Share

15 tahun yang kosong

Author: Ana Battosai
last update Last Updated: 2022-06-28 10:09:40

❤️❤️

Sepanjang perjalanan Imran tak berhenti mengucapkan istighfar. Hatinya pun terasa sesak saat melihat pakaian kerjanya sudah rapi, juga sarapan pagi yang tersedia seperti biasa.

Lima belas tahun Imran melakukan kebiasaan bersama-sama dengan Nisa, setiap hari tanpa ada kata bosan. Tapi kini ia sendiri yang harus menghentikan ini semua. Menyelesaikannya sampai akhir.

Mobilnya berhenti di parkiran kantor, tapi lelaki itu tidak langsung turun. Kedua matanya terpejam, lalu sesaat setelahnya muncul bayangan Nisa yang menangis atas perbuatannya pagi ini.

“Nisa ... maafin, Mas!” ucapnya lirih. Imran menangisi sikap bodohnya. Hatinya benar-benar dilema.

Untuk beberapa lama Imran tidak beranjak dari tempatnya, ia begitu terhanyut pada kesedihan yang ia buat untuk wanita yang dicintainya. Nisa terluka, tapi ia pun teramat sangat sakit.

Imran menoleh sisi kiri kanan, sudah ada beberapa kendaraan yang parkir di sebelahnya. Dengan tangan ia mengusap wajahnya yang basah, embusan napas panjang keluar dari mulutnya, tangan kanan membuka pintu mobil lalu berjalan masuk ke kantor.

Beberapa karyawan mengangguk dengan sedikit badan dibungkukkan saat Imran lewat. Di kantor Imran dikenal sebagai bos yang humble dan low profile. Terhadap para karyawannya pun ia tidak pernah memaksakan jika pekerjaan itu tidak selesai pada hari itu.

Hari ini ada meeting dengan seorang clien penting. Orang itu akan mengadakan kerjasama juga investasi yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Imran harus fokus pada pekerjaannya, meski tidak bisa dipungkiri isi kepalanya penuh dengan Nisa.

“Semangat, Imran!” serunya pada diri sendiri saat sudah tiba di ruangan kerjanya.

Beberapa dokumen menumpuk di meja kerjanya, ia harus menyelesaikan melihat-lihat tumpukan kertas itu sebelum meeting dimulai.

Kring ... sebuah pesan masuk.

[Meeting di luar, ya, Im. Nanti saya kirim alamatnya.]

Imran tersenyum. Pesan dari Fadhil, sahabatnya saat kuliah. Lelaki itu pula yang akan meeting bersamanya siang ini dan akan investasi pada perusahaannya.

[Ok!]

Imran kembali fokus pada kertas-kertas di mejanya. Biasanya ada Siti-sekertarisnya, tapi ia sedang cuti pulang kampung, menengok orang tuanya yang sedang sakit.

Dalam urusan pekerjaan, Imran termasuk lelaki yang gigih. Sekali ia fokus pada satu titik, ia akan menyelesaikan itu sampai tuntas.

Pukul sebelas siang, Fadhil mengirimkan chat yang isinya lokasi meeting hari ini, letaknya tidak terlalu jauh dari kantor milik Imran.

Biasanya jika Imran meeting akan ditemani Siti atau salah seorang karyawan, tapi kali ini lelaki berambut ikal itu memilih pergi sendirian. Setelah meeting selesai, ia berniat ingin menceritakan keluh kesahnya pada Fadhil dan berharap jika lelaki bujang itu bisa memberinya jalan keluar.

Mobil meluncur ke sebuah restoran cepat saji di bilangan Jakarta pusat, Fadhil mengatakan jika ia memesan sebuah ruang VIP untuk pertemuan mereka. Lelaki berkacamata itu pun datang sendiri tanpa ditemani partner. Fadhil paham jika Imran mengatakan butuh saran, itu tandanya Imran benar-benar dalam keadaan tak tentu arah.

