Share

Part 2

Author: ATM Berjalan
last update Last Updated: 2025-12-01 10:40:08

Suara motor sport berhenti di halaman depan rumah, disusul ketukan pintu yang bersemangat. Aisyah yang sedang melipat mukena setelah sholat Ashar terlonjak kaget. Dia mengenali suara itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena rindu, melainkan karena ketakutan yang mendadak menyergap.

"Assalamualaikum! Aisyah! Bu Nur!"

Itu suara Bryan.

Aisyah meremas jemarinya yang dingin. Dia menatap pantulan dirinya di cermin lemari. Wajahnya masih pucat, dan ada bekas lebam samar di sudut bibir yang tertutup cadar. Dia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang dia punya. Cepat atau lambat, dia harus menghadapinya.

Dengan langkah berat, Aisyah keluar kamar menuju ruang tamu. Di sana, Ibunya sudah membukakan pintu. Bryan masuk dengan senyum lebar, tangannya memanggul sebuah kardus besar berwarna cokelat yang terlihat berat.

"Waalaikumsalam, Nak Bryan. Tumben sore-sore mampir, nggak bilang dulu," sapa Bu Nur ramah, berusaha menutupi kegugupannya melihat kondisi putrinya yang berdiri kaku di ambang pintu kamar.

Bryan meletakkan kardus itu di atas meja kayu dengan hati-hati. Wajahnya berseri-seri, kontras sekali dengan aura mendung di wajah Aisyah.

"Kejutan, Bu! Pihak percetakan baru saja telepon kalau undangannya sudah jadi. Mumpung saya lewat, sekalian saya ambil dan bawa ke sini," ujar Bryan antusias. Dia merobek lakban kardus itu dengan kunci motornya. "Saya mau Aisyah lihat duluan sebelum disebar."

Bryan mengambil satu undangan hardcover berwarna merah marun dengan tulisan emas timbul. Dia mengelusnya bangga lalu menyodorkannya pada Aisyah.

"Nih, Syah. Coba lihat. Bagus banget, kan? Sesuai permintaanmu. Emasnya mengkilap, kertasnya wangi. Ini jatah buat teman-teman kampus kamu dan tetangga sekitar sini. Besok mulai disebar ya, soalnya waktu kita tinggal dua minggu lagi."

Aisyah menatap undangan di tangan Bryan. Di sana tertulis jelas, The Wedding of Bryan Adhitama & Aisyah Humaira.

Alih-alih mengambilnya, tangan Aisyah justru gemetar hebat di sisi tubuhnya. Matanya memanas. Undangan itu terasa seperti surat kematian baginya. Dia tidak pantas bersanding dengan nama Bryan di kertas suci itu.

"Syah? Kok diam aja? Nggak suka desainnya?" tanya Bryan bingung, senyumnya perlahan pudar melihat reaksi kaku calon istrinya.

Aisyah menggeleng pelan. Air matanya mulai jatuh membasahi cadar.

"Mas Bryan," panggil Aisyah lirih.

"Ya? Kenapa nangis? Terharu?" Bryan terkekeh pelan mencoba mencairkan suasana, lalu melangkah mendekat hendak menyentuh bahu Aisyah.

"Jangan sentuh aku!" pekik Aisyah mundur selangkah, membuat Bryan dan Bu Nur terkejut.

"Lho, kenapa? Kamu sakit?"

Aisyah menatap ibunya sekilas, meminta kekuatan, lalu kembali menatap Bryan. Dia tidak bisa membohongi pria ini. Dia tidak bisa membiarkan Bryan menikahi wanita yang menyimpan aib besar.

"Mas, bawa pulang undangan itu. Aku tidak bisa membagikannya."

"Maksud kamu apa? Jangan bercanda, Syah. Ini sudah dicetak ribuan lembar. Mahal lho ini."

"Aku tidak bercanda," suara Aisyah bergetar tapi tegas. "Aku tidak pantas buat Mas Bryan lagi. Aku sudah kotor, Mas."

Dahi Bryan berkerut dalam. "Kotor gimana? Kamu ngomong apa sih?"

Aisyah menarik napas dalam, membiarkan rasa sakit itu menghujam dadanya saat dia harus menceritakan ulang mimpi buruknya.

"Dua minggu lalu, saat aku pulang KKN sendirian, aku lewat gang sempit dekat pasar. Ada preman di sana. Mereka... menyerangku. Bajuku dirobek paksa. Mereka menyentuhku, Mas. Aku sudah tidak suci lagi seperti yang Mas harapkan."

Hening.

Suasana ruang tamu itu mendadak mati. Suara jam dinding yang berdetak terdengar begitu nyaring.

Wajah Bryan yang tadi cerah perlahan berubah merah padam. Matanya menatap Aisyah dengan tatapan tak percaya yang perlahan berubah menjadi sorot jijik. Dia menjatuhkan undangan di tangannya ke lantai.

"Kamu ... diperkosa?" tanya Bryan datar, nadanya dingin menusuk tulang.

"Mereka melucuti pakaianku. Aku pingsan setelah itu. Aku minta maaf. Aku gagal menjaga diri."

Aisyah jatuh berlutut di lantai, menangis tergugu. Bu Nur segera memeluk putrinya, ikut menangis.

Bryan tertawa. Tawa yang kering dan sumbang. Dia mengusap wajahnya kasar, lalu menendang kardus undangan di meja hingga jatuh berhamburan ke lantai. Ribuan undangan merah marun itu berserakan seperti sampah.

"Sialan! Jadi gosip di pasar itu benar? Anak Bu Nur pulang malam-malam dan ditemukan telan jang di tengah gang sempit?" bentak Bryan.

"Nak Bryan, istighfar. Ini musibah," sela Bu Nur membela.

"Musibah? Ini aib, Bu! Aib!" tunjuk Bryan tepat ke wajah Aisyah. "Gila ya kamu. Dua minggu lagi kita nikah, dan kamu malah setor badan ke preman pasar? Di mana otak kamu, hah?"

"Demi Allah, Mas, aku cuma mau menolong orang..."

"Persetan sama alasan kamu!" potong Bryan kasar. "Dengar ya, Aisyah. Saya ini laki-laki terhormat. Keluarga saya keluarga pandang. Mana mungkin saya nikah sama wanita bekas sisa orang lain? Mau ditaruh di mana muka Papa saya?"

Bryan mengambil satu undangan yang tergeletak di dekat kakinya, lalu merobeknya menjadi dua bagian tepat di depan mata Aisyah.

"Kita batal. Hari ini juga, detik ini juga, hubungan kita selesai."

Aisyah mengangkat wajahnya. Meski sakit hati mendengar hinaan itu, dia sudah menduganya. "Iya, Mas. Aku terima. Memang aku yang salah."

"Bagus kalau sadar diri. Tapi urusan kita belum selesai cuma sampai kata putus," ucap Bryan dengan senyum sinis yang mengerikan.

Dia mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu di kalkulator dengan cepat, lalu menunjukkan layarnya ke hadapan Bu Nur dan Aisyah.

"Kalian pikir membatalkan pernikahan itu gratis? Kalian pikir undangan sampah yang berserakan di lantai ini belinya pakai daun?"

"Maksud Nak Bryan apa?" tanya Bu Nur ketakutan.

"Ganti rugi," desis Bryan tajam. "Gedung, katering, baju pengantin, WO, dan semua perintilan yang sudah lunas dibayar keluarga saya. Total kerugian materi dan imateri karena pembatalan sepihak akibat aib anak Ibu ini adalah lima ratus juta rupiah."

Mata Aisyah terbelalak lebar. "Li-lima ratus juta?"

"Iya. Saya kasih waktu empat bulan. Kalau uang itu tidak kembali ke rekening saya, sertifikat rumah butut ini akan saya sita dan saya perkarakan ke polisi atas tuduhan penipuan. Camkan itu!"

Tanpa menunggu jawaban, Bryan meludah ke samping, tepat ke arah tumpukan undangan itu, lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Meninggalkan Aisyah dan Ibunya yang mematung di antara puing-puing rencana pernikahan yang hancur lebur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 5

    "Aisyah Humaira," gumam Keinan membaca nama yang tertera di sana tanpa menatap orangnya. "Lulusan Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude. IPK 3.8. Prestasi akademik nyaris sempurna."Keinan meletakkan kertas itu ke meja, lalu menatap tajam tepat ke manik mata Aisyah."Pertanyaan saya sederhana. Kenapa orang secerdas kamu melamar menjadi tukang pel di perusahaan saya? Apa kamu sedang merendahkan perusahaan saya, atau sedang merendahkan diri kamu sendiri?"Aisyah menelan ludah yang terasa pahit. Pertanyaan itu menohok harga dirinya, tapi dia tidak punya pilihan selain jujur. Kebohongan tidak akan memberinya makan."Saya tidak bermaksud merendahkan siapapun, Pak," jawab Aisyah pelan namun tegas. "Saya melamar karena saya butuh pekerjaan. Apapun itu. Ijazah dan nilai bagus di kertas itu tidak laku di tempat lain karena penampilan saya dan reputasi saya.""Reputasi?" pancing Keinan, pura-pura tidak tahu.Aisyah menunduk, menatap ujung sepatunya yang kusam."Saya baru saja dipecat dari bu

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 4

    Layar ponsel retak milik Aisyah menyala redup menampilkan sebuah poster digital yang dibagikan di grup Facebook pencari kerja. Mata Aisyah membelalak membaca tulisan berwarna merah mencolok di bagian bawah poster tersebut.WALK-IN INTERVIEW. Posisi, Office Girl & Cleaning Service. Penempatan, Wijaya Tower. Batas akhir. HARI INI pukul 14.00 WIB.Aisyah melirik jam dinding tua di kamarnya. Pukul satu siang. Dia hanya punya waktu satu jam untuk menembus kemacetan Jakarta dan menyerahkan nasibnya di sana."Bu, Aisyah berangkat dulu! Ada lowongan yang tutup hari ini!" teriak Aisyah sambil menyambar map cokelat yang selalu siaga di atas meja belajarnya, semenjak dia selesai dengan kuliahnya. Meskipun harus meninggalkan banyak syarat yang belum terpenuhi untuk menebus ijazah asli yang masih tertahan di universitas. Tak apa, setidaknya Aisyah lega bisa selesai dengan baik di tengah gempuran masalah hidup yang dia alami. Bu Nur muncul dari dapur dengan wajah cemas. "Lho, Nduk. Kamu belum maka

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 3

    Belum cukup sampai disitu kesialan yang dialaminya. Dengan langkah gontai Aisyah melangkah. Gadis itu berdiri di depan sebuah butik muslimah yang cukup besar di pusat perbelanjaan. Butik Annisa, tempatnya mengais rezeki selama setahun terakhir sebagai pramuniaga paruh waktu di sela-sela kuliahnya.Aisyah merapatkan cadarnya, menarik napas dalam untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Dia butuh uang. Sangat butuh. Ancaman Bryan tentang hutang lima ratus juta itu berdengung di telinganya sepanjang malam seperti lebah yang marah.Dia mendorong pintu kaca. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi kling, menyambut kedatangannya.Di balik meja kasir, Bu Rina, pemilik butik yang biasanya ramah, mendongak. Senyum yang biasa terulas di wajah wanita paruh baya itu lenyap seketika saat mengenali sosok berpakaian serba hitam yang masuk."Assalamualaikum, Bu Rina," sapa Aisyah pelan, suaranya terdengar ragu.Bu Rina tidak menjawab salam itu. Dia justru meletakkan majalah yang sedang dibacanya dengan kas

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 2

    Suara motor sport berhenti di halaman depan rumah, disusul ketukan pintu yang bersemangat. Aisyah yang sedang melipat mukena setelah sholat Ashar terlonjak kaget. Dia mengenali suara itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena rindu, melainkan karena ketakutan yang mendadak menyergap."Assalamualaikum! Aisyah! Bu Nur!"Itu suara Bryan.Aisyah meremas jemarinya yang dingin. Dia menatap pantulan dirinya di cermin lemari. Wajahnya masih pucat, dan ada bekas lebam samar di sudut bibir yang tertutup cadar. Dia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang dia punya. Cepat atau lambat, dia harus menghadapinya.Dengan langkah berat, Aisyah keluar kamar menuju ruang tamu. Di sana, Ibunya sudah membukakan pintu. Bryan masuk dengan senyum lebar, tangannya memanggul sebuah kardus besar berwarna cokelat yang terlihat berat."Waalaikumsalam, Nak Bryan. Tumben sore-sore mampir, nggak bilang dulu," sapa Bu Nur ramah, berusaha menutupi kegugupannya melihat kondisi putrinya

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 1

    Keinan berusaha membuka mata, namun kelopak itu terasa seberat beton. Tubuhnya seolah bukan miliknya lagi. Rasanya kaku dan mati rasa di beberapa bagian namun berdenyut nyeri luar biasa di bagian lain terutama di sekujur rusuk dan kepala bagian belakang.​Suara bip ritmis dari monitor di samping tempat tidur menjadi satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup. Keinan mengerang pelan. Tenggorokannya kering kerontang seperti padang pasir yang tak tersentuh hujan selama bertahun-tahun.​"Keinan? Sayang? Mama! Papa! Keinan sadar!"​Suara perempuan yang melengking panik itu menusuk telinganya. Itu suara Agnes, kekasihnya. ​Perlahan namun pasti pandangan Keinan mulai fokus. Cahaya putih lampu neon di langit-langit menyilaukan matanya sejenak sebelum wajah-wajah cemas itu mulai terbentuk jelas. Ada Mama yang sudah berurai air mata di sisi kiri sambil menggenggam tangannya erat sekali seolah takut dia akan pergi lagi. Ada Papa yang berdiri tegap di belakang Mama dengan wajah lelah dan mata m

  • Status Janda Untuk Istriku   Prolog

    Suara decit rem bus yang beradu dengan aspal panas menandai akhir perjalanan panjang itu. Terminal sore ini begitu sesak dan pengap. Debu beterbangan setiap kali roda-roda besar melindas jalanan yang berlubang, namun bagi Aisyah, kekacauan ini terasa melegakan. Akhirnya dia pulang. Empat puluh hari menjalani Kuliah Kerja Nyata di desa terpencil tanpa sinyal dan listrik yang memadai rasanya seperti satu dekade.Satu per satu teman kelompoknya turun dari bus. Wajah-wajah lelah itu seketika cerah begitu melihat jemputan masing-masing. Ada tawa renyah saat koper-koper besar berpindah tangan ke bagasi mobil orang tua atau pacar yang sudah menunggu.Aisyah hanya berdiri diam di pinggir trotoar sambil memeluk tas ranselnya yang lusuh. Dia merapatkan gamis panjangnya yang sedikit berdebu, lalu memperbaiki letak cadar hitam yang menutupi separuh wajahnya. Matanya yang teduh menatap nanar pada teman-temannya yang mulai melambaikan tangan perpisahan dari balik kaca mobil ber-AC.Hati kecilnya s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status