[Ciee, suamimu romantis banget ya, Sil? Kayak pengantin baru aja.] Kubaca pesan dari Nana, temanku.
[Sil, kamu bajak hp Reno, ya?] Pesan masuk lagi dari Indira sepupu jauh Reno, suamiku.
Berikutnya beberapa pesan yang berkomentar tentang suamiku pun menyusul masuk. Aku jadi bingung. Ada apa dengan Mas Reno?
Aku memilih membalas pesan dari Indira. [Emang hp Mas Reno kenapa, In?]
Sejurus kemudian balasan dari Indira kuterima. Dikirimnya foto status WA Mas Reno.
Kedua alisku saling bertaut melihat foto itu. Terlihat di status WA Mas Reno, sepasang tangan berbeda jenis dilihat dari bentuk dan ukurannya saling menggenggam, dengan caption, "Terima kasih untuk hadiah terindah ini. Percayalah, akan kujaga sepenuh jiwa. Bertahanlah bersamaku!"
Segera kucari status itu di WAku. Aneh, aku tak menemukannya. Selama ini memang Mas Reno tidak pernah kulihat membuat status. Apalagi selebay itu. Lalu kenapa orang lain bisa melihatnya? Ada apa sebenarnya?
Perasaanku jadi tidak enak. Laptop yang sedang memutar drama korea pun akhirnya kumatikan. Aku jadi tidak fokus menonton drama yang sedang on going itu.
Apa mungkin Mas Reno selingkuh?
Namun, selama ini semuanya terlihat biasa saja. Tak ada yang aneh. Dia tetap bersikap manis di pernikahan kami yang sudah memasuki tahun ke delapan. Meskipun kami belum dipercaya memiliki momongan pun, ia tak pernah menuntut. Semua baik-baik saja. Lalau apa mungkin dia curang di belakangku?
Jarum jam rasanya begitu lambat berputar. Aku tak sabar menunggu Mas Reno pulang. Meskipun aku belum tahu harus bagaimana menanyakan perihal ini kepadanya, tetapi setidaknya aku ingin dia segera pulang.
Kualihkan perhatianku dengan membereskan rumah yang sebenarnya masih rapi. Aku menyapu, mengepel, mencuci baju tanpa mesin cuci. Agar ragaku lelah dan tak punya tenaga lagi untuk berpikir buruk pada Mas Reno.
Aku merasa tidak siap jika sampai Mas Reno mengkhianatiku. Aku harus bertindak seperti apa? Haruskah bercerai? Haruskah? Sedang aku sangat mencintainya. Selama ini pusat hidupku adalah dia. Bagaimana bisa semudah itu aku melepasnya?
Namun, jika benar Mas Reno berselingkuh, bisakah aku memaafkannya? Menerima dia yang sudah berdusta? Masihkah aku bisa percaya kepadanya? Lalu pernikahan seperti apa yang akan kami jalani kedepannya?
"Mas Reno, aku harus bagaimana?"
Tubuhku luruh, ikut berendam bersama selimut yang sedang kucuci. Aku tergugu sendiri di kamar mandi. Rasanya hatiku pedih sekali.
Setelah puas menangis, kulanjutkan aktifitas mencuci. Kemudian mandi. Saat aku mengambil baju ganti di lemari, aku terkejut melihat Mas Reno memasuki kamar.
"Loh, Mas sudah pulang?" tanyaku.
"Sudah, Dek. Tadi aku ketuk-ketuk pintu Adek enggak dengar, ya? Untung aku bawa kunci," jelasnya sambil berjalan mendekatiku. Diciumnya puncak kepalaku. Mas Reno semanis itu, bagaimana mungkin dia curang di belakangku?
"Tumben jam segini Adek baru mandi?" komentarnya.
"Iya, Mas. Tadi aku bersih-bersih rumah dulu. Terus nyuci selimut juga," jelasku.
"Oh," sahutnya.
Lelaki itu berdiri di sisiku. Membuka dasi dan kemeja kerjanya. Aku menatapnya di pantulan cermin lemari.
Ingin kutanyakan mengenai status WAnya, tetapi bagaimana aku menanyakannya? Kalimat seperti apa yang paling tepat? Dan yang paling penting bisa membuatnya mengatakan yang sebenarnya.
"Mas!" panggilku.
"Iya, Dek. Kenapa?" Dia menatapku sambil tersenyum manis melalui pantulan cermin di depan kami.
Tiba-tiba saja aku kehilangan kata-kata. Akhirnya aku hanya menunduk tak jadi bertanya.
Nanti saja, Sil! Sekarang Mas Reno baru sampai rumah. Dia masih cape. Nanti dia bisa emosi dan kalian bertengkar. Tak ada kebaikan yang akan kamu dapat. Sabar, Sil!
"Kamu mandi dulu, gih!" Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
"Siap, Nyonya!" sahutnya masih sambil tersenyum manis. Sebelum berlalu menuju kamar mandi, sekali lagi dia mengecup puncak kepalaku.
Mencium puncakku sudah menjadi kebiasaan yang sangat suka ia lakukan. Apapun yang sedang aku lakukan. Bahkan kadang di tempat umum pun ia tidak segan. Dengan sikap semanis itu, mungkinkah sebenarnya ia curang?
Aku menatap punggung Mas Reno dengan mata berkaca-kaca.
Benarkah kamu mengkhianatiku, Mas? Tegakah kamu melakukan itu kepadaku?
Aku menghela nafas panjang. Berusaha meredam sesak yang membuat dadaku nyeri. Kuambil daster dan memakainya. Melihat kemeja dan celana Mas Reno yang teronggok di lantai, membuatku ingin melihat ponselnya.
Kupandangi pintu kamar mandi sekejap, lalu berjongkok, mencari ponsel itu di saku celananya. Tanganku gemetar memegang ponsel itu. Aku takut. Sangat takut. Aku takut menemukan apa yang tidak ingin aku lihat.
Kupejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Aku harus melihatnya.
Kuusap layar ponsel Mas Reno. Tak ada sandi atau apapun. Mungkinkah Mas Reno selingkuh?
Hal pertama yang kulihat adalah status WAnya. Kosong. Tak ada status apa-apa. Lalu pengaturan privasi statusnya. Nihil. Aku tak menemukan apapun. Pasti Mas Reno sudah menghapusnya sebelum pulang.
Berikutnya, aku melihat orang-orang yang berkirim pesan dengan Mas Reno. Tak ada pesan aneh. Hanya menyangkut pekerjaan, bercanda dengan teman, dan pesan dari keluarga serta saudaranya.
Tak puas disitu, aku melihat daftar kontaknya. Adakah nama yang aneh, atau nama wanita yang tidak aku kenal di kontaknya? Sedang lingkaran pertemanan kami selama ini kebanyakan sama. Karena kami pacaran sejak SMA, meski dulu putus nyambung. Bahkan kuliah pun di kampus dan jurusan yang sama. Rekan kerja Mas Reno pun aku hampir kenal semuanya, berikut istri ataupun suaminya. Namun, lagi-lagi aku tak menemukan nama yang asing.
"Lagi liat-liat apa, sih, Sayang?"
Aku terkejut saat mendengar suara Mas Reno tepat di sampingku. Saking fokusnya, sampai aku tidak menyadari kalau dia sudah selesai mandi.
"Oh, eh, ini, Mas. Aku-aku lagi cari nomor Vita," dustaku.
Mas Reno pasti tahu kalau aku berbohong. Biarlah.
"Oh," sahutnya. Kemudian berdiri dari posisi jongkoknya.
