“Memangnya apalagi yang mau diperjelas, Pak?”
Aku mengerjap, lalu mataku terpaku pada Christian yang jaraknya semakin dekat padaku. Pria itu menatapku tajam, matanya seperti pisau yang siap mengiris lapisan pertahananku, sengaja mendominasi ruang ini, mendominasiku. Jengah akan percakapan yang tak kunjung usai, aku menghela nafas kemudian mengatakan, “Pak—entah harus berapa kali saya mengatakan pada bapak kalau—kalau saya tidak akan menyebarkan kejadian itu sama sekali, apakah bapak masih tidak percaya pada saya?” Suaraku keluar lebih gemetar dari yang kuinginkan, tapi aku tak peduli lagi. Christian menatapku dalam-dalam, dan tiba-tiba senyum licik itu muncul di ujung bibirnya—senyum yang membuat bulu kuduk merinding. “Entahlah… apa kau ada saran? Tentang apa yang harus aku lakukan padamu.” Aku mendesah pelan, tubuhku sudah sangat lelah, tolong, namun pria ini sepertinya masih ingin bermain-main. “Saya tidak tahu pak.” ucapku akhirnya, suaraku hampir putus asa. Dan sialnya, itu justru membuat matanya berbinar puas. Dasar aneh. Apalagi yang dia rencanakan? “Baiklah—aku sudah memberikanmu kesempatan untuk memilih, tapi sayangnya kau tidak ingin menerimanya.” Suaranya rendah, hampir seperti gumaman yang menggoda. Dahi ku mengernyit, apa maksudnya? Kemudian aku perhatikan pahatan wajah yang sialnya sangat tampan dan menggoda itu. Aku tidak akan membohongi diriku sendiri. Pria ini sangat tampan, seperti patung Yunani yang hidup. Tapi pembawaannya yang arogan, yang memperlakukan orang lain seenaknya, membuat anugrah Tuhan itu jadi kabur di mataku. Christian hanyalah bos yang menganggap dunia ini miliknya—termasuk aku. “Pak—apa kau mabuk?” kataku akhirnya. Pria itu terlihat kaget oleh perkataanku. Alisnya terangkat. Aku tidak peduli. Meskipun ragaku masih terkurung dibangunan ini, namun bukankah jam kerjaku sudah habis sejak tadi? Sekarang harusnya aku dapat beristirahat tenang dan bukannya masih mengurus bos-nya yang arogan ini. Namun, sepertinya, pilihan menyatakan perkataan tadi salah besar. Karena setelahnya, bosnya ini—Christian, makin mempersempit jarak diantara kami, hingga kurasakan nafas hangatnya mengunjungi wajahku. “Ya…” katanya, suaranya serak, membuat getaran aneh pada tubuhku. “Sepertinya aku mabuk.” Aku mengerjap cepat, dari jarak sedekat ini, bau alkoholnya menusuk hidungku, campur aduk dengan aroma maskulin yang tak terduga membuat kepalaku pusing. Sial. Dia benar-benar mabuk. Entah kapan dia menenggaknya—selama rapat? Saat aku sibuk membersihkan meja? Pria ini bekerja dalam pengaruh alkohol? Pikiranku berputar kacau, tapi tubuhku membeku, tak bisa mundur. “Tapi—bagaimana kau bisa tahu?” Bisikannya semakin dekat, bibirnya hampir menyentuh telingaku, membuat nafasku tersendat. “Apakah kau mengintipku ‘lagi’?” Matanya mengunci pandanganku yang membuat jantungku hampir meledak. Dan di detik itu, aku sadar—ini bukan lagi permainan. Ini adalah api yang siap membakar kami berdua. Tanda bahwa aku harus segera pergi. “Maaf—tapi aku… Pak, aku pikir kau harus segera pulang…” kataku. Wajahnya terlihat tidak senang setelah aku mengatakan itu. “Kau menyuruhku pulang… setelah semua ini?” Suaranya rendah, setiap kata terucap dengan jeda yang disengaja, seperti dia sedang menikmati reaksiku. “Setelah kau merayuku?” Nafasku terhenti sejenak. Apa maksud bos-nya ini? Sejak kapan aku merayu nya? “Pak—anda… mabuk…” kataku, mulai susah payah mengeluarkannya. Christian menatapku, pandangannya lekat membuatku tercekat di tempat. Matanya seperti menelanjangiku, membaca setiap inci keraguan di wajahku. Lalu, dia tersenyum—senyum tipis yang membuat bulu kudukku berdiri. “Aku tidak cukup mabuk untuk melewatkan malam ini, Lola Sienna.” Namaku diucapkannya dengan nada yang lambat, intim, seperti dia sedang mencicipi setiap huruf di lidahnya. “Wajah panikmu justru membangunkanku.” Tubuhku membeku. Apa yang bangun? Lari Lola! Lari sejauh mungkin! Aku menarik napas dalam-dalam, memaksa diriku untuk bangkit. Cukup sudah permainan malam ini. “Baiklah, Pak. Saya pamit pulang sekarang. Sudah malam, bahkan jam kerja saya sudah berakhir sejak tadi.” Aku mundur selangkah, meraih tas dari meja dengan tangan yang masih gemetar, berusaha tampak tegas meski hati ini berantakan seperti kertas kusut. “Saya capek, dan saya butuh istirahat. Selamat malam.” Christian menyipitkan mata, senyumnya memudar sedikit, diganti ekspresi tidak suka yang membuat perutku mulas. “Pulang? Sekarang? Kau pikir aku akan biarkan kau pergi begitu saja setelah... ini semua?” Suaranya rendah, penuh otoritas, seperti perintah bos yang tak bisa dibantah—seolah aku masih karyawannya yang bisa dia kendalikan kapan saja. “Ya, Pak. Saya harus pulang. Kalau Bapak melarang, ya sudah—saya tetap pulang. Kalau Bapak melarang, saya... saya akan rekam ini semua dan sebarkan di internet. Biar semua orang tahu bos besar seperti Bapak memperlakukan karyawannya seperti ini di luar jam kerja.” Kata-kata itu keluar lebih berani dari yang kukira, suaraku tegas meski jantungku berdegup seperti drum perang. Ancaman itu terlontar begitu saja, didorong oleh kelelahan, kemarahan, dan sedikit keputusasaan yang sudah memuncak. Aku bahkan merogoh ponsel dari saku, mengacungkannya sebagai bukti, meski tanganku gemetar. Matanya melebar sejenak, terkejut oleh keberanianku yang tak terduga, tapi lalu... dia tersenyum. Bukan senyum marah atau terancam, tapi senyum lebar, puas. “Baiklah.” Dia melangkah ke samping, memberi jalan dengan gerakan santai, tapi tatapannya masih mengikuti setiap gerakanku seperti bayangan yang lapar. Ada kilatan kegembiraan di matanya, seolah ancamanku justru membuatnya lebih tertarik. Aku menghela napas lega, tapi canggung itu masih menyelimuti ruangan seperti kabut tebal. Kami berjalan bersama menuju lift—aku di depan, dia di belakang, langkahku cepat untuk menjaga jarak, tapi lift itu sempit dan dingin, dan saat pintu tertutup dengan bunyi klik pelan, suasana langsung terasa lebih tebal, lebih menyesakkan. Aroma alkohol samar-samar masih tercium dari jasnya, membuat pipiku memanas dan jantungku kembali berpacu. Aku menatap lurus ke depan, menghindari matanya yang pasti sedang mengamati, tapi aku bisa merasakan tatapannya membakar sisi wajahku. Sesampainya di basement. Mobil Christian—Range Rover—hitam mengilap yang tampak sama arogannya dengan pemiliknya—berdiri sendirian di sudut. Aku mencuri pandang ke arahnya. Meski dia masih bisa berdiri tegak, gerakannya terlalu terkontrol untuk seseorang yang mabuk berat, tapi bau alkohol di napasnya tadi nyata. Pikiran buruk muncul kalau dia nyetir sendiri dan sesuatu terjadi, aku yang akan disalahkan. Aku yang terakhir bersamanya malam ini. Sial. “Gimana kalau di jalan nanti terjadi sesuatu?” pikirku, jantungku kembali berdegup kencang. Kalau dia nyetir sendiri dan kecelakaan? Siapa yang disalahkan? Aku? yang membiarkan bosnya pulang dalam kondisi pengaruh alkohol? Kantor pasti ribut, HRD campur tangan, dan reputasiku hancur total. Belum lagi kalau ada saksi yang bilang aku melihat dia mabuk tapi diam saja. Meski ragu dan was-was—kenapa aku peduli? dia kan bos arogan—pikiran itu membuatku berhenti di samping mobil hitam mewahnya, tanganku mengepal di sisi tas. “Tunggu, Pak,” kataku tiba-tiba, suaraku pelan tapi tegas, meski ada getar khawatir di ujungnya. “Anda... masih pengaruh alkohol, kan?” “Saya… saya… bisa mengantarkan anda. Hanya mengantarkan! Tidak lebih… J-jika anda mau…”Nafas hangat Christian menyapu leherku, aroma parfum maskulinnya menguar, membuat bulu kudukku merinding. “Kau apa?” suaranya rendah, tegas.Aku berbalik cepat, tubuhku kaku, dadaku sesak. Christian berdiri di sana, matanya menyipit, dingin, tapi di ujung bibirnya ada senyum kecil—licik, hampir tak terlihat. Aku menahan kemarahan, terjebak lagi oleh pria ini. Wajahnya datar, tanpa rasa bersalah, seperti dia tahu dia memegang kendali penuh.“Ikut aku,” katanya, suaranya tajam, tangannya menunjuk ke ruangannya. Aku mengikuti, kaki terasa berat, napasku tersengal. Di ambang pintu, aku berhenti sejenak, jantungku berdetak keras. "Masuk lagi ke sini? Rencana apa lagi yang Christian lakukan?" batinku, takut dan rasa malas bercampur, aroma parfumnya masih menempel di udara, mengingatkanku pada kejadian semalam.“Duduk,” katanya, sudah di kursi CEO-nya, sedangkan mata Christian tak lepas dariku. Aku menurut, duduk di depannya, tanganku mengepal, berusaha tenang meski dadaku sesak. Dia mel
Christian berbalik pelan, dengan ekspresi terkejut yang cepat berubah jadi senyum licik—senyum yang sama seperti tadi, penuh rahasia dan kegembiraan. “Mengantarkan saya pulang sekarang? Setelah ancaman sebarkan video tadi?” Suaranya menggoda, rendah dan serak, tapi dia mengangguk cepat tanpa ragu. “Baiklah, Lola. Aku terima. Kau yang pegang kemudi malam ini.” Dia melemparkan kunci mobil ke tanganku, jarinya sengaja menyentuh telapakku lebih lama dari yang perlu, membuat listrik kecil menyambar kulitku. “Tidak! Pakai mobil saya saja, kalau pakai mobil anda, bagaimana dengan mobil saya yang tertinggal disini?” kataku. Lalu melanjutkan. “K-kalau Pak Christian—saya yakin anda memiliki mobil lain.” Aku menggigit bibir bawah, merasa seperti baru saja melompat ke lubang yang lebih dalam lagi. Ini ide buruk, bisik pikiranku. Tapi setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan bom waktu itu meledak sendirian di jalan raya. Malam ini, aku yang pegang kendali—setidaknya untuk sementara.
“Memangnya apalagi yang mau diperjelas, Pak?”Aku mengerjap, lalu mataku terpaku pada Christian yang jaraknya semakin dekat padaku. Pria itu menatapku tajam, matanya seperti pisau yang siap mengiris lapisan pertahananku, sengaja mendominasi ruang ini, mendominasiku.Jengah akan percakapan yang tak kunjung usai, aku menghela nafas kemudian mengatakan,“Pak—entah harus berapa kali saya mengatakan pada bapak kalau—kalau saya tidak akan menyebarkan kejadian itu sama sekali, apakah bapak masih tidak percaya pada saya?”Suaraku keluar lebih gemetar dari yang kuinginkan, tapi aku tak peduli lagi.Christian menatapku dalam-dalam, dan tiba-tiba senyum licik itu muncul di ujung bibirnya—senyum yang membuat bulu kuduk merinding.“Entahlah… apa kau ada saran? Tentang apa yang harus aku lakukan padamu.”Aku mendesah pelan, tubuhku sudah sangat lelah, tolong, namun pria ini sepertinya masih ingin bermain-main.“Saya tidak tahu pak.” ucapku akhirnya, suaraku hampir putus asa. Dan sialnya, itu justru
“Saya anggap kamu paham dengan kejadian semalam.”Masih dalam lift, jantungku masih belum tenang. Lagi lagi peringatan bos ini membuatku jengah, aku mulai berbicara.“Pak, dengan rasa hormat sepertinya membahas hal semalam disini agak gak masuk akal, Pak.” katanya mengalihkan dirinya.“Jaga-jaga aja beberapa pegawai salah mendengar yang bapak maksud.”Kali ini dia menang.“Untungnya saya gak laporin bapak ke HR. Kalau saya diam sih rahasia bapak aman ya. Kalau bapak terus mengingatkan hal yang seharusnya saya lupakan. Ya bukan salah bapak semuanya sih, saya juga yang salah lewat.” ujarnya panjang lebar. Ngomong ngomong, liftnya kenapa melambat?“Cukup, Lola.”Lola mematung. Mengerjap kecil.“Kalau kamu mau sebarkan ke pegawai lain silahkan, kasih tau mereka apa yang kamu lihat semalam.”“Nggak! Gak– Pak! Lagian bapak juga yang terus terus ingetin saya untuk diem. Saya diem lho!” imbuhnyaDaripada melihat bosnya menekuk muka, justru Lola lebih takut saat dirinya kini tersenyum. “Ya.”
“Hal paling berbahaya dari kantor bukanlah kerja lembur. Tapi gosip.”Itu yang aku pelajari di minggu pertamaku bekerja. Dan pagi ini, gosip sudah terdengar lebih keras dari mesin fotokopi.“Aku dengar, dia cuma seminggu menikah, habis itu langsung cerai.” “Ya ampun, secepat itu? Gilanya…” “Makanya, siapa yang berani jadi istrinya lagi? Kayak hidup sama es batu.”Aku berdiri di pojokan pantry, pura-pura sibuk menuang air ke gelas. Kupikir kupingku sudah kebal sama bisik-bisik kantor, tapi kali ini setiap kata yang menyebut nama Christian Luciano menancap lebih keras.Karena aku baru saja melihat sesuatu yang… bukan gosip.Apanya dingin?Aku masih bisa merinding sampai ke ujung-ujung jari.Saat makan siang, aku berniat mencari makan dengan turun ke bawah.“Astaga, Lola, kamu pucat banget. Nggak sarapan ya?” suara Bu Emma mengagetkanku.Aku buru-buru tersenyum. “Hehe… iya, Bu. Kayaknya cuma butuh kopi.”Dia mengangkat alis, lalu kembali ngobrol dengan staf lain. Aku menarik napas, ber
Aku benci Senin. Tapi lebih aku benci kenyataan bahwa Senin pertamaku sebagai sekretaris justru membuatku menyaksikan sesuatu yang tak boleh terlihat dari CEO di kantorku.Namaku Lola Sienna. Fresh graduate. Baru sebulan lalu wisuda, dan sekarang sudah harus duduk di kursi sekretaris seorang Christian Luciano. Yes, the Christian.Pria yang hidupnya penuh gosip. Konon pernah menikah, lalu cerai cuma seminggu setelah akad. Orang-orang bilang dia gila. Orang-orang juga bilang dia terlalu perfeksionis, terlalu dingin, dan… terlalu banyak misteri.Aku sih nggak peduli. Selama gajiku lancar, biar saja dia punya seribu rumor.“Lola, tolong ketik ulang proposal ini. Jangan pulang sebelum selesai.”Suara Bu Emma, senior di divisi, membuat bahuku turun drastis.“Baik, Bu,” jawabku pelan. Dalam hatiku, oh selamat tinggal mimpi pulang sebelum malam.Jam dinding menunjukkan pukul 18.30. Lantai kantor sudah sepi. Lampu koridor hanya menyisakan separuh cahaya. Sementara aku masih terjebak dengan hur