Share

Part 1

Author: ATM Berjalan
last update Last Updated: 2025-12-01 10:33:07

Keinan berusaha membuka mata, namun kelopak itu terasa seberat beton. Tubuhnya seolah bukan miliknya lagi. Rasanya kaku dan mati rasa di beberapa bagian namun berdenyut nyeri luar biasa di bagian lain terutama di sekujur rusuk dan kepala bagian belakang.

​Suara bip ritmis dari monitor di samping tempat tidur menjadi satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup. Keinan mengerang pelan. Tenggorokannya kering kerontang seperti padang pasir yang tak tersentuh hujan selama bertahun-tahun.

​"Keinan? Sayang? Mama! Papa! Keinan sadar!"

​Suara perempuan yang melengking panik itu menusuk telinganya. Itu suara Agnes, kekasihnya.

​Perlahan namun pasti pandangan Keinan mulai fokus. Cahaya putih lampu neon di langit-langit menyilaukan matanya sejenak sebelum wajah-wajah cemas itu mulai terbentuk jelas.

Ada Mama yang sudah berurai air mata di sisi kiri sambil menggenggam tangannya erat sekali seolah takut dia akan pergi lagi. Ada Papa yang berdiri tegap di belakang Mama dengan wajah lelah dan mata memerah. Lalu ada Agnes di sisi kanan dengan riasan wajah yang sedikit luntur namun tetap terlihat cantik dengan gaun desainernya.

​Keinan mencoba bicara tetapi hanya suara serak tak jelas yang keluar. Mama buru-buru mengambil kapas basah dan membasahi bibir putranya.

​Dua minggu.

​Mereka bilang dia sudah tidur selama dua minggu penuh. Koma akibat pendarahan di otak dan retak pada tulang tengkorak belakang. Dokter bilang adalah sebuah keajaiban Keinan bisa bangun tanpa kerusakan otak permanen mengingat seberapa brutal pukulan yang diterimanya.

​Namun saat kesadaran itu terkumpul sepenuhnya justru memori itulah yang menghantamnya lebih keras daripada balok kayu manapun.

​Bayangan gang sempit yang gelap dan lembap itu kembali. Bau sampah busuk. Wajah-wajah beringas para preman. Dan gadis itu.

​Jantung Keinan berpacu cepat membuat monitor di sampingnya berbunyi lebih nyaring. Napasnya memburu. Dia ingat semuanya. Dia ingat bagaimana gadis kecil bercadar itu berteriak lantang mencoba menyelamatkannya. Dia ingat bagaimana tubuh mungil itu ditarik dan dihempas ke tembok. Dia ingat suara kain yang robek.

​Dan tatapan itu. Tatapan mata indah yang basah oleh air mata meminta tolong padanya.

​"Gadis itu ..." Keinan memaksakan suara keluar dari kerongkongannya yang sakit.

​Mama mengusap dahi Keinan dengan lembut mencoba menenangkannya.

​"Sstt sudah Nak, jangan banyak bicara dulu. Kamu aman sekarang. Kamu sudah di rumah sakit terbaik. Polisi sudah menangani kasusnya."

​Keinan menggeleng lemah. Rasa sakit di kepalanya seakan ingin membelah tengkoraknya menjadi dua tapi, rasa bersalah di dadanya jauh lebih menyakitkan. Dia mencengkeram tangan Mama dengan sisa tenaganya yang lemah.

​"Gadis yang tolong aku," racau Keinan dengan napas tersengal. "Di mana ... dia?"

​Ruangan VIP yang luas itu mendadak hening. Mama dan Papa saling berpandangan dengan sorot mata yang sulit diartikan. Agnes yang berdiri di samping tempat tidur tampak membuang muka sejenak sebelum kembali memasang wajah prihatin dan mengelus lengan Keinan.

​"Kamu fokus sembuh dulu ya, sayang," ucap Agnes lembut tapi ada nada dingin yang tersembunyi di sana. "Polisi bilang korban lain sudah dipulangkan. Urusan dia bukan urusan kita. Yang penting kamu selamat. Aku hampir gila rasanya menunggu kamu bangun selama dua minggu ini."

​Korban lain.

​Kata-kata itu terdengar begitu meremehkan di telinga Keinan. Gadis itu bukan sekadar korban lain. Gadis itu mengorbankan dirinya. Gadis itu menjadi tameng hidup saat Keinan sudah tidak berdaya. Kalau bukan karena teriakan gadis itu mungkin kepala Keinan sudah hancur lebur malam itu dan dia tidak akan pernah membuka mata lagi.

​Pintu kamar rawat inap terbuka. Seorang perawat masuk diikuti oleh dua orang petugas kepolisian berseragam lengkap. Mereka tampak lega melihat Keinan sudah sadar. Papa Keinan mengangguk memberi isyarat mengizinkan mereka mendekat meski Mama terlihat keberatan karena putranya baru saja sadar.

​"Selamat siang Pak Keinan. Syukurlah Bapak sudah sadar. Saya Inspektur Teo yang menangani kasus pengeroyokan Bapak," ujar polisi yang bertubuh tegap itu dengan sopan.

​Keinan hanya berkedip sebagai jawaban.

​"Kami hanya ingin menyerahkan barang-barang pribadi yang ditemukan di tempat kejadian perkara. Dompet dan ponsel Bapak sudah diamankan keluarga sebelumnya tapi ada beberapa benda yang tercecer di dekat tubuh Bapak saat tim kami datang mengevakuasi."

​Inspektur itu meletakkan sebuah kantong plastik bening di atas meja dorong makan pasien. Di dalamnya terdapat jam tangan Keinan yang kacanya retak dan sebuah dompet kulit berwarna hitam yang bukan miliknya.

Itu dompet wanita. Sederhana dan terlihat sudah lama dipakai karena kulit sintetisnya mulai mengelupas di bagian ujung.

​"Itu bukan milik saya," bisik Keinan.

​"Benar Pak. Kami menduga ini milik korban wanita yang bernama Aisyah. Tapi karena saat kejadian posisi Bapak dan Saudari Aisyah ditemukan berdekatan dan barang-barang berserakan kami sempat bingung memisahkannya. Kartu identitas Bapak juga sempat tercecer di dekat tas korban."

​Polisi itu mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompet usang tersebut. Sebuah Kartu Tanda Mahasiswa.

​Mata Keinan terpaku pada foto kecil di sudut kartu itu. Foto seorang gadis dengan kerudung putih dengan cadar yang senada, tertulis nama lengkap, Aisyah Humaira. Fakultas Ekonomi.

​"Bagaimana keadaannya?" tanya Keinan menuntut jawaban jujur. Dia tidak peduli pada lirikan tidak suka dari Agnes.

​Inspektur itu menghela napas panjang wajahnya berubah serius dan prihatin.

​"Saudari Aisyah mengalami trauma fisik dan psikis yang cukup berat Pak. Dia ditemukan dalam kondisi pakaian yang sudah tidak utuh dan banyak luka memar di sekujur tubuh. Hasil visum menunjukkan adanya kekerasan se ks ual. Para pelaku berhasil melarikan diri sebelum patroli kami tiba namun kami sedang melakukan pengejaran."

​Dunia Keinan runtuh seketika.

​Kata-kata 'kekerasan sek sual' itu berdengung di telinganya lebih keras dari apapun. Bayangan malam itu kembali berputar seperti film horor yang tidak bisa dimatikan. Dia ingat bagaimana dia pingsan saat tangan-tangan kotor itu mulai menjamah tubuh Aisyah. Dia pingsan. Dia melarikan diri ke dalam ketidaksadaran sementara gadis itu harus menghadapi neraka sendirian dalam keadaan sadar.

​Air mata menetes dari sudut mata Keinan. Bukan karena rasa sakit di fisiknya tapi karena rasa jijik pada dirinya sendiri. Dia seorang laki-laki. Dia seorang direktur perusahaan besar yang biasa memimpin ratusan orang. Dia memiliki kekuasaan dan uang. Tapi malam itu dia tidak lebih dari seorang pengecut yang tak berguna yang membiarkan seorang wanita hancur demi menyelamatkan nyawanya.

​"Keinan? Kamu kenapa nangis?" Agnes buru-buru menghapus air mata di pipi Keinan dengan tisu. "Jangan dipikirin, ya. Itu musibah. Bukan salah kamu. Preman-preman itu yang jahat."