Aku sendiri masih terpekur memandangi ponsel Mas Reno. Aku merasa tidak enak hati sudah kepergok membuka ponselnya. Meskipun selama ini aku terbiasa membuka-buka ponselnya, tetapi itu kulakukan di depan Mas Reno.
"Dek, baju Mas mana?" tanyanya.
Astaga! Aku sampai lupa tak menyiapkan pakaian gantinya.
"Oh, iya, sebentar, Mas."
Bergegas aku membuka lemari mengambil baju santai untuk Mas Reno. Aku jadi salah tingkah.
"Terima kasih, Dek," ucapnya sambil mengambil kaos yang kupilihkan dari tanganku.
Setelah mengenakan kaos dan celana pendek, Mas Reno menyisir rambutnya dan memakai minyak wangi. Mas Reno memang selalu rapi dan wangi. Walaupun cuma berada di rumah.
"Makan, yuk, Dek! Mas Lapar!" ajaknya. Kemudian merangkul bahuku.
Usai makan, kami memilih menonton televisi di kamar. Meskipun seringnya televisi yang menonton kami. Karena kami selalu asyik berbincang membahas apapun. Mulai dari pekerjaan Mas Reno sampai gosip yang kudapat dari ibu-ibu.
Kali ini suasananya lain. Aku masih canggung setelah kepergok membuka ponselnya sembunyi-sembunyi. Apalagi pikiranku masih kusut oleh pesan yang Indira kirim.
Disela-sela Mas Reno bercerita tentang Tedi yang baru saja punya anak, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Kamu ingin punya anak juga, Mas?" tanyaku.
Biasanya ia akan menjawab, "punya kamu aja aku sudah sangat bersyukur, Dek." Namun, kali ini ia diam sambil menatapku dalam. Aku jadi merasa gelisah.
"Dek?" panggilnya.
"Hem?" sahutku.
"Kamu mau janji?" tanyanya.
"Apa?" Perasaanku semakin tidak enak.
"Kamu janji ya, apapun yang terjadi kamu tetap di sisiku! Jadi istriku!" pintanya.
"Kenapa aku harus janji?" Aku tak mau terjebak.
"Karena aku ingin selamanya bersama kamu. Bagaimanapun ujian yang menerpa rumah tangga kita."
Aku hanya diam tak tahu harus menimpali apa. Kerena aku perasaanku masih tidak enak. Pikiranku masih tentang status WAnya.
"Kok, diam sih, Dek?" protesnya. "Janji, ya!"
Aku hanya mengangguk. Mas Reno meraih jemariku. Menggenggamnya erat kemudian dicium dengan mesra.
"Dek, beberapa bulan lalu aku ketemu Bulan," akunya. Bulan merupakan mantan pacar Mas Reno saat kami kuliah. Waktu itu kami sempat putus. Aku pacaran dengan orang lain begitupun Mas Reno. Ia pacaran dengan Bulan. Kemudian kami nyambung lagi setelah Bulan pindah ke luar kota dan aku putus dengan Andika.
Mendengar itu dadaku berdenyut nyeri. Mataku mendadak panas dan berembun.
Bulankah yang dimaksud Mas Reno dalam statusnya?
"Lalu?" tanyaku.
"Dia kasian sekali, Dek."
"Kenapa?"
"Suaminya selingkuh dan suka main tangan. Anaknya sampai meninggal saat mereka bertengkar di jalan dan mobil mereka kecelakaan," kisah Mas Reno.
Mas Reno tahu sedetail itu, itu artinya mereka selama ini berhubungan cukup dekat. Aku jadi kembali teringat status WA Mas Reno. "Terima kasih untuk hadiah terindah ini. Percayalah, akan kujaga sepenuh jiwa. Bertahanlah bersamaku!"
Apa Bulan memberinya hadiah? Hadiah apa? Lalu mungkinkah Mas Reno akan melindungi Bulan dari suami jahatnya? Itukah maksud status Mas Reno? Atau lebih dari itu?
