Share

Bab 5 : Memahami

Rumah sederhana dengan kolam ikan dan taman hijau di luar cukup membuat ku terpesona begitu pintu gerbang terbuka otomatis. Belum lagi gazebo yang teduh dengan rerumputan hijau menambah kesan cinta alam.

"Kak Rafsya suami tersayangmu kangen nih. Lagian kenapa juga ngga saling tuker nomer W******p sih,"ucap Amayra menyodorkan HP nya. "Rafsya saya kemarin sudah nyusun semua baju dari rumah kamu di lemari.

Nanti kalo ada kurang nya atur aja sendiri. Amayra ngajak kamu kemana tadi,"tanya Fatih. "Kemana? Cuma ke apotek beli salep karena yang kemarin habis,"ucapku. "Yee suudzon mulu sih,"celetuk Amayra.

"Ya sudah. Nanti jam setengah 5 saya pulang. Langsung bersihkan diri saja sesuaikan senyaman mu saja. Assalamualaikum,"ucap Fatih menutup panggilan. Dia meminta ku bersih-bersih atau akan membuat tugas yang akan datang. "Waalaikumussalam,"ucapku masuk ke dalam rumah yang membawa suasana sejuk dan penuh nuansa hijau.

Untuk seorang pria yang tinggal sendiri, rumah ini tergolong rapi dan sangat menggambarkan pemilik rumah. Namun mata ku justru terpatri dengan salah satu foto yang dipajang di ruang tamu. "Tuh kan kak. Kalo di foto kelihatan lebih dewasa,"ucap Amayra mengomentari foto bersama. Cepat juga pria itu menyesuaikan semua hal didalam rumahnya.

"Apa karena make up nya? Sudahlah Ay. Namanya juga dadakan. Siapa juga yang akan berpikir pulang praktikum langsung dinikahi dosen pembimbing nya,"ucapku. "Loh memangnya Kak Fatih ngga ada lamaran atau apa gitu?,"tanya Amayra. "Pak Fatih cuma pesan. Nanti jangan pulang dulu. Dan ternyata di bawa ke rumah dengan kondisi sudah banyak orang dan dekorasi penuh.

Dengan berbagai pertanyaan yang ngga bisa disangkal sampai akhirnya sudah buntu ngga bisa mikir argumen lagi. Ya sudah setuju menikah langsung akad,"ucapku. "Sebercanda itu? Mau nikah kayak mau makan di restoran aja. Pilih pilih dulu, ngga ada ya sudah makan aja yang ada. Sudahlah yang penting kalian sekarang sudah menikah dan aku punya temen.

Ayo kak ku kasih liat kamar nya Kak Fatih,"ucap Amayra menarik ku ke dalam kamar yang sangat luas bergaya arsitektur modern. "Kayaknya ini sudah di sesuaikan dengan maunya Kakak sih. Makanya di atur pake dua meja begini. Tumben juga dia mau beberes,"ucap Amayra. "Lah emang selama ini ngga pernah?,"tanyaku. "Pernah, cuma kakak tau kan. Serapi apapun laki-laki itu selalu sama saja. Kayaknya mau jaga image di depan istri mahasiswa nya nih,"ucap Amayra menyenggol lengan ku.

"Ada-ada aja kamu Ay. Ngomong-ngomong dimana dalaman baju ku,"ucapku melihat semua baju ku tersusun rapi di lemari sesuai jenisnya. "Ngga ada di dalam koper nya kah?,"tanya Amayra. "Kosong Ay. Dimana lagi di simpan nya,"ucapku membuka koper yang telah kosong. "Nanti tanya Kak Fatih aja. Daripada cari ngga ketemu-ketemu,"ucap Amayra ada benarnya.

Terlihat dari corak wallpaper dinding nya bergaya arsitektur lebih feminim sudah jelas ini kamar Amayra. Kulkas dengan berbagai jenis sayuran, buah hingga minuman dingin tersusun rapi. Belum lagi berbagai alat masak yang tampak bersih mengkilap. Sungguh pria yang idaman bukan. Sembari melihat jam tinggal 20 menit lagi Fatih pulang, sepertinya memasak tumis dengan ikan goreng saja cukup untuk makan malam.

"Harum apa ini?,"tanya Amayra memasuki dapur. "Tumis Ay. Mau makan apa biar ku masakin,"ucapku melumuri ikan dengan bumbu. "Kakak pintar masak?,"tanya Amayra mulai penasaran. "Ngga juga. Cuma ada tau beberapa jenis masakan aja,"ucapku. "Oalah. Kapan-kapan kalo free masak yuk. Kak Fatih tuh suka sekali nastar tau,"ucap Amayra membuatku terhenti sejenak.

"Nastar? Nanti lah kita buat,"ucapku melanjutkan menggoreng ikan. "Kakak ngga pernah buka jilbab?,"tanya Amayra tampak semakin penasaran. "Buka sebenernya. Aku ngga sekalem namaku kok Ay. Hanya saja ngga ada jalan lain. Lukanya terlalu menjijikkan kalo terlihat di mata,"ucapku tersenyum kecil.

"Kak ngga maksud gitu. Maksudnya itu,"

"Iya aku ngerti Ay. Cuma ku pikir lebih baik ditutup rapat saja,"ucapku. "Tapi kakak kok masih bisa tetap santai dan ngga terbebani sama sekali sih. Kalo aku pasti sudah ngga mau hidup lagi dengan luka begitu dan pasti sangat membenci Kak Fatih yang notebenenya penyebab lukanya,"ucap Amayra. "Trust me. Hidup jauh lebih berharga dibanding hanya luka yang berteman baik dengan kulit ku. Dulu aku mikir masih bisa buka jilbab. Tapi setelah menikah, ku rasa ngga perlu.

Semua perempuan selalu ingin cantik dan semua istri pasti selalu ingin menjadi permata yang bisa dilihat kapan saja dengan menarik oleh suaminya.Daripada menampilkan tubuh dengan bercak merah di bagian kiri, mending berjilbab Ay. Dengan begitu aku merasa jauh lebih nyaman dan lebih baik,"ucapku. "Omo. Kak Rafsya memang sudah cantik dari sananya.

Kak Fatih juga sudah bertanggung jawab kok. Pasti dia mau menerima apa adanya kakak. Ngga usah sedih gitu lah,"ucap Amayra menepuk pundakku meyakinkan. "Itu kan menurutmu Ay. Aku ngga bilang sedih ya. Lagian aku cuma berharap aja akan ada kehidupan lebih baik di masa yang akan datang. Ay tolong bawa ikan sama tumis nya ke depan. Aku mau mandi dulu,"ucapku mengalihkan perbincangan.

"Oke,"ucap Amayra mengangkat lauk dan sayur ke depan, menyisakan ku dengan setetes air mata yang akhirnya jatuh.

'Jika suatu saat nanti, kakak mu sendiri yang memilih menjauhi ku karena fisik ku. Dengan senang hati aku yang akan pergi. Dia pantas mendapat gadis yang jauh lebih cantik daripada aku dan jelas yang lebih hebat,'ucapku dalam hati.

-&-

"Kok bau harum masakan. Siapa yang masak?,"

Sayup-sayup ku dengar suara Fatih memasuki rumah. "Istri kakak lah. Mana bisa aku masak Kak,"ucap Amayra. "Maaf saya hanya sempat masak itu aja,"ucapku. "SIAPA YANG SURUH KAMU MASAK? Saya pernah minta kamu masak?,"tanya Fatih membuat ku seperti terkena sengat listrik. "Maaf Pak. Saya cuma merasa tadi pagi bapak belum makan nasi, makanya saya pikir perlu masak,"ucapku agak bergetar.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Fatih meninggalkan ku terpaku di meja makan dan jangan lupakan pintu yang dibanting keras. Dalam pikiran ku, bukan tengah dimarahi suami tapi dimarahi dosen saat salah didalam praktikum. "Loh kenapa ini?,"tanya Aini yang baru saja tiba bersama Himawan. "Ngga papa Bun. Kak Fatih terlalu banyak pikiran aja. Mari masuk Yah Bun. Rafsya sudah masak cuma ngga begitu banyak macem nya.

