Fix, Mas Gilang mengetahui rahasiaku. Semua mata memandang aneh ke arahku. Aku hanya ingin bersenang-senang. Tak lebih, kenapa ujungnya seperti ini? Hiks. "Apa maksud dari semua ini, Nia?" Mertuaku mulai meninggikan suaranya. "Sepertinya aku tahu arah pembicaraan Mas Gilang. Mbak Nia sepertinya selingkuh dengan lelaki yang kontak gawainya di beri nama Nagita. Ya, aku yakin seperti itu. Benar, 'kan?" tanya istrinya Ali pada Mas Gilang. "Tepat! ....""Nia! Benarkah apa yang Gilang tuduhkan," tanya Bapak garang. "Jawab, Nia!" Ibu mendorong pundakku kasar. "Nia tidak akan bisa menjawabnya. Dia pikir, Gilang bodoh nggak bisa mengendus bangkai yang dia simpan. Demi Allah, Gilang mencintai Nia tulus, tanpa embel apa-apa. Namun, Gilang tidak bisa mentoleril perbuatan Nia. Sadis." Tatapan Mas Gilang kosong. "Astaghfirullah, Nia. Kenapa kamu bisa seperti ini? Mas nggak menyangka kamu bisa serendah ini," ucap Mas Lukman berang. "Mbak Nia selamat atas prestasi yang Mbak capai. Geram, pikir
Mataku mengikuti arah kakinya. Melangkah menaiki tangga menuju kamar. Dia sama sekali tidak menaruh iba padaku. Kuakui ini adalah kesalahan dari pihakku. Namun, aku memastikan bahwa penyebabnya adalah dari lelaki itu. Dia yang tidak mampu menjadi suami yang sempurna untukku."Mbak Aisyah, tolong pesankan makanan yang banyak nanti malam. Ayam bakar, Daging sapi rica-rica, dua itu kesukaan calon suami Nia yang baru. Pokoknya yang mewah. Kita menunggu kedatangan tamu spesial." Aku terperanjat dengan ucapannya. Dia terlalu jauh mengetahui hubunganku. Langkahnya kembali dilanjutkan, hingga tubuhnya tak mampu terlihat oleh indera penglihatanku."Apaan ini? Apa dia mau membawa pulang istri barunya?" tanya Mbak Aisyah. Sayang, tidak ada yang mampu menjawab. Mereka saling pandang, menunggu dalam rasa penasaran yang menggunung. "Huh! Terpaksa menginap semalam lagi," dengkus Ali pada istrinya. "Ini gara-gara Mbak Nia! Kenapa, Mbak? Apa yang kurang dari Mas Gilang? tanya istrinya Ali. Wanita c
PART 11Kami semua sudah menunggu di meja makan. Sama seperti perintah Mas Gilang. Tak ada komunikasi antara aku dan keluarganya. Ibu mertua yang selama ini membelaku memilih diam dan duduk menjauh dariku. Ali sibuk bercanda dengan istrinya. Mbak Aisyah masih di dapur dengan suaminya. Sedangkan, Mas Lukman dan Mbak Tari fokus menatap layar gawai mereka. "Ini udah jam delapan, Gilang juga belum pulang. Kemana dia?" tanya Bapak. Matanya terus menatap ke arah depan. "Sabar, Pak. Gilang dalam perjalanan pulang," jawab Mbak Aisyah. "Setelah semuanya selesai, kemasi pakaianmu, ikut Bapak pulang ke kampung," lirih Bapak. "Aku nggak mau, Pak. Ini rumahku," sergahku cepat."Ingat, Nduk. Kamu sudah ditalak. Jangan permalukan Ibu lagi." Suara Ibu terdengar serak dan berat.Berusaha mengontrol otak untuk tetap tenang. Aku salah dalam hal ini. Mas Gilang juga lebih salah. Aku tidak mau hancur seorang diri." Mas Gilang datang!" seru Ali. Aku melempar pandangan ke arah Mas Gilang. Sialan, dia
Part 12Mas Gilang menjelaskan benda-benda yang dia letakkan di atas meja. Gawaiku yang dijambret ketika liburan bersamanya. Berhari-hari dilanda ketakutan akan isi di dalamnya disebarluaskan. Namun, bisa bernafas lega, tidak terjadi apa setelah itu. Huh! Kenapa gawai itu bisa di tangan Mas Gilang?"Lingerie yang Aldo beli untuk aku pakai saat bercinta dengannya. Aarrgh! Kenapa dia sampai tahu lingerie yang kusimpan rapat dalam lemari pribadiku. Testpack yang aku gunakan untuk tes urine bulan lalu. Kenapa juga bisa ada di tangannya?"Sekarang sudah jelas, 'kan? Nia mengkhianatiku dengan bawahanku. Harga diriku sudah hancur, reputasiku apa lagi. Seorang istri direktur yang kaya raya selingkuh dengan pegawai rendahan. Tak sangup lagi berkata, hidupku sudah hancur." Mas Gilang menarik rambutnya kasar. Ali segera memeluk Kakaknya. Ternyata dia terluka dengan kelakuanku. Sungguh, tak ada maksud hati berpisah dengannya. Aku hanya ingin menuntaskan hasrat yang 12 tahun tak terpenuhi dengan