"Lalu?" Aku tak kuasa berkomentar panjang.
"Setelah peristiwa kecelakaan itu, suaminya pergi tanpa kabar. Akhirnya Bulan menggugat cerai."
"Oh, jadi Bulan sudah janda," sahutku. Aku cemburu. Tak suka Mas Reno membahasnya seperti ini.
Mas Reno diam beberapa saat. Mengeratkan genggaman tangannya. "Suaminya enggak terima Bulan menggugat cerai, Dek. Meskipun hakim sudah memutuskan. Karena suaminya sudah pergi lebih dari tiga tahun tanpa kabar apalagi nafkah."
"Kok gitu?"
"Iya, akhirnya bulan dan keluarganya melarikan diri ke kota ini. Karena suaminya selalu mengancam dan menyakiti dia."
"Kenapa enggak lapor polisi aja?" usulku. Lebih baik polisi yang melindungi Bulan daripada suamiku. Aku tak mau cinta lama mereka bersemi kembali.
"Orang tua mantan suaminya pejabat yang punya pengaruh, Dek. Dulu Bulan pernah lapor untuk kasus KDRT yang dialaminya, tetapi enggak ditindak," jelas Mas Reno.
"Kok kamu tahu detail sekali, Mas?" tanyaku tak suka.
"Maaf, Dek," ucapnya. Mas Reno terdengar menghela nafas panjang. "Kami sudah menikah dan Bulan sedang hamil."
Bumi serasa berhenti berputar saat kudengar pengakuan Mas Reno. Kemudian semua planet bertabrakan menciptakan kehancuran yang membinasakan alam semesta. Setelah tubuhku membeku beberapa saat, aku menoleh menatap Mas Reno yang sedari tadi bergeming menatapku. Lebih tepatnya seperti menunggu responku. "Kalian sudah menikah?" tanyaku tak percaya.Mas Reno tak langsung menjawab. Mata yang sebelumnya tampak berbinar, pelan-pelan meredup. Dia terlihat menyesal. Meskipun aku tak tahu apa yang disesalinya. Karena telah mengkhianatiku atau terlanjur memberitahu."Maaf," gumamnya dengan tatapan kosong.Aku berdecak sambil tersenyum miris. Kupalingkan wajah dari Mas Reno. Memandang televisi yang entah sedang menayangkan acara apa. Kuhirup udara banyak-banyak. Dadaku rasanya sesak sekali, sampai-sampai sulit untuk bernafas."Apa kamu enggak mikir gimana perasaanku?" tanyaku dengan suara bergetar. Satu persatu bulir bening berjejalan keluar dari pelupuk mata.Melihatku menangis, Mas Reno langsun
Aku tertegun begitu mendengar perintah berisi ancaman dari Mas Reno. Kemudian aku berbalik menghadap lelaki itu. Seperti itukah watak asli Mas Reno? Lelaki yang selama ini begitu royal, memberikan semua fasilitas terbaik. Tak membiarkanku ikut mencari nafkah. Karena dia ingin bertanggung jawab atas segalanya. Sekalinya aku tak mau menurutinya, dengan congkak meminta kembali semua yang sudah dia berikan."Baik, Mas," ucapku tegas.Kubuka dompet, mengambil semua uang tunai, kartu debet dan kontak mobil berserta STNKnya. Kemudian kulempar ke arah lelaki itu. "Ambil semuanya!" geramku.Sekarang isi dompetku hanya tersisa kartu identitas dan kartu lainnya. Tak ada sepeserpun uang. Melihat cincin kawin yang masih melingkar di jariku pun, segera aku melepasnya. "Ini, satu lagi!" Kulempar cincin kawin kami. Benda kecil melingkar itu berdenting kemudian menggelinding dan berhenti di antara aku dan Mas Reno. "Dek!" Mas Reno terperangah melihat apa yang aku lakukan. Sebenarnya berat, bahkan
"Ya ampun, Sil! Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?" tanya Fani sambil mengguncang-guncang tubuhku yang luruh di trotoar.Aku hanya terkulai lemah sambil menangis pilu. Membiarkan Fani merengkuhku. "Ya ampun, Sil. Maafkan aku! Maafkan aku, Sil!" Fani memelukku erat. Tangisku semakin pecah dalam pelukan Fani.Fani, Reno .... Reno selingkuh! Reno sudah menikah lagi, Fan! Aku harus bagaimana?Ingin kukatakan itu pada Fani, tetapi tenggorokanku tercekat sehingga tidak mampu berkata-kata. Kalimat itu hanya menggema di dada. Membuat batinku semakin tersiksa. "Fani ....""Iya, Sil. Maafin aku!" ucap Fani sambil mengeratkan pelukannya. "Menangislah, Sil! Keluarkan semua!"Aku semakin kencang menangis. Tak peduli orang-orang yang menantap heran kepadaku. Hatiku sakit. Sakit sekali.Sejak tadi aku berusaha kuat. Berusaha untuk tidak meratap. Namun, akhirnya hatiku tak mampu lagi menampung kepedihan ini sendiri.Tuhan, ini sangat berat. Bahkan aku masih berharap kalau ini semua hanya mimpi.
"Mas, ngapain di sini?" tanyaku tak suka melihat Mas Reno di kursi sebelah ranjang."Mas nyariin kamu kemana-mana, Dek!" akunya."Mas, tolong, aku sudah enggak bisa meneruskan pernikahan kita! Biarkan aku pergi!" Kuambil kain basah yang menempel di keningku. Rupanya aku demam sehingga Mas Reno mengompresku. Hah, aku bahkan sampai tak memikirkan kondisi tubuhku sendiri."Dek, Mas mohon! Beri Mas kesempatan!""Enggak, aku enggak bisa!""Dek, Mas mohon!""Enggak, Mas!"Mas Reno mengacak-acak rambutnya. Lelaki di depanku ini terlihat begitu frustasi. Kedua tangannya kini bertaut di kepala belakangnya. Beberapa saat, Mas Reno menunduk dalam.Sedang aku berusaha tak peduli padanya. Hatiku terlanjur hancur oleh perbuatannya. Mungkin kalau kesalahan lain, aku bisa memaafkan. Namun, untuk kesalahan Mas Reno yang satu ini aku benar-benar tidak bisa mentolerir.Mas Reno kembali menatapku dengan sorot memohon. "Dek, kita pulang, ya!" bujuknya. "Enggak mungkin, kan, kamu dalam kondisi begini ada
Beberapa lembar uang dan kartu debet kumasukkan ke dalam saku. Perlahan, kusingkap selimut dan turun dari ranjang. Begitu telapak kaki menapak tanah, rasa sakit menyerang sampai terasa ke ubun-ubun."Ah, aku belum minum obat," gumamku.Segera kuambil obat di nakas dan meminumnya dengan air putih di sampingnya.Kuhela nafas panjang kemudian bergumam, "aku harus kuat!"Aku tak bisa kembali bersama Mas Reno, karena tahu hatiku tak akan mampu untuk berbagi. Apalagi dengan Bulan. Dia salah satu alasan dulu aku sempat putus dengan Mas Reno saat masih kuliah. Ternyata setelah putus mereka benar pacaran. Lalu sekarang, wanita itu kembali masuk dalam kehidupan kami."Loh, Sayang?" Aku terkejut saat tiba-tiba Mas Reno berdiri di depan pintu."Mau ngapain?" tanyanya.Meskipun jantungku berdegup kencang, sebisa mungkin kubuat semua terlihat biasa saja. Aku tak mau lelaki itu mengetahui rencanaku."Minum obat," jawabku ketus."Oh, kenapa enggak nunggu Mas dulu?" protesnya. "Harusnya kamu tiduran
