Share

Bab 4

Author: adorable.lady
last update Last Updated: 2025-09-09 14:50:45

“Memangnya apalagi yang mau diperjelas, Pak?”

Aku mengerjap, lalu mataku terpaku pada Christian yang jaraknya semakin dekat padaku. Pria itu menatapku tajam, matanya seperti pisau yang siap mengiris lapisan pertahananku, sengaja mendominasi ruang ini, mendominasiku.

Jengah akan percakapan yang tak kunjung usai, aku menghela nafas kemudian mengatakan,

“Pak... entah harus berapa kali saya mengatakan pada bapak kalau... kalau saya tidak akan menyebarkan kejadian itu sama sekali, apakah bapak masih tidak percaya pada saya?”

Suaraku keluar lebih gemetar dari yang kuinginkan, tapi aku tak peduli lagi.

Christian menatapku dalam-dalam, dan tiba-tiba senyum licik itu muncul di ujung bibirnya... senyum yang membuat bulu kuduk merinding.

“Entahlah… apa kau ada saran? Tentang apa yang harus aku lakukan padamu.”

Aku mendesah pelan, tubuhku sudah sangat lelah, tolong, namun pria ini sepertinya masih ingin bermain-main.

“Saya tidak tahu pak.” ucapku akhirnya, suaraku hampir putus asa. Dan sialnya, itu justru membuat matanya berbinar puas.

Dasar aneh.

Apalagi yang dia rencanakan?

“Baiklah... aku sudah memberikanmu kesempatan untuk memilih, tapi sayangnya kau tidak ingin menerimanya.” Suaranya rendah, hampir seperti gumaman yang menggoda.

Dahi ku mengernyit, apa maksudnya?

Kemudian aku perhatikan pahatan wajah yang sialnya sangat tampan dan menggoda itu.

Aku tidak akan membohongi diriku sendiri. Pria ini sangat tampan, seperti patung Yunani yang hidup. Tapi pembawaannya yang arogan, yang memperlakukan orang lain seenaknya, membuat anugrah Tuhan itu jadi kabur di mataku.

Christian hanyalah bos yang menganggap dunia ini miliknya—termasuk aku.

“Pak... apa kau mabuk?” kataku akhirnya.

Pria itu terlihat kaget oleh perkataanku. Alisnya terangkat.

Aku tidak peduli. Meskipun ragaku masih terkurung dibangunan ini, namun bukankah jam kerjaku sudah habis sejak tadi?

Sekarang harusnya aku dapat beristirahat tenang dan bukannya masih mengurus bos-nya yang arogan ini.

Namun, sepertinya, pilihan menyatakan perkataan tadi salah besar.

Karena setelahnya, bosnya ini—Christian, makin mempersempit jarak diantara kami, hingga kurasakan nafas hangatnya mengunjungi wajahku.

“Ya…” katanya, suaranya serak, membuat getaran aneh pada tubuhku. “Sepertinya aku mabuk.”

Aku mengerjap cepat, dari jarak sedekat ini, bau alkoholnya menusuk hidungku, campur aduk dengan aroma maskulin yang tak terduga membuat kepalaku pusing.

Sial.

Dia benar-benar mabuk.

Entah kapan dia menenggaknya—selama rapat? Saat aku sibuk membersihkan meja? Pria ini bekerja dalam pengaruh alkohol? Pikiranku berputar kacau, tapi tubuhku membeku, tak bisa mundur.

“Tapi... bagaimana kau bisa tahu?” Bisikannya semakin dekat, bibirnya hampir menyentuh telingaku, membuat nafasku tersendat.

“Apakah kau mengintipku ‘lagi’?”

Matanya mengunci pandanganku yang membuat jantungku hampir meledak. Dan di detik itu, aku sadar—ini bukan lagi permainan. Ini adalah api yang siap membakar kami berdua.

Tanda bahwa aku harus segera pergi.

“Maaf... tapi aku… Pak, aku pikir kau harus segera pulang…” kataku.

Wajahnya terlihat tidak senang setelah aku mengatakan itu.

“Kau menyuruhku pulang… setelah semua ini?” Suaranya rendah, setiap kata terucap dengan jeda yang disengaja, seperti dia sedang menikmati reaksiku. “Setelah kau merayuku?”

