Share

BAB 3 - Dimensi lain

Langit mulai berubah warna. Semburat kuning tampak di ufuk barat. Para pedagang mulai mengemasi barang dagangan mereka dengan raut wajah khawatir seolah tahu sesuatu akan segera terjadi. Mereka bergegas mengemasi dagangannya dan tidak ingin terlalu lama berada di luar dan harus segera kembali pulang. Angin dingin yang berhembus meremangkan tulang belakang juga menghantarkan perasaan tidak nyaman. Seperti akan ada sesuatu yang tengah bersiap untuk menyelinap. 

Kebingungan, gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya berputar sembari menatap sekeliling. Dia berdiri di tengah sebuah tempat yang mirip pasar tetapi dengan suasana yang jauh berbeda dengan pasar yang dia tahu. Semuanya tampak sederhana. Sebuah tambir di geletakkan di tepi jalan ditutupi kain. Beberapa orang mulai sibuk berkemas menutup dagangannya dan memasukkannya ke sebuah keranjang dari anyaman bambu.

Satu hal yang membuat gadis itu heran adalah pakaian dan gaya bicara mereka, seakan mereka berasal dari masa lalu. Bahkan raut wajah mereka terasa janggal. Dia mencoba mendekat dan berbicara dengan mereka tapi sepertinya tidak ada yang menghiraukannya. Entah karena gaya bicara mereka berbeda atau karena mereka memang sedang sibuk.

Seiring bertambah gelapnya hari, para pedagang bergegas pulang dengan tergesa-gesa. Gadis itu masih kebingungan. Dia berjalan mengikuti beberapa pedagang tanpa tahu arah dan tujuan. Jalanan juga terlihat sepi. Tatapannya linglung. 

Walau jalanan sepi, tetapi kota itu tidak benar-benar sepi. Sebagian kios kaki lima masih buka, mereka mencoba mengais rezeki di tengah atmosfer yang aneh. Salah satu pedagang makanan ringan terlihat menata dagangannya di atas sebuah tambir dan mensejajarkannya di atas sebuah gerobak kayu tua yang berada di pinggir jalan ditemani lampu temaram sambil melayani pembeli dengan senyum lelah yang menghiasi bibirnya. 

Merasa tengah melihat makanan, gadis itu mendekat. Melongok ke dalam tambir dan melihat makanan apa saja yang dijual. Tanpa sadar perutnya berbunyi. Namun, sepertinya dia harus menelan rasa laparnya. Makanan yang ada di dalam tambir belum pernah dilihat sebelumnya. Merasa tidak ada yang bisa dimakan dan ditambah dia baru saja ingat kalau tidak punya uang, gadis itu menyingkir dengan perasaan kecewa karena tidak bisa mendapatkan makanan. 

Suasana sangat tenang dan damai untuk sesaat sebelum badai datang. Kemudian terdengar suara rentetan tembakan yang menggema di sore yang sepi itu bagaikan letusan kembang api di festival akhir tahun. Pedagang kaki lima yang tengah melayani pembelinya menampilkan wajah terkejut. Matanya mendelik dan menoleh ke sana ke mari mencari sumber suara. 

Pembeli di kios yang baru saja dia layani bergegas menyabet bungkusan makanan yang dibeli dan segera melarikan diri. Apa pun yang baru saja dia dengar, itu pertanda yang tidak bagus. Dia hanya harus pergi dari tempat itu. 

Tak terkecuali gadis itu. Dia ikut terkejut dan memutar tubuhnya ke berbagai arah, mencari sumber suara. Perasaan takut mulai menghinggapinya. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya dia ada di mana? 

Lagi. Rentetan tembakan kembali terdengar. Kali ini semakin dekat. Di suatu arah, beberapa pemuda berlarian seperti menjauhi sesuatu. Dilihatnya pedagang kaki lima itu masih panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mondar-mandir di depan kiosnya sambil sesekali melambai-lambai ke arah pemuda yang melarikan diri. 

"Ono opo, le?" Pedagang itu mencegat seorang pemuda yang tengah berlari sambil menoleh ke belakang. Pemuda itu menampilkan wajah panik dan mendorong pedagang itu menyingkir. Pedagang itu tidak menyerah. Dia kembali melambai pada pemuda yang lain. 

"Bereskan daganganmu, mbah! Mlayu wae, pasukan Londo ngamuk!" Teriakan seorang pemuda membuat mata pedagang itu terbelalak. 

Gadis itu terkesiap. Bahasa daerah yang didengarnya memang tidak asing, tetapi mendengar sebuah nama negara yang terdengar kuno itu disebut membuat dahinya mengerut. Di zaman sekarang, hanya orang tua yang memanggil negara Belanda dengan nama Londo.

Sebelum sempat menguasai keterkejutannya, datanglah seseorang yang berlari ke arahnya dan menembus dirinya. Jantungnya seakan berhenti ditempat. Apa yang baru saja terjadi? 