"Apa yang anda lakukan?" pekik Dokter Rahardian saat tiba-tiba tanpa permisi Mas Reno menyibak tirai.Jantungku rasanya mau meloncat keluar. Kusembunyikan wajah dibalik tubuh Dokter muda itu. Kupegang erat-erat selimut yang menutup tubuhku sampai batas leher. Keringat dingin semakin bercucuran."M-maaf, saya ...."Dokter Rahardian langsung memotong ucapan Mas Reno. "Silahkan pergi, kami sedang memeriksa pasien!" titahnya.Sepertinya Mas Reno langsung pergi. Aku masih sangat khawatir kalau-kalau dia kesini lagi.Kulirik bagian kaki, untung saja perawat sudah menutupnya dengan selimut. Jadi Mas Reno tak melihat luka di kakiku."Ada-ada saja!" gumam Dokter Rahardian sambil geleng-geleng saat membaca catatan medis dari perawat yang memeriksaku."Bu, demamnya cukup tinggi," ucap Dokter Rahardian. "Rawat inap, ya? Takutnya ada infeksi."Aku tertegun mendengar itu. Siapa yang akan mengurus administrasi dan yang lainnya."Gimana, Bu?" tanya Dokter Rahardian. "Apa ada yang bisa dihubungi?" "T
"Ren, jawab Mami!" bentak wanita berkacamata dengan bingkai emas tersebut. "Kamu apakan Sisil?"Mami menatap tajam pada anak lelakinya itu. Sementara Mas Reno tak berani menatap wanita yang telah melahirkannya tersebut. Lelaki berkaos hitam itu hanya mengusap-usap tengkuknya."Ren?" kejar Mami. "Lihat mata Mami!"Takut-takut Mas Reno menatap wajah Mami, tetapi tak lama menunduk lagi."Kamu enggak mau ngaku?" ancam Mami.Mas Reno masih membisu. Aku menahan diri untuk tak membuka suara. Ingin kulihat apakah Mas Reno berani jujur pada Mami atau tidak."Apa gara-gara masalah ini Sisil sampai sakit?" cecar Mami lagi."Mi, ... Reno ... Reno ...." Mas Reno tergagap."Apa? Ngomong yang benar!" bentak Mami lagi.Aku belum bisa merasa tenang walaupun Mami memarahi Mas Reno seperti ini. Karena kalau nanti Mami tahu Bulan sedang hamil, bisa jadi Mami bisa menerima pernikahan mereka. Dan aku tersingkir.Perhatian kami tiba-tiba buyar saat terdengar suara pintu dibuka. Seorang perawat datang sambil
Aku terperangah melihat Papi tiba-tiba bangkit. Kemudian secepat kilat mendaratkan tamparannya di kedua pipi Mas Reno, sampai berkali-kali.Aku dan Mami sampai terpekik melihatnya. Aku baru pertama kali melihat, Papi marah sampai seperti ini. Papi adalah lelaki berwibawa, ketika marah biasanya Papi lebih memilih diam dan berbicara dengan bijak ketika dirasa waktunya tepat.Namun, kali ini kulihat napas Papi sampai terengah-engah, matanya seakan mau meloncat keluar dari tempatnya, rahangnya mengatup dan giginya sampai gemeletuk."Anak kurang ajar!" umpatnya. "Memalukan!"Dilayangkannya sekali lagi telapak tangannya. Hingga bunyi ceplak terdengar cukup keras ketika telapak tangan itu mengenai pipi kiri Mas Reno.Mas Reno hanya diam dan pasrah dengan apa yang diperbuat Papi. Seolah ia menerima dan merasa pantas diperlakukan seperti itu."Pergi!" bentak Papi. "Pergi sebelum kubunuh kamu dengan tangaku sendiri! Pergi!"Mas Reno bergeming. Ia tak peduli dengan ancaman Papi. "Sisil!" seru P