Share

Part 3

Author: ATM Berjalan
last update Last Updated: 2025-12-01 10:55:09

Belum cukup sampai disitu kesialan yang dialaminya. Dengan langkah gontai Aisyah melangkah. Gadis itu berdiri di depan sebuah butik muslimah yang cukup besar di pusat perbelanjaan. Butik Annisa, tempatnya mengais rezeki selama setahun terakhir sebagai pramuniaga paruh waktu di sela-sela kuliahnya.

Aisyah merapatkan cadarnya, menarik napas dalam untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Dia butuh uang. Sangat butuh. Ancaman Bryan tentang hutang lima ratus juta itu berdengung di telinganya sepanjang malam seperti lebah yang marah.

Dia mendorong pintu kaca. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi kling, menyambut kedatangannya.

Di balik meja kasir, Bu Rina, pemilik butik yang biasanya ramah, mendongak. Senyum yang biasa terulas di wajah wanita paruh baya itu lenyap seketika saat mengenali sosok berpakaian serba hitam yang masuk.

"Assalamualaikum, Bu Rina," sapa Aisyah pelan, suaranya terdengar ragu.

Bu Rina tidak menjawab salam itu. Dia justru meletakkan majalah yang sedang dibacanya dengan kasar ke atas meja, menimbulkan suara plak yang membuat Aisyah berjengit kaget.

"Masih berani kamu datang ke sini?" tanya Bu Rina ketus tanpa basa-basi.

Aisyah menunduk, mere mas ujung hijabnya. "Maafkan Aisyah, Bu. Aisyah menghilang dua minggu tanpa kabar. Aisyah sakit, Bu. Benar-benar tidak bisa bangun dari tempat tidur. HP Aisyah juga rusak saat kejadian ..."

"Kejadian?" potong Bu Rina cepat. Matanya menyipit penuh selidik. "Kejadian apa maksud kamu? Kejadian yang bikin heboh satu pasar itu? Yang katanya kamu pulang malam-malam diantar orang asing dengan baju yang entah kemana?"

Aisyah terkesiap. Gosip itu ternyata menyebar lebih cepat daripada api yang membakar ilalang kering. Bahkan sampai ke telinga bosnya.

"Itu musibah, Bu," elak Aisyah, berusaha menutupi aib yang sebenarnya.

"Musibah tapi, diperkosa, saya tidak peduli detailnya," ujar Bu Rina dingin sambil berjalan memutari meja kasir, mendekati Aisyah dengan tatapan menilai yang menyakitkan. "Yang jelas, kamu sudah absen dua minggu tanpa izin. Saya juga sudah beri izin kamu selama 40 hari karena KKN, kurang baik apa lagi saya kau ingatnkan, di kontrak kerja kita jelas tertulis, tiga hari tanpa kabar artinya mengundurkan diri."

"Tolong, Bu. Jangan pecat Aisyah," Aisyah memberanikan diri meraih tangan Bu Rina, memohon. "Aisyah butuh pekerjaan ini. Aisyah janji akan kerja lembur untuk ganti hari yang bolong. Aisyah mau bersih-bersih gudang, mau angkat barang, apa saja asal jangan diberhentikan."

Bu Rina menarik tangannya seolah jijik disentuh.

"Nggak bisa, Syah. Saya sudah cari pengganti kamu. Lagipula, saya nggak mau butik ini kena imbasnya. Pelanggan di sini ibu-ibu pengajian semua. Kalau mereka tahu pramuniaga saya punya reputasi buruk, bekas digilir preman pasar, bisa kabur semua langganan saya. Kamu mau usaha saya bangkrut?"

Dada Aisyah sesak bukan main. Hinaan itu lagi. Stigma itu lagi. Padahal dia korban, tapi kenapa dunia memperlakukannya seolah dia pelaku kriminal yang menjijikkan?

"Tapi Bu, Aisyah tidak kotor. Aisyah masih menjaga diri," bela Aisyah lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Simpan pembelaanmu. Mulut orang nggak bisa ditutup pakai alasan," Bu Rina kembali ke balik meja kasir, membuka laci, dan mengambil sebuah amplop tipis. Dia menyodorkannya ke arah Aisyah.

"Ini gaji kamu bulan lalu, dipotong denda absen dua minggu. Ambil dan jangan pernah injakkan kaki di sini lagi. Saya nggak mau lihat kamu."

Aisyah menatap amplop itu dengan tangan gemetar. Dia mengambilnya. Isinya mungkin tidak sampai lima ratus ribu perak. Sangat jauh dari angka lima ratus juta yang diminta Bryan. Tapi dia tidak punya pilihan. Harga dirinya sudah diinjak-injak di sini.

"Terima kasih, Bu. Semoga usaha Ibu berkah," ucap Aisyah tulus meski hatinya perih, lalu berbalik badan dan melangkah keluar.

Di luar butik, Aisyah bersandar pada tiang beton, membiarkan air matanya tumpah di balik cadar. Langit runtuh menimpanya bertubi-tubi. Tunangan pergi, hutang menumpuk, pekerjaan hilang, dan nama baik hancur. Ke mana lagi dia harus melangkah?

***

Sementara itu, di sebuah Executive Lounge di kawasan Senayan, suasana kontras terlihat jelas. Keinan duduk santai di sofa kulit, menyesap espresso dinginnya. Dia baru saja selesai meeting dengan klien penting pertamanya setelah cuti sakit sebulan.

Kepalanya masih sering pening jika terlalu lama berpikir, tapi dia memaksakan diri. Bekerja adalah satu-satunya cara mengalihkan pikiran dari rasa bersalah yang menghantuinya.

"Woy! Tumben banget lo nongkrong di sini siang bolong. Bukannya baru sembuh?"

Sebuah tepukan keras mendarat di bahu Keinan. Dia menoleh dan mendapati sepupunya, Bryan, berdiri dengan senyum lebar sambil memutar kunci mobil di jari telunjuknya. Bryan terlihat segar bugar, necis dengan kemeja branded yang harganya mungkin bisa memberi makan satu desa.

"Duduk, Yan. Gue lagi nunggu jam makan siang Agnes, dia syuting dekat sini," jawab Keinan santai, menggeser asbak rokok di meja.

Bryan menghempaskan tubuhnya di sofa seberang Keinan, langsung memesan minum pada pelayan yang lewat.

"Gimana kepala lo? Udah aman? Gila sih gue dengar cerita lo dikeroyok preman. Untung nggak lewat," seloroh Bryan tanpa beban.

Keinan tersenyum tipis, tangannya menyentuh bekas luka di balik rambutnya. "Aman. Masih dikasih hidup sama Tuhan. Mungkin ada dosa yang harus gue tebus dulu sebelum mati."

"Berat amat bahasa lo," Bryan tertawa renyah.

"Eh, ngomong-ngomong, lo kapan nyusul gue? Gue dengar Oma udah mulai neror lo buat nikah ya?"

Keinan teringat sesuatu. Dia menegakkan duduknya, menatap sepupunya itu dengan antusias.

"Nah, kebetulan lo bahas itu. Gue dengar lo mau nikah dua minggu lalu, kan? Sama siapa tuh, gadis sholeha yang selalu dibanggain? Kenapa nggak jadi?"

Raut wajah Bryan yang tadi ceria mendadak berubah masam. Senyumnya hilang seketika. Dia mendengus kasar, mengambil rokok dari saku dan menyalakannya dengan gerakan gusar.

"Nggak jadi," jawab Bryan singkat sambil menghembuskan asap rokok ke udara.

Alis Keinan bertaut. Jantungnya berdesir aneh mendengar nada bicara Bryan.

"Alasannya nggak jadi?"

"Batal. Gue batalin pernikahannya."

"Kenapa? Bukannya lo bucin banget sama dia? Lo sampai berantem sama Tante Siska buat pertahanin dia kan dulu?" tanya Keinan penasaran. Dia tahu betul perjuangan Bryan mendapatkan gadis alim itu.

Bryan tertawa sinis, menatap Keinan dengan pandangan meremehkan.

"Itu dulu, Kei. Sebelum gue tahu kalau barang yang mau gue beli ternyata udah cacat."

Tangan Keinan yang memegang cangkir kopi membeku. "Cacat? Maksud lo dia sakit?"

"Lebih parah dari sakit," Bryan memajukan tubuhnya, berbisik seolah sedang menceritakan aib besar. "Dia diperkosa, Kei. Dua minggu lalu, pas dia balik KKN, dia sok ide lewat jalan tikus. Katanya sih mau nolong orang yang lagi digebukin, sok jadi pahlawan kesiangan. Eh, malah dia yang digilir sama preman-preman itu."

PRANG!

Cangkir di tangan Keinan jatuh menghantam meja marmer, pecah berkeping-keping. Kopi hitam tumpah mengotori meja dan celana mahalnya. Pelayan dan beberapa tamu lain menoleh kaget.

"Woy! Santai dong, kaget gue!" seru Bryan sambil membersihkan cipratan kopi di lengannya. "Kenapa lo yang syok gitu?"

Keinan tidak peduli pada kopi panas yang membasahi pahanya. Telinganya berdengung hebat. Napasnya tercekat di tenggorokan.

Dia diperkosa karena menolong orang yang digebukin.

Itu dia. Dia yakin orang yang digebukin itu adalah dirinya. Keinan Wijaya. Astaga, bagaimana kalau itu benar, calon istri Bryan adalah gadis yang menyelamatkannya.

.

"Lo yakin dia diperkosa? Dia bilang begitu sama lo?" tanya Keinan dengan suara bergetar, wajahnya memucat drastis.

"Dia ngakunya sih tidak ingat, cumaseluruh pakaiannya di lucuti. Klasik lah, alasan cewek mur ahan buat jaga harga diri. Tapi gue nggak bodoh, Kei. Mana ada kucing nolak ikan asin? Preman tiga orang, cewek sendirian di gang gelap. Pasti udah abis lah."

Bryan menghisap rokoknya lagi dengan santai, tak menyadari badai yang sedang berkecamuk di mata sepupunya.

"Jadi... lo batalin nikahnya karena itu?"

"Ya iyalah! Gila apa gue nikah sama bekas preman? Gue jijik, Kei. Bayangin aja, badan yang bakal gue peluk nanti ternyata udah dijamah sama tangan-tangan kotor penuh daki. Ih, amit-amit."

Tangan Keinan mengepal di bawah meja, kukunya menancap hingga melukai telapak tangan. Rasa marah yang amat sangat bercampur dengan rasa bersalah yang mencekik membuatnya ingin menonjok wajah sepupunya sendiri saat ini juga.

"Terus dia gimana sekarang?" tanya Keinan pelan, menahan gejolak emosinya.

"Ya nangis-nangis bombay lah. Nyokap gue minta ganti rugi 500 juta buat biaya persiapan nikah yang udah hangus. Gue kasih waktu empat bulan,ini sudah jalan satu bulan jadi sekitar tiga bulan lagi. Kalau nggak bayar, gue sita rumahnya."

"Lo minta ganti rugi sama orang yang abis kena musibah?" Keinan menatap Bryan tak percaya.

"Bisnis is bisnis, Bro. Gue rugi bandar gara-gara dia nggak bisa jaga selang kangan. Wajar dong gue minta ganti? Lagian gue udah balikan sama Aluna. Dia lebih hot, lebih jelas, dan yang pasti ... dia bisa muasin gue tanpa drama sok suci. Awalnya gue mau ngejar dia gara-gara lupa bagaiamana enaknya pera wan. Taunya malah gini, mending balik sama Aluna yang jelas-jelas gue yang ambil dari dia."

Bryan tertawa lagi, tawa yang terdengar seperti suara iblis di telinga Keinan.

Keinan berdiri mendadak, membuat kursi di belakangnya terdorong kasar.

"Gue harus pergi," ucap Keinan dingin.

"Lho? Mau ke mana? Agnes belum datang. Lagian celana lo basah tuh," panggil Bryan bingung.

Keinan tidak menjawab. Dia berjalan cepat meninggalkan lounge itu dengan langkah lebar. Dia butuh udara. Dia butuh menjauh dari Bryan sebelum dia benar-benar membunuh sepupunya itu.

Sekarang semuanya jelas. Hancurnya hidup gadis bernama Aisyah itu bukan hanya karena trauma fisik, tapi karena ulah bajingan di sekitarnya. Keinan merogoh ponselnya sambil berjalan menuju parkiran. Dia menelepon asisten pribadinya.

"Cari tahu di mana Aisyah Humaira tinggal. Saya akan rekomendasikan satu tempat yang bisa kalian kacak!"

Gue bakal bayar hutang itu, Yan, kalau benar calon istri lu gadis yang nolongin gue,” gumam Keinan pada angin lalu. "Tapi bukan cuma pakai uang. Gue bakal jadikan dia janda terhormat agar hidupnya normal lagi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 5

    "Aisyah Humaira," gumam Keinan membaca nama yang tertera di sana tanpa menatap orangnya. "Lulusan Sarjana Ekonomi dengan predikat Cumlaude. IPK 3.8. Prestasi akademik nyaris sempurna."Keinan meletakkan kertas itu ke meja, lalu menatap tajam tepat ke manik mata Aisyah."Pertanyaan saya sederhana. Kenapa orang secerdas kamu melamar menjadi tukang pel di perusahaan saya? Apa kamu sedang merendahkan perusahaan saya, atau sedang merendahkan diri kamu sendiri?"Aisyah menelan ludah yang terasa pahit. Pertanyaan itu menohok harga dirinya, tapi dia tidak punya pilihan selain jujur. Kebohongan tidak akan memberinya makan."Saya tidak bermaksud merendahkan siapapun, Pak," jawab Aisyah pelan namun tegas. "Saya melamar karena saya butuh pekerjaan. Apapun itu. Ijazah dan nilai bagus di kertas itu tidak laku di tempat lain karena penampilan saya dan reputasi saya.""Reputasi?" pancing Keinan, pura-pura tidak tahu.Aisyah menunduk, menatap ujung sepatunya yang kusam."Saya baru saja dipecat dari bu

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 4

    Layar ponsel retak milik Aisyah menyala redup menampilkan sebuah poster digital yang dibagikan di grup Facebook pencari kerja. Mata Aisyah membelalak membaca tulisan berwarna merah mencolok di bagian bawah poster tersebut.WALK-IN INTERVIEW. Posisi, Office Girl & Cleaning Service. Penempatan, Wijaya Tower. Batas akhir. HARI INI pukul 14.00 WIB.Aisyah melirik jam dinding tua di kamarnya. Pukul satu siang. Dia hanya punya waktu satu jam untuk menembus kemacetan Jakarta dan menyerahkan nasibnya di sana."Bu, Aisyah berangkat dulu! Ada lowongan yang tutup hari ini!" teriak Aisyah sambil menyambar map cokelat yang selalu siaga di atas meja belajarnya, semenjak dia selesai dengan kuliahnya. Meskipun harus meninggalkan banyak syarat yang belum terpenuhi untuk menebus ijazah asli yang masih tertahan di universitas. Tak apa, setidaknya Aisyah lega bisa selesai dengan baik di tengah gempuran masalah hidup yang dia alami. Bu Nur muncul dari dapur dengan wajah cemas. "Lho, Nduk. Kamu belum maka

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 3

    Belum cukup sampai disitu kesialan yang dialaminya. Dengan langkah gontai Aisyah melangkah. Gadis itu berdiri di depan sebuah butik muslimah yang cukup besar di pusat perbelanjaan. Butik Annisa, tempatnya mengais rezeki selama setahun terakhir sebagai pramuniaga paruh waktu di sela-sela kuliahnya.Aisyah merapatkan cadarnya, menarik napas dalam untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Dia butuh uang. Sangat butuh. Ancaman Bryan tentang hutang lima ratus juta itu berdengung di telinganya sepanjang malam seperti lebah yang marah.Dia mendorong pintu kaca. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi kling, menyambut kedatangannya.Di balik meja kasir, Bu Rina, pemilik butik yang biasanya ramah, mendongak. Senyum yang biasa terulas di wajah wanita paruh baya itu lenyap seketika saat mengenali sosok berpakaian serba hitam yang masuk."Assalamualaikum, Bu Rina," sapa Aisyah pelan, suaranya terdengar ragu.Bu Rina tidak menjawab salam itu. Dia justru meletakkan majalah yang sedang dibacanya dengan kas

