Ruang tamu rumahku terasa panas. Padahal AC dalam posisi menyala. Kulirik ke segala arah, kedua keluarga sudah berkumpul dalam satu ruangan. Tak ada pembicaraan. Hening. Sebelah kanan ada ibu kandungku dan sebelah kiri posisi ibu mertua. Ah! Masih pantaskah aku menyebutnya ibu mertua. Talak sudah putranya ucapkan. Aku sudah menjadi bekas madunya.
Di depanku sudah ada Bapak, Mas lukman, Mbak Tari, Mbak Aisyah dan juga suami. Tak ketinggalan Ali dan istri yang cantik dan baik budi. Mereka semua hidup bahagia tanpa masalah. Aku iri, kehidupan yang lengkap dan sempurna.
"Ali, tolong panggilkan Mas Gilang. Kenapa dia lama sekali. Kasian Bapak dan Ibu sudah jauh datang, bukannya istirahat malah harus ditahan di sini," ujar Ibu pada Ali. Tanpa membantah lelaki berhidung mancung itu melangkah menaiki tangga.
"Sebenarnya ini bagaimana ya, Bu. Dua hari yang lalu Nia bilang akunnya gilang di apaain itu namanya?"
"Dihack, Bu," jawab Mbak Aisyah.
"Iya, begitulah. Kenapa kemarin ada video pernikahannya?" tanya Bapak pada mertuaku.
Ibu mertua menghela napas berat. Bibirnya bergerak. Namun, tak ada suara yang keluar. Melihat hal itu, Mbak Aisyah langsung mengambil alih pembicaraan.
"Maaf sebelumnya, Pak. Kami juga tidak paham dengan prahara apa yang melanda rumah tangga mereka. Karena, ketika kami tanyakan pada Nia. Dia mengatakan semuanya baik-baik saja ...."
"Kalau sama Gilang?" sela ibu kandungku.
"Itulah yang mau kita dengar, Bu. Sejauh ini, adik saya itu belum bicara apa-apa," ungkap Mbak Aisyah.
Bapak terlihat tak tenang. Berulang kali membuka peci dan memakainya kembali. Lain hal dengan Mas Lukman yang fokus dengan gawai di tangan. Mbak Tari juga memilih diam.
"Benaran, kamu tidak berantem sebelumnya, nduk?" tanya Bapakku. Sorot matanya menampakkan kesedihan.
"Tidak, Pak. Kami jarang bertengkar. Hampir tak pernah, Pak," kilahku.
"Lha, kenapa tiba-tiba bisa kek gini, nduk?" tanya Bapak heran.
"Aku juga nggak tahu, Pak," balasku.
Kenapa Mas Gilang lama sekali. Huufh! Otakku tak mampu berpikir jernih. Diriku ibarat masuk labirin yang kecil dan gelap. Di setiap tikungan yang berbelok ada bermacam peristiwa menyakitkan. Ibu mengengam jemariku erat. Mertua tak kalah perhatian mengusap pundakku pelan. Pokoknya aku korban dalam ketidakadilan ini.
"Itu gilang!" seru Mbak Aisyah. Kami semua menoleh ke arah yang sama.
Ya Allah, lelaki itu semakin terlihat tampan. Ah! Meski ada beberapa lebam biru. Namun, aku masih tergila-gila dengannya. Bagaimana mungkin aku sanggup melepasnya begitu saja. Parasnya, hartanya, sungguh mengoda imanku.
Mas Gilang melangkah santai, mendekati Bapak. Diraih tangannya dan dicium takzim. Begitu pada ibuku dan ibunya. Namun, dia memasang wajah acuh saat netra kami beradu.
"Lho, wajah Gilang dan Lukman kok sama memarnya, kenapa?" tanya ibuku.
"Biasa, Pak. Kami baru siap latihan tinju," jawab Mas Gilang. Kami yang menyaksikan pertarungan sengit mereka, hanya mampu saling pandang.
