Share

Nia Hamil

Bab 5

Mata terus fokus melihat rentetan kejadian yang tak pernah terbayang dalam mimpi sekalipun.

"Ya Allah, ibu lihat perhiasan yang jadi mas kawin. Itu ... bukannya perhiasaan yang ibu berikan sebagai hadiah pernikahan Mas Gilang dan Mbak Nia," pekik istrinya Ali.

Aku bergegas menuju kamar, berlari menaiki tangga dengan sangat cepat. Tujuanku melihat kotak perhiasanku di brankas. Semua keluarga Mas Gilang mengikutiku.

"Bu, Mas Gilang tega, Bu," aku menjerit histeris. Tubuhku lunglai ke lantai granit yang dingin. Semua perhiasan di brankas ludes. Yang tersisa hanya perhiasan yang diberikan untuk mas kawin.

"Suruh Gilang pulang hari ini juga, cepat," titah ibu dengan suara parau.

"Kita hubungi dia di mana?" tanya Ali bingung.

"Mas, kita bisa inbox atau koment di live  Mas Gilang. Mas komen, ya," desak istrinya.

"Yeah! Livenya berhenti, bu," lirih Ali dengan nada putus asa.

"Bu, semua perhiasan Nia dibawa sama Mas Gilang. Dia jahat!" Aku menangis tersedu. Bagaimana ini sudah di talak, suami menikah lagi dan sekarang satu pun harta tidak tersisa. Apakah kamu sengaja, Mas?

Ali mendengkus kesal. Dia menceracau tak jelas. Tentunya mengumpat kelakuan kakanya memalukan.

"Bilang sama Gilang ibu sudah mati!" jerit Ibu. Dia tersungkur di sampingku.

Suara derap langkah orang berlari mendekat ke arah kami. Rupanya Mas Lukman dan Mbak Tari.

Mas Lukman dengan sigap membopong tubuh ibu ke atas ranjang.

"Tak ada ampun lagi bagi Gilang. Ini keterlaluan. Mencoreng muka keluarga kita. Kemana otaknya?" Mas Lukman terlihat murka.

"Hubungi dia segera. Katakan padanya ibu sudah mati," desak ibu.

"Bu, tidak baik berkata yang tidak-tidak.  Setiap perkataan adalah doa." Mas Lukman mengingatkan. Dia mengeleng tak setuju.

"Lukman. Kita tidak bisa menunggu delapan hari lagi. Itu terlalu lama. Kirimkan pesan kepadanya segera. Ibu mau lihat, apakah anak yang ibu besarkan dengan susah payah masih punya hati atau tidak!" tegas ibu dengan  helaan napas berat.

"Mas, Ibu ada benarnya. Kita tidak bisa menunggu kepulangan Mas Gilang. Itu terlalu lama. Kita bisa stres di sini." Ali setuju dengan rencana ibu.

Setelah berembuk, semuanya sepakat. Ali mengirimkan pesan untuk Mas Gilang berisi kalimat tentang kematian ibu. Aku juga tak sabar mempertanyakan hal yang melintas di otakku.

"Hubungi orang tua kamu, Nia. Kita akan selesaikan ini segera," lirih ibu.

Aku hanya mengangguk pelan. Sakit hatiku bagai ditusuk jutaan pedang dalam sekali tusukan.

"Mbak Nia, lihat status terbaru Mas Gilang!" Ali menyodorkan gawainya ke arahku.

[Kepercayaan itu sesuatu yang tak terlihat, tapi berharga. Akan ada masa yang disi-siakan berhenti mencintai dan menyia-nyiakan baru mulai baru mencinta. Tak ada pasangan yang sempurna. Namun, kesempurnaan itu dimana kita bisa menerima kekurangan dan kelebihan pasangan kita.]

Ya Allah! Apa Mas Gilang tahu rahasia yang telah aku tutup rapat?

Gawai ibu terus berdering. Ini baru satu jam berlalu dari peristiwa memalukan itu. Nomor asing yang tak tertera di kontak.

"Biar Lukman yang angkat." Mas Lukman meraih gawai Ibu di lantai.

"Pecundang, pulang segera! Bikin malu saja," gerutu Mas Lukman. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Aku yakin itu Mas Gilang.

"Untuk apa peduli sama ibu. Nggak perlu bicara panjang lebar. Pulang segera! Kami tunggu kepulanganmu di rumahmu, " ujar Mas Lukman. Tangannya terkepal menahan amarah.

"Mas, aku ingin bicara," ujarku seraya merampas gawai di telinga Mas Lukman.

"Halo, halo Mas ...."

Tuts! Tuts! Tuts!

Sialan, sambungan teleponnya dimatikan. Kenapa dia bisa berubah seaneh ini?

"Dimatikan," ucapku lesu.

"Sabar, Nia. Gilang akan pulang. Kita tunggu saja," ujar Mas Gilang datar.

