Share

Benar-benar ditalak

"Maafkan Ibu yang gagal mendidik Gilang menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Maafkan Ibu, Nia," rintih ibu. Jemarinya meraih jemariku dan menciumnya pelan. Aku mengeleng, tak pantas ibu mencium tanganku.

"Bu, biarkan saja Mas Gilang itu. Dia pasti akan nyesal nyia-nyiain Mbak Nia ..."

"Benar, Mas. Dia akan nangis darah saat tahu Mbak Nia hamil," sela istrinya Ali.

"Nia, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu hamil?" tanya Ibu dengan pandangan sayu.

Aku mengamati setiap wajah penghuni ruangan. Ada bahagia di balik duka yang tercipta. Mereka bahagia dengan kehamilanku. Hah! Mereka tahu, tapi sekarang tidak ada gunanya lagi.

"Hamil? Nia hamil, Bu?" tanyaku dengan memasang ekspresi bahagia. Tanganku mengelus perut yang masih rata.

"Kata dokter Raisa sepertinya Mbak Hamil. Ciri-cirinya seperti itu. Untuk mastiinnya aku udah beli testpack sama Mas Ali, nih!" Iparku yang baik hati memperlihatkan alat tes kehamilan di tangannya.

"Kamu sudah sanggup bangun, belum?" tanya ibu pelan.

Aku mengangguk pelan. Jujur kepala masih agak pusing. Namun, keinginan keluarga Mas Gilang harus dituruti. Aku tidak mau dianggap pembangkang. Ini saatnya meraih hati keluarganya. Meski talak sudah terucap, aku tak ingin keluar dari luang lingkup keluarga Sentawibara.

Aku ke kamar mandi dipapah oleh istrinya Ali. Dia sangat perhatian, lembut dan baik hati. Diberikannya tempat untuk menampung urine. Dia meninggalkanku di dalam. Ditarik gagang pintu pelan.

Kuhela napas berat, mematut diri di depan cermin. Penampilanku acak-acakan dengan wajah kusam. Bahkan, mata panda mulai kelihatan menganggu penampilan. Pipi tirus sama sekali tidak terpoles bedak. Hancur.

"Mbak udah?" tanya istrinya Ali. Sepertinya dia tidak sabar.

"Sebentar," jawabku pelan. Kepala masih terasa pusing.

Lima menit kemudian, aku keluar. Berjalan sambil memegang dinding. Langkah masih terasa berat. Mbak Aisyah buru-buru merangkul tubuhku.

"Urinenya mana, Mbak?" tanya iparku.

"Di dalam, Dek," jawabku lemas. Tenaga terkuras habis. Bukan karena bekerja. Namun, karena berpikir.

"Semoga positif ya, Mbak!" Nada suara adik iparku terdengar bahagia.

"Amiin," sahut ibu.

Hening. Jenak-jenak kebisuan tercipta. Larut dalam hayalan yang entah apa. Mau menangis juga percuma, tertawa pun tak punya alasan jelas. Nyeri kepala bagai dihantam palu raksasa. Detik waktu serasa lama berganti. Gumpalan-gumpalan luka semakin menumpuk di hati. Hingga tersisa sedikit ruang untuk merasa.

"Positif!" jerit istrinya Ali.

Ibu langsung memelukku. Ucapan selamat datang bertubi-tubi. Untuk apa, semua juga percuma.

"Nggak ada gunanya juga Nia hamil. Mas Gilang sudah menalak Nia," lirihku. Kuseka air mata dengan hijab. Awan gelap memayungi langitku. Tak ada lagi pelangi  mencairkan suasana hati yang beku. Semuanya serasa mati, saat kalimat talak itu terbaca. Apakah aku sudah benar-benar mencintainya?

***

"Bu! Ibu!" teriak Mas Gilang.

Aku segera beringsut dari ranjang mendengar suara Mas Gilang. Ibu melarangku turun. Namun tak kuindahkan. Segera berlari ke sumber suara.

