“Saya anggap kamu paham dengan kejadian semalam.”
Masih dalam lift, jantungku masih belum tenang. Lagi lagi peringatan bos ini membuatku jengah, aku mulai berbicara. “Pak, dengan rasa hormat sepertinya membahas hal semalam disini agak gak masuk akal, Pak.” katanya mengalihkan dirinya. “Jaga-jaga aja beberapa pegawai salah mendengar yang bapak maksud.” Kali ini dia menang. “Untungnya saya gak laporin bapak ke HR. Kalau saya diam sih rahasia bapak aman ya. Kalau bapak terus mengingatkan hal yang seharusnya saya lupakan. Ya bukan salah bapak semuanya sih, saya juga yang salah lewat.” ujarnya panjang lebar. Ngomong ngomong, liftnya kenapa melambat? “Cukup, Lola.” Lola mematung. Mengerjap kecil. “Kalau kamu mau sebarkan ke pegawai lain silahkan, kasih tau mereka apa yang kamu lihat semalam.” “Nggak! Gak– Pak! Lagian bapak juga yang terus terus ingetin saya untuk diem. Saya diem lho!” imbuhnya Daripada melihat bosnya menekuk muka, justru Lola lebih takut saat dirinya kini tersenyum. “Ya.” “Oh ya, Lola–” “Terima kasih peringatannya, malam itu juga saya hampir selesai.” Lola memekik, bola matanya hampir mencuat. Bosnya gila, ya?! “Saya gak perlu tidur dengan kamu untuk kamu tutup mulut kan?” Mataku membelalak, perkataan terakhir Christian itu bukankah sangat berlebihan? Bagaimana jika ada yang mendengar? Bisa-bisa meskipun aku melakukan segala cara tidak mengakuinya, seisi kantor ini tidak mungkin percaya. Tapi langkahku mendadak terhenti. Mendapati seorang wanita berdiri tak jauh dari lift. Tatapannya lurus padaku, sinis, seolah sengaja menunggu. Dan… sepertinya dia mendengar percakapan tadi. Astaga. Aku mati. Kepalaku langsung kutundukkan. Kalau benar dia mendengar, maka gosip akan menyebar lebih cepat daripada virus. Aku tidak mau masalah baru. Buru-buru aku melewati wanita itu, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku butuh udara segar. Aku butuh bernapas. Setelah beberapa menit di luar, dan merasakan sudah cukup, aku memutuskan kembali ke lantai kerja. Tapi begitu sampai di lantai tujuan, bukannya tenang, telingaku justru disambut bisik-bisik. “Kau tahu? Pak Christian tadi bilang “Saya gak perlu tidur dengan kamu untuk kamu tutup mulut kan?”.” “Holy—sekretaris baru itu?” “Pasti sebelumnya mereka melakukan sesuatu sampai perkataan itu bisa terucap.” “Benar, kita semua kan sudah pulang sebelum larut malam.” “Aku dengar juga dia anak orang kaya. Jangan-jangan nyogok buat masuk sini?” “Atau malah… imbalan jadi simpanan?” “Wah… kau benar!” Langkahku berhenti. Hatiku panas. Ingin rasanya aku balik dan menampar satu per satu mulut yang berbisa itu. Tapi aku hanya menarik napas panjang, menahan amarah, dan memilih melewati kumpulan wanita-wanita itu tanpa komentar. Wajah mereka sontak kaget saat aku berjalan melewati kumpulan gosip itu. “Dasar racun.” batinku getir. Benar kan? Racun. Racun yang membuat perusahaan ini membusuk meski selalu dipuja-puji sebagai perusahaan impian. Cover indah, isi busuk. Mereka sibuk menggoreng gosip, padahal mereka sendiri tidak sadar betapa menjijikkannya perilaku itu. Aku duduk kembali di mejaku. Berusaha fokus mengerjakan pekerjaan agar dapat pulang tepat waktu, tapi suara-suara tadi terus mengganggu kepala. Simpanan. Tanganku gemetar di atas keyboard. Akhirnya dengan terpaksa, aku kembali lembur. “Racun pasti semakin menyebar di perusahaan.” batinku. Aku tahu, semakin sering aku lembur, semakin keras gosip itu beredar. Mereka memiliki kesempatan baru untuk berbisik. Jam sudah larut. Setelah berjam-jam bergelut dengan layar komputer, tugasku akhirnya selesai. Tinggal satu tanda tangan Christian. Tenggorokanku kering. Dengan kaki sedikit bergetar, aku melangkah ke ruangan CEO yang masih terang benderang. Ku ketuk pintunya pelan. “Masuk.” Tarikan