Bab 4
"Sssttt! Ndak baik menduga-duga hal yang buruk. Berdoa yang baik, Nia," gumam ibu pelan.
"Benar, Nia. Kita berharap kalau akun Gilang dibajak," jawab Mbak Tari.
"Sependapat dan video di bandara itu menunjukkan Mas Gilang dalam perjalanan mencari rezeki untuk Mbak," sambung Istrinya Ali.
"Semoga saja," lirihku lesu. Sama sekali tidak bersemangat.
"Harus optimis. Tak ada angin tak hujan. Gimana ceritanya langsung main talak gitu aja." Nada bicara ibu terdengar ragu.
Hah! Angin dan hujannya ada, Bu. Namun, aku tidak mungkin menceritakan pada kalian. Kalimat yang hanya mampu terucap dalam hati.
***
"Mbak Nia, tadi ada yang telpon berulang kali, karena Mbak nggak jawab pas aku panggil, ya aku angkat saja. Nama kontaknya Nagita, tapi yang bicaranya cowok, Mbak. Pas dia dengar suara aku, di tutup terus," lapor istrinya Ali.
Darahku serasa berhenti mengalir dalam beberapa detik. Mendengar ucapan iparku di hadapan seluruh keluarga.
"Siapa, Nia?" tanya Ibu.
"Itu suaminya Nagita, Bu. Mungkin dia mau tanya masalah aku dengan Mas Gilang."
"Pasti itu, Mbak." Iparku mengulas senyum manis.
"Udah mau dua hari, Gilang juga belum ada kabar," lirih Ibu.
"Iya, Bu. Mas Gilang tega sama kita, ya. Bu," ucapku. Tatapanku nanar menatap ke segala arah sambil memeluk bantal sofa.
"Gilang benar-benar cari perkara. Gini nih, kalau laki nggak banyak ngomong. Sekali ngambek susahnya minta ampun," ketus ibu.
Aku kembali membuka akun F* Mas Gilang. Jantung kembali berdetak kencang melihat setiap komen di bawah status talak kemarin. Ada yang menyayangkan, ada juga yang mengatakan akun suamiku di hack orang tak di kenal. Status itu telah disukai lebih dari tiga ribu orang. Ya Allah, sebentar lagi viral.
Keluargaku juga berulang kali menghubungiku. Aku berdalih akun suamiku di hack. Tidak ingin memperkeruh suasana. Walau di sini, aku hidup. Namun serasa mati.
Kulempar gawai begitu saja. Tak kuasa membaca komentar para nitizen. Kujalin jemari satu sama lain. Diam dan memeluk lutut. Kondisi ternyaman untukku sekarang.
Hening. Tak ada pembicaraan di antara kami. Sampai konsentrasi kami buyar karena suara ketukan pintu.
Tok! Tok! Tok!
"Mbak Nia!" teriak Ali dari luar.
"Si Ali kok teriak-teriak panggil Mbak Nia?" tanya istrinya heran.
"Iya, lagian tadi katanya lembur kerja. Kok jam segini udah pulang," balas ibu yang tak kalah heran.
"Ibu!"
Istrinya berjalan tergesa menuju pintu. Heran dengan kelakuan suaminya. Setelah pintu terbuka. Derap langkah orang berlari mendekat ke arahku.
"Mas kenapa pulang cepat? Katanya lembur?"
"Tadi, ada meeting di restoran dekat rumah. Makanya rencana pulang sebentar. Nanti bicaranya, ya. Ada yang lebih penting sekarang," jawab Ali. Napasnya memburu, seperti habis berlari dalam waktu yang lama.
"Apa, Mas?"
"Iya, ada apa, Nak?" Hanya kibasan tangan yang dia lakukan. Bibirnya bergerak. Namun, tidak ada kata yang keluar.
"Ya Allah, Mas. Tenang, tarik napas, baru bicara," ujar iparku yang cantik. Dada Ali naik turun. Aku ikut panik melihat keadaan Ali.
"Mbak Nia Buka F* sekarang! Mas Gilang sedang siaran langsung," ujar Ali.
Segera kusambar gawai di atas meja. Baru beberapa menit yang lalu aku membukanya. Kuklik segera akun Mas Gilang. Benar saja, dia melakukan siaran langsung, baru berjalan sekitar tujuh menit.
"Bu, ada apa ini? Kok Mas Gilang pakai baju putih begini?"
"Iya, pake peci juga. Ala-ala pengantin," timpal iparku.
"Bu, jangan bilang sama Nia, kalau Mas Gilang nikah lagi!" Nada bicaraku meninggi.
"Mbak, liatin dulu, jangan bicara terus," protes Ali.
Ibu fokus menatap layar gawai yang di dalamnya terlihat anak lelaki kesayangannya. Matanya tidak berkedip sedikit pun.
