Mereka kembali berlarian di sana. Suara gelak tawanya memang teredam oleh riuh prajurit berlatih, namun ada yang mengamatinya dengan wajah tak suka. "Ehmmm!!" Sebuah deheman berat, menghentikan aksi mereka. Baik Bagas maupun Marta, sama-sama menoleh ke arah yang sama. Keduanya melihat ada panglima berdiri angkuh sambil bersedekap tangan, membuang wajah sinis dari arah mereka. "Oh, rupanya kau, Panglima? Sudah lama anda berada di sini?" Tanya bagas, membimbing lengan Marta untuk mendekat. Tak lantas menjawab, sosok angkuh itu hanya melirik sekilas. Berdecih. Terlihat sekali sikap itu tak menunjukkan rasa hormat sedikitpun pada pangeran Mahendra. Sama seperti Baginda, sikap panglima itu pun sama. Sama-sama senang merendahkan sesama, juga ambisius. Wajar jika panglima itu bertahan lama di istana ini, sebab banyak kecocokan antara dirinya dan Baginda. "Pangeran Mahendra yang terhormat, anda tidak pantas bersikap layaknya anak kecil bersama pelayan di istana ini!" Desis Panglima bernad
"Apa baginda meminta saya untuk mencari kakak?" Bagas bangkit dari duduknya, mendekati sang Ayah yang terlihat benar-benar sedang dirundung nestapa. "Apa kau bersedia?" Tanya Baginda, melirik sekilas anaknya yang belum lama dianggap itu. "Kalau memang dibutuhkan, saya akan sangat bersedia, Baginda." Hingga saat ini bagas memang masih canggung untuk memanggil Baginda dengan, Ayah. Itulah mengapa ia lebih senang berada di luar istana, juga lebih senang disebut dirinya sebagai Bagas. Bukan pangeran Mahendra. "Biar saya saja, Baginda." Dua orang anak dan bapak itu serentak menoleh, terdengar suara panglima muncul entah darimana. "Kau?" Baginda bergumam. "Benar, Baginda. Apa tidak lebih baik saya saja daripada Pangeran Mahendra?""Ah, iya. Kau benar juga." Baginda menyahut, membenarkan usulan Panglima yang baru datang itu. "Baginda. Pangeran Mahesa tetap akan menjadi seorang Raja, bukan?" Tiba-tiba Panglima bertanya entah kenapa. "Kenapa tidak? Aku bahkan sudah menetapkan untuknya s
"Kau akan kaget saat bertemu dengannya nanti.""Pangeran! Pangeran!"Marta bingung, sebab semua orang bubar dari tempat duduknya. Termasuk perempuan yang sejak tadi mengajaknya berdebat. Saat menyadari, rupanya mereka semua berlari ke satu arah yang sama. Menuju ke arah sosok baru datang.Marta pun ikut terhenyak saat melihat seseorang yang datang, yang ia saja bahkan belum pernah melihat sebelumnya. Sosok berdiri di sana, yang terlihat tinggi, gagah, dan seperti pusat magnet pada semua pelayan yang ada di tempat ini. Termasuk Bibi Ratih. Hanya Marta saja yang tertinggal, sebab gadis itu masih sibuk mengamati apa yang sedang terjadi.Beberapa saat setelah melihat kerumunan itu, ia baru sadar. Orang yang tadi sedang dibicarakan kini telah datang. Marta tercengang dengan jemari menutup mulutnya."Benarkah itu pangeran Mahesa?" Gumamnya sangat lirih, dan meskipun ia suarakan agak keras, pasti teredam oleh riuh yang lain.Di sana, terlihat seperti pria rupawan sedang mengamati wajah para
Tak sempat ia melihat siapa pelakunya, tetapi langkah panjang itu telah membawanya menuju tempat yang lebih lapang dan terang. Marta kaget, apalagi kini badannya dihempaskan ke bangku ujung lorong tadi."Pangeran?" Gumamnya, menatap tak habis pikir ke arah Bagas yang menyorot tajam. "Ada apa ini?" Ia masih bertanya."Aku yang harusnya bertanya, kenapa kau berada di depan kamar Putra mahkota?" Nada suara Bagas terdengar sinis, Marta bangkit menghela nafas. Menyadari pria di depan itu sedang berada dalam keadaan salah paham."Bagas, kau salah paham. Aku kemari karena Pangeran yang memintaku.""Aku tidak salah paham. Dan kau tidak boleh masuk ke kamar itu.""Kenapa? Kakakmu itu hanya meminta pelayanan seperti Baginda. Dan sudah jadi tugasku, bukan?""Apa kau yakin, di dalam nanti kau hanya akan diminta melayaninya? Sementara Putra Mahkota itu .... " Tak sanggup melanjutkan kalimatnya, bagas menggeleng miris dengan tangan menyentuh lembut pundak sang gadis."Marta, kau tidak tau siapa Mah
