Pagi ini, Violet menyiapkan sarapan untuknya dan Vier. Untuk pertama kalinya setelah menikah, dia memasak untuk suaminya. Setelah ini, dia harus mencari asisten rumah tangga. Violet tak mungkin memiliki waktu sebanyak itu untuk melakukan pekerjaan rumah.
“Violet masak?” tanya Vier dengan sedikit kekaguman. Vier sudah terlihat rapi dengan pakaian kantornya. Kemeja berwarna navy dengan celana bahan. Tidak ada dasi yang menggantung di kerahnya, atau jas yang memeluk tubuhnya. Ya, Vier hanya seorang asisten pribadi. Bukan bos.
Terkadang Vier merasa kecil di depan Violet yang adalah seorang bos. Dia bahkan terkadang bingung bagaimana dia harus memperlakukan istri 6 bulannya tersebut. Sedangkan Violet seolah tak memiliki beban apa pun berhadapan dengannya.
“Iya. Ayo, kita sarapan.” Violet meletakkan dua mangkuk bubur di atas meja makan sebelum ikut duduk di kursi makan. “Hanya ada sisa bahan makanan di dalam kulkas. Jadi hanya ada ini untuk sarapan.”
Vier mengangguk. “Bukan masalah.”
Keheningan lantas menyelimuti saat keduanya menikmati sarapan. Seolah mereka sedang menjalani ritual keheningan. Hanya ada dentingan sendok dan mangkuk yang beradu.
Violet lebih dulu menyelesaikan makannya. Menenggak minumannya, tatapannya mengarah pada Vier.
“Aku akan mencari asisten rumah tangga. Apa Abang setuju?” tanyanya, “aku bukan tidak ingin mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi aku tidak memiliki banyak waktu sebanyak itu untuk melakukannya.” Violet terus terang.
“Kamu bisa mencarinya.” Vier menyetujui. “Kita sudah berbagi rumah sekarang. Lakukan apa saja yang membuatmu nyaman.”
Bukankah Vier adalah lelaki yang baik? Dia hanya seorang lelaki yang dimanfaatkan untuk menutupi rasa malu keluarga Rizal Bimantara. Tapi, dia sama sekali tak terlihat marah atau sejenisnya. Bahkan tidak memperlakukan Violet dengan buruk. Tidak sama sekali.
Mereka akan berangkat ke kantor ketika Hara tiba-tiba datang ke rumah Vier. Perempuan itu menatap kekasihnya dengan binar mata yang cerah.
“Vier!” Segera, dia memeluk Vier di depan Violet. Menganggap istri Vier tidak ada di depannya. “Aku tadi hanya iseng mau datang untuk melihat keadaan rumah kamu. Kamu pasti jarang membersihkannya, ‘kan, setelah meninggalkannya? Jadi aku berinisiatif untuk membersihkannya setelah pulang kerja nanti.”
Senyum Hara melebar sampai telinga. Raut wajahnya secerah mentari pagi. Tampaknya, hatinya dalam keadaan mood yang baik.
“Aku akan menunggu Abang di mobil. Berikan aku kuncinya.” Violet tak ingin melihat adegan menjijikkan di depannya. Akan lebih baik dia menghindar.
“Tunggu.” Hara mencekal tangan Violet menghentikan langkah perempuan itu. Kunci mobil yang tadinya akan Vier serahkan kepada Violet, kini berada di tangan Hara. “Karena kalian sekarang berada di rumah ini, biarkan aku memberikan sedikit informasi.” Tidak ada raut takut yang tersemat di mata Hara. Dia seolah ingin membuat masalah kepada istri kekasihnya itu.
Violet yang tadinya enggan menatap wajah Hara, kini berbalik untuk menghadapi gadis itu. Raut wajah Violet dingin luar biasa. Tatapan tajamnya mengusik ketenangan Hara. Tapi, Hara mengabaikan.
“Kami biasa berbagi apa pun. Bahkan rumah ini. Kami sering menghabiskan waktu di sini.” Hara memulai. “Jangan marah kalau aku juga melakukannya lagi setelah ini. Kamu, hanya istri kontraknya, kan?” Senyum Hara lembut seperti senyuman Putri Salju. Dia ber-akting seolah dialah protagonisnya. “Dan, aku akan sering datang ke rumah ini,” lanjutnya dengan nada menegaskan.
Hara lantas memicingkan matanya setelah mengeluarkan informasi itu. Violet tak segera berbicara. Tapi dia tak bersedia ‘diajak’ oleh Hara di bawah kakinya.
“Wanita yang bermoral tidak akan melakukan itu,” katanya dengan santai. “Apa pun sebutan hubungan kami, kami tetaplah pasangan suami istri. Kedudukan kita tak sama. Kamu hanya kekasih, tapi akulah yang menikah dengan Vier secara sah. Jadi, jangan mengatakan kalimat sampah di depan wajahku. Itu menjijikkan.”
Bagaimana bisa Hara ingin menekan Violet sedangkan Violet adalah orang yang ada di atasnya dalam segala hal. Raut wajah Hara gelap seketika. Amarah menguasainya tanpa bisa dicegah. Kekasih Vier itu hampir melayangkan tangannya ke pipi Violet ketika Vier sendiri mencekal tangan Hara.
“Hentikan, Hara,” katanya, “ini masih pagi. Jangan membuat keributan.”
Merasa tak terima dengan ucapan Vier. Hara melepaskan tangannya dengan kasar. Dia bilang, “Kamu ini kenapa sih, Vier? Kamu sudah mulai jatuh cinta sama dia? Kenapa kamu selalu membela perempuan ini di depanku?” Air mata Hara sudah hampir jatuh dari pelupuk matanya. Namun, dia menahannya.
“Dia, pelakor ini ….”
“Tutup mulutmu!” Violet memotong ucapan Hara dengan suara dingin dan tajam. “Aku sudah mengatakan aku hanya meminjam kekasihmu untuk waktu 6 bulan. Kita sudah sama-sama tahu dan jangan membuatku marah dengan kata menjijikkan yang kamu berikan kepadaku!”
“Kamu bilang meminjam? Tapi kamu bahkan mengancamku untuk mendapatkan hatinya.” Hara berteriak kencang di depan wajah Violet. Dua perempuan itu tidak ada yang ingin mengalah. Mereka saling melotot seolah ingin menghancurkan satu sama lain.
“Tentu saja aku akan melakukannya kalau kamu terus mengusik kehidupan kami,” tantang Violet. “Maka berhentilah. Aku tahu apa yang harus aku lakukan jadi jangan pernah melakukan ini lagi.”
“Kamu berpikir Vier akan menerimamu? Tentu saja tidak. Hanya dalam mimpimu.”
Violet ingin membalas ucapan Hara, tapi dia menahannya. Tapi tentu saja, Hara menyadari seringaian Violet yang penuh dengan makna. Istri Vier itu masuk kembali ke dalam rumah dan keluar setelah beberapa saat.
“Aku akan ke kantor lebih dulu, Bang,” pamitnya. Dia akan berangkat dengan mobilnya sendiri. “Aku tidak memiliki banyak waktu untuk meladeni perempuan gila seperti dia,” katanya tajam sambil berlalu dari hadapan sepasang kekasih. Lama-lama Violet muak dengan wajah Hara yang baginya sangat menjengkelkan.
Teriakan Hara menggema di seluruh penjuru tempat itu. Violet hanya terus berjalan tanpa memedulikan. Bahkan sampai tenggorokan Hara berlubang pun Violet tak akan pernah peduli. Terdengar Vier mencoba berbicara dengan Hara, dan biarlah itu menjadi tanggung jawab Vier kepada kekasihnya. Yang penting bagi Violet adalah segera pergi dari tempat itu.
Kericuhan ini membuat perasaan Violet terjun bebas. Rasa kesal menggantung di dalam hatinya. Sampai dirinya di kantor, baru saja dia duduk, Raya masuk ke dalam ruangannya dan berkata,
“Ibu, Pak Evan ingin bertemu dengan Anda.”
***
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa