Story W* Istriku bag 7
**
"Syahdan ada apa denganmu? Mengapa wajahmu berubah seperti itu, ada masalah kah?" tanya Ummi yang melihat secara langsung perubahan di wajahku.
Bagaimana Ummi bisa tahu? aku harus pandai menutupi ini agar mereka tidak curiga terutama Naya. Dia pernah melihat aku ditelepon Vika dan kali ini aku harus pandai berkilah kalau semua baik-baik saja.
"Tidak ada apa-apa, Ummi. Syahdan baru ingat kalau baru saja membeli buku baru tentang definisi keluarga bahagia. Syahdan ambil dulu sebentar, karena bisa dibaca-baca sekilas buat nambah pengetahuan buat nanti jadi pemateri." jawabku, ku usahakan agar aku tidak gugup.
"Ya udah, kamu ajak sekalian Naya," ucap Ummi. Namun Naya hanya membuang muka dan memasang wajah masam.
"Sebentar aja kok Nay. Aku akan kesini lagi," ucapku pada Ummi, aku bergegas pergi.
Aku tak boleh kecolongan, bagaimana kalau Vika tiba-tiba hadir disini pasti masalah bisa tambah runyam.
[Aku sudah berjalan keruangan Abi, Beib]
Mataku membola membaca pesan darinya. Mengapa dia begitu nekat, apa yang diinginkan Vika sebenarnya. Aku berjalan cepat dan benar saja aku melihat Vika dengan langkah gontai hendak ke ruangan Abi. Aku bergegas mendekatinya dan secara cepat aku tarik tangannya.
"Mas Syahdan!" ucap Vika terhuyung saat aku sudah menariknya.
"Ngapain kamu?" tanyaku, netra ku juga sudah celingak-celinguk ke sana ke mari. Aku takut ketahuan lagi oleh Naya. Istriku itu selalu tahu saja apa yang kulakukan.
"Aku mau menunjukkan rasa simpati ku dengan melihat Abi," tegasnya sambil mengelus lenganku, aku melepas tangannya kasar.
"Kok kamu mandang aku sengit gitu sih!" kata Vika marah.
Aku tak bisa jelaskan disini, dengan cepat kubawa dia keluar dari rumah sakit itu. Mau tak mau Vika mengikutiku.
Kami tiba diparkiran, Vika segera ku paksa masuk ke mobilku. Dia dengan kesal mengikuti perintahku walau dia sempat berontak. Aku segera melajukan mobilku. Berharap tak ada yang melihat aku bersama Vika.
Vika geram dengan perbuatan ku, kini mobil sudah ku lajukan, aku akan berbicara sekali lagi pada Vika memberitahu padanya agar jangan muncul lagi di hadapanku.
"Apa-apaan kamu, Syahdan? Kamu mau bawa aku kemana?" teriaknya panik, Vika terlihat gusar saat aku dengan kencang melajukan mobilku.
"Vika, kamu g*la ya. Kamu mau memb*n*h abi ku dengan muncul disana?!" ucapku marah padanya. Dia tertawa getir dan aku muak melihatnya.
"Apa bukti mu menuduhku seperti itu? Aku hanya menunjukkan rasa simpati ku pada keluarga kalian."
"Gak usah banyak omong, kehadiran mu merusak suasana. Semua sudah mulai kondusif dan aku sudah jelaskan sama kamu kalau kita berpisah saja."
"Artinya aku bagai sampah dong. Bertahun-tahun aku nunggu kamu namun kamu kawin sama perempuan lain. Aku baru aja datang dan alangkah senang aku kamu mau nerima aku lagi. Kamu anggap cintaku gak berarti.
Bukankah kamu juga cinta sama aku, selama beberapa tahun kamu membohongiku dengan berkata kamu belum menikah dan aku memaafkan kebohongan mu." Vika mencebik padaku tak terima keputusanku dimasa lalu.
"Vik, aku menikah atas desakan Abi dan Ummi karena kasihan dengan Naya yang dari keluarga broken home."