Mas Gilang duduk di sofa di hadapanku. Posisinya dekat dengan Bapak dan Mas Lukman. Bapak kelihatannya masih ragu dengan ucapan mantan menantunya.
"Pak, Bu, Gilang sudah menceraikan Nia dengan talak tiga, dua hari yang lalu," ungkap Mas Gilang. Jemarinya dijalin satu sama lain. Walau dia terlihat tenang. Aku tahu, dia gelisah.
"Kenapa, Mas? Kenapa kamu mempermalukanku sekeji itu?" tanyaku pelan. Aku tidak ingin meninggikan suara. Harus terkesan anggun dan sopan di depan kedua belah keluarga.
"Benar, kenapa kamu melakukannya di media sosial? Seluruh dunia orang melihatnya. Ini perbuatan yang salah, Gilang. Seluruh keluarga kita malu dengan hal ini. Dampaknya sangat buruk. Ditambah dengan video pernikahan kemarin. Boomerang untuk diri kamu sendiri dan orang lain," Ibuku berusaha tenang dalam bicara. Meski, aku tahu hatinya hancur karena hal ini.
"Karena, Bagi Gilang itu hukuman yang pantas untuk Nia," jawabnya santai.
Tangan Mas Lukman bergerak. Namun, Mbak Tari segera memeluknya. Ali juga terlihat geram dengan jawaban Kakaknya.
"Apa yang aku lakukan, Sehingga kamu menghukumku seperti ini, Mas? Apa?" tanyaku tak sabar.
"Sabar, nduk. Pelan-pelan," bisik Ibu.
"Benar, Gilang. Apa yang putriku lakukan, hingga kamu menghukumnya serendah itu?" Nada bicara Bapak mulai berubah. Orang tua mana yang tak kecewa melihat putrinya ditalak dengan alasan tak jelas.
"Jawabannya ada pada Nia, Pak, Bu," jawab Mas Gilang seraya menunjuk ke arahku.
Mereka semua menatapku, sorot mata mereka seakan meminta penjelasan kepadaku.
"Mbak, ada apa sih? Dari tadi Mas Gilang selalu bilang permasalahan ada pada Mbak. Sebenarnya ada apa?" tanya Ali geram. Istrinya memberi kode untuk diam.
"Kenapa kalian saling lempar kesalahan seperti ini?" timpal ibu mertua.
"Aku yakin, dia tidak ingat akan kesalahannya. Entah lupa atau pura-pura lupa," sindir Mas Gilang. Pandangannya di lempar jauh ke depan. Entah apa yang menjadi objek penglihatannya.
"Ya Allah, kalian kenapa jadi begini? Dewasa sedikit. Katakan apa yang terjadi?" Mas Lukman tak sabar dengan teka-teki yang Mantan suamiku berikan.
"Katakan Gilang! Apa yang Nia lakukan. Bapak tidak suka bertele-tele seperti ini!" tegas Bapak. Dia mulai tak tenang. Beberapa kali merubah posisi duduk.
Air mata kembali lolos ke pipi. Apa yang harus kukatakan pada mereka semua. Aku meraung histeris membuat kedua wanita yang kucintai ikut menangis bersamaku.
"Pak, bukankah membuka aib seseorang itu tidak bagus. Dilarang dalam islam__"
"Ah! Kamu, Mas! Kebanyakan ilmu makanya gini. Terus kelakuan kamu mengumbar talak di media bukan aib?" tanya Ali berani.
"Kamu pikir, setelah talak itu kamu tulis di media sosial, pikiran orang akan positif pada keluarga kita?" serang Mbak Aisyah. Wajahnya terlihat memerah menahan amarah.
"Mas kecewa padamu," ucap Mas Lukman.
"Semua tenang, semua orang akan berubah pendapatnya ketika hal sebenarnya kita ungkap ke media. Namun, aku masih ragu. Karena itu aib orang lain," papar Mas Gilang.
Bapak bangkit, dia meraih kerah baju mantan menantunya. Anggota keluarga berusaha melerai. Bapak merasa dipermaikan oleh lelaki yang selama ini dia hormati dan sayangi.
"Nia, cepat katakan pada mereka tentang yang sebenarnya yang terjadi?!" Mas Gilang menatapku dingin. Tatapannya sedingin balok es di kutub utara.
"Apa yang harus aku katakan? Sekarang yang ada aku hamil dan kamu menalakku sepihak tanpa pemberitahuan." Aku bersikukuh tidak melakukan kesalahan.
"Baik, kalau kamu tidak mau menjawab. Aku rasa permasalahan kita selesai. Kamu sudah aku ceraikan dan aku tak perlu mengumbar kesalahanmu. Sekarang apa mau_mu?"
"Aku mau kita rujuk kembali," jawabku lantang.
"Tidak bisa. Talak tiga Nia __"
"Aku bisa menikah dengan orang lain, setelah itu akan kembali bersamamu__"
"Dengan siapa? Dengan orang yang bernama Nagita di kontak gawaimu???
Semua terdiam, mulutku bungkam. Kedua mataku mulai berkaca-kaca. Raut ketakutan bisa dibaca jelas di wajahku. Mertua menjauh, kenapa? Lalu, dengan suara parau dia berkata, "Siapa Nagita?""Siapa, Mbak? Hari itu Mbak bilang itu suaminya Nagita?" Istrinya Ali ikut bertanya."Benar, Ibu saksinya," sambung Ibu. "Perlu kalian tahu, Nagita itu sudah lama menjanda dan suaminya sudah meninggal," beber Mas Gilang. Ya Allah, satu rahasia sudah terungkap.Aku berdiri dengan tubuh gemetar. Hati yang hancur berkeping-keping dilanda ketakutan, tanpa sedikit kegembiraan di hati. Bagaimana caranya aku membela diri? Otakku berpikir keras. Namun buntu. "Kalian lihat, Nia tidak bisa menjawab karena dia salah. Salah besar!""Kamu yang salah, Mas!" sentakku emosi. Dia mempermainkan gejolak amarahku. "Aku yang salah, tolong jelaskan salahku di depan orangtuaku. Ayo!" tantangnya tanpa rasa takut. "Ngomong, sebelum darah tinggi Bapak Naik," desak Bapak.Kutarik napas dalam. Dia meminta perang, maka lebih
Fix, Mas Gilang mengetahui rahasiaku. Semua mata memandang aneh ke arahku. Aku hanya ingin bersenang-senang. Tak lebih, kenapa ujungnya seperti ini? Hiks. "Apa maksud dari semua ini, Nia?" Mertuaku mulai meninggikan suaranya. "Sepertinya aku tahu arah pembicaraan Mas Gilang. Mbak Nia sepertinya selingkuh dengan lelaki yang kontak gawainya di beri nama Nagita. Ya, aku yakin seperti itu. Benar, 'kan?" tanya istrinya Ali pada Mas Gilang. "Tepat! ....""Nia! Benarkah apa yang Gilang tuduhkan," tanya Bapak garang. "Jawab, Nia!" Ibu mendorong pundakku kasar. "Nia tidak akan bisa menjawabnya. Dia pikir, Gilang bodoh nggak bisa mengendus bangkai yang dia simpan. Demi Allah, Gilang mencintai Nia tulus, tanpa embel apa-apa. Namun, Gilang tidak bisa mentoleril perbuatan Nia. Sadis." Tatapan Mas Gilang kosong. "Astaghfirullah, Nia. Kenapa kamu bisa seperti ini? Mas nggak menyangka kamu bisa serendah ini," ucap Mas Lukman berang. "Mbak Nia selamat atas prestasi yang Mbak capai. Geram, pikir
