Share

Perasaan Fay

Di tempat lain, tepatnya di kediaman Fay.  

Gadis itu terdiam di atas meja belajar yang berada di dalam kamarnya. Di depannya ada setumpuk buku dan materi diktatnya. Namun, belum ada yang ia sentuh sama sekali.

Pikiranya bergerak mundur ke waktu dimana tatkala sang Mama dan Papa mengatakan bahwa dirinya akan dijodohkan dangan anak sahabat mereka.

“Fay..!” panggil Papa waktu itu ketika mereka berkumpul di teras setelah menikmati sarapan di hari Minggu.

“Iya Pa,” sahut Fau sambil menoleh.

“Fay, nanti malam ikut Papa dan Mama menemui sahabat kita ke resto Green House,” ucap Papa dengan senyum tampannya meski usianya sudah menjelang setengah abad tapi kadar ketampanannya belum pudar sedikitpun. Mungkin ini juga yang membuat Mama semakin jatuh cinta dan lengket dengan suaminya itu.

“Harus gitu Fay iku?” tanya Fay keheranan karena keduanya jarang-jarang mengikutsertakan dirinya pada acara-acara reuni atau semacamnya setelah dirinya menginjak usia delapan tahun.

“Harus. Karena…” Papa menoleh menatap Mama seolah meminta persetujuan wanita terkasihnya itu.

“Kami berdua akan mempertemukan dengan jodohmu,” ucap Mama sejenak setelah Papa menatapnya.

“Maksud kalian?” Fay bergantian menoleh ke arah Mama dan Papanya.

“Kamu sejak kecil sudah kami jodohkan dengan putra dari sahabat kami. Dan besok adalah waktunya kalian untuk bertemu,” sambung Papa.

“Tapi Ma, Pa…”

“Gak pake tapi Fay, temuilah dia dulu!” ucap Mama tanpa mendengarkan penjelasan Fay.

Padahal Fay hanya mau bertanya, apakah lelaki yang dijodohkan dengannya itu bersedia menikah dengannya? Namun, orang tuanya seakan tidak ingin mendengarkan ucapannya.

Ya sudahlah, Fay akhirnya hanya menurut saja.

***

Malamnya di resto Green House.

Fay memilih sebuah gaun berlengan lonceng pendek warna hitam dengan melebar ke bawahn sampai lutut. Bagian atasnya berleher bulat tidak terbuka sehingga terkesan nyaman baginya.

Bagi Fay mengenakan gaun adalah sesuatu yang menyiksa. Bagaimanapun sehari-hari gadis itu memilih mengenakan celana jeans model dan warna apapun dipadu dengan atasan t-shirt atau kemeja longgar.

Jadi, saat Mama memintanya mengenakan gaun. Ia tampak bingung. Beruntung ia memiliki gaun warna hitam. Satu-satunya gaun koleksinya.

Mama dan Papa Fay terlihat begitu bangga dengan penampilan putrinya malam itu. Fay terlihat anggun dan cantik dengan balutan dress sederhananya.

Saat masuk ke dalam resto ternyata keluarga Om Guntur, sahabat Papa Mama sudah datang dan menunggu kedatangan mereka.

“Bima… Alia…” sapa Guntur begitu Mama dan papa memberi salam kepada ketiganya.

Pelukan kerinduan keempatnya secara bergantian menandakan betapa akrabnya persahabatan mereka.

“Oh iya ini Ezar!” Guntur memperkenalkan Ezar kepada Mama dan Papa.

“Ini si Fay!” Mama Fay memperkenalkan putrinya.

Auto Ezar mencium takzim punggung tangan kedua orang tua Fay, begitupun Fay melakukan ritual yang sama kepada orang tua calon suaminya. Iya, calon suami begitu kata Mama dan Papanya.

Meskipun Ezar bermental cassanova, tetapi dihadapan orang tua apalagi sahabat orang tuanya Ezar masih memiliki sopan santun. Minimal menjaga wibawa dirinya sendiri. Masa bodoh dengan kedua orang tuanya.

Setelah acara perkenalan, mereka berenam duduk bersama melingkari sbeuha meja sambil menunggu menu yang sudah dipesan keluarga Ezar. Karena keluarga menyerahkan pilihan menu kepada mereka ketika dijalan tadi.

“Bagaimana Fay kuliahnya?” tanya Guntur kepada Fay.

“Alhamdulillah lancar, Om,” balas Fay sembari melemparkan senyum kea rah calon meretuanya.

“Semester berapa?” kali ini suara Tante Shafiya yang menyambung pertanyaan suaminya.

“Semester enam, Tan.” jawab Fay tanpa ragu.

“Wah, pas dong. Tahun depan lulus?” timpal Guntur yang diamine ketiga orang dewasa lainnya.

“Benget tuh, Pa. Ezar juga sudah mapan dan siap. Bagaimana, Bim? Apa kita percepat saja pernikahan mereka?” ujar Guntur.

“Pa… Ma…” Tiba-tiba saja Ezar nyolot dengan suara tinggi kepada Mama dan Papanya.

Guntur dan Shafiya menoleh dengan cepat kea rah Ezar seolah memberi kode, ternyata tidak diacuhkan oleh Ezar.

Pemuda itu masih berusaha membantah ucapan orang tuanya.

“Ma… Pa… Ezar udah bilang dari awal gak akan mau dijodohin ama siapapun,” Netra lelaki itu terlihat memerah dan rahangnya mengeras.

“Ezar!” seru Guntur menurunkan nada suaranya, ia tampak malu dengan putranya yang sudah membuat gaduh resto tersebut.

Akibat ulah putranya itu, meja mereka menjadi pusat perhatian pengunjung lainnya. Bima dan Alia tampaknya tidak terlalu terkejut dengan sikap Ezar yang menolak mentah-mentah. Orang tua Fay tersebut hanya menyimak pembicaran ayah dan anak tersebut.

“Pa…., aku udah bilang kan di rumah. Aku mau cari istri dengan caraku sendiri. Gak kayak gini juga. Apa anakmu ini kurang ganteng. Di luar sana masih banyak cewek ngantri jadi istriku,” sembur Ezar.

“Ezar…!” Guntur ingin sekali menampar dan memaki putra sulungnya itu dengan kata-kata kasar dan membalikkan keadaan lalu mengatakan kehidupan bebasnya.

Namun, pria paruh baya itu masih memiliki perasaan tidak ingin membeberkan keburukan putranya sendiri dihadapan sahabat serta calon besannya itu.

Ezar semakin geram dengan Papanya yang masih saja berusaha menjodohkan dirinya dengan anak sahabatnya itu.

Pria muda itu menatap gadis yang akan dijodohkan dengannya itu. Ezar bahkan belum mengenal gadis itu. Hanya sekedar bertanya nama saja ia segan.

Setelah menatap Fay yang masih tertunduk, Ezar meninggalkan resto dengan wajah kesal.

Guntur dan Shafiya hanya bisa meminta maaf atas ulah putranya kepada Bima dan keluarganya, terutama pada Fay.

“Fay, maafin Ezar ya!’ ucap Shafiyah dengan wajah sedih.

“Sebetulnya dia anak yang baik, tapi mungkin karena kesalahan kami yang terlalu memanjakan dia sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga jadilah ia anak yang keras kepala,”  lanjut Mama Ezar.

“Fay, gak pa-pa kok Tan,” jawab Fay dengan ramah. Padahal dalah hati ia merasa kesal juga diabaikan pertama kalinya oleh seorang pria.

Padahal selama ini ia adalah mahasiswi yang paling dicari di kampus. Tak jarang ia mendapati mahasiswa berbagai angkatan bergerombol di depan kelasnya ahanya untuk sekedar menyapa tau memberinya hadiah.

Bukan saja karena kecantikannya, tetapi karena prestasi akademiknya.

Fay benar-benar kesal. Andai ia bisa, Fay juga ingin berontak dan meninggalkan lokasi resto tersebut. Namun, ia masih menghormati kedua orang tuanya. Jadilah ia hanya menyimak pembicaraan keempat orang dewasa di sekitarnya itu tapa tahu harus berbuat apa.

***

Tiba di rumah, Guntur mencari keberadaan putra sulungnya itu dengan amarah yang meledak-ledak.

“Ezar…!" panggil Guntur begitu membuka pintu kamar anaknya dengan kasar.

Diatas Kasur tampak Ezar sedang berbaring dengan menyandarkan kepalanya di punggung ranjang dengan nyamannya. Namun, rasa nyaman itu memudar tatkala Guntur masuk kamarnya dengan wajah marah.

Plak.

Plak.

Dua tamparan di pipi kanan kiri Ezar menjadi awal pelampiasan kejengkelan dan kemarahannya atas kejadian di resto green house tadi. Belum lagi harus menanggung rasa malu kepada keluarga Bima.

“Kamu benar-benar membuat Papa malu, Zar!” geram Guntur.

“Mau kamu itu apa?” sambung Guntur masih dengan nada tinggi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status