Nafasku terhenti sejenak. Apa maksud bos-nya ini? Sejak kapan aku merayu nya?

“Pak... anda… mabuk…” kataku, mulai susah payah mengeluarkannya.

Christian menatapku, pandangannya lekat membuatku tercekat di tempat. Matanya seperti menelanjangiku, membaca setiap inci keraguan di wajahku.

Lalu, dia tersenyum—senyum tipis yang membuat bulu kudukku berdiri.

“Aku tidak cukup mabuk untuk melewatkan malam ini, Lola Sienna.”

Namaku diucapkannya dengan nada yang lambat, intim, seperti dia sedang mencicipi setiap huruf di lidahnya.

“Wajah panikmu justru membangunkanku.”

Tubuhku membeku. Apa yang bangun?

Lari Lola! Lari sejauh mungkin!

Aku menarik napas dalam-dalam, memaksa diriku untuk bangkit. Cukup sudah permainan malam ini.

“Baiklah, Pak. Saya pamit pulang sekarang. Sudah malam, bahkan jam kerja saya sudah berakhir sejak tadi.” Aku mundur selangkah, meraih tas dari meja dengan tangan yang masih gemetar, berusaha tampak tegas meski hati ini berantakan seperti kertas kusut.

“Saya capek, dan saya butuh istirahat. Selamat malam.”

Christian menyipitkan mata, senyumnya memudar sedikit, diganti ekspresi tidak suka yang membuat perutku mulas.

“Pulang? Sekarang? Kau pikir aku akan biarkan kau pergi begitu saja setelah... ini semua?”

Suaranya rendah, penuh otoritas, seperti perintah bos yang tak bisa dibantah—seolah aku masih karyawannya yang bisa dia kendalikan kapan saja.

“Ya, Pak. Saya harus pulang. Kalau Bapak melarang, ya sudah... saya tetap pulang. Kalau Bapak melarang, saya... saya akan rekam ini semua dan sebarkan di internet. Biar semua orang tahu bos besar seperti Bapak memperlakukan karyawannya seperti ini di luar jam kerja.”

Kata-kata itu keluar lebih berani dari yang kukira, suaraku tegas meski jantungku berdegup seperti drum perang. Ancaman itu terlontar begitu saja, didorong oleh kelelahan, kemarahan, dan sedikit keputusasaan yang sudah memuncak.

Aku bahkan merogoh ponsel dari saku, mengacungkannya sebagai bukti, meski tanganku gemetar.

Matanya melebar sejenak, terkejut oleh keberanianku yang tak terduga, tapi lalu... dia tersenyum. Bukan senyum marah atau terancam, tapi senyum lebar, puas.

“Baiklah.”

Dia melangkah ke samping, memberi jalan dengan gerakan santai, tapi tatapannya masih mengikuti setiap gerakanku seperti bayangan yang lapar. Ada kilatan kegembiraan di matanya, seolah ancamanku justru membuatnya lebih tertarik.

Aku menghela napas lega, tapi canggung itu masih menyelimuti ruangan seperti kabut tebal.

Kami berjalan bersama menuju lift—aku di depan, dia di belakang, langkahku cepat untuk menjaga jarak, tapi lift itu sempit dan dingin, dan saat pintu tertutup dengan bunyi klik pelan, suasana langsung terasa lebih tebal, lebih menyesakkan.

Aroma alkohol samar-samar masih tercium dari jasnya, membuat pipiku memanas dan jantungku kembali berpacu. Aku menatap lurus ke depan, menghindari matanya yang pasti sedang mengamati, tapi aku bisa merasakan tatapannya membakar sisi wajahku.

Sesampainya di basement. Mobil Christian—Range Rover—hitam mengilap yang tampak sama arogannya dengan pemiliknya—berdiri sendirian di sudut.

Aku mencuri pandang ke arahnya. Meski dia masih bisa berdiri tegak, gerakannya terlalu terkontrol untuk seseorang yang mabuk berat, tapi bau alkohol di napasnya tadi nyata.