​Keinan menepis tangan Agnes pelan. Sentuhan Agnes yang wangi dan terawat terasa salah saat ini. Dia merasa kotor. Dia merasa bersalah karena bisa berbaring di kasur empuk ini dengan dikelilingi orang-orang yang menyayanginya sementara gadis bernama Aisyah itu mungkin sedang meringkuk sendirian di suatu tempat menanggung aib yang tidak seharusnya dia pikul.

​"Simpan ... kartu itu," kata Keinan pada polisi matanya menatap tajam pada kartu mahasiswa milik Aisyah. "Jangan kembalikan dulu. Saya yang akan kembalikan... sendiri."

​Papa Keinan mengerutkan kening. "Keinan apa maksudmu? Biar polisi yang urus atau suruh asistenmu nanti. Kamu harus fokus sembuh."

​"Tidak Pa," bantah Keinan dengan nada yang mengejutkan semua orang di ruangan itu. Ada ketegasan yang lahir dari rasa sakit. "Dia celaka karena aku. Nyawaku dibayar dengan kehormatannya. Aku harus ketemu dia."

​Agnes mendengus pelan tampak tidak suka dengan obsesi mendadak Keinan pada gadis asing itu. Namun dia memilih diam menjaga citranya di depan calon mertua.

***

​Sementara itu di belahan kota yang lain suasana yang sangat bertolak belakang sedang terjadi.

​Di sebuah kamar sempit yang hanya diterangi lampu bohlam 5 watt yang remang seorang gadis duduk memeluk lutut di sudut ruangan tepat di antara lemari plastik dan dinding yang catnya mengelupas. Tidak ada pendingin ruangan apalagi monitor canggih. Hanya ada suara kipas angin tua yang berputar dengan suara berisik mencoba mengusir udara panas dan lembap Jakarta.

​Aisyah Humaira, menatap kosong ke arah pintu kamar yang terkunci rapat.

​Sudah dua minggu.

​Luka-luka memar di lengan dan wajahnya mulai memudar berubah warna dari ungu kebiruan menjadi kuning kecokelatan. Namun luka di jiwanya masih menganga lebar berdarah dan bernanah setiap detik.

​Setiap kali dia memejamkan mata dia bisa merasakan kembali sentuhan tangan-tangan kasar itu. Bau keringat bercampur alkohol yang menyengat. Suara tawa yang mengerikan. Rasa sakit saat harga dirinya direnggut paksa.

​Aisyah menggeser tubuhnya sedikit dan rasa sakit itu kembali menyergapnya.

Dokter di rumah sakit bilang luka fisiknya akan sembuh tapi Aisyah merasa dirinya tidak akan pernah sembuh. Dia merasa kotor. Sangat kotor.

​Tadi pagi dia mandi selama dua jam. Dia menggosok kulitnya dengan sabun berkali-kali sampai kulitnya merah dan lecet berharap bisa meluruhkan jejak tangan-tangan pria itu. Tapi tidak berhasil. Air sebanyak apapun tidak bisa membasuh memori itu. Dia merasa najis. Dia merasa tidak layak lagi menghadap Tuhan apalagi menghadap manusia.

​Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak hebat. Tubuhnya gemetar ketakutan napasnya tertahan.

​"Nduk? Aisyah? Ini Ibu. Makan dulu ya Nak. Ibu buatkan bubur kesukaanmu."

​Suara lembut ibunya justru membuat dada Aisyah semakin sesak. Dia tidak pantas menerima kasih sayang Ibu lagi. Dia sudah mengecewakan Ibu. Dia sudah menjadi aib bagi keluarga. Apa yang akan dikatakan orang-orang kalau tahu anak Ibu yang dibanggakan karena alim dan menjaga diri ternyata pulang dalam keadaan rusak?

​"Aisyah nggak lapar Bu," jawabnya lirih suaranya parau karena terlalu banyak menangis.

​"Jangan begitu Nduk. Nanti kamu sakit lagi. Bryan tadi telepon katanya mau mampir lusa sama ibunya untuk bahas pernikahan."

​Nama itu membuat Aisyah membeku.

​Bryan. Tunangannya. Pria yang berjanji akan menjaganya. Pria yang akan menikahinya dua minggu lagi.

​Apa yang harus dia katakan pada Brian? Bagaimana dia bisa menatap mata Brian saat dirinya sudah tidak utuh lagi? Bayangan penolakan dan kejijikan di mata Bryan mulai menghantui pikirannya. Bryan adalah pria baik dari keluarga terpandang. Tidak mungkin dia mau menerima wanita bekas jamahan preman.

​Aisyah merangkak perlahan menuju cermin kusam yang tergantung di dinding lemari. Dengan tangan gemetar dia menyentuh pantulan wajahnya sendiri. Dulu dia bangga bisa menjaga dirinya. Dulu dia merasa aman di balik cadarnya. Tapi sekarang dia sadar selembar kain tidak bisa melindunginya dari kejahatan dunia.

​Malam itu dia melihat pria berdasi itu pingsan. Pria yang ditolongnya. Pria yang menjadi alasan kenapa dia mengambil jalan pintas itu. Aisyah tidak membenci pria itu. Tidak sama sekali. Dia hanya menyesali takdirnya sendiri. Kenapa harus dia? Kenapa Allah tidak membiarkannya mati saja di sana?

​Mati rasanya lebih mudah daripada hidup menanggung beban ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 5

    "Aisyah Humaira," gumam Keinan membaca nama yang tertera di sana tanpa menatap orangnya. "Lulusan Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude. IPK 3.8. Prestasi akademik nyaris sempurna."Keinan meletakkan kertas itu ke meja, lalu menatap tajam tepat ke manik mata Aisyah."Pertanyaan saya sederhana. Kenapa orang secerdas kamu melamar menjadi tukang pel di perusahaan saya? Apa kamu sedang merendahkan perusahaan saya, atau sedang merendahkan diri kamu sendiri?"Aisyah menelan ludah yang terasa pahit. Pertanyaan itu menohok harga dirinya, tapi dia tidak punya pilihan selain jujur. Kebohongan tidak akan memberinya makan."Saya tidak bermaksud merendahkan siapapun, Pak," jawab Aisyah pelan namun tegas. "Saya melamar karena saya butuh pekerjaan. Apapun itu. Ijazah dan nilai bagus di kertas itu tidak laku di tempat lain karena penampilan saya dan reputasi saya.""Reputasi?" pancing Keinan, pura-pura tidak tahu.Aisyah menunduk, menatap ujung sepatunya yang kusam."Saya baru saja dipecat dari bu

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 4

    Layar ponsel retak milik Aisyah menyala redup menampilkan sebuah poster digital yang dibagikan di grup Facebook pencari kerja. Mata Aisyah membelalak membaca tulisan berwarna merah mencolok di bagian bawah poster tersebut.WALK-IN INTERVIEW. Posisi, Office Girl & Cleaning Service. Penempatan, Wijaya Tower. Batas akhir. HARI INI pukul 14.00 WIB.Aisyah melirik jam dinding tua di kamarnya. Pukul satu siang. Dia hanya punya waktu satu jam untuk menembus kemacetan Jakarta dan menyerahkan nasibnya di sana."Bu, Aisyah berangkat dulu! Ada lowongan yang tutup hari ini!" teriak Aisyah sambil menyambar map cokelat yang selalu siaga di atas meja belajarnya, semenjak dia selesai dengan kuliahnya. Meskipun harus meninggalkan banyak syarat yang belum terpenuhi untuk menebus ijazah asli yang masih tertahan di universitas. Tak apa, setidaknya Aisyah lega bisa selesai dengan baik di tengah gempuran masalah hidup yang dia alami. Bu Nur muncul dari dapur dengan wajah cemas. "Lho, Nduk. Kamu belum maka