Bentar Rafsya mau ke belakang dulu,"ucapku berlalu masuk sembari menguatkan diri. "Its Okey Sya. Mungkin Pak Fatih banyak pikiran dan butuh istirahat,"ucapku mengusap butir air mata yang terus turun. "Mungkin aja kan ya. Ini ngapain pakai turun sih. Alay nya aku. Tahan Sya tahan. Anggap aja ini dosen yang kasih tau kamu. Tetap tenang dan pikirkan hal yang indah Sya. Ehm momen menyenangkan di kost. Iya di kost,"ucapku tersenyum lebar sambil berusaha menghapus sisa air mata yang turun.

Masih hari pertama ngga boleh lemah. Duh lagian aku hanya mau berbuat baik. Hanya saja dimarahi dosen memang selalu mengerikan. Sembari tersenyum lebar, ku langkahkan kaki menuju meja makan. "Rafsya darimana Nak,"tanya Himawan membuatku mendongak. "Dari dapur Yah. Tadi lupa matikan air,"ucapku. "Oalah. Mari makan. Mana Fatih?,"tanya Aini. "Bun kak Fatih itu nah

"Kak Fatih kayaknya masih mandi. Tadi di kampus mungkin banyak sekali agendanya, jadi biar Rafsya saja yang bawakan nasi nya. Selamat makan Yah Bun Amayra,"ucapku mengambil nasi beserta lauk dan sayur nya. Meninggalkan  wajah yang penuh tanya di meja makan. Dengan keberanian di ujung kuku, ku ketuk pelan pintu. "Pak makan dulu,"ucapku. "Masuk,"ucap Fatih dingin dari kamar membuat semua keberanian ku luntur. Tapi kalo aku ngga masuk lebih bahaya.

Ku lihat punggung nya yang masih basah dari rambutnya jatuh mengenai kaos yang dikenakan nya. Akh kalau saja dia tidak marah pasti aku akan terbius dengan pesonanya. "Kunci pintu nya,"titah Fatih makin membuat ku bergetar ketakutan. "Sudah saya bilang sebelumnya jangan banyak gerak selagi belum sembuh,"ucap Fatih mengambil sepiring nasi yang ku bawakan dan menaruhnya di atas meja belajar. "Maaf Pak,"ucapku menunduk dalam sembari berjalan mundur.

"Memang semua mahasiswa saat ini suka beralasan. Sekarang alasan mu, saya belum makan nasi. Kamu sendiri tau di luar sana juga banyak tempat yang bisa menyediakan nasi tanpa harus repot-repot. Dengan memasak berati Anda sudah tidak peduli dengan yang saya katakan,"ucap Fatih menghampiri ku tepat di depan ranjang. "Maaf Pak,"ucapku benar-benar takut maksimum. "Dan saya sudah bilang langsung bersihkan diri juga tidak kamu indahkan,"ucap Fatih.

"Karena saya tidak tau dimana bapak menyimpan dalaman baju saya,"ucapku berani menjawab. Karena alasan satu ini makanya aku belum juga mandi sampai dia pulang dari kampus. Fatih mengerutkan sebelah alisnya sejenak sebelum akhirnya berlalu. Membuatku menghela nafas lega. "Saya menyimpan nya di sini. Jadi sekarang bukan alasan untuk mandi. Pergilah,"ucap Fatih segera ku laksanakan.

Untung nya aku bukan tipikal yang mandi lama. Baru mau pakai baju baru ku ingat salep nya ketinggalan. Mana aku hanya membawa baju kaos sama celana selutut. Kebiasaan di kost juga begini karena kalau malam ngga kemana-mana lagi. "Pak. Bapak masih diluar?,"tanyaku tapi tidak ada sahutan hanya hening. 'Kayaknya diluar ini. Karena ngga mungkin dia pura-pura ngga nyahut,'ucapku dalam hati memberanikan diri keluar kamar.

"Untung ngga ada orang,"ucapku berjalan santai mencari salep yang sudah ku beli. "Dimana gerang ku taruh? Rasa-rasanya aku makin besar makin cepat pikun,"ucapku sembari mencoba mencari ke lemari. "Kamu cari ini?,"tanya Fatih mengangkat salep di depan mataku. "Iya eh astagfirullah,"ucapku mau kabur tapi tangan ku lebih dulu dicekal. Dengan  tenaga pria dewasa dengan ku tentu tau siapa yang akan kalah. "Pak saya bisa obati sendiri,"ucapku menolak di obati mengangsurkan tangan kiri ku.

"Baik saya akan setuju. Tapi apa tujuanmu pakai celana yang kurang bahan itu?,"tanya Fatih membuat ku melihat turun ke arah kaki ku. Benar saja dibilang kurang bahan. Ini kan biasanya ku pakai tidur, dengan posisi berdiri saja sudah cukup mengekspos setengah paha putih ku. "Saya ngga tau kalo bapak di dalam kamar. Bapak juga kenapa ngga bilang kalo di dalam kamar,"ucapku tak mau kalah. Ayolah cari mati saja dengan mengelak dari pertanyaan Fatih.

"Pertama saya tadi sholat. Sudah jelas dengan baju yang saya pakai dan yang kedua waktu sholat sudah mau habis. Cepat sholat baru saya oleskan,"ucap Fatih melepas cekalan pada tangan kanan ku. Tanpa menunggu dua kali ngomong, segera ku pakai mukena. "Tau ngga bedanya laki-laki dan perempuan. Kalo kamu menyentuh laki-laki apa itu membuat wudhu mu sah?,"tanya Fatih membuat kedua pipi ku bersemu.

'Untung suami ya Rabb,'ucapku menahan kesal dalam hati.

-&-

Selepas sholat, ku lihat Fatih bersandar di atas ranjang sembari menatapku lekat. Haruskah pria itu menatapku begitu lekat?

Perlahan ku lepas mukena yang membalut  sembari menyodorkan tangan kanan ku.  Dengan tinggi minimalis ku, Fatih tak perlu bersusah payah berdiri untuk menggapai kening ku. Ehh kenapa pula dia berdiri dan membalik tubuh ku 180 derajat.

'MY FIRST KISS!!!???,"ucapku dalam hati melotot menatapnya yang hanya memejamkan mata. Ku pukul berulang dada bidang nya untuk menghentikan namun tak dihiraukan nya. "Aihh bapak berdosa sekali. Itu my first kiss saya khusus buat suami bukan bapak,"protesku mengomel sendiri saat Fatih menatapku intens. "Jadi saya siapa kamu Rafsya?,"tanya Fatih. "Dosen ehh dodolnya Rafsya,"ucapku mengetuk jidatku keras.

Ditengah kondisi lengah ku, Fatih menarik tangan kiri yang masih belum terbalut perban. "Pak ngga usah. Nanti bapak ngga nafsu makan. Mending bapak makan aja ehh bapak belum makan kan. Nah biar saya ngobati luka saya sendiri,"ucapku berusaha meraih salep yang sengaja di tinggikan. "Saya yang obati atau saya cium kamu,"tanya Fatih deep voice membuatku meneguk liur dalam-dalam sembari membungkam bibir ku dengan tangan kanan ku.

"Mau lagi?,"tanya Fatih mendekatkan wajahnya. "Rafsya manut,"ucapku segera duduk tanpa komentar lagi membuatnya terkekeh. Dasar pria tua. Akh biar tua dia juga suamimu Rafsya. "Buka bajumu,"ucap Fatih. "Jangan Pak. Bagian tubuh saya yang tertutup baju sudah mau kering karena jarang aktifitas di bagian itu. Lebih baik lengan aja,"ucapku. "Auh shh pelan-pelan Pak,"ucapku mendesis perih begitu salep dioleskan. "Sebentar saya ambil perban nya dulu,"ucap Fatih beranjak mengambil perban.

"Pak biar saya aja. Lagian ngga enak dilihat,"ucapku berusaha meraih perban namun tak di indahkan. "Kamu sudah makan?,"tanya Fatih sembari memasang perban di lengan ku gelengkan. "Maafkan saya terlalu keras tadi. Saya sudah bilang jangan banyak gerak nanti lukanya ngga sembuh-sembuh,"ucap Fatih terdengar seperti sebuah perhatian. Apa aku boleh tersenyum untuk ini?

"Belum lebaran Pak,"ucapku nyeleneh membuatnya mencubit hidungku. "Kebiasaan Dek,"ucap Fatih terkekeh geli. "Sudah, sekarang ayo makan. Besok praktikum dengan saya kan. Jangan sampai lupa belajar. Karena saya tidak akan memasukkan mahasiswa yang tidak bisa menjawab pretest,"ucap Fatih memakaikan outer lengkap dengan jilbab nya. Sepertinya kalimat kepedulian nya barusan menggugurkan semua rasa takut ku.

