Share

15 tahun yang kosong

❤️❤️

Sepanjang perjalanan Imran tak berhenti mengucapkan istighfar. Hatinya pun terasa sesak saat melihat pakaian kerjanya sudah rapi, juga sarapan pagi yang tersedia seperti biasa.

Lima belas tahun Imran melakukan kebiasaan bersama-sama dengan Nisa, setiap hari tanpa ada kata bosan. Tapi kini ia sendiri yang harus menghentikan ini semua. Menyelesaikannya sampai akhir.

Mobilnya berhenti di parkiran kantor, tapi lelaki itu tidak langsung turun. Kedua matanya terpejam, lalu sesaat setelahnya muncul bayangan Nisa yang menangis atas perbuatannya pagi ini.

“Nisa ... maafin, Mas!” ucapnya lirih. Imran menangisi sikap bodohnya. Hatinya benar-benar dilema.

Untuk beberapa lama Imran tidak beranjak dari tempatnya, ia begitu terhanyut pada kesedihan yang ia buat untuk wanita yang dicintainya. Nisa terluka, tapi ia pun teramat sangat sakit.

Imran menoleh sisi kiri kanan, sudah ada beberapa kendaraan yang parkir di sebelahnya. Dengan tangan ia mengusap wajahnya yang basah, embusan napas panjang keluar dari mulutnya, tangan kanan membuka pintu mobil lalu berjalan masuk ke kantor.

Beberapa karyawan mengangguk dengan sedikit badan dibungkukkan saat Imran lewat. Di kantor Imran dikenal sebagai bos yang humble dan low profile. Terhadap para karyawannya pun ia tidak pernah memaksakan jika pekerjaan itu tidak selesai pada hari itu.

Hari ini ada meeting dengan seorang clien penting. Orang itu akan mengadakan kerjasama juga investasi yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Imran harus fokus pada pekerjaannya, meski tidak bisa dipungkiri isi kepalanya penuh dengan Nisa.

“Semangat, Imran!” serunya pada diri sendiri saat sudah tiba di ruangan kerjanya.

Beberapa dokumen menumpuk di meja kerjanya, ia harus menyelesaikan melihat-lihat tumpukan kertas itu sebelum meeting dimulai.

Kring ... sebuah pesan masuk.

[Meeting di luar, ya, Im. Nanti saya kirim alamatnya.]

Imran tersenyum. Pesan dari Fadhil, sahabatnya saat kuliah. Lelaki itu pula yang akan meeting bersamanya siang ini dan akan investasi pada perusahaannya.

[Ok!]

Imran kembali fokus pada kertas-kertas di mejanya. Biasanya ada Siti-sekertarisnya, tapi ia sedang cuti pulang kampung, menengok orang tuanya yang sedang sakit.

Dalam urusan pekerjaan, Imran termasuk lelaki yang gigih. Sekali ia fokus pada satu titik, ia akan menyelesaikan itu sampai tuntas.

Pukul sebelas siang, Fadhil mengirimkan chat yang isinya lokasi meeting hari ini, letaknya tidak terlalu jauh dari kantor milik Imran.

Biasanya jika Imran meeting akan ditemani Siti atau salah seorang karyawan, tapi kali ini lelaki berambut ikal itu memilih pergi sendirian. Setelah meeting selesai, ia berniat ingin menceritakan keluh kesahnya pada Fadhil dan berharap jika lelaki bujang itu bisa memberinya jalan keluar.

Mobil meluncur ke sebuah restoran cepat saji di bilangan Jakarta pusat, Fadhil mengatakan jika ia memesan sebuah ruang VIP untuk pertemuan mereka. Lelaki berkacamata itu pun datang sendiri tanpa ditemani partner. Fadhil paham jika Imran mengatakan butuh saran, itu tandanya Imran benar-benar dalam keadaan tak tentu arah.

Setelah sampai di restoran, Imran langsung masuk dan di sambut pelukan hangat oleh Fadhil. Kedua lelaki itu melepas rindu setelah hampir enam belas tahun tidak bertemu. Yah, sejak keduanya lulus kuliah dan Fadhil memilih kembali ke kota kelahirannya dan memilih meneruskan bisnis keluarganya. Fadhil bahkan tidak menghadiri pernikahan Imran dan Nisa.