"Tetapi kamu gak menolak dan tetap menikahinya. Cih, kamu berkata tak cinta nyatanya kalian punya anak. Lelaki b*suk kamu, Mas!" Vika mencibir kesal padaku, ada benarnya perkataannya.
Justru melihat Naya dimalam pengantin kala itu aku tak bisa menahan hasrat liar dalam diri. Aku merayunya agar dia mau menyerahkan dirinya padaku dan rayuan itu begitu ampuh hingga sekarang Naya masih ingat dengan ucapan asal ku tempo hari.
Ku banting stir begitu saja membuat Vika hampir terjerembab jika dia tidak menggunakan seat belt. Aku keluar dari mobil, Vika mengikuti.
"Kamu mau b*nuh aku!" geramnya padaku.
"Cukup Vika. Aku sudah minta baik-baik sama kamu tetapi mengapa kamu tak paham juga."
"Kamu pikir hati aku terbuat dari batu, aku punya rasa cinta sama kamu dan gak bisa begitu saja melupakan. Setelah kamu main-main sama aku terus aku dibuang begitu saja. Apa artinya hubungan kita selama bertahun-tahun?
Aku lebih lama kenal sama kamu dibanding istri kamu!" Vika tak terima, dia menyilang kan kedua tangannya memandangku dengan sorot tajam.
Aku muak sekali seperti ini, aku hanya pacaran dengannya dan tak pernah berbuat melampaui batas tetapi mengapa dia menuntut ku harus bertanggung jawab penuh padanya. Belum sempat aku berbicara Vika menyambung ucapannya.
"Aku rela jadi nomor dua jika keluargamu masih mau mempertahankan istrimu, asal aku tetap menjadi nomor satu di hatimu," sambungnya dengan ringan, dia tak tahu perasaanku panas disana. Mengatur Naya saja aku sulit ditambah dia menawarkan diri menjadi istri keduaku. Aku masih diam namun sorot mataku tajam melihatnya.
"Kamu tenang, Mas. Kita menikah secara diam-diam dulu. Setelah semua kondusif maka kita go public. Bagaimana?" tawarnya dengan suara mendayu.
"Mengapa kamu tak pernah mengerti posisiku. Apa salahnya bila kita putus, toh aku dan kamu tak pernah berhubungan b*dan jadi tanggung jawab apa yang kau mau dariku?" tanyaku pelan padanya.
Aku harus mampu mengendalikan diriku dihadapannya karena emosi akan membuat aku semakin stress menghadapinya.
"Mengapa kau hanya memikirkan kedudukan mu? Enak sekali hidup mu jika begitu, aku merasa cocok padamu dan masalah kita hanya kau sudah beristri. Aku siap jadi yang kedua kurang apa pengorbananku.
Begini saja, kalau kamu tak bisa wujudkan permintaanku maka aku akan melakukan hal yang sama seperti istrimu lakukan!" Vika mulai mengeluarkan gawainya dan aku tak paham apa maksudnya.
"Daripada aku merasa kecewa lebih baik kita hancur bersama. Apa kamu mau?" ancamnya padaku menunjuk beberapa photo mesra kami.
Photo dia mencium ku dan aku tersenyum, photo kami berlibur di pantai bersama teman-teman yang lainnya juga namun kami disana selalu bersama kemana-mana. Sehingga kesannya aku pergi berdua dengannya.
"Apa maksudnya, Vika?" tanyaku dengan wajah pias tak sangka amarah Vika sangat besar untuk memilikiku padahal aku hanya main-main dengannya.
"Aku akan jadikan photo-photo mesra kita sebagai story ku di beberapa aplikasi biar semua tahu hubungan dekat kita." ucapnya enteng. Aku sudah mencebik kearahnya namun dia tenang.
Kamu sudah g*la Vika!" sambungku,
"Iya, aku sudah g*la karena kamu yang membuat aku jadi g*la." balasnya sengit.
"Kamu ngancam aku!"
"Ya, hanya dengan cara ini kita bisa bersama."