Di meja makan tampak Himawan, Aini dan Amayra menatapku yang baru saja keluar dari kamar bersama Fatih setelah waktu yang agak lama. "Banyak pikiran Fat?,"tanya Himawan. "Ngga begitu Yah,"ucap Fatih. "Besok lagi sebanyak apapun pikiran jangan melampiaskan semua itu di rumah. Ini bukan maksudnya membela loh ya. Rafsya juga Nak. Selama luka nya belum sembuh ngga usah bekerja terlalu keras dulu ya,"ucap Aini ku angguki. "Belum pada makan?,"tanyaku melihat lauk dan sayur masih utuh.

"Kak Rafsya kami kebiasaan tunggu semua orang baru makan. Lagian Ayah sama Bunda juga pengen mampir dan ngga dalam kondisi terburu-buru juga,"ucap Amayra ku angguki. "Baru pertama kali selama dari lulus SMP sampai sekarang makan bareng.

Dulu di rumah bapak sama ibu sama-sama orang sibuk. Belum lagi kalo aku sudah balik ke asrama jadi makin nampak kayak pajangan aja meja makan nya,"ucapku tersenyum.

"Nah berarti sekarang harus makan bareng terus,"ucap Amayra disambut gelak tawa seisi meja makan. "Kenapa lagi ini?,"tanya Fatih menunjuk beberapa bagian yang melepuh terkena percikan minyak goreng di tangan kanan ku. "Biasa nanti hilang sendiri,"ucapku santai melanjutkan makan. Dengan cepat, Fatih mengambil piring ku dan menuangkan nya di piring nya. "Kamu makan dengan saya,"ucap Fatih. "Mana bisa begitu,"ucapku mengelak.

"Siapa yang suruh masak? Mau kanan kiri luka, begitukah? Makan,"ucap Fatih menyuapkan nasi. "Rafsya. Fatih memang ngga terbiasa membuat orang lain susah karena nya sendiri,"ucap Aini memberiku pengertian. "Tapi kan saya ngga susah,"ucapku. "Makan yang bener terus belajar. Praktikum besok agak susah,"ucap Fatih membuat ku tertegun sembari melanjutkan makan.

"Jomblo kok gini amat yak. Aku jadi mengkhayal seandainya dokter Alfa menikah dengan ku. My Docter My Husband,"ucap Amayra. "Ay selesaikan koas dengan benar dulu baru nikah,"ucap Fatih. "Iya ya kak. Bun, Kak Rafsya sama Kak Fatih ngga berencana punya anak kah?,"ucap Amayra sontak membuat ku tersedak nasi yang belum ku kunyah bersama dengan Fatih. "Ay bisa fokus makan dulu kah?,"tanya Fatih.

"Lah aku kan tanya Bunda. Lagian kalian kan sudah sah di mata hukum maupun agama. Apa yang salah kalo punya anak? Ngga sabar nya aku main sama keponakan kecil,"ucap Amayra makin ngelantur kemana-mana. "Ayra kakak mu sama kakak ipar mu memang sudah nikah. Tapi berdasarkan aturan dari kampus harus disembunyikan dari semua mahasiswa. Nah berati tunggu Kakak ipar mu lulus dulu. Sabar ya sayang,"ucap Aini sabar.

"Kak maaf ya,"ucap Amayra ku balas dengan anggukan. "Tuh Kak. Ngga perlu ngamuk juga kali. Aku tau kok kakak ipar ku sangat baik. Ngga kayak kamu,"ucap Amayra kesal."Ngomong terus Ay. Habiskan makanmu,"ucap Fatih. "Dah lah Kak. Kakak ini umurnya 35 masih aja kekanakan debat sama aku. Liat kak Rafsya lebih muda masih tetap berpikir dewasa. Cie yang besok ngampus bareng,"ucap Amayra menaik turunkan alisnya."Sudah Ay sudah. Jangan godain kakak mu terus,"ucap Himawan menutup obrolan ringan makan malam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status