Pijatan berhenti, dan Mahesa tak lagi menuntut untuk itu. Kini, pria itu malah tak berani menatap Marta seperti sebelumnya, malah gadis itu yang menatap tegas. "Baginda kan juga seperti itu." Meski menunduk, tetapi kalimat protes masih terdengar lirih. "Baginda bahkan lebih parah dariku. Dulu, setiap pelayan yang masuk pasti harus menginap di kamarnya. Selain itu juga, kepemimpinannya pun sewenang-wenang.""Dan karena itu, apa menurutmu rakyat di luar sana senang dengan kepemimpinan Baginda? Kenapa dari dulu hingga kini selalu saja ada gerakan pemberontak?" Marta menyerang pria itu dengan beberapa pertanyaan sekaligus, berharap agar Pangeran yang akan menduduki tahta itu mampu melihat kebenaran. Tak disangka, Pangeran Mahesa kini menatap lekat wajah Marta. Tanpa berkedip, bahkan sampai mengernyit seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kenapa kau berkata begitu?" Gumamnya mungkin tak habis pikir, sama seperti yang lain. "Memang benar, kan?" Marta tak boleh terpengaruh, apalagi kini pri
lMalam tiba, ketika semua orang telah terlelap dalam peraduan masing-masing. Tinggal Marta, bersama Puspa di halaman belakang. Dengan puspa yang baru saja membicarakan tentang kehebatan Mahesa di ranjang. Yang membuat semua perempuan selalu ketagihan, ingin lagi dan lagi.Di situ, Marta enggan menyahut. Ia hanya menyibukkan diri menatap bintang di angkasa raya sana. Indah dan damai, sedamai hatinya yang tadi siang telah berani memberikan penjelasan pada Pangeran ranjang itu. Tentang dampak buruk dan bahayanya."Hey, aku dari tadi sudah bicara dengan penuh suka cita. Kenapa kau malah diam saja?" Tanya Puspa dengan wajah merengut."Memangnya, aku harus bagaimana?" Marta ikut bertanya, tak habis pikir sebenarnya. "Aku malah heran denganmu.""Apa maksudmu?""Apa kau bangga pernah tidur dengan Pangeran Mahesa?""Tentu saja. Sudah jadi kebanggaan terbesar bagi kami, bisa tidur bersama orang besar seperti Pangeran Mahesa." Jawaban tegas dari Puspa itu membuat Marta menggeleng lemah. Ia berp
Namun, belum sempat ia berkedip. Ulu hatinya mendadak terasa nyeri, saat ia menyadari, rupanya tangan kecil Marta masih menempel di sana. Pemiliknya tersenyum melihat tingkah Mahesa yang meringis kesakitan. "Masih ingin lagi?" Gadis itu bahkan bertanya dengan bibir miring tersenyum. Kini, terlihat seberapa kuat seorang Mahesa yang berbadan kokoh. Namun tak memiliki daya apapun, selain kehebatannya di atas ranjang seperti yang dielu-elukan banyak perempuan. "Kau, kau tidak sopan!" Rintih pria itu, kini berpaling dengan kedua tangan menekan perutnya. "Hm? Oh iya? Aku, atau Anda yang tidak sopan?" Tanya Marta. Dalam hatinya mengikik kegirangan melihat pangeran itu. Ia melihat dengan jelas, bagaimana Mahesa berusaha menegakkan badan. Mengayunkan tangan dengan gerakan yang sangat keliru dan terbaca. Maka dengan mudahnya Marta menangkis tangan kokoh itu. Satu pukulan ia hadiahkan ke depan hidung Mahesa. Hanya di depannya saja, dan ia ingin melihat bagaimana reaksi pria itu. Pangeran me
Lama menunggu, Marta hampir memekik karena tiba-tiba ada tangan membekap mulutnya.Ia pikir, itu adalah Panglima yang masih berkeliaran di sekitar sini. Maka dengan cepat Marta mencekal lengan sosok yang dibelakang, dibarengi dengan menginjak ujung kakinya. Dengan sekali hentakan, Marta kini berganti posisi.Ia kini berada di belakang si pria, mencengkeram erat salah satu tangannya di belakang badan. Erangan lirih pun terdengar, dan di saat itu pula Marta menyadari, orang itu adalah Bagas."Bagas, kau?" Marta bergumam, tetapi pria yang ia panggil tadi berbalik badan dengan mengayunkan tangannya. Entah hendak bermaksud apa, tetapi jika Marta tak segera membungkukkan badan, bisa dipastikan tangan kuat tadi menampar wajahnya."Bagas?" Gumaman Marta kali ini disertai wajah panik, kaget melihat sosok yang juga menatap heran padanya."Marta, kau hebat sekali?" Tak hanya gadis itu yang bergumam, Bagas pun sama. "Kau pernah berlatih beladiri?" Tanyanya. Lalu bukannya menjawab, Marta justru sa