Setelah sampai di restoran, Imran langsung masuk dan di sambut pelukan hangat oleh Fadhil. Kedua lelaki itu melepas rindu setelah hampir enam belas tahun tidak bertemu. Yah, sejak keduanya lulus kuliah dan Fadhil memilih kembali ke kota kelahirannya dan memilih meneruskan bisnis keluarganya. Fadhil bahkan tidak menghadiri pernikahan Imran dan Nisa.

Ditemani secangkir kopi dan camilan, meeting pun berjalan lancar. Fadhil menginvestasi pada perusahaan Imran, diakhiri dengan saling jabat tangan.

Meeting selesai. Kedua lelaki itu menutup dokumen dan menyimpannya dalam tas. Fadhil memandang ke arah Imran yang masih diam. Wajah lelaki itu terlihat suram dan tidak bergairah.

“Ada apa, Im? Kamu terlihat sedih?” tanya Fadhil. Lelaki berhidung mancung itu tak sabar menanti Imran berbicara.

“Saya menceraikan Nisa, Dhil.” Sebuah pengakuan terlontar dari mulut Imran. Fadhil yang mendengarnya terkejut. Pandangannya semakin lekat ke arah Imran yang kini kembali diam.

“Apa alasan kamu menceraikan istrimu, Im? Dia selingkuh?”

“Wanita itu bahkan tidak pernah sekali pun berpaling dariku. Dia sempurna, Fadhil.”

“Lantas?”

“Karena aku ingin melihat dia bahagia. Apa salah aku menceraikan dia dan mengizinkannya untuk menikah lagi?”

“Apa yang membuatmu yakin jika dia tidak bahagia bersamamu, Imran? Bukankah katamu dia baik dan sempurna?” Fadhil bertanya dengan kedua tangan mengepal menahan gejolak marah pada sahabatnya. Sifat egoisme Imran tidak berubah sama sekali.

“Dia sempurna, Fadhil. Tapi aku, tidak!”

“Maksud kamu?”

“Saya divonis dokter mandul, Fadhil. Sampai kapan pun tidak akan bisa memiliki keturunan.”

Fadhil mengendurkan kepalan tangannya, hatinya iba mendengar pengakuan Imran. Jika pun ia ada di posisi Imran, sudah pasti akan seperti dirinya, kehilangan semangat untuk hidup.

“Apa istrimu mengungkit masalah ini? Tentang kekuranganmu?” tanya Fadhil lagi.

Imran menggeleng lemah. “Dia bahkan selalu terlihat baik-baik saja dan selalu tersenyum. Tapi justru itu yang membuat saya semakin merasa bersalah padanya.”

“Anak ‘kan bisa diadopsi, Im. Jangan gegabah mengambil keputusan, nanti kamu juga yang akan menyesal.”

“Saya tidak akan menyesal, Fadhil. Hal yang akan saya sesali seumur hidup adalah karena membiarkan dia ada di samping saya.”

“Pendapat apa yang kamu minta dari bujang lapuk seperti saya. Jangankan menikah, jodoh saya saja belum tahu ada di mana.” Wajah Fadhil mendadak muram.

“Bantu saya mencari lelaki yang baik untuk Nisa. Saya ingin ada lelaki yang mampu menjaga dan membahagiakan dirinya.”

“Imran. Pernikahan bukanlah soal berapa banyak keturunan. Pernikahan itu adalah ibadah seumur hidup, jangan bermain-main dengan itu. Hidupmu sudah sempurna, memiliki istri yang baik.” Fadhil menghentikan ucapannya, ia menarik napas panjang untuk kembali berbicara.

“Tahukah kamu jika wanita yang saya cintai dan saya idam-idamkan menikah dengan orang lain karena dijodohkan orang tuanya?” Fadhil bertanya dengan mimik wajah serius. Imran terlihat kaget dan memandang tidak percaya.

Fadhil memiliki wajah lebih tampan dari Imran. Bagaimana mungkin kisah cintanya lebih tragis.

“Bersyukurlah dengan apa yang kamu miliki, Imran. Kehidupan yang bahagia seperti dirimu bisa jadi kehidupan yang orang lain impikan, termasuk saya.”

“Tapi saya mandul, Fadhil!”

“Tapi Nisa bahagia bersamamu, Imran. Buang sifat egois kamu. Kembalilah rujuk dengannya!” ucap Fadhil dengan lantang. Dada lelaki berkacamata itu terlihat naik turun saat mengucapkan kalimat terakhir. Ia ingin melihat Imran selalu bahagia, meski kebahagiaan Imran adalah kebahagiaannya yang terenggut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Baru untuk Istriku    Tamat

    “Fadhil, kok, kamu lain hari ini?” tanya Bu Sri saat menemani putra semata wayangnya itu makan siang. Bi Sumi, Nisa dan Syafira sedang pergi ke supermarket membeli es krim, karena Syafira rewel minta jajan. “Lain gimana, Bu? Fadhil masih ganteng ‘kan, meski mau punya anak dua?” tanya Fadhil sambil terkekeh. “Ish, kamu, nih!” Bu Sri urung melanjutkan perkataannya karena takut Fadhil akan kepikiran. Fadhil melanjutkan makannya, sementara Bu Sri terus memandangi putranya itu. Perasaan Bu Sri dipenuhi kekhawatiran yang membuatnya takut. Wajah Fadhil seolah membuat Bu Sri Dejavu. Bayangan masa lalu itu seolah kembali. Dulu ... sebelum atau Fadhil meninggal dunia, Bu Sri memiliki firasat seperti ini. Terlebih rona wajah Fadhil sama persis seperti mendiang suaminya dulu. Satu hari sebelum ayah Fadhil meninggal, rona wajahnya terlihat cerah, bersih dan seperti bercahaya. Tidak ada tanda-tanda sakit atau apa pun. Bahkan sangat sehat dan segar bugar. Masih teringat jelas saat Bu Sri

  • Suami Baru untuk Istriku    kecelakaan

    Kesedihan dan patah hati membuat Imran berubah menjadi sosok yang lebih kuat. Sikapnya terlihat jelas dengan ia lebih giat dalam bekerja. Tidak pernah sekali pun Imran menunjukkan gelagat sedih di hadapan orang tuanya atau pun orang lain. Karena Imran benar-benar sedang menerapkan ajaran dari Fadhil untuk bisa bersikap secukupnya.Keceriaan terpancar dari raut wajah Imran. Lelaki itu sudah membuang jauh-jauh rasa sedih dan iri terhadap kebahagiaan yang dimiliki Fadhil. Imran sudah ikhlas, lahir dan batin. Bu Surya pun bisa bernapas lega melihat putra sulungnya bisa mengambil hikmah dari perbuatannya itu.“Kalau Allah masih menyisakan jodoh untuk Imran. Pasti suatu saat nanti dipertemukan, kok, Ma. Mama nggak usah khawatir,” ucap Imran pada sang mama saat sore hari usai pulang dari kantor.“Mama cuma ....”“Mama nggak usah takut. Allah maha segalanya, serahkan pada-Nya,” ucap Imran bijak. Kali ini Bu Surya tidak lagi banyak membantah. Ia percaya pada putranya, bahwasanya Imran bisa mem

  • Suami Baru untuk Istriku    selanjutnya

    Sejak obrolannya dengan Fadhil waktu itu, Imran seolah menjadi sosok manusia yang baru. Tidak mudah uring-uringan atau pun marah karena hal sepele. Terlebih saat ia ditolak oleh orang tua Fitri, Imran dengan mudah bisa move on dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Meski tidak bisa dipungkiri, Imran masih sering memikirkan gadis itu.Beberapa bulan kemudian, saat sedang di kantor, salah seorang teman mengantarkan undangan pernikahan untuk Imran. Pada kertas undangan berwarna putih dengan ukiran batik itu tertulis nama Fitri dan Imran. Yah ... nama calon suami Fitri juga Imran, tapi bukan dirinya yang terpilih, melainkan orang lain.“Ikhlas itu memang tidak mudah, tapi saya pasti bisa melewati ini semua!” ujar Imran dalam hati. Lalu mengembuskan napasnya panjang.Dibukanya kertas undangan yang diikat dengan tali yang terbuat dari serabut kayu itu, lalu dibacanya kata demi kata acara yang tertulis di sana. Acara akad nikah Fitri bertepatan dengan acara tujuh bulanan kehamilan Ni

