulit dan aku butuh bantuanmu.”

“Berhenti bicara panjang lebar, jelaskan saja apa intinya.” Geo jadi tidak sabaran. Dia mengambil kue kering di dalam toples dan memakannya dalam sekali suapan.

“Aku tahu kamu benci dengan peristiwa ini, tapi aku benar-benar butuh bantuanmu.”

“Oke, apa itu?”

“Kami disuruh membuat narasi mengenai peristiwa agresi militer belanda 2.” Orang itu melirik Geo.

“Kau bercanda? Jangan mentang-mentang ayahku bekerja di kementerian budaya lalu kau seenaknya menyuruhku mengurusi sejarah, ya! Aku nggak mau bantu.” Geo memakan lagi kue kering di toples dan memenuhi mulutnya dengan makanan itu. Dia tidak mau berbicara apapun sekarang. 

Fera, sahabatnya itu berkuliah di jurusan broadcasting. Setiap minggu di salah satu mata pelajaran kuliahnya, ada sebuah tugas di mana dia harus membuat sebuah narasi dari suatu peristiwa. Biasanya peristiwanya selalu acak, entah dari bidang ekonomi, politik, maupun budaya. Dan setiap minggunya Geo pasti membantunya.

Namun, kali ini Geo tidak ingin membantu. Bidang budaya apalagi yang menjurus ke sejarah bukan keahliannya. Apalagi dia punya pengalaman buruk dengan sejarah. Dulu, dia pernah dihukum oleh guru sejarahnya saat SMP karena kedapatan tidur di kelas saat jam pelajaran masih berlangsung. Setelah itu di setiap kelas si guru terus mengungkit-ungkit hal tersebut. 

Lama-lama Geo jadi tidak bersemangat mengikuti pelajaran yang ada guru itu dan satu-satunya pelajaran yang diampu sang guru adalah sejarah. Ketidaksukaannya pada sejarah berlanjut sampai SMA karena entah bagaimana dia mendapatkan guru yang menyebalkan lagi. Bahkan ayah Geo pernah sampai dipanggil ke sekolah sebab dia tidak pernah mengerjakan tugas dan terkesan menyepelekan. Ayahnya marah besar padanya dan mengatainya membuat malu keluarga. Dari sanalah kebenciannya pada sejarah timbul. 

Sekarang gadis itu bersikap tidak peduli pada sejarah dan tidak pernah mau terlibat dalam pekerjaan ayahnya yang pasti berurusan dengan hal itu. Dan sekarang Fera malah datang padanya untuk meminta bantuan mengenai hal yang dibencinya. Bukankah Fera itu sahabatnya?

“Aku tidak akan muncul di hadapanmu lagi setiap hari Sabtu. Janji. Tapi, tolong bantu aku.” Fera bangkit, dia hampir berlutut di depan Geo hanya untuk meminta bantuannya.

“Aish … Baiklah, tapi dimulai dari mana. Aku sama sekali tidak tahu peristiwa apa itu.”

“Baiklah. Kamu duduk yang tenang, akan ku ceritakan secara singkat apa itu Agresi Militer Belanda 2 dan aku butuh komentarmu setelahnya.”

Geo mengangguk-angguk sambil meraih setoples kue keringnya. Dia memposisikan kursinya menghadap Fera dan mulai menyimak dengan terpaksa. Awas saja kalau Fera membohonginya kali ini dan muncul lagi hari Sabtu minggu depan. Dia berjanji akan menyeret Fera keluar dari rumahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status