Matanya melotot. Dia mengangkat tangannya dan memeriksa apakah tubuhnya terlihat transparan. Gadis itu berbalik. Orang itu menembusnya. Tangannya gemetaran. Shock mengguncang dirinya. Selagi dia bertanya-tanya mengenai semua hal aneh yang dialaminya, di belakang sana rentetan tembakan semakin mendekat dan bertambah keras.

"Londo? Mereka belum puas juga?" Pedagang itu komat-kamit sendiri dan tatapannya menjadi kosong. 

Gadis itu sepertinya masih belum menerima keadaannya, dia mendekati pedagang itu dan berniat menyentuhnya. Namun, puluhan orang berseragam dengan wajah pucat mendekat dan mengarahkan tembakan ke segala arah dengan membabi buta seperti tidak akan membiarkan seorang pun meloloskan diri. 

Gadis itu juga menyadari kalau ada beberapa peluru yang tidak mengenainya. Di antara takjub dan terkejut dia melihat satu buah peluru tepat mengenai perut pedagang di depannya. Teriakan pilunya bergema di sore yang sepi dan dingin sementara mulut gadis itu menganga lebar menyaksikan pemandangan mengerikan itu.

Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Matanya tampak linglung menatap sekeliling. Napasnya memburu dan jantungnya berdegup kencang. Sebenarnya dia berada di mana? Semua kejadian yang terekam di penglihatannya itu seolah terjadi di dimensi lain.

Suasana berat dan tidak nyaman kembali berlanjut keesokan harinya. Gadis itu masih kebingungan dengan apa yang menimpa dirinya. Berkeliaran di sepanjang malam, berada di tempat aneh dan langit sepertinya cepat sekali berubah. Baru saja hari menginjak malam, tiba-tiba sudah pagi. Jam besar di tengah kota menunjukkan pukul 04.00. Gadis itu merasa seperti berada di dalam sebuah film. 

Hari masih gelap dan para pedagang sudah mulai menata barang dagangannya di pasar. Beberapa pedagang mulai berkerumun. Rasa penasaran dalam dirinya bangkit hingga membuatnya mendekati kerumunan itu. Desas-desus Londo kembali menyerang menjadi pembicaraan panas mereka. 

Raut wajah khawatir dan ketakutan mulai terlihat menggelayut di wajah mereka. Mereka bertanya-tanya, sampai kapan kiranya Londo akan terus mengganggu mereka? Padahal gaung kemerdekaan telah  digemakan. Tanah ini sudah merdeka, apa lagi yang diinginkan Londo

Gadis itu mendengarkan dengan tanda tanya besar di kepalanya. Orang-orang ini membicarakan tentang Londo, lalu Londo yang mereka maksud ini apa? Londo seperti yang gadis itu pikirkan atau bukan? 

Matahari mulai muncul. Sinar hangatnya bahkan tidak menghangatkan suasana pagi itu. Kabar penyerangan semalam sudah tersebar dari mulut ke mulut. Gadis itu semakin merasa tidak tenang. Bagaimana cara dia kembali? Ini semua bukan tempatnya berada. Apa dia akan terjebak di sini selamanya?

Kemudian sebuah lagu patriotisme yang diputar dari radio butut menggema dari salah satu kedai dan sedikit menenangkan orang-orang di sekitar sana. Senyum simpul mereka mengembang. Mengingat bahwa tanah ini sudah merdeka. Perjuangan mereka sudah berakhir dan sekarang waktunya menikmati kemerdekaan itu. Namun, semua itu hanya dapat menjadi sebuah khayalan manis saja. 

Tepat pukul 06.45 pagi, lagu dari radio tua itu berganti dengan suara seseorang yang terdengar renyah. "Good morning everyone. Seperti yang sudah saya janjikan pada Anda semua, saya Wakil Tertinggi Mahkota Netherland, Dr. Beel, akan menyampaikan sebuah pidato singkat yang penting. Bahwasanya Netherland tidak lagi terikat dengan perjanjian Renville. Dengan demikian, penyerbuan terhadap wilayah Jawa dan Sumatera telah dimulai. Ini merupakan sebuah Aksi Polisional. Have a nice day." Pidato berakhir dengan suara tawa orang itu. Suaranya yang renyah membuat geram orang-orang yang mendengarnya. Alis gadis itu terangkat. Aksen orang itu terdengar seperti orang asing yang berada di dalam sebuah film perjuangan milik ayahnya. 

Dari kata-kata orang asing itu, sepertinya gadis itu menyadari sesuatu. Dia ingat di sebuah pelajaran sejarah, ada sebuah kejadian di mana Londo masih menyerang Indonesia walau sudah merdeka sekali pun. Dia tidak ingat nama kejadian itu karena dia sama sekali tidak tertarik mempelajarinya. Namun, yang dia tahu, sepertinya Londo sedang merayap untuk bangkit lagi. Kembali mencoba menguasai tanah ini lagi. 

Banyak pedagang yang mulai panik. Mungkin ingatan tentang kekejaman mereka di masa lalu membuat mereka sepakat bahwa Londo tidak boleh kembali berkuasa di tanah ini. Tanah ini sudah merdeka dan Londo seharusnya tidak punya hak untuk kembali berkuasa. 

Meninggalkan suasana yang sempat panik, lagu patriotisme kembali bergema. Suasana menjadi sepi. Orang-orang di sana saling bergulat dengan pikiran masing-masing. Penyerangan semalam pasti juga bagian dari rencana Londo yang disebut Aksi Polisional tadi. Sementara gadis itu tidak peduli. Satu-satunya pikirannya adalah, bagaimana cara keluar dari tempat itu. 

Matahari semakin meninggi menghantarkan suasana yang semakin memanas. Pukul delapan pagi, siaran Radio Republik Indonesia bergemerisik. Suara berat seseorang terdengar menyapa. "Selamat pagi. Saya, Kapten Suparjo, melalui siaran ini, menyampaikan sebuah pesan dari seorang Panglima Besar kebanggaan kita, Letnan Jenderal Soedirman, kepada seluruh rakyat Indonesia terutama pasukan TNI."

Suara itu melambat sejenak. Sepertinya tengah mengambil nafas. Radio bergemerisik dan suara orang itu kembali terdengar. "Perintah kilat No. I. Kita diserang Londo. Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.45 pagi, angkatan perang Londo menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. Pemerintah Londo telah membatalkan persetujuan gencatan senjata. Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Londo. Perintah ini dikeluarkan di: tempat. Tanggal: 19 Desember 1948 pukul: 08.00. Dari Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, Letnan Jenderal Sudirman."

Setelah itu, siaran radio berakhir. Rakyat yang mendengarkan mulai terusik. Kemarahan menggeliat dalam jiwa mereka. Londo benar-benar membuat Indonesia tidak dapat menikmati kemerdekaan dengan tenang. Gadis itu tersedak mendengar tahun yang disebutkan orang di dalam radio. Tahun 1948. Dia bahkan belum lahir. Sepertinya gadis itu mulai gila. Rasa panik naik ke kerongkongannya. Bagaimana bisa dia berada di tempat ini, di tahun ini? Pikirannya kalut. Dia harus segera kembali. Namun, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk kembali. Tidak ada yang bisa mendengar bahkan menyentuhnya di tempat ini. 

Satu jam setelah siaran singkat dari radio, kegaduhan yang sebenarnya muncul. Dentuman keras terdengar. Debu berterbangan disertai teriakan histeris banyak orang. Bangunan hancur berkeping-keping. Puluhan tubuh manusia bergelimpangan di sana-sini. Sebuah bom diterjunkan dari sebuah pesawat yang terbang mengelilingi kota. Kota menjadi medan perang. 

Bom kembali dijatuhkan. Ratusan orang berlarian menyelamatkan diri. Suara tangisan, jerit kesakitan, dan kepanikan menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Gadis itu terguncang. Melihat pemandangan mengerikan di depannya. Kakinya terasa lemah. Sebuah kemungkinan buruk muncul di pikirannya. Bagaimana kalau dia terjebak di sini tanpa ada satu orang pun yang menyadari keberadaannya? 

Tiba-tiba, seorang pemuda bertubuh kekar berlari ke arahnya dan menatapnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Hening. Gadis itu masih terguncang. 

"Pergi dari sini! Kamu bisa mati!"

Perlahan gadis itu menatap pemuda itu. Garis rahang yang tegas. Mata tajam dan jidat yang lebar. Tunggu … pemuda itu bisa melihatnya? Gadis itu masih terdiam sampai akhirnya pemuda itu berteriak keras. "GEO!!!"

***

Mata Geo dengan sekejap terbuka lebar. Teriakan pemuda itu menyadarkannya. Matanya mengawasi sekeliling dan bertatapan dengan sorot mata lain yang tengah memelototinya. Sedetik kemudian dia tersadar. Dia tertidur di atas meja dengan kepala menempel di atasnya. Ternyata selama ini dia hanya bermimpi, tetapi mimpinya tampak terasa nyata. Teriakan keras seorang pemuda di tengah keributan itu masih menimbulkan gaung di telinganya. Tanpa sadar Geo menghela nafas. Untungnya cuma mimpi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dirinya benar-benar terjebak di tempat itu. 

"Enak, ya, yang tidur! Kamu pikir aku lagi mendongeng? Aku sedang menjelaskan secara singkat peristiwa Agresi Militer Belanda 2, teman!" Orang itu berkata dengan kesal. Mulutnya mencibir. Mata Geo berputar. Dia ingat, orang di depannya itu tadi sedang menceritakan mengenai peristiwa yang menjadi tugasnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status