Bumi serasa berhenti berputar saat kudengar pengakuan Mas Reno. Kemudian semua planet bertabrakan menciptakan kehancuran yang membinasakan alam semesta.
Setelah tubuhku membeku beberapa saat, aku menoleh menatap Mas Reno yang sedari tadi bergeming menatapku. Lebih tepatnya seperti menunggu responku.
"Kalian sudah menikah?" tanyaku tak percaya.
Mas Reno tak langsung menjawab. Mata yang sebelumnya tampak berbinar, pelan-pelan meredup. Dia terlihat menyesal. Meskipun aku tak tahu apa yang disesalinya. Karena telah mengkhianatiku atau terlanjur memberitahu.
"Maaf," gumamnya dengan tatapan kosong.
Aku berdecak sambil tersenyum miris. Kupalingkan wajah dari Mas Reno. Memandang televisi yang entah sedang menayangkan acara apa. Kuhirup udara banyak-banyak. Dadaku rasanya sesak sekali, sampai-sampai sulit untuk bernafas.
"Apa kamu enggak mikir gimana perasaanku?" tanyaku dengan suara bergetar. Satu persatu bulir bening berjejalan keluar dari pelupuk mata.
Melihatku menangis, Mas Reno langsung terlihat panik. "Sayang! Sayang, bukan begitu!" sanggahnya. Ditariknya kedua bahuku untuk menghadapnya. "Sayang, please, lihat aku!" pintanya.
Kupaksakan untuk menatapnya, walaupun aku sangat enggan. Dengan wajah miring kutatap tajam kedua matanya. Meski pandanganku kabur oleh air mata.
"Aku .... aku .... aku hanya kasihan padanya," akunya.
Aku tertawa sumbang mendengarnya. "Hahahahaha. Kamu kasian sama Bulan tapi tega sama aku!"
"Bukan! Bukan begitu, Sayang! Bukan begitu!" sanggahnya. "Aku hanya .... hanya ...."
"Hanya apa?" kejarku.
"Aku .... hanya kasian, Dek. Aku bersumpah!"
"Apa karena kita belum juga punya anak?" tebakku.
"Enggak, Dek! Enggak! Aku enggak pernah permasalahin itu!" sanggahnya.
"Kamu tahu aku enggak mandul!" teriakku. "Aku bahkan pernah hamil!" Tangisku akhirnya pecah. Hatiku benar-benar hancur. Apalagi peristiwa keguguran lima tahun lalu muncul kembali di kepala.
"Aku minta maaf, Sayang! Aku minta maaf!" pintanya sambil merengkuhku.
Tubuhku begitu lemah. Aku seperti kehilangan kekuatan. Kutumpahkan kesakitan ini dengan menangis meraung-raung.
"Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!" teriakku sambil memukul-mukul dadanya.
Mas Reno hanya diam. Membiarkanku menumpahkan semua rasa.
"Tega kamu sama aku!" teriakku. "Tega!"
Entah berapa lama aku mengamuk tak karuan. Membuang segala benda yang bisa dijangkau tangan. Kamar ini kini seperti terkena gempa dahsyat. Segala barang pecah belah remuk berserak. Bantal dan selimut pun berhamburan. Ini pertama kalinya aku marah sampai tak bisa mengendalikan diri.
"Ceraikan aku!" perintahku tegas setelah sedikit tenang.
"Enggak! Enggak akan, Dek!" tolak Mas Reno.
"Aku enggak bisa meneruskan pernikahan kita," ucapku.
"Enggak!"
"Tolong, biarkan aku pergi! Aku benar-benar enggak bisa lagi." Aku beringsut dari ranjang. Kujulurkan kaki ke lantai. Seketika Mas Reno menarik tanganku.
"Aku minta maaf! Aku minta maaf, Dek! Aku enggak berpikir bakal seperti ini jadinya," ungkapnya.
Aku menoleh, heran mendengar ucapan Mas Reno. "Kamu pikir aku akan menerima kamu menikah lagi?"
Mas Reno menunduk dalam beberapa saat. Kemudian mengangkat wajah dan menatapku dalam. "Aku pikir .... kamu juga akan bahagia, karena sebentar lagi kita punya anak. Walaupun .... bukan kamu yang mengandungnya, tapi tetap akan menjadi anak kita."
Aku tersenyum getir. "Kamu pikir aku malaikat?"
Mas Reno hanya terdiam. Delapan tahun menikah, nyatanya jalan pikirannya belum bisa sepenuhnya kupahami.
"Hatiku belum seluas itu untuk menerima anak selingkuhanmu!"
Kuhempas cekalan tangan Mas Reno. Kemudian melangkah menuju lemari pakaian. Kaki polosku bahkan menginjak pecahan beling di lantai. Bercak darah membekas berbentuk telapak kakiku.
"Dek! Kakimu!" teriak Mas Reno kemudian langsung membopongku.
"Turunin, Mas!" perintahku.
Mas Reno mendudukanku di bibir ranjang, kemudian berlutut di depanku. "Aku minta maaf, Dek. Tapi tolong jangan begini. Jangan sakiti diri kamu sendiri!" pintanya.
Aku melengos, enggan melihat wajahnya. Aku bahkan tidak merasakan sakit saat menginjak serpihan kaca.itu. Hatiku lebih sakit daripada sekedar luka terkena kaca.
"Aku baik-baik saja, kamu tenang saja!" ucapku.
Mas Reno mengulurkan tangan, membuka laci di lemari kecil disamping kepala ranjang. Diambilnya kotak P3K. "Diam dulu, ya, Dek! Aku obati kakimu."
"Enggak perlu!"
Aku kembali berdiri. Meski kini telapak kakiku mulai terasa pedih. Namun, aku tahan.
Tertatih aku kembali menuju lemari. Kubuka lemari bagian bawah. Kutarik sebuah koper.
"Dek!" panggil Mas Reno. Dipegangnya lenganku. "Kamu mau ngapain?"
"Tolong, Mas! Jangan halangi aku!" Kuhentakkan tangan yang Mas Reno pegang. Namun, lelaki itu enggan melepaskan.
Dipeganginya sebelah bahuku. "Sayang, tolong jangan begini! Mas minta maaf. Tolong beri Mas waktu untuk memperbaiki kesalahan!"
"Enggak ada yang perlu diperbaiki," ucapku datar. "Aku enggak bisa lagi meneruskan pernikahan ini."
"Dek!"
"Aku baik-baik saja, Mas. Silahkan kamu bersama Bulan. Sebentar lagi dia akan beri kamu hadiah yang bertahun-tahun belum bisa aku berikan."
"Enggak, Dek! Aku enggak bisa! Aku cinta sama kamu, aku hanya kasian sama dia. Tolong kamu percaya!" pintanya.
"Percuma, Mas. Aku sudah enggak bisa."
"Dek, tolong! Mas mohon, beri Mas kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini!" Mas Reno beringsut, berlutut di depanku.
"Tolong, biarkan aku pergi, Mas!"
"Enggak! Ini sudah malam, Dek!" bujuknya.
"Aku bisa jaga diri."
"Enggak, Dek!"
"Tolong, Mas, jangan seperti anak kecil begini! Aku enggak bisa sama kamu lagi!" seruku geram dengan tingkah Mas Reno.
Tubuh tegap lelaki itu bahkan menghalangiku membuka lemari. Kuhempas tangan Mas Reno yang memegangi lengan dan bahuku. Setelahnya aku berdiri, tertatih melangkah ke ranjang untuk mengambil ponsel dan dompet di meja rias kemudian pergi.
"Dek! Dek!" Mas Reno mengejarku. "Kamu mau kemana?"
"Lepas, Mas!" Kuhempas tangannya yang mencekal lenganku lagi. Kutatap tajam manik matanya. "Terserah kalau kamu enggak mau menceraikanku, aku bisa mengajukan gugatan sendiri!"
Tanpa mempedulikan panggilan Mas Reno, tertatih aku melangkah meninggalkan rumah yang delapan tahun ini kutempati.
"Sisilia!" teriaknya saat aku mencapai pintu depan. "Kalau kamu tidak mau menurutiku untuk tetap disini, jangan bawa apapun dari rumah ini!"
"Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me