Aku tertegun begitu mendengar perintah berisi ancaman dari Mas Reno. Kemudian aku berbalik menghadap lelaki itu.
Seperti itukah watak asli Mas Reno? Lelaki yang selama ini begitu royal, memberikan semua fasilitas terbaik. Tak membiarkanku ikut mencari nafkah. Karena dia ingin bertanggung jawab atas segalanya. Sekalinya aku tak mau menurutinya, dengan congkak meminta kembali semua yang sudah dia berikan.
"Baik, Mas," ucapku tegas.
Kubuka dompet, mengambil semua uang tunai, kartu debet dan kontak mobil berserta STNKnya. Kemudian kulempar ke arah lelaki itu. "Ambil semuanya!" geramku.
Sekarang isi dompetku hanya tersisa kartu identitas dan kartu lainnya. Tak ada sepeserpun uang. Melihat cincin kawin yang masih melingkar di jariku pun, segera aku melepasnya.
"Ini, satu lagi!" Kulempar cincin kawin kami. Benda kecil melingkar itu berdenting kemudian menggelinding dan berhenti di antara aku dan Mas Reno.
"Dek!" Mas Reno terperangah melihat apa yang aku lakukan.
Sebenarnya berat, bahkan sangat berat, tetapi aku tak bisa kembali bersama Mas Reno. Terlalu dalam luka yang ia torehkan. Aku sudah mantap dengan keputusan ini.
Apalagi setelah apa yang barusan aku dengar. Mas Reno meminta lagi semua yang dia berikan padaku. Maka pantang bagiku untuk kembali.
Mas Reno melangkah mendekatiku. "Dek, Mas enggak serius!" ucapnya.
Aku mundur. Tak ingin lelaki itu menyentuhku.
"Mas hanya ingin kamu enggak pergi, Dek!" jelasnya.
"Aku akan pergi, Mas!" ucapku tegas kemudian melangkah mantap keluar dari rumah ini. Kuabaikan rasa perih dan pedih oleh serpihan kaca yang menancap di telapak kaki.
"Dek!" seru Mas Reno. Lelaki itu berlari mengejarku. Ditariknya lengan kananku sampai aku terhuyung. "Jangan pergi!" pintanya. "Mas minta maaf, tolong, Dek! Mas mohon!"
Aku diam. Enggan menanggapi.
"Dek, percayalah! Niatku enggak ingin seperti ini. Aku hanya ingin menolong Bulan. Kenapa jadi pernikahan kita yang hancur?"
Aku tersenyum getir. Apa lelaki yang selama ini kukenal cerdas dan berwawasan luas sudah kehilangan otaknya?
"Dek!" Digoncangnya bahuku karena aku membisu enggan menanggapi.
"Sudah, Mas. Aku mau pergi," ucapku malas.
"Dek, please!"
"Kamu sudah punya Bulan, dan sebentar lagi kalian punya anak. Bukankah kamu berjanji akan menjaga dia?"
"Tapi enggak begini, Dek!"
"Terkadang untuk bisa memiliki sesuatu, kita harus rela kehilangan juga, Mas."
"Dek," rengeknya.
"Sebentar lagi kamu memiliki keluarga sempurna, dan aku juga memiliki kehidupan baru. Maka kita harus saling rela untuk melepas satu sama lain. Bagaimanapun rasanya."
"Enggak, Dek! Enggak! Aku ingin kamu!"
"Aku enggak bisa." Kulepas tangan Mas Reno dari bahuku, kemudian dengan mantap melangkah pergi.
"Kamu tahu, Dek! Berdosa seorang istri pergi tanpa izin suami!" serunya.
Aku tetap melangkah tak peduli.
"Aku jamin, kehidupanmu di luar enggak akan mudah, Dek!" teriaknya. "Kamu pasti tidak akan tahan! Aku jamin, kamu pasti akan kembali ke rumah ini!" serunya ketika aku melewati pintu pagar.
Mas Reno benar. Kehidupan di luar pasti tidak mudah. Apalagi aku tak memiliki apa-apa dan siapa-siapa lagi.
Ayahku sudah meninggal. Ibuku sudah menikah lagi. Karena ayah tiriku yang dulu hendak melecehkanku, ibu jadi membenciku. Menganggap aku menggoda suami barunya. Dan mereka pergi entah kemana setelah menjual rumah peninggalan ayah.
Hidupku selanjutnya tinggal di sebuah kamar kost. Dengan dibiayai orang tua Mas Reno. Jadi aku memang berhutang budi kepada mereka. Meski akhirnya aku bekerja paruh waktu saat kuliah. Jadi di sini, selain Reno dan keluarganya, aku tak memiliki siapa-siapa.
Aku melangkah tanpa tujuan. Bingung hendak pergi kemana. Aku hanya menyusuri jalanan tanpa arah. Jujur aku takut ketika melewati jalanan yang gelap. Takut kalau-kalau ada orang jahat. Sedang selama ini aku tak pernah keluar malam tanpa Mas Reno.
Melihat ada halte bus di depan, aku berlari kecil menuju ke sana. Kakiku terasa sangat pedih. Rasanya aku tak tahan lagi.
Tiba di halte, kuambil ponsel di saku daster. Kupencet simbol senter, kemudian kusorot pada telapak kakiku yang terluka. Terlihat bekas darah telah mengering. Beberapa pecahan kaca pun terlihat di sana.
Kucoba mencabut serpihan kaca yang menancap. Pedih sekali. Darah segar kembali mengalir saat serpihan itu berhasil kuambil. Beberapa diantaranya patah dan tetap bersarang di telapak kakiku.
Angin berhembus kencang. Hawa dingin menembus daster yang kukenakan. Aku sampai menggigil kedinginan. Tak ada jaket ataupun apapun yang bisa kupakai untuk menghangatkan tubuh.
"Malam ini aku harus tidur dimana?" gumamku sambil mengusap kedua lengan. "Di sini dingin sekali."
Akhirnya aku berniat menghubungi Fani, dia teman paling dekat di antara teman-temanku yang lainnya.
Pertama kali tidak dia angkat. Aku mencoba menelpon lagi, berharap Fani segera mengangkatnya. Aku sudah menggigil kedinginan.
"Ya, Sil?" sapa Fani dari seberang sana.
"Fan," ucapku ragu.
"Iya, Sil, gimana?"
"Kamu lagi ngapain?" tanyaku berbasa basi.
"Ini, lagi ngumpul di rumah bumer. Tadi siang ada acara keluarga," jelasnya.
Mertua Fani ada di kota sebelah. Pasti Fani menginap karena tak mungkin ia langsung pulang pergi. Secara jaraknya cukup jauh.
Mendengar itu bahuku terkulai lemas. Hilang harapanku untuk bisa bermalam di rumah Fani.
"Halo, Sil?" sapa Fani lagi karena aku terdiam cukup lama.
"Eh, iya, Fan."
"Kamu sendiri lagi ngapain?" tanyanya.
"Emh, ini, aku .... enggak ngapa-ngapain." Sebenarnya ingin sekali aku meminta bantuan Fani untuk meminjamkan uangnya. Namun, lidahku seperti kaku.
"Sil, sudah dulu, ya! Enggak enak ini ada banyak saudara," ucapnya.
"Oh, iya, Fan. Maaf ya, aku ganggu," ucapku tidak enak.
"Enggak apa-apa, santai aja."
Aku tertegun memandangi ponsel yang layarnya kembali gelap.
"Lebih baik aku jual hp saja," gumamku.
Kuputuskan kembali berjalan tertatih menahan pedih di telapak kaki. Sebenarnya lebih pedih lagi hatiku. Entah kenapa, aku merasa nelangsa sekali. Mas Reno kemungkinan sekarang sedang berbahagia, bebas menghabiskan waktu bersama Bulan, sedang aku terlunta-lunta di jalanan seperti ini.
Namun, ini keputusanku. Bagaimanapun aku harus kuat menjalani semua ini. Aku yakin, semua ini akan segera berlalu.
Aku sudah berjalan cukup jauh. Namun masih belum juga kutemukan counter hp. Sesekali aku duduk di pinggir trotoar. Ditemani lalu lalang anak jalanan ataupun tuna wisma, sama sepertiku. Aku hampir putus asa rasanya mencari counter. Kakiku sudah sakit sekali.
Sandal yang kupakaipun terasa lengket. Pasti lengket oleh darah dari luka di telapak kakiku. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti lagi.
"Sil!"
Kudengar seseorang memanggilku. Penasaran, aku langsung menoleh ke asal suara. Namun aku tak bisa melihat dengan jelas karena sorot lampu mobilnya.
"Ya ampun, Sisil!" serunya.
Tubuhku langsung lunglai begitu mengenali wajah itu. Aku lemas dan luruh di trotoar.
"Fani!" Aku langsung menangis melihat kedatangan Fani, sahabatku.
"Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me
Aku tertegun mendengar perkataan Dokter Rahardian. Sepersekian detik, bumi seperti berhenti berputar. Bagaimana tidak? Seorang dokter muda yang tampan dan mapan, ingin menikah dengan janda pengidap HIV seperti aku? Pasti ada yang salah dengan Dokter Rahardian."Sil, kenapa malah bengong?" Dokter Rahardian melambaikan telapak tangannya di depan wajahku."Jangan bercanda, Dok," sahutku lalu terkekeh. Hidupku udah sebercanda itu. Berusaha mempertahankan pernikahan, justru yang aku dapat penyakit mematikan."Emang aku terlihat kayak lagi bercanda, ya?" Sorot mata Dokter Rahardian lurus menembus pupil mataku.Meski ada debar aneh saat ditatap seperti itu, aku berusaha mengabaikannya. Aku memilih mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter Rahardian. Bagaimana mungkin ucapannya itu serius. Mau cari mati apa Dokter Rahardian? "Terus, aku harus pakai bahasa apa biar enggak terdengar bercanda buat kamu, Sil?" tanyanya lagi."Dok, Dokter ini masih muda, tampan, dan mapan pula. Mau cari gadis yan
Satu tahun sudah aku meninggalkan kota tempat tinggalku dan Mas Reno sebelumnya. Aku memang sengaja ingin memulai hidup baru. Tak lama setelah kepindahanku, Dokter Rahardian juga dimutasi ke kota tempat tinggalku juga. Sehingga kami kembali bertemu karena dia kembali menjadi dokter yang menanganiku. Tak hanya itu bahkan Dokter Rahardian membimbingku untuk menjadi relawan yang bergerak di bidang HIV. Dan aku menikmati itu.Saat sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang memiliki virus mematikan yang sama dengan aku, aku jadi merasa punya teman. Aku tidak sendirian berperang dengan virus mengerikan tersebut. Aku benar-benar berusaha melupakan semua masa laluku. Tentang Mas Reno, Mami, ataupun Papi. Meski saat sendiri, aku sering menangis karena masa lalu kami terlalu berharga untuk dinodai seperti ini. Namun, tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain terus melangkah dan menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.Hari ini Dokter Rahardian mengajakku seminar di kota tempat Ma
"Sejauh ini kondisi Ibu cukup baik," ucap dokter yang dipanggil Papi untuk datang ke rumah setelah memeriksa kondisi Mami. "Hanya saja, kalau bisa Ibu dibuat biar enggak banyak pikiran dulu. Ibu pingsan karena stress yang cukup berat. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu," jelas dokter langganan keluarga Papi.Aku, Papi, dan Mas Reno mengangguk dengan kompak. Tidak ada satu pun dari kami yang menyahut penjelasan dokter tersebut. Sepertinya pikiran kami bertiga sama, kalau Mami sampai pingsan seperti ini karena pernikahanku dan Mas Reno yang sudah berakhir. Namun, apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Jalan takdir memang sudah menggariskan kami untuk berpisah.Malam ini, Mami meminta untuk tidur bersamaku. Kami bercerita sampai larut tentang masa lalu. Saat aku masih SMA dulu dan cerita kami yang lainnya. Meski berkali-kali aku meminta Mami untuk tidur, tetapi wanita itu masih terus bercerita tidak memedulikan perintahku."Sampai kapanpun, Mami tetap Mami kamu, Sil. K