Aarrrghhh! "Tidak, aku tidak ingin lagi berhubungan denganmu. Pulang bersama orang tuamu. Aku butuh waktu menenangkan pikiran," ujarnya dengan kilatan kemarahan di sorot matanya. "Pak, jangan pecat saya. Bagaimana dengan masa depan saya?" rengek Aldo di kaki Mas Gilang. "Terserah! Aku tidak ingin memiliki bawahan sampah sepertimu!" Aldo ditendang menjauh, hingga cekalan tangannya terlepas dari kaki lelaki yang pengampunannya masih kuharapkan. Suasana semakin menegangkan. Tubuhku basah oleh peluh yang bercucuran. Ali menyeret Aldo keluar. Teriakannya membuat bulu kudukku merinding. "Bapak dan Ibu tenang saja, meski Aku bukan lagi menantu kalian. Uang bulanan tetap seperti biasa, ya. Pak. Biaya kuliah Daffa dan Raka akan aku tranfer seperti biasa," ungkap Mas Gilang. Ya Allah! Aku menyia-nyiakan lelaki sebaik dia. Mas Gilang masih peduli dengan keluargaku. "Tidak perlu, Nak. Nia sudah menyakiti kamu. Malu Bapak, Nak," lirih Bapak. Disudut matanya mengantung bulir bening yang hend
Degh! Dia benar-benar membeku. Kuatur deru napas yang mulai memburu. Mendoktrin hati dan jiwa untuk tetap tenang. "Mas, aku tidak bermaksud melukai hatimu sekeji ini. Jujur, aku tak mampu melawan gejolak nafsuku yang jarang tersalurkan," ungkapku ragu. Kupilin ujung hijab untuk meredakan rasa nervous yang berlebihan.Hanya terdengar suara kekehan kesakitan dari Mas Gilang. Posisinya masih sama membelakangiku. Pandangannya dilempar jauh dalam pekat malam. Entah apa yang membuatnya betah. "Semua itu terjadi begitu saja. Andai aku bisa memutar waktu. Aku tidak pernah melakukan hal senista itu. Aku khilaf, Mas. Napsu membuatku khilaf," beberku tanpa ada yang kututupi. "Sungguh malang dirimu, Nia. Kau telah menjadikan hawa napsumu sebagai Tuhanmu, hingga kamu lupa apa yang Allah perintahkan dan larang dalam hidupmu," tuduhnya keji. "Itu semua tak lepas dari campur tanganmu, Mas. Kamu yang tidak mampu memberikan aku kepuasan ....""Nia tak cukupkah semalam terkadang sampai sepuluh kali
Hari-hariku sungguh berat bersamanya. Masalah ranjang, menjadi hal utama yang menyiksaku. Tubuh kekar itu masih berdiri mematung membelakangiku. Tangannya dimasukkan ke saku celana. Kepalanya sedikit terangkat ke atas. Apakah dia sedang menahan bulir air matanya?"Mas, tidakkah kamu peka dengan sikapku yang berubah dua tahun ini. Aku yang tak pernah meminta nafkah batin darimu. Aku berusaha sabar, tapi semakin kamu menjadi-jadi. Menyentuhku kapan saja yang kamu mau. Aku tak sanggup lagi, Mas. Tak sanggup! Kehadiran Aldo yang tanpa segaja membangkitkan naluri kewanitaanku. Andai kamu lebih peka, sedikit saja, Mas. Tentunya ini tidak terjadi," keluhku."Aku bosan dengan gaya bercintamu yang selalu monoton. Satu gaya bertahun-tahun. Alasan kamu gaya yang paling baik menurut ilmu yang kamu pelajari. Aku bosan," lirihku pilu. Napasku memburu. Menelan saliva berulang kali untuk menghilangkan rasa gugup."Lalu kamu merasa gaya yang kamu lakukan dengan Aldo sudah paling hebat. Tak ubah bak bi
Rintik hujan mulai menyentuh tubuhku. Saat ini, aku berbaring atas kursi kayu di roof top. Semua kamar yang bersih sudah terisi, ada beberapa kamar yang jarang ditempati di lantai dua. Aku lebih nyaman menikmati pekatnya malam seraya merenungi nasib yang tragis.Aku bukan lagi Nyonya Gilang Sentawibara. Tak ada lagi salam penghormatan,pujian, sanjungan atau hal lainnya dari banyak orang. Kebodohan membuat semua itu terlepas dariku.Hidupku dengan Mas Gilang aman dan damai. Hanya saja terasa datar dan monoton. Tidak ada improvisasi dan gaya. Ah! Macam mau menyanyi saja. Namun, itulah kenyataan. Mas Gilang cenderung pasif tanpa inovasi dalam membangkitkan gairah dalam berumah tangga. Bahkan, menambah kebosanan yang ada.Ini bukan sepenuhnya salahku, pembelaan satu sisi hati disaat yang satunya mengutuk perbuatanku. Merengkuh madu cinta yang bukan milikku. Apa daya, saat madu yang haram lebih menggoda dan menantang dari pada yang halal. Disaat itulah iblis datang membisikkan perbuatan ni