Mataku mengikuti arah kakinya. Melangkah menaiki tangga menuju kamar. Dia sama sekali tidak menaruh iba padaku. Kuakui ini adalah kesalahan dari pihakku. Namun, aku memastikan bahwa penyebabnya adalah dari lelaki itu. Dia yang tidak mampu menjadi suami yang sempurna untukku."Mbak Aisyah, tolong pesankan makanan yang banyak nanti malam. Ayam bakar, Daging sapi rica-rica, dua itu kesukaan calon suami Nia yang baru. Pokoknya yang mewah. Kita menunggu kedatangan tamu spesial." Aku terperanjat dengan ucapannya. Dia terlalu jauh mengetahui hubunganku. Langkahnya kembali dilanjutkan, hingga tubuhnya tak mampu terlihat oleh indera penglihatanku."Apaan ini? Apa dia mau membawa pulang istri barunya?" tanya Mbak Aisyah. Sayang, tidak ada yang mampu menjawab. Mereka saling pandang, menunggu dalam rasa penasaran yang menggunung. "Huh! Terpaksa menginap semalam lagi," dengkus Ali pada istrinya. "Ini gara-gara Mbak Nia! Kenapa, Mbak? Apa yang kurang dari Mas Gilang? tanya istrinya Ali. Wanita c
PART 11Kami semua sudah menunggu di meja makan. Sama seperti perintah Mas Gilang. Tak ada komunikasi antara aku dan keluarganya. Ibu mertua yang selama ini membelaku memilih diam dan duduk menjauh dariku. Ali sibuk bercanda dengan istrinya. Mbak Aisyah masih di dapur dengan suaminya. Sedangkan, Mas Lukman dan Mbak Tari fokus menatap layar gawai mereka. "Ini udah jam delapan, Gilang juga belum pulang. Kemana dia?" tanya Bapak. Matanya terus menatap ke arah depan. "Sabar, Pak. Gilang dalam perjalanan pulang," jawab Mbak Aisyah. "Setelah semuanya selesai, kemasi pakaianmu, ikut Bapak pulang ke kampung," lirih Bapak. "Aku nggak mau, Pak. Ini rumahku," sergahku cepat."Ingat, Nduk. Kamu sudah ditalak. Jangan permalukan Ibu lagi." Suara Ibu terdengar serak dan berat.Berusaha mengontrol otak untuk tetap tenang. Aku salah dalam hal ini. Mas Gilang juga lebih salah. Aku tidak mau hancur seorang diri." Mas Gilang datang!" seru Ali. Aku melempar pandangan ke arah Mas Gilang. Sialan, dia
Part 12Mas Gilang menjelaskan benda-benda yang dia letakkan di atas meja. Gawaiku yang dijambret ketika liburan bersamanya. Berhari-hari dilanda ketakutan akan isi di dalamnya disebarluaskan. Namun, bisa bernafas lega, tidak terjadi apa setelah itu. Huh! Kenapa gawai itu bisa di tangan Mas Gilang?"Lingerie yang Aldo beli untuk aku pakai saat bercinta dengannya. Aarrgh! Kenapa dia sampai tahu lingerie yang kusimpan rapat dalam lemari pribadiku. Testpack yang aku gunakan untuk tes urine bulan lalu. Kenapa juga bisa ada di tangannya?"Sekarang sudah jelas, 'kan? Nia mengkhianatiku dengan bawahanku. Harga diriku sudah hancur, reputasiku apa lagi. Seorang istri direktur yang kaya raya selingkuh dengan pegawai rendahan. Tak sangup lagi berkata, hidupku sudah hancur." Mas Gilang menarik rambutnya kasar. Ali segera memeluk Kakaknya. Ternyata dia terluka dengan kelakuanku. Sungguh, tak ada maksud hati berpisah dengannya. Aku hanya ingin menuntaskan hasrat yang 12 tahun tak terpenuhi dengan