Aku merasa frustasi dengan sikap Vika, ingin ku g*mpar dia namun aku masih berpikir jernih. Bagaimana kalau dia laporkan aku dengan tindakan kekerasan.
Aku masih berpikir keras disana namun suara getar gawai mengacaukan semua. Vika tahu panggilan itu penting dia mencibir kearahku.
"Dari istrimu!" ucap Vika melihat nama Naya di gawaiku. Dengan terpaksa kuangkat karena Naya sudah ada kemajuan mau menghubungiku.
"Asaalamualaikum."
"Waalaikum salam. Dimana kamu?" Naya berkata kasar padaku.
"Hmm aku ...." Aku bingung mau menjawab apa.
"Dia bersamaku!" tiba-tiba Vika menyambung. Langsung ku tutup mulut nya.
"Siapa dia, Mas?" tanya Naya.
Apa yang harus kulakukan sekarang??
Bersambung
Story Wa Istriku bag 50.**PoV Syahdan."Nay, kita diundang di acara pernikahan boy dan Vika. Kita datang ya?" Ucapku pada Naya, dia hanya tersenyum samar."Aku malas, Mas.""Kenapa? Aku tak bisa datang sendiri dan aku mau datang bersama kamu," ucapku dengan lembut ke istriku seperti sebuah permohonan."Nanti dia melihatku tak senang. Dia itu masih menginginkanmu!""Tidak mungkin. Lihatlah bocah suaminya itu. Sangat mencintai Vika dan orang tuanya juga memaksa menikahkan mereka.""Kenapa kita harus datang kesana!" ucapnya ketus. Aku hanya tersenyum melihat wajah cemberutnya."Kita kan diundang, Nay. Jadi sebaiknya lita datang. Kita tunjukkan juga sama Vika kalau kita itu pasangan yang harmonis,""Ya sudah baiklah. Aku ikut!" ujarnya mengalah."Terima kasih, sayang." ucapku. Naya mengulas senyum. Lama kami saling menatap. Tiba-tiba aura saling menginginkan berubah. Ku dekatkan wajahku ke Naya dan dia sepertinya
Story Wa Istriku bag 49.**"Ana diterima, Mi." kudengar suara Ana yang bahagia. Bahagia kenapa?"Ustaz Fikri menerima Ana!" Lanjutnya."Assalamualaikum," aku bersuara. Suamiku melirikku dengan senyuman."Abi, Nenek ...." Ahmad berlari ke arah Mas Syahdan yang berbaring sementara kedua asisten dan Baby sitter menunggu di luar."Sini, sayang!" kata Mas Syahdan menyuruhku duduk dekat dengannya. Aku duduk di dekatnya."Maaf ikutan nimbrung. Siapa yang menerima Ana," kataku penasaran."Ustaz Fikri, Kak Naya. Alhamdulillah dia bersedia menjadi suami Ana," lanjut adik iparku dengan wajah sumringah berseri. Aku tersenyum sembari memberi ucapan selamat."Alhamdulillah, Ana. Selamat semoga acara lancar dan disegerakan pernikahannya," ucapku, walau aku tahu Ana baru saja lulus, mungkin tak ada niat melanjutkan pendidikannya."Terima kasih, Kak Naya.""Hmm .... Ana sudah mantap, K
Story Wa Istriku bag 48.**POV Author.Naya keluar dari ruang privat Syahdan. Membiarkan sang suami beristirahat agar kondisi nya lekas pulih. Rasa bahagia terasa nyata, apalagi Naya memegang pipinya yang memerah akibat ucapan cinta barusan yang dikatakannya. Memalukan, padahal sudah suami istri namun bila mengucapkan kata itu rasanya agak aneh juga."Naya!" suara itu membuat Naya berpaling melihat siapa yang memanggilnya."Mama, Ummi dan Ana!" seru Naya melihat kedatangan orang tuanya. Mama langsung menghambur memeluk Naya, bergantian Ummi dan Ana."Maafkan kami karena sudah membuat Mama, Ummi dan Ana jadi repot menyusul kesini," ucap Naya, pasti mereka lelah belum lagi akan mengalami jetleg."Tak apa, Nay. Bagaimana kabar Syahdan. Ummi mau berjumpa!" seru Ummi."Mas Syahdan sedang istirahat supaya kondisinya cepat pulih. Operasi di perut berjalan lancar. Kita sama-sama berdoa semoga Mas Syahdan lekas pulih, Mi." ucap Naya pada