Pikiran buruk muncul kalau dia nyetir sendiri dan sesuatu terjadi, aku yang akan disalahkan. Aku yang terakhir bersamanya malam ini.

Sial.

“Gimana kalau di jalan nanti terjadi sesuatu?” pikirku, jantungku kembali berdegup kencang.

Kalau dia nyetir sendiri dan kecelakaan? Siapa yang disalahkan? Aku? yang membiarkan bosnya pulang dalam kondisi pengaruh alkohol?

Kantor pasti ribut, HRD campur tangan, dan reputasiku hancur total. Belum lagi kalau ada saksi yang bilang aku melihat dia mabuk tapi diam saja.

Meski ragu dan was-was—kenapa aku peduli? dia kan bos arogan—pikiran itu membuatku berhenti di samping mobil hitam mewahnya, tanganku mengepal di sisi tas.

“Tunggu, Pak,” kataku tiba-tiba, suaraku pelan tapi tegas, meski ada getar khawatir di ujungnya. “Anda... masih pengaruh alkohol, kan?”

“Saya… saya… bisa mengantarkan anda. Hanya mengantarkan! Tidak lebih… J-jika anda mau…”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 55

    Musik dari piano kecil di pojok ruangan mengalun lembut, membungkus udara dengan kehangatan yang tenang. Lampu-lampu gantung berwarna kuning keemasan menyoroti permukaan meja yang tertata rapi. Di luar jendela, salju turun perlahan, memantulkan cahaya lampu jalan yang pucat. Restoran itu terasa hangat. Georgio sengaja memilih tempat ini, tempat yang seharusnya bisa mencairkan suasana. Ia tahu, rapat kali ini bukan tentang bisnis semata. Christian datang sedikit terlambat. Matanya menelusuri suasana restoran dan baru menyadari, di ujung ruangan, Lola sudah ada di sana. “Sudah datang rupanya,” gumam Giorgio, suaranya pelan tapi cukup untuk membuat Christian mengalihkan pandangan ke Georgio lalu kembali memusatkan pada Lola. Lola balas menatapnya, bibirnya membentuk senyum kecil. Ia hanya mengangguk, sebelum kembali menunduk, merapikan map berisi berkas-berkas rapat. Mencoba tidak memperdulikan kehadiran Christian. Christian memanggilnya, “Lola.” Lola tidak langsung menoleh.

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 54

    Sesuai yang pernah Christian bayangkan, gadis itu benar-benar datang kepadanya.Lola Sienna, alisnya sempat menyipit ketika mendengar nama itu. Sebagai pria berdarah asli Italia, Christian tentu tidak asing dengan nama Siena, sebuah kota tua di jantung negeri itu. Namun setelah ia perhatikan lebih jauh, sekretaris barunya ini jelas bukan berasal dari sana.Kulitnya sangat pucat, nyaris seperti porselen. Garis wajahnya halus, berbanding terbalik dengan tatapannya yang berusaha terlihat tajam.“Terdapat bisnis tekstil yang telah berdiri puluhan tahun di Kota Siena. Setelah saya selidiki, Lola Sienna merupakan anak dari pemegang Sienna Tekstil sekarang. Hal itu didukung oleh kabar menyeruak bahwa ia berasal dari keluarga berada, sehingga para karyawan mencurigai nya masuk ke perusahaan ini dengan tidak murni.”Setidaknya, hal itulah yang sempat Christian cari tahu tentang sekretarisnya. Bukan hal penting, bukan pula sesuatu yang akan memberinya keuntungan. Tapi setelah itu, ia tidak bisa

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 53

    -Christian- Di hari yang sama. Jam digital di pojok meja menunjukkan pukul 18.30. Gedung sudah sunyi. Lampu koridor hanya menyala setengah. Christian bersandar di kursi, menatap layar laptop yang masih menampilkan rentetan angka dan laporan harian. Matanya terasa panas, pergelangan tangannya kaku, dan pikirannya penuh. Ia menutup berkas terakhir, menekan ujung hidung dengan jari tengah, lalu menghela napas lega. Seperti inilah kehidupan normal seorang Christian Luciano. Ia melepas kacamata, menatap pantulan dirinya di kaca. Dasi longgar, kemeja kusut, bahu tegang. Sesekali, Christian butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Melepaskan kendali sebentar. Dan pria dewasa itu, mulai menarik resleting celananya. Bermain pada ‘miliknya’ di tengah keheningan malam. “Hngh…” Beberapa detik berlalu, suara napas yang mulai berat dan denyut di pelipisnya yang makin kencang. Tapi kemudian— Bruk! “Akh!” Suara keras dari arah pintu memecah kesunyian. Christian tersentak, bah

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 52

    -Christian- Hari pertama. Kala itu, ada pepatah yang mengatakan, “Kehidupan selalu menagih sesuatu sebagai gantinya. Kadang uang, kadang waktu, kadang seseorang.” Begitulah yang terjadi di perusahaan IT nomor satu di negeri Kangguru ini. Banyak yang datang dengan harapan bisa mengabdi lama, namun tak sedikit pula yang hanya ingin mendapatkan ‘gelar’ pernah bekerja di sini. Karena jelas, bekerja di sini sama saja dengan mengubur kehidupanmu, dengan imbalan uang. Dan seperti yang lainnya, kali ini seorang gadis melangkah masuk dengan percaya diri. Rambutnya diikat rapi, senyum lebarnya mengiringi setiap langkah, menyapa para karyawan yang anehnya tak memberikan sambutan hangat. Wajah-wajah lelah, guratan sinis, dan beberapa bahkan sengaja mengacuhkannya. “Ini adalah ruang bos. CEO sekaligus pemilik perusahaan House of Luciano,” ucap seorang wanita dengan name-tag Emma Robert. Melalui perkenalan singkat, gadis itu mengetahui bahwa Emma adalah kepala divisi yang akan me

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 51

    “Kenangan,” ulangnya pelan. “Jadi selama ini… semua yang Anda lakukan pada saya… juga ada hubungan dengannya?” Christian menatapnya singkat, lalu mengalihkan pandangan. “Sebagian, mungkin.” Lola menarik napas pendek, bahunya menegang. “Kalau begitu, saya tidak heran kenapa Bu Esther sempat marah pada saya.” Christian menoleh cepat, tatapannya berubah tajam. “Lola—” “Tapi saya heran,” potong Lola cepat, suaranya meninggi sedikit. “Kalau Anda masih punya urusan yang belum selesai dengannya, kenapa Anda bersikap seperti itu kepada saya?” Pria itu terdiam. “Kenapa Anda membela saya di rapat waktu itu?” lanjut Lola tanpa memberi jeda. “Kenapa Anda peduli setiap kali saya terlambat makan? Kenapa Anda memperlakukan saya seolah-olah saya ini… sesuatu yang penting?” Lola berusaha menahan getar di suaranya. Tapi semakin ia mencoba tenang, semakin kalimatnya terdengar rapuh. “Kalau memang hubungan Anda dengan Bu Esther belum selesai, Bapak tidak seharusnya melakukan itu semu

  • Ssst, Diam Pak Boss!   Bab 50

    Entah mantra apa yang baru saja diucapkan Christian, tapi tubuhnya seakan membeku. Tangannya tak mampu mendorong, kakinya tak sanggup mundur. Lola hanya berdiri di sana, terperangkap di antara tubuh Christian dan meja di belakangnya. “Jadi sekarang, Anda memperluas wilayah kekuasaan Anda, ya? Dari kantor... ke rumah saya juga?” Tatapan Christian tak bergeming. Hanya ada senyum samar di sudut bibirnya, seperti pria itu menikmati setiap helaan napas yang tertahan di antara mereka. Di kantor, Lola tahu betul rasanya hidup di bawah pengawasan Christian. Setiap langkah, setiap file yang ia buka, setiap keputusan kecil, selalu terasa seperti ada mata yang mengamati. Tapi di sini... di rumahnya sendiri... seharusnya Lola bisa bernapas. Namun nyatanya, tidak segampang itu. Ia ingin melawan, ingin mendorong Christian menjauh, atau menegaskan bahwa ini rumahnya, ruang pribadinya. Tapi tubuhnya seakan tak lagi berpihak. Semua keberanian itu terkubur oleh sesuatu yang bahkan tak ia paha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status