Share

Aku Harus Pergi

"Mas, ngapain di sini?" tanyaku tak suka melihat Mas Reno di kursi sebelah ranjang.

"Mas nyariin kamu kemana-mana, Dek!" akunya.

"Mas, tolong, aku sudah enggak bisa meneruskan pernikahan kita! Biarkan aku pergi!" 

Kuambil kain basah yang menempel di keningku. Rupanya aku demam sehingga Mas Reno mengompresku. Hah, aku bahkan sampai tak memikirkan kondisi tubuhku sendiri.

"Dek, Mas mohon! Beri Mas kesempatan!"

"Enggak, aku enggak bisa!"

"Dek, Mas mohon!"

"Enggak, Mas!"

Mas Reno mengacak-acak rambutnya. Lelaki di depanku ini terlihat begitu frustasi. Kedua tangannya kini bertaut di kepala belakangnya. Beberapa saat, Mas Reno menunduk dalam.

Sedang aku berusaha tak peduli padanya. Hatiku terlanjur hancur oleh perbuatannya. Mungkin kalau kesalahan lain, aku bisa memaafkan. Namun, untuk kesalahan Mas Reno yang satu ini aku benar-benar tidak bisa mentolerir.

Mas Reno kembali menatapku dengan sorot memohon. "Dek, kita pulang, ya!" bujuknya. "Enggak mungkin, kan, kamu dalam kondisi begini ada di sini?"

Aku terdiam cukup lama. Mas Reno benar, tak mungkin aku merepotkan Fani dengan kondisi begini. Apalagi Fani rupanya kaki tangan Mas Reno. Tak mungkin aku ada di rumah orang yang tak memihakku.

"Besok aku mau pergi," ucapku.

"Pergi ke rumah kita, kan?" bujuknya. 

Aku memilih diam enggan menanggapi.

"Ya, sudah. Kamu tidur lagi ya, Dek. Mas ambil air panas lagi buat ngompres kamu," ucapnya.

Lelaki itu beranjak dari duduknya. Ketika menuju pintu, sekilas kulihat Mas Reno berjalan pincang. Apa dia terluka juga oleh pecahan kaca di kamar?

Ah, aku ingat. Tadi saat Mas Reno membopongku, sudah pasti kakinya juga terkena pecahan kaca. Apa lukanya juga separah aku?

Tak berselang lama Mas Reno kembali dengan baskom di tangannya. Kulirik telapak kakinya. Benar, kaki Mas Reno juga dibalut kain kasa. Aku jadi tak tega melihatnya.

Ah, tapi kenapa kamu harus mengkhianatiku, Mas? Bagaimanapun aku masih mencintaimu, aku tak bisa kembali lagi padamu. Aku tidak bisa!

"Kok, belum tidur lagi, Dek?" protesnya.

"Sudahlah, Mas! Aku baik-baik aja. Jangan berlebihan begini!" ucapku berusaha menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. "Lebih baik sekarang kamu pulang! Besok pagi aku akan pergi."

"Dek, tolong jangan keras kepala begini!" bujuknya. "Emang kamu mau pergi kemana?"

"Bukan urusanmu!"

Mas Reno menghela nafas panjang. Kemudian menatapku sendu. Sedang aku selalu membuang muka. Rasanya enggan sekali menatapnya.

"Ya, sudah. Kamu tidur lagi aja, ya, Dek! Mas, bakal di sini jagain kamu."

Aku tak peduli. Aku berbaring, kemudian meringkuk membelakangi Mas Reno. Tak menunggu lama, aku langsung kembali tidur. Mungkin karena lelah dan demam sehingga aku merasa ngantuk sekali.

Entah berapa lama aku tertidur. Ketika aku terbangun, Mas Reno sudah tidak ada di kursinya semalam. Aku kira kedatangan Mas Reno semalam hanya memli, tetapi rupanya bukan. Kursi itu masih ada di samping ranjang.

Pagi ini aku merasa dingin sekali. Sampai badanku menggigil karena demam. Kupegang handuk kompres yang menempel di kening. Masih hangat. Berarti Mas Reno belum lama pergi.

Tiba-tiba pintu terbuka. Muncul Fani dari baliknya. 

"Eh, Sil, kamu sudah bangun?" sapanya.

Aku tersenyum kaku. Sungguh aku kecewa kepadanya. Kalau aku tahu dia bekerja sama dengan Mas Reno untuk menolongku, aku pasti tak mau diajak ke rumahnya.

"Sil, kamu jangan salah paham!" ucap Fani setelah posisi kami sudah dekat. Seolah ia tahu apa yang sedang aku pikirkan. Wanita dengan setelan baju tidur banana itu duduk di kursi tempat Mas Reno semalam.

"Semalam, Reno telpon. Dia pesan, kalau kamu menghubungiku, aku diminta untuk berbohong kalau aku sedang enggak di rumah," akunya. "Dia bilang, kalian sedang bertengkar. Aku setuju, karena enggak ingin ikut campur masalah kalian," jelasnya.

"Lalu?" kejarku.

"Seperti yang kamu tahu, sesuai perkiraan Reno, kamu telpon aku."

Ah, bodohnya aku! Terlalu mudah Mas Reno menebakku.

"Setelah kamu nurut sama dia buat bohong, kenapa akhirnya kamu cari aku?" kejarku.

"Enggak lama setelah kamu telpon, dia telpon lagi," sahutnya. "Dia minta tolong buat bantu cari kamu."

"Terus setelah aku di sini kamu kasih tahu dia?" tebakku sambil tersenyum getir.

"Enggak!" bantahnya. "Dia memang telpon berkali-kali. Tapi sesuai pesanmu, aku enggak bilang," akunya. "Terus hampir tengah malam dia menggedor-gedor pintu."

"Terus kamu ngaku?" tebakku lagi.

"Dia brutal, maksa masuk cari kamu."

"Ck!"

"Aku enggak tau masalah kalian apa, Sil. Tapi saranku, selesaikan dulu baik-baik!" sarannya. "Kalau kalian enggak bisa selesaiin berdua, bisa cari orang buat penengah. Jangan gegabah, Sil!"

Meskipun aku tahu yang Fani bilang ada benarnya, tetapi itu tak mudah untuk kulakukan. Hatiku terlalu sakit. Pengkhianatan Mas Reno apapun alasannya tidak bisa aku terima. Kalaupun Reno mau berpisah dengan Bulan, aku tetap tidak bisa meneruskan pernikahan kami. 

Tak mudah kembali bersama orang yang sudah berkhianat. Seumur hidup aku pasti akan dihantui rasa curiga. Pernikahan seperti apa yang akan kujalani?

Bagaimana kalau ternyata Mas Reno tak mau melepas Bulan? Bulan sedang hamil, pasti bagaimanapun Mas Reno akan mempertahankannya.

Bagaimana sakitnya hatiku ketika nanti harus mendengar itu? Aku mungkin tidak akan mampu.

Melihat aku hanya diam, Fani beranjak dari duduknya. "Ya, sudah, Sil. Aku ambil bubur buat kamu dulu, ya! Setelahnya kamu baru minum obat."

Aku mengangguk. Rasanya tak enak sekali merepotkan Fani.

Kutarik selimut karena tubuhku semakin menggigil. Mungkin karena aku stres sehingga sampai sakit begini. Aku bingung harus bagaimana. Aku enggan kembali ke rumah Mas Reno. Aku tetap ingin pergi, tetapi bagaimana? Aku sakit seperti ini dan tak punya apa-apa. Bagaimana aku bertahan hidup di luar?

Tak berselang lama, muncul Mas Reno dengan mangkuk yang asapnya mengepul. Dia tersenyum manis menatapku. Aku memilih membuang muka.

"Sarapan dulu, ya, Dek!" ucapnya.

Mas Reno duduk, lalu bersiap menyuapiku.

"A, Sayang!" pintanya.

Aku masih membuang muka. Melihat dia seperti ini justru rasaku semakin perih. Bisa jadi dia juga semanis ini dengan Bulan.

"Sayang, ayo, kamu harus makan dulu biar cepat sehat!" bujuknya. "Setelah ini kita pulang."

Mas Reno benar. Aku harus makan biar cepat sehat. Aku harus sehat biar bisa bertahan di luar.

"Aku makan sendiri saja," ucapku kemudian mengambil mangkuk bubur dari Mas Reno.

Kusuap sedikit demi sedikit. Di lidahku bubur ini rasanya pahit. Biarpun begitu, aku tetap berusaha memakannya. 

Saat bubur tersisa setengah mangkok, kuangsurkan pada Mas Reno.

"Sudah?" tanya Mas Reno.

Aku mengangguk.

Mas Reno tersenyum manis. "Mas taruh mangkuknya ke belakang dulu, ya!"

Aku tak menanggapi. 

Lelaki itu beranjak meninggalkan kamar. Aku terpaku pada ponsel dan dompet Mas Reno di nakas. 

"Maaf, Mas. Aku butuh ini untuk hidup."

Kuambil beberapa lembar uang berwarna merah serta satu kartu debit Mas Reno.

Aku harus pergi.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
JIN STAR
Dia aja bisa curang kok, cuma berapa lembar doang gak buat dia miskin uda ambil aja abis itu pergi ...
goodnovel comment avatar
Yuez Rama
bagus, pergi sil
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status