Share

SA - Bab 4

Aku sedang menikmati mujair goreng yang dimasak Buk Tami, saat tiba-tiba saja Inara terdengar merintih. Perempuan itu sedikit membungkuk, lalu memegangi dada kiri.

Kujeda gerakan mengunyah. Sudah akan menghampiri dia, tetapi Ibu dan suami perempuan itu lebih dulu melakukannya. Jadi, aku lanjut menggerakkan rahang, menghaluskan makanan di mulut.

Inara pasti kambuh lagi. Entah di mana Ibu membawanya berobat, sepertinya selama ini ia dirawat dokter gadungan. Bertahun-tahun sudah menjalani perawatan, minum obat ini dan itu, sudah dua kali operasi, tetapi jantungnya masih saja bermasalah.

Inara sudah begitu dari lahir. Sejak kecil, dia sering pingsan. Kelelahan sedikit, pingsan. Terkejut sedikit, pingsan. Bahkan untuk sekadar ikut upacara di sekolah saja dia itu enggak sanggup.

Ibu sudah membawanya ke beberapa dokter. Kata mereka kelainan jantung yang Inara punya sulit disembuhkan. Paling bisa dibantu obat dan beberapa kali operasi. Namun, setelah semua itu dilakukan, kondisi anak kedua ibuku itu enggak membaik.

"Kita ke dokter, saja, ya?"

Aku melihat Gatan memegangi Inara dengan wajah cemas. Lelaki itu menggenggam tangan istrinya erat-erat.

Inara menggeleng. "Aku cuma perlu istirahat sebentar, Mas."

Aku berdecak pelan. Ibu dan Gatan langsung melotot. Aku salah lagi sepertinya.

"Kamu ini memang tidak punya hati! Bisa-bisanya kamu tetap makan saat adikmu sakit, Anesya?"

Aku menaikkan alis pada Ibu. Tetap makan bagaimana? Apakah Ibu enggak lihat sendok sudah kutaruh? Apa harus makanan yang telanjur dikunyah dibuang?

"Pergi ke rumah sakit, deh," kataku pada Inara. "Bertahan di sini waktu kamu sakit gini, cuma bikin aku jadi orang yang selalu disalahkan."

"Siapa yang tidak akan menyalahkan kamu, Anes? Semua orang panik, kamu bisa makan dengan tenang?! Akui saja kalau kamu memang tidak punya otak dan hati. Tidak heran tak ada yang mau menerima kamu!"

Ibu memapah Inara untuk dibawa ke kamar. Aku hanya bisa tersenyum miring pada wanita itu.

"Ibu juga, akui saja."

Ibu berhenti berjalan. Wanita itu menoleh dengan wajah merah padam.

"Ibu memang dari awal enggak pernah suka aku. Karena itu, semua-semua disalahkan ke aku. Aku cuma suruh Inara ke rumah sakit tadi. Tapi, apa? Ibu malah ngatain aku enggak punya otak sama hati. Apa kalian berdua belum cukup untuk bantu dia, sampai-sampai aku juga harus ikut?"

Mataku menatap lurus pada Ibu. Aku enggak takut.

"Ini bukan waktu yang tepat, An--"

"Diam kau!" bentakku pada Gatan. Kutoleh dia dengan sorot penuh kebencian. "Jangan ikut campur," sambungku dengan rahang mengetat.

"Apa karena Inara sakit, aku jadi enggak boleh makan?" lanjutku pada Ibu. "Makan dengan tenang?" Tawaku terdengar hambar. "Apa kalau anak kesayangan Ibu sakit, aku harus sampai membuang makanan yang udah sempat kukunyah? Terdengar enggak waras."

Aku bangkit dari kursi. Sengaja mendorong bekas dudukan itu kuat-kuat, sampai jatuh sekalian. Biar orang-orang itu tahu kalau aku juga marah.

Siapa yang bisa tetap dingin kepala saat dikatai enggak punya otak, padahal enggak melakukan apa-apa? Apa jantung Inara yang kumat itu salahku?

"Ibu pasti capek menghadapi aku, 'kan? Jadi, daripada bikin Ibu sakit darah tinggi dan bikin malu keluarga, biarkan aku pergi dari rumah ini. Besok aku pergi."

Usai mengatakan itu, aku pergi dari ruang makan. Lelah rasanya harus terus-terusan mengalah di rumah ini. Aku juga harus mengingatkan Ibu bahwa tinggal di sini bukan keinginanku. Ibu yang menyuruh. 

Aku punya tempat tinggal sendiri. Sebulan sebelum digugat cerai, aku sudah pindah ke kos-kos-an. Ibu yang meminta aku tinggal di sini.

Jika keadaannya seperti ini terus, agaknya keputusan setuju harus diganti. Aku enggak tahan. Jantung Inara yang rusak, aku yang dikatai enggak punya otak. Aneh. Keluarga ini aneh.

***

"Kak, jangan pergi dari sini." Inara mengejar langkahku yang sudah mencapai pintu.

Aku berbalik, lalu menyipit pada dia. Dia malah menangis. Sepertinya kepergianku akan diiringi drama pagi ini.

Ibu datang dari arah dapur. Wanita itu memberi tatapan benci padaku, lalu memegangi putrinya yang masih tampak enggak sehat itu.

"Masuk ke kamarmu, Anes. Mau jadi apa kamu tidak tinggal dengan Ibu? Makin liar kamu nanti."

Aku menepis tangan Inara yang memegangi lengan. Pandanganku sama sekali enggak berpindah ke Ibu.

"Aku mau pergi, Inara. Jangan bikin drama. Kamu memangnya cukup sehat untuk drama nangis-nangis begini?"

"Anes!" Ibu memperingatkan.

"Maaf, Kak. Maaf kalau Inara selalu bikin Kakak susah. Inara nggak maksud begitu. Jangan pergi. Kakak sendirian di sana. Siapa yang bakal nemenin Kakak?" Inara kelihatan susah payah menarik napasnya. Aku curiga sebentar lagi dia akan tumbang.

Lalu, aku lagi yang disalahkan? Bisa enggak anak satu ini berhenti membuatku terlihat jahat?

"Kalau kamu sadar udah salah, enggak usah larang aku pergi." Aku memutar tumit, kemudian berjalan cepat keluar dari rumah itu.

Pergi dari sana adalah yang terbaik. Dulu, waktu Ayah masih ada, mungkin aku masih punya alasan untuk tinggal. Beliau akan membelaku dari perlakukan kejam ibu kandung rasa ibu tiri. Namun, sekarang Ayah sudah enggak ada. Jadi, tinggal terpisah dari Inara dan Ibu adalah yang paling baik.

***

Kembali ke kos-an, aku langsung didatangi tetangga sebelah. Namanya Rahisa. Dia lebih dulu tinggal di kos-kosan ini.

"Aku kira kamu enggak akan balik lagi." Dia memberi pelukan yang berhasil membuat bibirku tersenyum.

Aku menepuk-nepuk punggungnya. Kami duduk di lantai usai berpelukan, dia langsung membongkar tas belanja berisi camilan yang kemarin aku beli. Melihatnya menatap senang camilan yang kubaw, rasanya enak sekali.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu balik kemari?" tanyanya antusias.

"Apa lagi memangnya? Mana betah aku hidup seatap sama Ibu."

Pada Rahisa, walau kami baru dekat sebulan, aku sudah menceritakan semuanya. Soal nasib pernikahanku yang gagal dua kali, juga tentang keluargaku. Aku masih ingat, dia ini menangis ketika pertama kali mendengar kisahku.

Benar kata orang. Hanya yang pernah mengalami sakit yang bisa mengerti cerita sedih. Rahisa ini buktinya. Dia bisa mengerti aku dengan baik. Dia bahkan sempat melarang aku kembali ke rumah Ibu kemarin itu. Namun, dasarnya aku suka menyusahkan diri sendiri. Aku menentang sarannya dan datang ke sana.

Rahisa mengangguk-angguk. "Terus, sekarang kamu mau apa?"

"Kek biasa. Ngurusin kerjaan, kumpulin uang, buat pindah ke Mars."

Perempuan dengan mata coklat itu menyipit. Air mukanya jadi sedih. "Aku ditinggal lagi?"

Tawaku lepas mendengar itu. "Loh, kamu, 'kan udah ada Pak Naja?"

Rahisa memukul lenganku. "Kalau bisa enggak usah ke mana-mana. Di sini aja. Kalau pun enggak tinggal di kosan sini, pokoknya masih tempat yang aku bisa datangi. Lagian, kamu ke Mars mau naik apa?"

"Naik odong-odong," sahutku.

"Gilak!" balasnya. "Jangan ke mana-mana. Tempatmu di sini. Di Bumi." Perempuan itu menatapku penuh arti.

Tersentuh hatiku mendengar ucapannya. Sudah kubilang, perempuan satu ini bisa mengerti isi hati tanpa harus aku jelaskan panjang lebar. Padahal, aku hanya pernah cerita sekali padanya soal ingin pergi ke Mars. Namun, dia bisa mengerti dengan baik.

"Eh, karena kamu udah pulang, aku mau beli ikan, dong?" Rahisa mengeluarkan uangnya dari saku belakang, menghitungnya.

"Untuk apa? Untuk Pak Naja?"

Rahisa melotot, tetapi menggigit bibirnya. "Jangan bawa-bawa bosku, Anesya."

"Kenapa? Ih, malu-malu bukan gayamu, Rahisa," ejekku ketika pipinya bersemu merah.

Rahisa tertawa. "Sama kamu harus malu-malu. Di depan Pak Naja baru boleh ng*ngk*ng kayak orang enggak punya malu."

Aku terbahak. Gila perempuan satu ini. Belum ada satu jam aku bertemu dia, tetapi sudah bisa membuatku tertawa dan tersenyum.

"Ayok, ah! Aku mau beli ikan. Setengah kilo, kasih bonus, ya?"

Tadinya, aku ingin mengurung diri di kamar ini. Meratapi nasib yang malang, atau menangis lagi. Namun, karena harus menuruti permintaan Rahisa, niat itu harus dikesampingkan.

Alih-alih menangis, aku malah jalan ke sana kemari dengan dia usai mengurusi pesanan ikannya. Rahisa mentraktir jajan es campur, lalu membelikan satu potong ayam goreng tepung.

"Aku lagi ngirit, jadi kubelikan satu saja. Oke? Dilarang protes!"

Keinginanku untuk menangis entah pergi ke mana. Bersama Rahisa sampai sore, yang kulakukan hanya berceloteh, jalan sana, jalan sini, lalu tertawa macam orang enggak ada beban.

Menangisnya lain kali saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status