Story Wa Istriku bag 47.**PoV Naya."Papa!" seruku saat melihat Papa berjalan dengan langkah cepat menghampiriku."Bagaimana Syahdan, Nay?" tanya Papa dengan raut wajah cemas. Aku memeluknya dengan netra yang basah."Sedang di tangani dokter, Pa!" Papa mengelus lenganku memberikan aku kekuatan dengan sentuhannya."Sabar, dear. Kamu banyakin doanya. Semoga Syahdan lekas sembuh,""Dimana Ahmad, Pa?" tanyaku ke Papa sambil mengurai pelukan kami,"Dia di rumah dan aman walau tadi mengamuk minta ikut. Tetapi sebaiknya dia di rumah saja dulu bersama asisten dan perawatnya," ucap Papa."Terima kasih, Pa." Papa mengangguk kan kepalanya, aku mendesah sambil mengelap kasar mataku. Dari tadi yang kulakukan hanya menangis.Cukup lama kami menunggu. Hingga akhirnya dokter keluar. Secara cepat kami mendatangi dokter itu."Wie ist der Zustand meines Kindes, Doktor?"(Bagaimana kondisi anak saya, Dokter?) Papa berbica
Story Wa Istriku bag 46.**PoV Naya.Mama menghubungi melalui panggilan video, aku tersenyum sekaligus memandang Papa."Mau kah Papa berbicara pada Mama?" tanyaku padanya,"Papa malu, karena meninggalkan mamamu, dia pasti marah sama Papa," lirih Papa menarik napas panjang."Mama gak marah lagi karena Mama merasa ini sudah takdir, Mama menunggu, Pa!" ujarku dengan lembut. Dia akhirnya mengangguk. Ku tekan tombol terhubung."Assalamualaikum," ucap Mama di seberang panggilan."Waalaikum salam,""Naya, sudah ketemu sama Papa, nak?""Alhamdulillah, Ma. Sudah,""Bagaimana kabar Papa, nak?""Mama bicara sendiri ya," kataku, kulihat wajah mamaku pias. Aku tahu, dia sampai detik ini masih mencintai Papa, walau dia bilang tidak cinta lagi namun, Mama gak bisa membohongi aku. Alasan Mama tak mau menikah lagi juga cukup klise, Mama takut dikhianati dan sakit hati lagi sehingga Mama memilih sendiri sampai detik in
Story Wa Istriku bag 45.**PoV Naya."Guten tag." Mas Syahdan memanggil. Kami menunggu di luar rumah sederhana namun berdesain klasik itu. Udara dingin menusuk tulang ku, masih musim gugur namun dinginnya eropa sudah terasa, mungkin akan lebih dingin lagi bila masuk winter. Suamiku membetulkan jaket yang kupakai. Mas Syahdan sekarang berubah jadi suami perhatian dan terkadang genit. Tetapi aku menyukainya. Sudah lama sekali aku ingin dia perhatian padaku.Kami menunggu diluar beberapa saat kemudian keluar pria paruh baya dengan jaket dan topi. Dia menatap kami dengan kerutan di dahinya. Tubuhku bergetar melihat wajah papaku, sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Terakhir kali aku melihatnya saat usiaku tujuh belas tahun. Mama berpisah dengannya saat aku masih remaja. Bahkan, dia tak datang ke pesta pernikahanku. Alasannya dia sakit dan mendoakan yang terbaik buatku.Aku adalah anak yang tumbuh tanpa Papa saat aku beranjak dewasa. Kasih sayan