Bab 3
"Nia! Dengerin kata Mbak. Tenang, kita di sini mencari solusi untuk masalah ini. Tolong jangan seperti anak-anak. Mbak tahu ini menyakitkan. Namun, sabar, Nia." Mbak Aisyah dan Tari merangkulku erat. Membisikkan kata-kata semangat untukku.
"Nia ngg---nggak mau pisah dengan Mas Gilang. Nia nggak mau, Mbak," lirihku.
"Kalau pun ini perbuatan Mas Gilang ... Ali rasa ada hal yang membuat dia kecewa," timpal Ali yang sedari tadi diam.
"Mbak yakin masalah anak," sahutku.
"Tidak, Mas tidak sependapat dengan kalian. Gilang pada prinsipnya bukan lelaki pencundang ...."
"Mas Lukman! Percaya atau tidak prinsip Mas Gilang tidak seperti dulu lagi, kalau ditinjau dari perbuatannya hari ini," sela Ali. Dia membantah pernyataan kakaknya.
"Mbak Nia! Aku tanya sekali lagi sama Mbak Nia. Jawab yang jujur, ya? Mbak Nia ada lakuin apa?" Pertanyaan Ali membuat mataku membulat. Seakan dia menyudutkanku.
Kuarahkan pandangan ke tempat duduk Ali. Tatapannya membuat jantungku berpacu lebih cepat. Malas untuk menjawab. Arrgh! Ini salah kakaknya, bukan salahku.
"Mbak sudah bilang, nggak ada pertengkaran di antara kami," ucapku datar.
Mereka terus berspekulasi dengan pikiran mereka. Ya Allah, jika benar itu Mas Gilang. Aku akan menyandang predikat janda. Bagaimana hidupku ke dapan? Siapa yang membiayai kebutuhan keluargaku? Uang sekolah adik-adikku?
Ayah dan Ibu hanya pensiunan PNS yang gajinya hanya cukup untuk makan. Biaya hidup di zaman ini sangatlah tinggi. Bagaimana aku mencukupi itu semua?
Dddrrt!
Drrrt!
Pikiranku buyar karena suara handphone Mbak Aisyah. Wanita bergamis hitam itu bangkit. Kaki jenjangnya melangkah ke arah meja, tas mewahnya terletak di sana.
"Waa'laikumssalam."
"Apa? Turki?" Teriakan Mbak Aisyah membuat kami berbarengan melihat ke arahnya.
"Kamu yakin?" tanyanya memastikan. Mbak Aisyah menatapku gusar. Sedetik kemudian, membuang pandangan ke arah dapur.
"Bisa kirimkan saya rekaman CCTVnya?"
"Saya tunggu, Assalamua'laikum," tutup Mbak Aisyah.
"Ummi? Siapa?" tanya suami Mbak Aisyah.
"Rekan kerja, Ummi," jawabnya lesu.
Aku menatapnya heran. Ekspresinya langsung berubah saat si penelepon mengatakan sesuatu tentang Turki.
"Dia ngomong apa, Sya? Kenapa wajah kamu ketakutan begitu?" tanya Mas Lukman.
"Gilang berangkat ke Turki tadi pagi jam sepuluh ...."
"Turki?" tanyaku memastikan.
"Gilang ke Turki? Ibu ikut bertanya. Raut wajahnya shock dengan penuturan Mbak Aisyah.
"Benaran, Mi?"
Aku menjerit semakin keras. Air mata tumpah ruah bak banjir bandang. Mumpung ada keluarga Mas Gilang. Aku harus mengambil hati mereka. Aku korban dalam hal memalukan ini.
"Kalau dipikir mungkin saja dia Turki. Makanya gawainya nggak aktif," tukas Ali.
"Ngapain Gilang ke Turki, ya?" tanya ibu. Raut wajahnya diliputi kebingungan.
"Astaghfirullah, Bu. Kalau kami tahu, kami nggak susah seperti ini," jawab Mbak Aisyah.
"Mas, kamu tidak mencintaiku lagi?" gumamku pelan.
"Sabar, Nak. Saat Gilang telpon atau pulang. Ibu akan marahin dia ..."
"Minta dihajar Mas Gilang. Ketinggian nuntut ilmu makanya agak miring otaknya," cibir Ali yang ceplas-ceplos.
"Mas," panggil istrinya pelan. Ali hanya mengedipkan mata nakal ke arah istrinya.
Pertanyaan besarnya, untuk apa Mas Gilang ke Turki sendirian. Padahal dia berjanji padaku untuk membawaku keliling Turki. Kenapa sekarang dia pergi sendiri? Kenapa? Apa yang Mas Gilang ketahui, sehingga dia bisa berubah seperti ini. Mungkinkah dia marah, karena aku memintanya mengalihkan beberapa aset atas namaku?
"Kira-kira ... Mas Gilang udah sampe belum, ya?" tanya Ali dengan raut wajah serius.