Langkah terhenti melihat kehadirannya. Tangisku pecah, kukencangkan lari untuk memeluknya. Namun, hati cukup hancur bagai dilanda gempa. Ditepisnya tanganku, Mas Gilang menghindar dengan wajah tanpa ekspresi. Terlihat dingin dan kaku.

"Maaf, kamu bukan lagi mahramku."

Degh! Jatungku seakan lepas dari tempatnya.

"Mas, katakan bahwa itu bukan kamu!" jeritku. Aku tersungkur ke lantai. Kucekal kedua tungkainya. Tak kubiarkan dia pergi sebelum ada penjelasan atas teka-teki ini.

"Iya, itu aku! Aku, Nia. Gilang Sentawibara," jawabnya lantang. Aku mendonggak kepala untuk melihat wajahnya. Duniaku runtuh dalam seketika.

"Gilang! Lancang kamu, Nak!" sentak ibu. 12 tahun berumah tangga dengan Mas Gilang. Aku tak pernah menyaksikan Ibu membentak Mas Gilang.

"I--ibu, kenapa Ali bilang Ibu sudah meninggal?" tanya Mantan suamiku. Nada bicaranya terdengar bingung. Ibu melangkah semakin mendekat.

Plaak!

"Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi lelaki pecund**ng seperti ini. Kenapa kamu coreng arang di wajah Ibu, Gilang? Salah Ibu apa?" tanya wanita senja itu pilu. Dia membungkung dan memintaku untuk bangun.

Mas Gilang bungkam. Dia tidak bicara. Matanya menatap lurus ke depan. Kaca-kaca mulai terbentuk dalam bola matanya. Aku tahu, Mas Gilang tak cukup kuat menjadi seorang pegkhianat.

"Mas, otakmu sudah mereng, ya? Gara-gara kamu relasi bisnisku membatalkan beberapa kerja sama. Pengen aku belah tu batok kepalamu, lalu aku cuci pake rinso," ketus Ali yang tiba-tiba masuk.

"Iya, Mas. Kenapa harus gini? Kalau pun Mas punya masalah sama Mbak Nia, di selesain baik-baik bukan seperti anak kecil," sambung istrinya Ali.

Mas Gilang bergeming. Tetap pada posisinya. Mbak Aisyah masuk langsung mendorong tubuh lelaki yang selalu kupuja. Pertahanannya tak seberapa, tubuhnya tersungkur ke belakang.

"Apa yang membuatmu bisa segila ini? Benar kamu yang membuat status memalukan itu?!" tanya Mbak Aisyah. Nada bicaranya meninggi. Telunjuknya menunjuk kasar ke arah Mas Gilang.

"Iya, aku yang membuatnya dengan kesadaran penuh," jawab Mas Gilang tak gentar. Nyaliku benar-benar menciut.

Bugh! Bugh!

Mas Lukman datang langsung meninju wajah Mas Gilang. Ibu memekik histeris. Tak kuasa melihat kedua anaknya bersiteru. Mbak Tari langsung menarik tubuh suaminya.

"Selesaikan semua dengan kepala dingin, Mas," desah Mbak Tari.

"Gimana kepala dingin. Anak ini perlu dihajar, Ma. Bikin malu keluarga. Orang udah dewasa. Namun, otak entah dimana," gerutu Mas Lukman.

Mas Gilang bangkit, menyeka darah segar yang mengalir di sudut bibirnya. Lalu berkata,"aku nggak suka ditipu seperti ini. Kalian merusak bulan maduku."

Mata kami membulat sempurna, menatap ke arah lelaki pendiam yang tiba-tiba menjadi bar-bar. Mas Lukman berniat memukul adiknya lagi. Namun, Mbak Tari dengan sigap menahannya.

"Kami semua juga tidak suka dengan caramu yang tak beretika. Menalak istri lewat F*. Mau sok hebat kamu. Untuk apa salat setiap hari, kalau pikiran kamu pendek kek gini,' sindir Mas Lukman geram.

"Terserah aku, Mas. Ini rumah tanggaku. Kenapa kalian yang sibuk?"