"Hallo Indonesia! Tentunya kalian penasaran dengan kejadian yang super wow hari ini. Di belakangku akan berlangsung acara sakral. Pastinya kalian sudah tahu, acara apa yang akan terjadi. Kalian tahu nggak acaranya dimana? Pasti nggak tahu, ya, 'kan? Acaranya di Turki, tepatnya Conrad Instanbul Bosphorus. Wow, tentunya semua orang akan bermimpi menginjakkan kaki di tempat yang super duper mewah, romantis dan sesuai untuk mewujudkan mimpi para wanita. Yang jomblo jangan iri," cerocos seorang lelaki muda dalam video. Wajahnya tidak sama sekali aku kenali. Hati serasa dicabik-cabik tanpa ampun.
"Bu, itu tempat Nia ingin kunjungi," ujarku disertai derai air mata.
"Lihat saja dulu, nanti kita bicara. Ibu mau lihat apa yang Gilang lakuin di sana," bisik ibu pelan.
"Mas Gilang, datang ke nikahan kawannya, mungkin," timpal istrinya Ali.
Aku tidak menjawab. Namun, firasatku mengatakan sesuatu yang tidak benar sedang terjadi.
"Kalian lihat lelaki tampan dengan balutan baju pengantin yang super wow itu. Dia big boss kita, kalian pasti tidak asing dengan tampangnya yang mempesona. Namanya sudah pada tahu, 'kan? Walaupun banyak yang kenal aku kenalin lagi, yah. Namanya Gilang Sentawibara. Tentunya penasaran 'kan? Kok bisa dia ada di sini. Kepo? Sini tak bisikin!"
"Bu, ada apa ini? Nia tak terima diperlakukan seperti ini. Aku menjerit histeris. Meluapkan beban di dada. Berharap sesak itu menghilang, hingga bisa bernapas lega.
"Pak Gilang! Akad nikahnya akan segera di mulai." Suara seorang lelaki terdengar melalui mikrofon.
"Tidak! Itu bukan Mas Gilang," lirihku pelan seraya mengigit ujung jari. Aku bak orang frustasi. Tekanan batin yang menyiksa diri.
"Tuh "kan! Acara intinya udah mau mulai. Hari ini ituuu, pernikahan Pak Gilang Sentawibara dengan Bu Nagita Rahayu. Nggak boleh ribut lagi, sssstt!"
Lelaki muda itu berlari menuju ke dalam. Siaran langsungnya masih berjalan. Aku mengerang, meraung bak singa kehilangan induknya. Aku terisak dengan napas tersengal. Ibu dan adik iparku berusaha menenangkanku. Namun, aku tak bisa tenang.
"Bu, Mas Gilang menikah lagi. Dia menikah dengan Nagita! Dasar pelakor! Perempuan itu ja*l*ng!" jeritku.
"Nagita? Bukannya tadi Mbak bilang Nagita itu punya suami?" tanya istrinya Ali. Dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu.
Aku hanya mampu terdiam tanpa menjawab. Otak tak mampu berpikir tentang alasan apa yang harus kukatakan pada mereka.
"Apa jangan-jangan Nagita hubungi Mbak karena mau menanyakan perihal ini?" tanya istri Ali kembali.
"Bisa jadi itu," sahut mertuaku.
"Itu artinya ... Mas Gilang nikah sama istri orang? Poliandri dong si Nagita itu," timpal Ali dengan raut wajah sangat serius.
Tidak mungkin kujelaskan status Nagita saat ini. Dia hanya bawahan Mas Gilang. Karyawan biasa dan berasal dari keluarga yang jauh di bawah rata-rata. Namun, postur tubuh dan wajah tak berbeda jauh dengan wanita berkelas. Cantik, cara bicara sopan dan elegan. Memikat siapa saja yang di dekatnya.
Sebenarnya Nagita itu janda. Tepatnya janda beranak tiga. Anehnya, meski sudah memiliki tiga anak, tubuhnya masih seperti gadis. Bikin setiap emak-emak berdaster iri melihatnya.
Nagita juga ditunjuk Mas Gilang menjadi sahabatku. Bahkan, Nagita menjadi temanku ke salon. Selama ini tidak ada tanda-tanda mereka berhubungan akrab. Nagita selalu segan bila berhadapan dengan suamiku. Kenapa tiba-tiba mereka berdua menikah? Drama apa ini, Mas?
"Astaghfirullah! Apa yang terjadi dengan anakku?!" pekik ibu pilu. Air matanya kembali tumpah.
Pandangan mulai kabur, terhalang derai air mata yang tak berhenti. Kamera terus mengarah ke arah Mas Gilang dan Nagita. Mereka terlihat bahagia, mengulas senyum indah yang menyakitkan hati.
"Pengkhianat!" jeritku.
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew