Share

Sopir Kesayangan Ibu Bos
Sopir Kesayangan Ibu Bos
Penulis: Ken Sagita

001 - Tangis Sari

TING!

Slamet yang sedang mengupas kelapa muda langsung menghentikan gerakan. Parang besar di tangan dia lemparkan begitu saja ke tanah, lalu buru-buru berdiri sambil meraih ponsel dari saku celana.

Jangan bayangkan itu ponsel Android seperti yang kalian pakai untuk membaca cerita ini. Apalagi sejenis ponsel mewah berlogo apel kena gigit.

Slamet hanya sanggup membeli ponsel tipe candy bar. Hape jadul yang cuma bisa untuk bertelepon dan berkirim pesan singkat atawa SMS.

Bukan tidak ingin pegang ponsel Android yang bisa untuk menonton video di YouSufe maupun Toktik. Namun Slamet hanyalah seorang pemuda semi pengangguran.

Pekerjaan utamanya sopir angkot, tetapi sebetulnya dia lebih pantas disebut. bekerja serabutan. Apa saja bakal dia kerjakan yang penting mendapatkan uang, sebab penghasilan sebagai sopir angkot tidaklah seberapa.

Kalau ditanya apa pekerjaannya, Slamet suka berseloroh menjawab: PNS. Maksudnya tentu saja bukan Pegawai Negeri Sipil atau yang sekarang istilahnya berubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). PNS versi Slamet adalah Pencari Nafkah Serabutan.

[Met, kamu cepetan ke sini. Sekarang!]

Slamet langsung mengerutkan kening membacanya. Itu SMS dari Sari, gadis tetangga dusun yang sejak SMA sudah dekat dengannya. Sangat dekat sekali malah. Teman tapi mesra kalau meminjam istilah lagu yang pernah hits belasan tahun lalu.

Tak mau penasaran dan bingung, Slamet langsung mengecek sisa pulsanya. Ketik bintang 123 pagar, maka keluarlah angka Rp5.500 di layar. Cukup kalau hanya untuk berbicara satu-dua menit saja.

"Duh, kok malah ndadak telepon mbarang sih, Met?" Sari langsung ngedumel ketika panggilan itu dia terima.

Slamet kaget, tetapi langsung cengengesan. Dia senang kalau Sari keluar judesnya begitu. Dia suka Sari justru karena gadis itu judes dan galak.

"Di rumahmu ada slametan po piye, kok aku disuruh dateng?" Slamet balik bertanya.

"Iya, Met, ada slametan," sahut Sari, suaranya berubah serak. Seperti orang sedih.

"Lo, slametan apa? Bukane mendak ramamu esih bulan depan, ya?" Slamet masih menduga-duga ada hajat apa di rumah Sari sekarang.

"Bukan mendak bapakku, Met, tapi lamaran," jawab Sari, lalu seperti terisak.

"Hah, lamaran? Biyungmu wis pan rabi maning apa?" Slamet tidak juga tanggap. "Ramamu urung ana setahun mati, Sar, mosok biyungmu wis pan rabi maning, sih? Uwis ora tahan maning apa?"

"Iiih, Mamet!"

Terdengar suara tangis Sari. Slamet jadi semakin heran, tetapi juga bingung karena tidak tahu apa yang menyebabkan gadisnya itu menangis.

Apa jangan-jangan Sari tidak terima ibunya aku sebut "enggak tahan lagi" tadi, ya? Duh! Slamet jadi garuk-garuk kepala.

"Yang mau lamaran bukan ibuku, Met," jawab Sari, lalu terpenggal oleh isak tangis.

"Oh!" Slamet nge-blank. Pemuda yang baru dua tahun lalu lulus SMA itu coba berpikir-pikir sambil melongo.

Sari hanya tinggal bersama ibunya. Sedangkan ayahnya sudah meninggal dunia, kurang-lebih 11 bulan lalu. Jadi kalau bukan ibu Sari yang lamaran, berarti malah Sari dong yang dilamar orang?

"Met, kamu cepetan ke sini, ya? Ta tunggu!" Ucapan Sari membuyarkan lamunan Slamet.

"Eh, Sar, kowe ya sing lamaran?" tanya Slamet begitu paham apa yang terjadi.

Namun Sari sudah memutus panggilan. Slamet yang tak percaya melihat layar ponsel candy bar-nya. Gelap. Hitam. Tak ada lagi nama Sari tertera di sana.

Panik, Slamet buru-buru mengantungi ponselnya. Setelah memungut parang yang tadi digeletakkan begitu saja di tanah, juga kelapa muda yang baru dikupas sedikit kulitnya, pemuda itu langsung masuk ke rumah.

"Endi degane, Met?" sambut seorang lelaki paruh baya yang sedang makan di dapur, menanyakan kelapa muda yang tadi baru akan dikupas Slamet.

Di dekat tungku kayu, seorang perempuan berusia hampir sama dengan si lelaki mendongakkan kepala ke arah Slamet. Itulah ibu Slamet. Sedangkan lelaki tadi ayahnya.

"Durung tek kupas, Pak. Mengko, ya? Inyong kudu aring umahe Sari siki. Penting!" jawab Slamet, kemudian langsung meletakkan kelapa muda dan parang di lantai dapur yang masih berupa tanah.

Bapak Slamet mendelik. Seperti ingin marah, tetapi akhirnya tidak jadi. Lelaki paruh baya itu melihat jelas tampang anaknya yang seperti bingung dan gugup.

"Sari kenangapa emange?" tanya ibu Slamet yang sudah berdiri dengan wajah terheran-heran.

"Mbuh, Mak, miki nelepon mung ngongkin iyong aring umahe. Wis, kaya kuwe tok," jawab Slamet, mengatakan kalau Sari hanya memintanya segera datang.

Tanpa menghiraukan kedua orang tuanya yang terheran-heran, Slamet pergi begitu saja ke depan.

"Inyong nyelang sepedane ya, Pak? Sedelat," kata Slamet, meminjam sepeda ayahnya.

"Lha, kowe ta nggawa mobil mbok?" ujar jbu Slamet heran, sebab Slamet tadi pulang membawa mobil.

Oh iya, mobil yang dimaksud tentu saja angkot yang biasa dibawa Slamet menarik muatan. Milik Haji Sutar, juragan kaya raya Bobotsari.

Slamet sudah sejak setahunan terakhir bekerja sebagai salah satu sopir angkot-angkot milik Haji Sutar. Setiap jam makan siang seperti ini dia memilih pulang demi berhemat.

"Sepedaan wae, Mak, eman bensine," jawab Slamet, lalu kembali berkata pada ayahnya, "Sepedane tek gawa, Pak."

"Yo!" sahut bapak Slamet, lalu melanjutkan makan.

Masih dengan terheran-heran, Ibu Slamet memandangi kepergian puteranya sampai pemuda itu tak terlihat lagi. Dia lalu menghampiri suaminya yang sedang menyeruput kuah di piring makan.

"Slamet kenangapa ya, Pak? Kok ujug-ujug Sari ngundang ngongkon teka, sajake penting banget," ujar ibu Slamet dengan wajah penasaran.

"Wis, embuh, Bu. Urusane bocah enom," jawab bapak Slamet sekenanya.

Jarak rumah Slamet ke rumah Sari tak sampai satu kilometer. Membutuhkan waktu kurang-lebih 10-11 menit kalau naik sepeda dengan santai. Namun Slamet ngebut, sehingga 5 menit saja sudah sampai tujuan.

Begitu mendekati rumah Sari, Slamet memperlambat laju sepedanya. Kening pemuda itu berkerut melihat sederet mobil bagus-bagus parkir di tepi jalan di depan rumah Sari.

Slamet memerhatikan mobil-mobil itu, juga mengingat-ingat plat nomor masing-masing. Tidak satupun yang dia kenal. Jadi bisa disimpulkan ini mobil orang jauh. Tamu di rumah Sari entah orang dari mana.

Di halaman rumah Sari tampak orang-orang itu sedang duduk. Lagi-lagi tak ada wajah-wajah yang Slamet kenali. Sepertinya orang dari luar desa atau malah lebih jauh lagi.

Beberapa dari mereka membawa bingkisan. Ada yang dibungkus seperti kado, ada pula yang jelas-jelas terlihat benda apa yang dibawa tersebut.

"Lo, ini kok malah kaya sarahan (seserahan)?" gumam Slamet, sembari turun dari sepeda.

Sambil memegangi sepeda, perlahan Slamet merogoh saku celana untuk mengambil ponsel kesayangan. Dia langsung menelepon Sari.

"Koen nang endi, Met? Wis tekan, durung?" tanya Sari begitu panggilan itu tersambung.

"Uwis. Kiye aku nang sebelah umahmu, ora wani manjing. Isin," jawab Slamet, jujur berkata dirinya malu sehingga tak berani masuk.

Alih-alih, Slamet malah bersembunyi di belakang sebatang pohon besar di samping rumah Sari. Dia berdiri menunggu dengan sejuta tanya memenuhi kepala, sembari menatap ke arah rumah yang sedang ramai lamaran.

"Iya, bener, koen usah manjing mene. Aku bae sing metu," sahut Sari, lalu seperti tadi gadis itu langsung memutus panggilan.

Slamet menunggu. Sepedanya disandarkan ke batang pohon tempatnya berteduh sekaligus bersembunyi.

Di dalam hati, pemuda itu bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah Sari. Siapa yang dilamar oleh orang-orang bermobil ini? Benar Sari-kah?

Tak lama Sari muncul. Wajah gadis itu tampak sendu sekali. Malah sepasang matanya merah dan terlihat sisa-sisa air mata di tepian kelopak dan bulu mata.

Slamet yang terkejut melihat keadaan Sari langsung mendekat. "Kowe kenangapa, Sar? Kok kayane nembe nangis?"

"Ora nembe nangis, Met, kiye inyong lagi nangis. Ngerti, ora?" jawab Sari dengan suara parau. Mengatakan kalau dia bukannya habis menangis, tetapi justru sedang menangis.

Tak ada angin tak ada hujan, Sari lantas memeluk Slamet. Erat sekali pelukan itu, seakan-Sari tidak ingin dipisahkan dari Slamet.

Terang saja Slamet jadi kaget, juga bingung. Mulutnya spontan melongo, dengan pandangan menerawang seolah tak percaya pada apa yang terjadi.

Kurang-lebih tiga tahun mereka berstatus teman tapi mesra, belum sekalipun pernah berpelukan seperti ini. Paling pol Slamet dan Sari hanya berpegangan tangan.

Itupun musti curi-curi tempat dan kesempatan karena malu kalau sampai dilihat orang. Apalagi ketahuan orang tua mereka. Jangan sampai.

Lebih dari itu, Slamet sebetulnya tak mau hubungan aneh tapi mesra antara dirinya dan Sari diketahui ibu gadis itu. Bukan apa-apa, tapi....

"Terus, kowe kenangapa nangis?" tanya Slamet yang tambah keheranan, ingin tahu kenapa Sari sesedih itu.

"Aku dilamar, Met, dijak rabi...."

=$$$=

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status