napas panjang kulakukan sebelum akhirnya aku mendorong pintu. Aku sadar, tatapan tajam Christian langsung menyambutku. Buru-buru aku menunduk dan menyerahkan dokumen. “Selamat malam, Pak Christian. Ada dokumen yang harus Bapak tandatangani.” “Taruh saja di situ.” Aku mendesah pelan. Pandanganku tanpa sengaja bertemu matanya. “Tolong ditandatangani sekarang, Pak. Ini… sangat penting.” Bohong. Sebenarnya tidak masalah kalau tidak ditandatangani malam ini. Tapi aku butuh melepaskan setidaknya satu beban dari kepalaku. Terlalu banyak, membuatku sesak. Christian melirik dokumen itu. Membacanya sebentar, lalu menatapku lagi. “Ini bukan dokumen penting.” Aku membeku. Sial! “Kamu ada masalah?” tanyanya menatapku dalam. Jantungku mencelos. Apakah kelihatan? “Ti-tidak begitu, Pak,” jawabku gugup. Christian berdiri dari kursinya. Tubuhnya mendekat, membuat jarak kami menipis drastis. Tatapannya menusuk. “Ah begitu. Kalau tidak salah tadi saya lihat kamu dikucilkan?” Aku terperanjat. Melihat? Maksudnya… dia memperhatikan aku seharian ini? Tubuh tinggi itu kini hanya sejengkal dariku. Suaranya merendah. “Jujur saja…” Aku menelan ludah. Dengan sisa keberanian, aku mendongak menatapnya. “Saya merasa terlalu banyak masalah di sini. Jadi setidaknya… setidaknya saya ingin menyelesaikan satu masalah ini. Saya butuh tanda tangan Anda, dan selesai.” Kukatakan sekuat mungkin, meski suaraku bergetar. Christian tidak bergeming. Lalu… senyum miring itu muncul di wajahnya. Dia semakin mendekat, membuat jarak kami hampir lenyap. “Lalu,” suaranya rendah, menusuk telinga, “apa kamu tidak mau menyelesaikan masalah kita?” Aku tercekat. “K-kita? Ma-maksudnya?” Matanya menajam, senyumnya makin jelas. “Tentang semalam. Aku tahu kamu tidak lupa, Lola Sienna.”Nafas hangat Christian menyapu leherku, aroma parfum maskulinnya menguar, membuat bulu kudukku merinding. “Kau apa?” suaranya rendah, tegas.Aku berbalik cepat, tubuhku kaku, dadaku sesak. Christian berdiri di sana, matanya menyipit, dingin, tapi di ujung bibirnya ada senyum kecil—licik, hampir tak terlihat. Aku menahan kemarahan, terjebak lagi oleh pria ini. Wajahnya datar, tanpa rasa bersalah, seperti dia tahu dia memegang kendali penuh.“Ikut aku,” katanya, suaranya tajam, tangannya menunjuk ke ruangannya. Aku mengikuti, kaki terasa berat, napasku tersengal. Di ambang pintu, aku berhenti sejenak, jantungku berdetak keras. "Masuk lagi ke sini? Rencana apa lagi yang Christian lakukan?" batinku, takut dan rasa malas bercampur, aroma parfumnya masih menempel di udara, mengingatkanku pada kejadian semalam.“Duduk,” katanya, sudah di kursi CEO-nya, sedangkan mata Christian tak lepas dariku. Aku menurut, duduk di depannya, tanganku mengepal, berusaha tenang meski dadaku sesak. Dia mel
Christian berbalik pelan, dengan ekspresi terkejut yang cepat berubah jadi senyum licik—senyum yang sama seperti tadi, penuh rahasia dan kegembiraan. “Mengantarkan saya pulang sekarang? Setelah ancaman sebarkan video tadi?” Suaranya menggoda, rendah dan serak, tapi dia mengangguk cepat tanpa ragu. “Baiklah, Lola. Aku terima. Kau yang pegang kemudi malam ini.” Dia melemparkan kunci mobil ke tanganku, jarinya sengaja menyentuh telapakku lebih lama dari yang perlu, membuat listrik kecil menyambar kulitku. “Tidak! Pakai mobil saya saja, kalau pakai mobil anda, bagaimana dengan mobil saya yang tertinggal disini?” kataku. Lalu melanjutkan. “K-kalau Pak Christian—saya yakin anda memiliki mobil lain.” Aku menggigit bibir bawah, merasa seperti baru saja melompat ke lubang yang lebih dalam lagi. Ini ide buruk, bisik pikiranku. Tapi setidaknya, ini lebih baik daripada membiarkan bom waktu itu meledak sendirian di jalan raya. Malam ini, aku yang pegang kendali—setidaknya untuk sementara.
“Memangnya apalagi yang mau diperjelas, Pak?”Aku mengerjap, lalu mataku terpaku pada Christian yang jaraknya semakin dekat padaku. Pria itu menatapku tajam, matanya seperti pisau yang siap mengiris lapisan pertahananku, sengaja mendominasi ruang ini, mendominasiku.Jengah akan percakapan yang tak kunjung usai, aku menghela nafas kemudian mengatakan,“Pak—entah harus berapa kali saya mengatakan pada bapak kalau—kalau saya tidak akan menyebarkan kejadian itu sama sekali, apakah bapak masih tidak percaya pada saya?”Suaraku keluar lebih gemetar dari yang kuinginkan, tapi aku tak peduli lagi.Christian menatapku dalam-dalam, dan tiba-tiba senyum licik itu muncul di ujung bibirnya—senyum yang membuat bulu kuduk merinding.“Entahlah… apa kau ada saran? Tentang apa yang harus aku lakukan padamu.”Aku mendesah pelan, tubuhku sudah sangat lelah, tolong, namun pria ini sepertinya masih ingin bermain-main.“Saya tidak tahu pak.” ucapku akhirnya, suaraku hampir putus asa. Dan sialnya, itu justru
“Saya anggap kamu paham dengan kejadian semalam.”Masih dalam lift, jantungku masih belum tenang. Lagi lagi peringatan bos ini membuatku jengah, aku mulai berbicara.“Pak, dengan rasa hormat sepertinya membahas hal semalam disini agak gak masuk akal, Pak.” katanya mengalihkan dirinya.“Jaga-jaga aja beberapa pegawai salah mendengar yang bapak maksud.”Kali ini dia menang.“Untungnya saya gak laporin bapak ke HR. Kalau saya diam sih rahasia bapak aman ya. Kalau bapak terus mengingatkan hal yang seharusnya saya lupakan. Ya bukan salah bapak semuanya sih, saya juga yang salah lewat.” ujarnya panjang lebar. Ngomong ngomong, liftnya kenapa melambat?“Cukup, Lola.”Lola mematung. Mengerjap kecil.“Kalau kamu mau sebarkan ke pegawai lain silahkan, kasih tau mereka apa yang kamu lihat semalam.”“Nggak! Gak– Pak! Lagian bapak juga yang terus terus ingetin saya untuk diem. Saya diem lho!” imbuhnyaDaripada melihat bosnya menekuk muka, justru Lola lebih takut saat dirinya kini tersenyum. “Ya.”
“Hal paling berbahaya dari kantor bukanlah kerja lembur. Tapi gosip.”Itu yang aku pelajari di minggu pertamaku bekerja. Dan pagi ini, gosip sudah terdengar lebih keras dari mesin fotokopi.“Aku dengar, dia cuma seminggu menikah, habis itu langsung cerai.” “Ya ampun, secepat itu? Gilanya…” “Makanya, siapa yang berani jadi istrinya lagi? Kayak hidup sama es batu.”Aku berdiri di pojokan pantry, pura-pura sibuk menuang air ke gelas. Kupikir kupingku sudah kebal sama bisik-bisik kantor, tapi kali ini setiap kata yang menyebut nama Christian Luciano menancap lebih keras.Karena aku baru saja melihat sesuatu yang… bukan gosip.Apanya dingin?Aku masih bisa merinding sampai ke ujung-ujung jari.Saat makan siang, aku berniat mencari makan dengan turun ke bawah.“Astaga, Lola, kamu pucat banget. Nggak sarapan ya?” suara Bu Emma mengagetkanku.Aku buru-buru tersenyum. “Hehe… iya, Bu. Kayaknya cuma butuh kopi.”Dia mengangkat alis, lalu kembali ngobrol dengan staf lain. Aku menarik napas, ber
Aku benci Senin. Tapi lebih aku benci kenyataan bahwa Senin pertamaku sebagai sekretaris justru membuatku menyaksikan sesuatu yang tak boleh terlihat dari CEO di kantorku.Namaku Lola Sienna. Fresh graduate. Baru sebulan lalu wisuda, dan sekarang sudah harus duduk di kursi sekretaris seorang Christian Luciano. Yes, the Christian.Pria yang hidupnya penuh gosip. Konon pernah menikah, lalu cerai cuma seminggu setelah akad. Orang-orang bilang dia gila. Orang-orang juga bilang dia terlalu perfeksionis, terlalu dingin, dan… terlalu banyak misteri.Aku sih nggak peduli. Selama gajiku lancar, biar saja dia punya seribu rumor.“Lola, tolong ketik ulang proposal ini. Jangan pulang sebelum selesai.”Suara Bu Emma, senior di divisi, membuat bahuku turun drastis.“Baik, Bu,” jawabku pelan. Dalam hatiku, oh selamat tinggal mimpi pulang sebelum malam.Jam dinding menunjukkan pukul 18.30. Lantai kantor sudah sepi. Lampu koridor hanya menyisakan separuh cahaya. Sementara aku masih terjebak dengan hur