Mas Lukman memapah ibu keluar dari kamarku. Tak ada pembicaraan apa-apa lagi. Semua larut dalam pikiran masing-masing. Tidak sabar menunggu kepulangan Mas Gilang.

Aku duduk termenung di balkon kamar,  terik matahari membakar kulit. Jarum jam di dinding kamar berada di angka tiga. Kupandangi pepohonan yang di tiup angin. Apakah ini cara Mas Gilang membalas perbuatanku? Apa mungkin dia mengetahui semuanya? Tidak mungkin! Dia terlalu percaya padaku. Setiap yang aku lakukan selalu rapi tanpa cela. Tidak mungkin dia mengetahui itu. Pikiran berkecamuk dalam dada. Menghadirkan getar yang tak biasa.

Kling!

Kling!

Segera kusambar gawai di sampingku berharap itu kabar dari Mas Gilang. Namun, harapanku patah. Chat dari kontak bernama Nagita.

[Suamimu kenapa, Dek?]

[Apa dia tahu sesuatu tentang kita?]

Aaarrrggh! Kenapa harus pertanyaan lain di saat kepalaku penuh dengan tanda tanya.

[Jangan hubungi aku lagi!]

Aku segera memblokir kontak yang bernama Nagita. Fokus pada masalahku. Aku hanya ingin bersenang-senang. Kenapa ujungnya seperti ini? Kutarik jilbabku kasar. Kubuang ke sebarang tempat. Membiarkan angin memainkan mayang hitamku.

Kuhirup oksigen dalam lalu melepasnya pelan. Aku tak sanggup menjalani hidup tanpa Mas Gilang. Kembali hidup seperti dulu, tidak berkelas dan mewah. Tak ada barang branded. Tidak! Aku tidak sanggup!

Aku sering meringkuk di ranjang sendirian. Melepas tangis pada bantal yang tak bisa berbuat apa-apa. Menceritakan lara pada bintang-bintang malam. Mencoba menjadi istri solehah, agar tak sia-sia ilmu agama yang aku pelajari.

Aku dan Mas Gilang sama-sama memiliki kekurangan dalam berumah tangga. Tidak ada yang sempurna, benar, di dunia ini tidak ada yang sempurna. Aku mencintai Mas Gilang dengan segala kekurangan dan kelebihan. Namun, tatkala kita merasa terabai, akankah cinta itu senantiasa bertahta? Aku ragu dengan cintaku padanya. Tulus atau hanya modus menikmati kekayaannya yang melimpah ruah.

Terkadang, aku tidak tidur sampai larut malam. Hanya untuk menunggu suamiku pulang. Tak jarang aku sampai terlelap di sofa. Entah apa kesibukannya sampai dia harus pulang larut malam. Padahal dia pemilik perusahaan. Sering kupertanyakan, banyak kerjaan menjadi alasan.

Awalnya aku bisa sabar dengan sikap Mas Gilang. Pendiam dan tidak banyak bicara. Romantis di lima tahun pernikahan. Namun, semakin ke depan semuanya memudar dengan kesibukan masing-masing. Apa itu karena masalah anak?

Tidak, jawabannya kala itu. Ah! Bukan sekali, ratusan kali jawabannya seperti itu. Aku mencintaimu karena Allah, kalimat yang selalu didengungkan di telinga. Hidupnya menonton, berbeda denganku yang menyukai perubahan.

Sering berpikir, haruskah ikatan ini aku akhiri? Namun, aku terlalu bergantung padanya. Semua keperluanku ditanggung olehnya. Dia terlalu agamis, banyak batasan yang tak boleh dilakukan. Tentunya aku mudah bosan.

Semua kekecewaanku kukubur dalam. Pikiranku sering tak sejalan dengannya. Namun, mencoba mengulas dalam senyum seakan tidak terjadi apa-apa. Memang Mas Gilang tidak KDRT. Namun, hati seiring teriris dengan kelakuannya. Uh! Aku tak tahu, apakah ini murni kesalahannya? Atau memang permasalahan ini semua berawal dariku.

***

"Astaghfirullah!" pekik Mbak Aisyah.

"Ada apa, Mbak?" tanya Ali.

"Ada kawan Mbak bagiin berita si Gilang. Yang kita takutkan terjadi," gumam Mbak Aisyah lemas.

"Seorang pengusaha ternama menalak istrinya melalui aplikasi F*," baca Ali.

Aku tak mampu berbicara lagi. Lidah kelu. Kehabisan kata-kata dengan hal ini. Orang tuaku dalam perjalanan menuju ke sini. Saat ini lebih memilih meringkuk di atas sofa.

"Ini lagi, Mbak, di youtube juga ada. Wow, model talak zaman now," ucap Ali. Matanya fokus menatap layar gawainya.