"Kalau dia berangkat tadi jam sepuluh, sepertinya belum. Ini hampir jam tujuh malam. Penerbangan Indonesia -Turki membutuhkan waktu 21 jam 58 menit. Itu nonstop. Rute paling populer itu Jakarta-Instanbul dengan rata-rata waktu penerbangan 11 jam 55 menit," terang Mas Lukman.
"Berarti Gilang belum sampai, Mas," sahut istrinya Ali.
"Heum, dia belum sampai. Video aku kirim ke WAG sekarang," timpal Mbak Aisyah. Menghentikan pembicaraan kami tentang jarak tempuh ke Turki.
Kling!
Kling!
Suara notifikasi W******p mengema memenuhi ruangan. Semua orang fokus dengan gawainya masing-masing.
Aku membuka video yang kakak iparku kirimkan. Tidak ada pembicaraan. Hanya suara gawai yang berisik. Ya Allah, itu benar Mas Gilang. Dia berjalan santai sambil menyeret koper yang sering dia bawa. Outfit yang dia kenakan santai, celana jeans dengan jacket kulit andalannya. Sepatunya juga, tidak mengunakan pantofel.
"Wanita di samping Mas Gilang siapa?" tanya Ali tiba-tiba.
"Wanita? Wanita mana?" tanyaku seraya fokus menatap Ali.
"Coba Mbak cepetin videonya di menit ke tujuh," jawab Ali cepat.
Segera kulakukan perintah Ali. Di samping Mas Gilang ada seorang perempuan yang wajahnya tidak jelas terlihat. Dia juga menyeret koper berwarna pink fanta. Tubuhnya dibalut setelan senada antara baju dan celana longgar. Model baju yang viral saat ini. Sialnya wajahnya ditutupi masker.
"Siapa dia, Bu?" tanyaku pada Ibu.
"Mbak Nia, mana Ibu tahu," sahut istrinya Ali.
"Ah! Maaf, Mbak bingung, kenapa wanita itu berjalan beriring dengan Mas Gilang. Kemudian orang-orang di belakang mereka itu siapa, ya? Ada yang tua dan ada yang muda ...."
"Mungkin itu orang satu rute sama Mas Gilang," sela Ali.
"Tidak, mereka satu kelompok. Lihat saja mereka terpisah dari orang lain. Yang bikin kesal, kenapa semua pakai masker, ya? Yang lelaki pun pakai topi dan Masker," sambung Mas Lukman. Matanya masih fokus pada video dalam gawainya.
"Dilihat dari cara berpakaian, mereka bukan relasi Mas Gilang," lanjut Mbak Tari.
"Benar, masak iya, relasi bisnisnya ada yang Kakek-kakek," balas ibu.
Suara azan magrib berkumandang. Semua terdiam. Menghormati panggilan untuk setiap insan beriman menunaikan kewajibannya. Menjawab azan juga perbuatan sunnah yang mendatangkan pahala apabila di kerjakan.
Selesai azan, kami semua melaksanakan salat magrib. Yang lelaki menuju masjid yang tak jauh dari rumah. Kami yang perempuan melaksanakan di rumah. Aku sama sekali tidak fokus. Berharap ini semua tidak nyata. Tak rela meninggalkan kehidupan mewah ini begitu saja.
Setelah semuanya selesai dan para lelaki kembali. Kami kembali berembuk di ruang tamu.
"Mas Gilang berangkat jam sepuluh, dia buat status jam lima sore. Ini aneh nggak sih?" tanya Ali.
"Aneh gimana, Li?"
"Hah, nggak tahu juga, Mas," jawab Ali sambil garuk-garuk kepala.
Aku duduk sambil memeluk lutut. Belum apa-apa sudah stres. Aku tidak mungkin mengatakan pada keluarga suamiku. Jika aku meminta hartanya untukku dalam dua bulan ini. Takutnya penilaian mereka akan berubah padaku.
"Ibu nggak pulang, temenin Nia di sini," ungkap Ibu.
"Kami juga nginap di sini," ujar Ali.
"Mbak pulang, jemput anak-anak. Nanti nginap di sini juga," sahut Mbak Aisyah.
"Kami juga nginap di sini, biar Mang Ujang antar anak-anak ke sini. Sayang Nia sendirian." Istrinya Mas Lukman juga seide dengan saudara-saudara lainnya.
Ibu dan kedua iparku memapahku ke kamar. Kesadaran sempat menghilang, logika tak mampu mencerna penyebab atas sikap gila Mas Gilang.
Mereka menemaniku di kamar, mengatakan hal-hal yang baik. Alibi-alibi yang berguna untuk menyejukkan hati yang dilanda pilu. Mata tak mampu terpejam. Jantung serasa hendak lepas dari tempatnya. Berulang kali, aku menghubungi gawai Mas Gilang, hasilnya tetap nihil. Akun FBnya juga tidak aktif lagi.
"Bu, apa jangan-jangan Mas Gilang punya selingkuhan?"
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew