Share

SA - Bab 5

Warning!

18+

*

*

*

Aku tiba di kos pukul tujuh malam. Beberapa minggu cuma mengontrol pekerjaan lewat ponsel, ternyata banyak hal yang perlu dilakukan. Aku pergi pukul sepuluh pagi tadi, dan baru selesai sekarang.

Suasana hati agak muram saat aku ingat kalau malam ini Rahisa enggak tidur di kosnya. Rahisa akan menginap di rumah Pak Naja, karena laki-laki itu sakit. Sepertinya, habis mandi nanti, aku langsung tidur saja.

Langkahku yang menuju kamar memelan saat melihat ada orang yang duduk di kursi teras. Kukira salah lihat, sempat sangsi kalau itu Gatan, suaminya Inara. Namun, setelah menginjak teras, ternyata benar lelaki itu Gatan.

Malas meladeni dia, pun enggak tahu apa urusannya ada di sini, aku membuka kamar. Siapa tahu dia nyasar, ya, 'kan? Nanti, kalau aku tanya, dia malah bilang aku ge-er.

Namun, ketika akan menutup pintu, Gatan malah mencegah. Pria itu mendorong kuat, sampai pintu kamar terbuka lebar. Dia menekuk wajah ke arahku, makin terlihat jelek dia.

"Inara tanya kapan kamu datang."

Malas sekali aku mendengar bahasan enggak berguna ini. Seminggu kemarin, Inara terus-terusan menelepon untuk menanyakan serupa. Dan sekarang, perempuan itu sampai harus mengutus suaminya datang ke sini?

Apa Inara pikir aku takut pada suaminya ini?

"Nanti." Aku berucap tanpa membuat nada malas. "Apa perlu aku ingatkan kalian? Aku bukan pengangguran. Aku juga punya hal yang ha--"

"Kapan? Sebut hari, tanggal dan jam."

Aku enggak tahan untuk enggak memutar bola mata. Apa, sih, sebenarnya tujuan Inara melakukan ini semua?

"Mana bisa. Aku sibuk!" Kudorong daun pintu, tetapi lelaki itu malah menerobos masuk.

Dua alisku mengait melihat dia duduk tanpa izin di satu-satunya kursi yang ada di kamar kos. 

"Ngapain kamu?"

Gatan mengeluarkan ponsel. "Aku nggak akan pergi sebelum dapat kepastian. Kapan kamu akan temui Inara di rumah kami?"

Lelaki itu memainkan ponselnya dengan santai. Aku mendengkus jijik dengan aksinya ini. Sumpah, ingin kutendang wajah menyebalkannya itu  supaya pergi sekarang juga.

"Kalian itu maunya apa, sih?" kataku setelah cukup lama diam.

Aku mengacak rambut. Kukira mendiamkannya beberapa saat bisa menggoyahkan niat untuk memaksaku. Ternyata, Gatan tetap duduk dengan santai di sana.

"Kapan kamu datang ke rumah kami?"

Aku berdecak kesal. "Istrimu itu mau apa, sih, sampai ngotot banget aku harus datang? Mau pamer kalau hubungan kalian itu harmonis? Enggak usah, aku udah tahu."

Gatan tak menyahut. Dia terlihat serius menatapi layar ponselnya. Apa ponselnya itu saja yang kutendang, ya?

"Gatan!" Akhirnya aku menendangnya. Menendang kaki kursinya maksudku.

Suaminya Inara itu hanya melirik sebentar, kemudian lanjut mengutak-atik ponsel.

"Inara hanya ingin memastikan kalau kamu sudah memaafkannya."

Aku bersumpah melihat senyum sinis di wajah Gatan.

"Padahal, dia nggak salah apa-apa. Dia cuma kurang beruntung karena punya kakak yang jahatnya melebihi iblis di neraka."

Kali ini aku yang tersenyum padanya. Aku mengusap wajah, kemudian membuang napas keras. Sudah dia yang perlu aku datang ke rumahnya, bukannya membujuk, malah mengatai. Baik. Akan kuladeni dia.

"Aku enggak bisa kasih kepastian bakal datang kapan. Mau kamu duduk di situ sampai besok pagi juga, kamu enggak akan dapat apa pun. Pergi sekarang, atau kamu bakal ditindak sama yang punya kos-kos--"

Ucapanku menggantung di udara, lenyap dibawa angin sebelum rampung, karena Gatan terbahak. Pria itu menyipitkan mata padaku.

"Kos-kos-an ini bebas. Nggak ada jam malam, apalagi batasan. Jangan sok suci kamu. Aku yakin, aku bukan laki-laki pertama yang kamu bawa masuk ke sini."

Aku menghapus semua ekspresi di wajah. Sungguh, aku benci pria ini sampai ke tulang. Karena dia sudah berkata begitu, baik. Mari lakukan yang dia pikirkan.

Kakiku bergerak untuk menaruh tas. Kututup pintu kamar kos, lalu menguncinya. Aku pergi ke dekat lemari, memilih pakaian, sembari menanggalkan kaus. Sembari melakukan kegiatan itu, aku memantapkan hati untuk enggak mundur sekarang, meski rasanya malu sekali.

Dari ekor mata aku bisa tahu kalau tatapan Gatan makin menajam sekarang. Masa bodoh dengan dia! Biar dia lakukan yang dia mau, dan jangan harap aku akan sudi menurut padanya.

Berikutnya aku melepas celana jin. Menutup lemari pakaian, kemudian pergi ke belakang pintu untuk mengambil handuk. Sebelum ke kamar mandi, aku berbalik ke arah Gatan.

Lelaki itu menunduk. Sok sibuk dengan ponselnya, tetapi aku menangkap jika naik turun bahunya menyepat dari yang sebelumnya. Mampus kau, pria sok suci!

Jika dia waras, dia harusnya segera pergi. Sekarang, dia itu adik iparku. Meski dulu kami punya hubungan, tetapi kini dia sudah punya istri dan enggak seharusnya dia ada di kamar kakak iparnya yang setengah telanjang.

Sengaja aku berdiri berlama-lama. Meski malu setengah mati, aku harus bertahan. Aku enggak mau mengalah, yang harusnya kalah itu dia.

Dua menit lewat, Gatan masih di kursinya. Aku enggak kehabisan ide. Jangan dipancing otakku untuk melakukan hal jahat.

"Kalau kamu masih di sini sampai aku selesai mandi nanti ..."

Sadar aku menantangnya, lelaki kurang ajar itu malah menaikkan pandang. Ditatapnya aku lurus-lurus, seolah sekarang aku berpakaian lengkap dan bukan hanya mengenakan dalaman atas dan bawah.

Aduh. Apa aku udah enggak cantik lagi, ya? Kenapa bisa ada pria yang enggak turn on melihat aku setengah telanjang begini? Apa aku bukan perempuan lagi?

"Apa? Kamu mau apa?" tantangnya balik.

Tanganku mengepal di balik punggung. Jangan kalah, kataku pada diri sendiri. Dia harus pergi, apa pun caranya.

"Kuperkosa kamu," kataku dengan senyum miring, sebelum balik badan dan masuk ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, aku berdoa semoga segera mendengar suara pintu dibuka. Agak aneh juga kalau sampai ada kasus perempuan melakukan rudapaksa pada laki-laki, 'kan?

***

Aku bersumpah. Tadi itu aku hanya menggertak. Menemukan Gatan masih di kamar kosku setelah selesai mandi, aku yang hanya mengenakan handuk naik ke pangkuannya.

Menekan tubuhku ke bawah, mengusap tengkuknya beberapa kali, karena tahu bagian itu bisa membuatnya cepat terangs4ng. Aku hanya berusaha menakuti.

Dia masih bergeming dengan wajah keras, aku nekat menciumnya beberapa kali. Enggak banyak, cuma beberapa di leher dan di bibir.

Aku mendengar suara geraman rendah sebelum Gatan berdiri, lalu mendorongku menjauh. Kukira, dia akan segera lari. Namun, dia malah melangkah maju, menerjang, kemudian membuatku roboh di atas kasur.

Gatan mengangkangi pahaku. Menarik handuk yang kupakai hingga lepas, lalu ... senjataku berbalik menikamku.

"Enak? Ini yang kamu mau, 'kan? Kamu suka ini, ''kan?"

Bayangan wajah Gatan yang memerah dan penuh hasrat, seiringan dengan sensasi panas yang pria itu buat di pangkal paha, muncul di benak kini. Membuatku buru-buru menggeleng untuk mengenyahkannya. Aku ingin bangkit dari ranjang, tetapi tubuhku ditarik pelan ke belakang oleh satu lengan Gatan yang sejak tadi ada di pinggang.

Aku berusaha melepaskan diri darinya, tetapi Gatan malah kembali menyelipkan dirinya di sana. Sejak kapan dia bangun lagi? Bukankah tadi dia tidur?

Satu tangannya yang bebas sengaja memijat kencang dan kasar, sebelum mencengkeram kuat. Pria itu mulai bergerak, membuatku lumpuh dan berhenti menolak dia.

Dia melakukannya sampai selesai. Kupikir akan bisa segera lepas, tetapi Gatan tak kunjung memisahkan diri. Anj1ng memang laki-laki satu ini.

"Kalau kamu pikir aku bakal nurut setelah kamu giniin, kamu salah besar," ucapku dengan napas yang belum beraturan.

"Kalau gitu, aku bakal lakuin ini terus." Jantan enggak tahu malu itu menciumi tengkuk.

Aku berusaha menjauhkan tubuh darinya, tetapi gak bisa. Satu kakinya sudah menimpa kakiku dan menahannya agar enggak bisa berkutik.

"Kamu sadar apa yang kamu lakuin ini, Gatan?" Kurasakan kalau mata mulai basah, bersamaan dengan nyeri yang pelan-pelan menyelip di jantung.

"Diamlah. Anggap aja ini mimpi."

Sial. Perkataannya membuat rasa sesal langsung menggunung.

Demi apa pun, aku enggak pernah punya rencana tidur dengan lelaki satu ini, meski kami dulunya punya hubungan. Niatku hanya ingin mengerjainya tadi. Namun, semua malah hancur begini.

"Kamu nangis gara-gara apa?"

Aku mengabaikan tanya dengan nada mengejek itu. Kupejamkan mata, lalu berusaha tidur saja. Biar kucari dulu jawaban untuk tanyanya tadi.

Aku menangis karena apa?

Karena rasa bersalah pada Inara? Enggak. Aku memang sengaja mengerjai Gatan, tetapi lelaki itu yang duluan menyentuhku lebih jauh. Salah dia karena cepat sekali tergoda.

Lalu, kenapa aku menangis?

Karena sudah dipaksa dia berhubungan intim? Sepertinya bukan, sebab beberapa kali desahanku sengaja kubuat agak kencang untuk memancing dia.

Lalu, air mataku ini karena apa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status