Aarrrghhh! "Tidak, aku tidak ingin lagi berhubungan denganmu. Pulang bersama orang tuamu. Aku butuh waktu menenangkan pikiran," ujarnya dengan kilatan kemarahan di sorot matanya. "Pak, jangan pecat saya. Bagaimana dengan masa depan saya?" rengek Aldo di kaki Mas Gilang. "Terserah! Aku tidak ingin memiliki bawahan sampah sepertimu!" Aldo ditendang menjauh, hingga cekalan tangannya terlepas dari kaki lelaki yang pengampunannya masih kuharapkan. Suasana semakin menegangkan. Tubuhku basah oleh peluh yang bercucuran. Ali menyeret Aldo keluar. Teriakannya membuat bulu kudukku merinding. "Bapak dan Ibu tenang saja, meski Aku bukan lagi menantu kalian. Uang bulanan tetap seperti biasa, ya. Pak. Biaya kuliah Daffa dan Raka akan aku tranfer seperti biasa," ungkap Mas Gilang. Ya Allah! Aku menyia-nyiakan lelaki sebaik dia. Mas Gilang masih peduli dengan keluargaku. "Tidak perlu, Nak. Nia sudah menyakiti kamu. Malu Bapak, Nak," lirih Bapak. Disudut matanya mengantung bulir bening yang hend
Degh! Dia benar-benar membeku. Kuatur deru napas yang mulai memburu. Mendoktrin hati dan jiwa untuk tetap tenang. "Mas, aku tidak bermaksud melukai hatimu sekeji ini. Jujur, aku tak mampu melawan gejolak nafsuku yang jarang tersalurkan," ungkapku ragu. Kupilin ujung hijab untuk meredakan rasa nervous yang berlebihan.Hanya terdengar suara kekehan kesakitan dari Mas Gilang. Posisinya masih sama membelakangiku. Pandangannya dilempar jauh dalam pekat malam. Entah apa yang membuatnya betah. "Semua itu terjadi begitu saja. Andai aku bisa memutar waktu. Aku tidak pernah melakukan hal senista itu. Aku khilaf, Mas. Napsu membuatku khilaf," beberku tanpa ada yang kututupi. "Sungguh malang dirimu, Nia. Kau telah menjadikan hawa napsumu sebagai Tuhanmu, hingga kamu lupa apa yang Allah perintahkan dan larang dalam hidupmu," tuduhnya keji. "Itu semua tak lepas dari campur tanganmu, Mas. Kamu yang tidak mampu memberikan aku kepuasan ....""Nia tak cukupkah semalam terkadang sampai sepuluh kali
Hari-hariku sungguh berat bersamanya. Masalah ranjang, menjadi hal utama yang menyiksaku. Tubuh kekar itu masih berdiri mematung membelakangiku. Tangannya dimasukkan ke saku celana. Kepalanya sedikit terangkat ke atas. Apakah dia sedang menahan bulir air matanya?"Mas, tidakkah kamu peka dengan sikapku yang berubah dua tahun ini. Aku yang tak pernah meminta nafkah batin darimu. Aku berusaha sabar, tapi semakin kamu menjadi-jadi. Menyentuhku kapan saja yang kamu mau. Aku tak sanggup lagi, Mas. Tak sanggup! Kehadiran Aldo yang tanpa segaja membangkitkan naluri kewanitaanku. Andai kamu lebih peka, sedikit saja, Mas. Tentunya ini tidak terjadi," keluhku."Aku bosan dengan gaya bercintamu yang selalu monoton. Satu gaya bertahun-tahun. Alasan kamu gaya yang paling baik menurut ilmu yang kamu pelajari. Aku bosan," lirihku pilu. Napasku memburu. Menelan saliva berulang kali untuk menghilangkan rasa gugup."Lalu kamu merasa gaya yang kamu lakukan dengan Aldo sudah paling hebat. Tak ubah bak bi