Mbak Tari tak mampu menghalangi tubuh kekar Mas Lukman. Tubuh Kakak iparku seketika menindih tubuh Mas Gilang. Suara riuh untuk melerai semakin membuat situasi kacau. Ali berusaha melerai. Namun Mas Gilang dan kakaknya terlanjur tersulut emosi.

"Berhenti!" jerit Ibu histeris. Aku segera menenangkannya. Takutnya darah tinggi Ibu bisa naik.

"Aku belum puas, Bu. Anak ini perlu diberi pelajaran," jawab Mas Lukman. Napasnya terengah-engah. Istrinya Ali hanya mampu menutup mata. Sedangkan Mbak Aisyah berusaha menarik Mas Gilang.

"Bun**h saja Ibu, biar Ibu tidak lagi menyaksikan hal busuk seperti ini!" Suaranya parau. Berteriak sambil memukul-mukul dada.

Pertikaian keduanya terhenti. Mereka menghambur memeluk kaki wanita yang melahirkan mereka. Kedua lelaki itu memohon ampun pada Ibunya. Napas Ibu terengah-engah. Ucapan maaf bertubi-tubi diucapkan pada sang pemilik surga.

Ibu meminta Mbak Tari membawa Mas Lukman ke kamar. Luka memar di wajahnya harus segera diobati. Tinggal lah lelaki kesayanganku yang bersimpuh di kaki Ibu.

"Bu, Ibu percaya sama Gilang. Sungguh yang Gilang lakukan adalah yang terbaik untuk keluarga kita. Percaya sama Gilang," ujar Mas Gilang dengan derai air mata.

Hah! Apa maksudnya ini? Menceraikanku adalah yang terbaik untuk keluarganya? Jadi selama ini aku dianggap apa olehnya? 

"Berikan Ibu alasan yang jelas untuk semua ini. Ibu malu ... ibu malu, Nak," lirih Ibu. Ekpresi wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam.

"Bu, hubungi keluarga Nia. Biar Gilang jelasin sekalian," pinta Mas Gilang.

"Dalam perjalanan, Mas," jawab istrinya Ali.

"Mas, aku nggak mau cerai!" jeritku tepat di depan wajahnya.

"Mau nggak mau, aku sudah menalakmu. Talak tiga, kita tidak bisa bersamaku lagi," jawabnya tanpa menatapku.

"Tidak bisa, Mas. Tidak bisa. Aku tidak terima kamu mempermalukanku seperti ini. Salah aku apa?" tanyaku tanpa rasa malu. Merasa sempurna dengan seribu kesalahan yang aku tutupi.

Lelaki di hadapanku menyungingkan senyum sarkas. Dia terlihat meremehkanku.

"Kenapa harus Nagita, Mas? Kenapa harus janda itu?!" Aku kelepasan bicara. Semua keluarga Mas Gilang menatapku aneh.

Mas gilang abai dengan pertanyaanku. Dia memilih pamit untuk mandi. Dia akan bicara sampai menunggu keluargaku.

"Mas aku hamil!" jeritku. Berharap dia akan luluh kepadaku.

Dia hanya terkekeh sarkas. Melanjutkan langkah kakinya menginjak tangga. Aku berlari, mencekal pergelangan tangannya kuat.

"Katakan pada alasannya, Mas? Apa?"

"Gilang, Nia benaran hamil, Nak. Bagaimana ini?" tanya Ibu panik. Mas Gilang menatap Ibunya sendu dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

"Mas! Harusnya kamu senang, Mas. 12 tahun menunggu dan sekarang Mbak Nia hamil," ujar Ali. Dia melangkah mendekat ke arah kami.

"Nanti kita bicarakan caranya, ya. Gerah , Mas mau mandi," jawab Mas Gilang santai. Dia menepuk pelan pundak Ali.

"Dan untuk kamu, siapkan jawaban atas setiap pertanyaanku!" sentak Mas Gilang.

Ucapan Mas Gilang membuat seluruh keluarganya menatapku. Tatapan penasaran, seakan meminta penjelasan. Sampai tak kuasa menatap mata Ibu. Aku memilih menunduk. Apakah hari ini, hari kehancuranku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status