  • Suami Baru untuk Istriku    firasat

    Imran masih duduk dengan di kursi restoran, tanpa ada niat untuk pergi atau mengurung diri seperti yang ia lakukan dulu jika menghadapi situasi ini. Lelaki itu justru mencoba menghabiskan makanannya yang masih tersisa, meski makanan itu terasa pahit di lidah. Teringat pesan sang mama agar tidak menyisakan makanan, karena banyak di luaran sana orang-orang yang sulit untuk mendapatkan makanan.Lelaki itu tidak menangis lagi, bahkan Imran merasa air matanya sudah kering. Yang ingin Imran lakukan sekarang adalah menghabiskan makanan itu dan pergi untuk segera pulang ke rumahnya. Imran tidak lagi menempati apartemennya sejak ia tertangkap basah oleh Pak Surya di saat sedang mabuk.Saat Imran hendak menyendok suapan terakhir, seseorang menepuk bahunya. Imran menoleh. “Fadhil!” Fadhil tersenyum lalu duduk di hadapan Imran. Kening Fadhil berkerut saat melihat piring bekas makan seseorang.Imran yang menyadari keanehan di wajah Fadhil berucap. “Tadi saya makan sama Fitri.”“Dia ke mana?” tany

  • Suami Baru untuk Istriku    Gagal

    Seperti kisah sinetron yang akan menuju ending yang bahagia dan tidak ada lagi air mata. Kisah cinta Nisa, Imran dan Fadhil pun seperti itu. Imran turut bahagia dan terharu kala mendengar kabar tentang kehamilan Nisa, pun dengan orang tua Imran, mereka tentu bahagia pula.Bu Surya sering mengunjungi Nisa di rumahnya. Bersama Alifah ia datang. Bu Sri tentu tidak keberatan dengan hal itu. Justru dengan seringnya Bu Surya datang berkunjung, hubungannya dengan ibu dari Fadhil pun terlihat semakin akrab, bahkan keduanya semakin kompak.Nisa bersyukur karena dua wanita yang paling disayanginya kini terlihat bak teman, semoga saja mereka akan terus menjalin hubungan baik ini.Imran doble bahagia, karena sebentar lagi Fitri akan pulang dan niatnya untuk melamar dan meminang gadis itu akan segera ia wujudkan di hadapan Semuanya. Tentunya Fitri sudah mengetahui latar belakang Imran dan gadis itu dengan hati terbuka menerima. Imran tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan ini dan akan mencintai Fi

  • Suami Baru untuk Istriku    dua tahun kemudian

    Dua tahun kemudian ....“Unda ....” Syafira merengek pada Nisa minta digendong, sedangkan wanita itu tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk Fadhil di dapur. Syafira bangun tidur tanpa sepengetahuan Fadhil, lelaki itu entah ke mana. Biasanya, bocah mungil itu akan digendong Fadhil jika ikut bangun subuh seperti ini.Syafira ... kini bocah itu mulai bisa berjalan dan mengoceh. Ia bisa membedakan mana bundanya dan orang lain. Syafira semakin manja dan enggan digendong orang lain, bahkan jika pun terpaksa, harus diiming-imingi hal lain. Ajak jajan, misalnya.Nisa mematikan kompor dan melap tangannya, lalu menggendong Syafira.“Kok anak bunda udah bangun, sih. Ayah, mana, nih? Bunda lagi bikin sarapan, Syafira sama ayah dulu, ya,” ucap Nisa sambil berjalan ke kamarnya. Di sana, ia melihat Fadhil baru ke luar dari kamar mandi.“Syafira udah bangun, Nis?”“Iya ... gendong bentar, ya, Kak. Nisa lagi buat sarapan buat Kak Fadhil.”Tanpa menunggu jawaban Fadhil, Nisa menyerahkan Syafira pada le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status