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 2

    Suara motor sport berhenti di halaman depan rumah, disusul ketukan pintu yang bersemangat. Aisyah yang sedang melipat mukena setelah sholat Ashar terlonjak kaget. Dia mengenali suara itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena rindu, melainkan karena ketakutan yang mendadak menyergap."Assalamualaikum! Aisyah! Bu Nur!"Itu suara Bryan.Aisyah meremas jemarinya yang dingin. Dia menatap pantulan dirinya di cermin lemari. Wajahnya masih pucat, dan ada bekas lebam samar di sudut bibir yang tertutup cadar. Dia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang dia punya. Cepat atau lambat, dia harus menghadapinya.Dengan langkah berat, Aisyah keluar kamar menuju ruang tamu. Di sana, Ibunya sudah membukakan pintu. Bryan masuk dengan senyum lebar, tangannya memanggul sebuah kardus besar berwarna cokelat yang terlihat berat."Waalaikumsalam, Nak Bryan. Tumben sore-sore mampir, nggak bilang dulu," sapa Bu Nur ramah, berusaha menutupi kegugupannya melihat kondisi putrinya

  • Status Janda Untuk Istriku   Part 1

    Keinan berusaha membuka mata, namun kelopak itu terasa seberat beton. Tubuhnya seolah bukan miliknya lagi. Rasanya kaku dan mati rasa di beberapa bagian namun berdenyut nyeri luar biasa di bagian lain terutama di sekujur rusuk dan kepala bagian belakang.​Suara bip ritmis dari monitor di samping tempat tidur menjadi satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup. Keinan mengerang pelan. Tenggorokannya kering kerontang seperti padang pasir yang tak tersentuh hujan selama bertahun-tahun.​"Keinan? Sayang? Mama! Papa! Keinan sadar!"​Suara perempuan yang melengking panik itu menusuk telinganya. Itu suara Agnes, kekasihnya. ​Perlahan namun pasti pandangan Keinan mulai fokus. Cahaya putih lampu neon di langit-langit menyilaukan matanya sejenak sebelum wajah-wajah cemas itu mulai terbentuk jelas. Ada Mama yang sudah berurai air mata di sisi kiri sambil menggenggam tangannya erat sekali seolah takut dia akan pergi lagi. Ada Papa yang berdiri tegap di belakang Mama dengan wajah lelah dan mata m

  • Status Janda Untuk Istriku   Prolog

    Suara decit rem bus yang beradu dengan aspal panas menandai akhir perjalanan panjang itu. Terminal sore ini begitu sesak dan pengap. Debu beterbangan setiap kali roda-roda besar melindas jalanan yang berlubang, namun bagi Aisyah, kekacauan ini terasa melegakan. Akhirnya dia pulang. Empat puluh hari menjalani Kuliah Kerja Nyata di desa terpencil tanpa sinyal dan listrik yang memadai rasanya seperti satu dekade.Satu per satu teman kelompoknya turun dari bus. Wajah-wajah lelah itu seketika cerah begitu melihat jemputan masing-masing. Ada tawa renyah saat koper-koper besar berpindah tangan ke bagasi mobil orang tua atau pacar yang sudah menunggu.Aisyah hanya berdiri diam di pinggir trotoar sambil memeluk tas ranselnya yang lusuh. Dia merapatkan gamis panjangnya yang sedikit berdebu, lalu memperbaiki letak cadar hitam yang menutupi separuh wajahnya. Matanya yang teduh menatap nanar pada teman-temannya yang mulai melambaikan tangan perpisahan dari balik kaca mobil ber-AC.Hati kecilnya s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status