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 3

    Belum cukup sampai disitu kesialan yang dialaminya. Dengan langkah gontai Aisyah melangkah. Gadis itu berdiri di depan sebuah butik muslimah yang cukup besar di pusat perbelanjaan. Butik Annisa, tempatnya mengais rezeki selama setahun terakhir sebagai pramuniaga paruh waktu di sela-sela kuliahnya.Aisyah merapatkan cadarnya, menarik napas dalam untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Dia butuh uang. Sangat butuh. Ancaman Bryan tentang hutang lima ratus juta itu berdengung di telinganya sepanjang malam seperti lebah yang marah.Dia mendorong pintu kaca. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi kling, menyambut kedatangannya.Di balik meja kasir, Bu Rina, pemilik butik yang biasanya ramah, mendongak. Senyum yang biasa terulas di wajah wanita paruh baya itu lenyap seketika saat mengenali sosok berpakaian serba hitam yang masuk."Assalamualaikum, Bu Rina," sapa Aisyah pelan, suaranya terdengar ragu.Bu Rina tidak menjawab salam itu. Dia justru meletakkan majalah yang sedang dibacanya dengan kas

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 2

    Suara motor sport berhenti di halaman depan rumah, disusul ketukan pintu yang bersemangat. Aisyah yang sedang melipat mukena setelah sholat Ashar terlonjak kaget. Dia mengenali suara itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena rindu, melainkan karena ketakutan yang mendadak menyergap."Assalamualaikum! Aisyah! Bu Nur!"Itu suara Bryan.Aisyah meremas jemarinya yang dingin. Dia menatap pantulan dirinya di cermin lemari. Wajahnya masih pucat, dan ada bekas lebam samar di sudut bibir yang tertutup cadar. Dia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang dia punya. Cepat atau lambat, dia harus menghadapinya.Dengan langkah berat, Aisyah keluar kamar menuju ruang tamu. Di sana, Ibunya sudah membukakan pintu. Bryan masuk dengan senyum lebar, tangannya memanggul sebuah kardus besar berwarna cokelat yang terlihat berat."Waalaikumsalam, Nak Bryan. Tumben sore-sore mampir, nggak bilang dulu," sapa Bu Nur ramah, berusaha menutupi kegugupannya melihat kondisi putrinya

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 1

    Keinan berusaha membuka mata, namun kelopak itu terasa seberat beton. Tubuhnya seolah bukan miliknya lagi. Rasanya kaku dan mati rasa di beberapa bagian namun berdenyut nyeri luar biasa di bagian lain terutama di sekujur rusuk dan kepala bagian belakang.​Suara bip ritmis dari monitor di samping tempat tidur menjadi satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup. Keinan mengerang pelan. Tenggorokannya kering kerontang seperti padang pasir yang tak tersentuh hujan selama bertahun-tahun.​"Keinan? Sayang? Mama! Papa! Keinan sadar!"​Suara perempuan yang melengking panik itu menusuk telinganya. Itu suara Agnes, kekasihnya. ​Perlahan namun pasti pandangan Keinan mulai fokus. Cahaya putih lampu neon di langit-langit menyilaukan matanya sejenak sebelum wajah-wajah cemas itu mulai terbentuk jelas. Ada Mama yang sudah berurai air mata di sisi kiri sambil menggenggam tangannya erat sekali seolah takut dia akan pergi lagi. Ada Papa yang berdiri tegap di belakang Mama dengan wajah lelah dan mata m

  • Status Janda Untuk Istriku   Prolog

    Suara decit rem bus yang beradu dengan aspal panas menandai akhir perjalanan panjang itu. Terminal sore ini begitu sesak dan pengap. Debu beterbangan setiap kali roda-roda besar melindas jalanan yang berlubang, namun bagi Aisyah, kekacauan ini terasa melegakan. Akhirnya dia pulang. Empat puluh hari menjalani Kuliah Kerja Nyata di desa terpencil tanpa sinyal dan listrik yang memadai rasanya seperti satu dekade.Satu per satu teman kelompoknya turun dari bus. Wajah-wajah lelah itu seketika cerah begitu melihat jemputan masing-masing. Ada tawa renyah saat koper-koper besar berpindah tangan ke bagasi mobil orang tua atau pacar yang sudah menunggu.Aisyah hanya berdiri diam di pinggir trotoar sambil memeluk tas ranselnya yang lusuh. Dia merapatkan gamis panjangnya yang sedikit berdebu, lalu memperbaiki letak cadar hitam yang menutupi separuh wajahnya. Matanya yang teduh menatap nanar pada teman-temannya yang mulai melambaikan tangan perpisahan dari balik kaca mobil ber-AC.Hati kecilnya s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status