"Ih! Mbak baca komennya!" Istri Ali menyodorkan gawainya ke depan mataku.

[Padahal pengusaha, tapi attitudenya kok begini?]

[Talak zaman Now.]

[Gilaa! Pengusaha kaya kok gila? Siniin bini lu untuk gue.] Di ikutin emoticon ketawa.

[Hal sakral jadi konsumsi publik. Imannya mana, Pak?]

[Nggak ada iman!]

[Salah istrimu apa, Pak? Kok mainnya sadis begini?]

[Ya Allah, nggak malu tuh, Pak. Masalahnya diumbar gitu?]

[Suami pencundang, bilang saja mau cari daun muda. Nggak punya hati!]

[Dunia mau kiamat. Ada aja kelakuan manusia.]

[Selamat bro! Lu jadi pecetus pertama dari Indonesia menalak istri lewat F*.]

Aku tak kuat membaca ribuan komentar penguna media sosial. Kutepis tangan istrinya Ali untuk mengeser gawai di hadapanku. Kusandarkan tubuh ke sofa.

"Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa dilakukan lagi," tutup Mbak Aisyah.

"Yo, tinggal tambahin suwiran daging ayam biar enak dimakan," canda Ali. Alhasil tangan Mbak Aisyah menghantam kepalanya.

"Huush! Mas, jaga bicaramu," desis istrinya.

"Abisnya, kalau serius terus meletus kepalaku, Mbak. Kelakuan Mas Gilang mempengaruhi ruang gerakku," keluh Ali. Dia menyugar rambutnya frustasi.

"Sabar, beberapa jam lagi Gilang harusnya sudah sampai. Kita hajar sampai mampus," ketus Mbak Aisyah.

"Setuju," jawab Ali Garang.

Ibu menutup telinga, dia tak sanggup lagi mendengar berita buruk tentang putranya. Memilih menyandarkan kepala ke pinggir sofa. Menyedihkan. Terkukung dalam rasa penasaran.

Air mata kembali lolos dari pelupuk mata. Kalimat talak itu terekam jelas dalam ingatanku. Tiba-tiba saja, mual bergejolak hebat. Sampai isi perut tumpah saat langkah belum mencapai kamar mandi. Seluruh keluarga panik dengan dengan kondisiku. Denyar-denyar kepala sungguh menyiksa.

Ibu membalurkan minyak putih di tekuk. Mbak Aisyah sibuk mengambilkan air. Beberapa menit berada di kamar mandi. Sampai seluruh isi perut keluar tanpa sisa. Mata mulai berkunang.

"Ini gara-gara Mbak nggak makan dari kemarin," protes istrinya Ali.

"Bener, Dek. Siapkan makanan, ya," pinta Mbak Aisyah.

"Sekalian pangilkan Dokter Raisa!" teriak Mbak Aisyah.

"Nggak perlu, aku nggak perlu dokter, Mbak. Aku perlu Mas Gilang," lirihku dengan derai air mata. Pipiku mulai terasa panas. Sekujur tubuh dibasahi peluh.

"Kamu sakit, Nia. Jangan membantah," ujar Mbak Aisyah.

Aku bangkit hendak kembali ke ruang tamu. Namun, tubuhku sempoyongan. Ibu membantu memapahku berjalan menuju sofa. Sayangnya beberapa langkah lagi mencapai tujuan. Tungkaiku lemas tak berfungsi. Pandangan semakin kabur hitam. Aku seperti masuk dalam gulungan benang tanpa simpul. Gelap. Hanya terdengar sayup suara keluarga Mas Gilang memanggil namaku.

***

"Mas Gilang!" pekikku histeris. Aku terbangun dengan peluh di mengalir di dahi. Mendapati diri berada di kamar bawah.

"Sabar, Nak. Gilang masih dalam perjalanan," desah ibu pelan. Dia membelai pucuk kepalaku pelan.

"Mas Gilang, Bu. Bilang sama Mas Gilang jangan ceraikan Nia, Bu," renggekku. Meski aku tahu semua itu tak bisa ditarik kembali.

Ibu hanya mengusap pundakku pelan. Dia kembali terisak, luka hatinya sangat dalam. Sungguh tak kuasa menantap wajah sang pemilik surga.

Aku tidak mendapati ipar-iparku. Kemana mereka?

"Maafkan Ibu yang gagal mendidik Gilang menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Maafkan Ibu, Nia," rintih ibu. Jemarinya meraih jemariku dan menciumnya pelan. Aku mengeleng, tak pantas ibu mencium tanganku.

"Bu, biarkan saja Mas Gilang itu. Dia pasti akan nyesal nyia-nyiain Mbak Nia ..."

"Benar, Mas. Dia akan nangis darah saat tahu Mbak Nia hamil," sela istrinya Ali.

"Nia, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu hamil?" tanya Ibu

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status