Ditemani secangkir kopi dan camilan, meeting pun berjalan lancar. Fadhil menginvestasi pada perusahaan Imran, diakhiri dengan saling jabat tangan.

Meeting selesai. Kedua lelaki itu menutup dokumen dan menyimpannya dalam tas. Fadhil memandang ke arah Imran yang masih diam. Wajah lelaki itu terlihat suram dan tidak bergairah.

“Ada apa, Im? Kamu terlihat sedih?” tanya Fadhil. Lelaki berhidung mancung itu tak sabar menanti Imran berbicara.

“Saya menceraikan Nisa, Dhil.” Sebuah pengakuan terlontar dari mulut Imran. Fadhil yang mendengarnya terkejut. Pandangannya semakin lekat ke arah Imran yang kini kembali diam.

“Apa alasan kamu menceraikan istrimu, Im? Dia selingkuh?”

“Wanita itu bahkan tidak pernah sekali pun berpaling dariku. Dia sempurna, Fadhil.”

“Lantas?”

“Karena aku ingin melihat dia bahagia. Apa salah aku menceraikan dia dan mengizinkannya untuk menikah lagi?”

“Apa yang membuatmu yakin jika dia tidak bahagia bersamamu, Imran? Bukankah katamu dia baik dan sempurna?” Fadhil bertanya dengan kedua tangan mengepal menahan gejolak marah pada sahabatnya. Sifat egoisme Imran tidak berubah sama sekali.

“Dia sempurna, Fadhil. Tapi aku, tidak!”

“Maksud kamu?”

“Saya divonis dokter mandul, Fadhil. Sampai kapan pun tidak akan bisa memiliki keturunan.”

Fadhil mengendurkan kepalan tangannya, hatinya iba mendengar pengakuan Imran. Jika pun ia ada di posisi Imran, sudah pasti akan seperti dirinya, kehilangan semangat untuk hidup.

“Apa istrimu mengungkit masalah ini? Tentang kekuranganmu?” tanya Fadhil lagi.

Imran menggeleng lemah. “Dia bahkan selalu terlihat baik-baik saja dan selalu tersenyum. Tapi justru itu yang membuat saya semakin merasa bersalah padanya.”

“Anak ‘kan bisa diadopsi, Im. Jangan gegabah mengambil keputusan, nanti kamu juga yang akan menyesal.”

“Saya tidak akan menyesal, Fadhil. Hal yang akan saya sesali seumur hidup adalah karena membiarkan dia ada di samping saya.”

“Pendapat apa yang kamu minta dari bujang lapuk seperti saya. Jangankan menikah, jodoh saya saja belum tahu ada di mana.” Wajah Fadhil mendadak muram.

“Bantu saya mencari lelaki yang baik untuk Nisa. Saya ingin ada lelaki yang mampu menjaga dan membahagiakan dirinya.”

“Imran. Pernikahan bukanlah soal berapa banyak keturunan. Pernikahan itu adalah ibadah seumur hidup, jangan bermain-main dengan itu. Hidupmu sudah sempurna, memiliki istri yang baik.” Fadhil menghentikan ucapannya, ia menarik napas panjang untuk kembali berbicara.

“Tahukah kamu jika wanita yang saya cintai dan saya idam-idamkan menikah dengan orang lain karena dijodohkan orang tuanya?” Fadhil bertanya dengan mimik wajah serius. Imran terlihat kaget dan memandang tidak percaya.

Fadhil memiliki wajah lebih tampan dari Imran. Bagaimana mungkin kisah cintanya lebih tragis.

“Bersyukurlah dengan apa yang kamu miliki, Imran. Kehidupan yang bahagia seperti dirimu bisa jadi kehidupan yang orang lain impikan, termasuk saya.”

“Tapi saya mandul, Fadhil!”

“Tapi Nisa bahagia bersamamu, Imran. Buang sifat egois kamu. Kembalilah rujuk dengannya!” ucap Fadhil dengan lantang. Dada lelaki berkacamata itu terlihat naik turun saat mengucapkan kalimat terakhir. Ia ingin melihat Imran selalu bahagia, meski kebahagiaan Imran adalah kebahagiaannya yang terenggut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status