❤️❤️Fadhil mengembuskan napasnya berat. Ia bahkan tidak langsung turun dari mobil meski kendaraan itu sudah tiba di depan rumahnya. Isi kepalanya terngiang-ngiang wajah Nisa, teringat bagaimana dulu saat mereka menghabiskan waktu bersama, meski hanya dalam status teman.Nisa dan Fadhil sepakat membatasi kebersamaan mereka dalam ikatan persahabatan, meski banyak orang-orang di sekitar mereka yang berharap keduanya berjodoh. Tapi Fadhil menghargai keputusan Nisa yang hanya menginginkan hubungan mereka sebatas itu.Dirasa cukup lama melamun, lelaki berkacamata itu keluar dari mobilnya dan masuk ke rumah. Bangunan yang memiliki dua lantai itu terlihat megah, meski dekorasi ruangan yang sederhana.“Assalamu’alaikum, Bu.” Fadhil mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi kayu yang menghadap kolam ikan. Wanita menjawab salam putra semata wayangnya, tapi wajahnya terlihat berubah saat melihat ke arah Fadhil yang pulang kerja dalam keadaan murung.“Ada apa?” tanya Bu Sri.
Masa Iddah Nisa sudah berjalan satu bulan. Namun tekad Imran sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Banyak pihak yang berharap keduanya kembali rujuk, tapi sikap Imran yang kekeh membuatnya pantang untuk berkata mundur.Imran dibuat ketar-ketir, sampai saat ini ia belum bisa menemukan sosok lelaki yang akan dijodohkan untuk Nisa. Imran tidak bisa menyerahkan Nisa ke sembarang orang. Bagaimana pun, Nisa adalah wanita yang baik dan pantas mendapatkan lelaki yang baik pula.Lelaki itu tidak memprotes sikap Nisa yang tetap menyiapkan pakaian kerjanya, juga sarapan pagi dan malam yang selalu menanti untuk disentuh. Meski begitu, Imran sama sekali tidak mencicipi barang sedikit pun.Pagi ini, Nisa bangun kesiangan. Dengan cepat-cepat ia menyiapkan sarapan pagi untuk Imran setelah menyiapkan pakaian kerja lelaki itu. Tapi saat tangannya sedang menggoreng telur, Imran sudah hendak berangkat kerja.“Mas ....” Panggilan Nisa membuat langkah lelaki itu terhenti. Tanpa memutar badan, ia menanti w
Imran dibuat ketar-ketir dengan keadaan Nisa. Alifah meneleponnya saat dirinya hendak meeting pagi dengan seorang klien. Beruntung pertemuan itu belum dimulai, Imran pun mengatakan pada sekretarisnya untuk membatalkan meeting tersebut dan dengan tergesa-gesa ia meninggalkan kantor.Lelaki itu menyarankan agar Alifah menghubungi Dokter Mimi, dokter langganan Imran dan Nisa yang tak lain adalah teman kuliah Imran. Lelaki itu lebih percaya pada sang dokter karena sudah menjadi langganan selama mereka menikah jika ingin mengadakan konsultasi. Selama perjalanan Imran terus berdoa semoga Nisa tidak mengalami sakit yang serius.Jalanan yang sedikit macet membuatnya semakin tidak sabar. Berulang kali ia mengatakan sumpah serapah saat ada beberapa kendaraan roda dua menyalip di depannya dan nyaris tertabrak jika Imran tidak langsung menginjak rem.“Bego! Mentang-mentang pake motor, maen serobot aja!” seru Imran dengan nada kesal. Tangannya meninju stir mobil.Imran sendiri tahu jika ocehannya
Imran keluar rumah dan menghidupkan mesin mobil, disusul Alifah di belakangnya. Tanpa keduanya ketahui, di balik pintu kamar, ada seseorang yang mendengarkan dengan hati yang semakin remuk redam.Imran masih terduduk di sofa, matanya menatap lurus ke arah kamar. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Masuk ke dalam kamar dan mengurus Nisa, atau masuk ke dalam kamar dan menyerahkan obat lalu kembali ke kamarnya. Membiarkan Nisa mengurus dirinya sendiri.Kedua tangannya mengacak-acak rambutnya, ia benar-benar dilema kini. Matanya menatap plastik putih di meja, obat yang ditebus dari apotek sesuai anjuran Dokter Mimi. Mau diapakan obat itu.Saat tengah dilema, pintu kamar terbuka. Nisa keluar kamar dan berjalan mendekati Imran. Lelaki itu salah tingkah saat Nisa menatapnya dengan penuh kasih.“Mas ....” Nisa berjalan semakin dekat, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengannya.“Apa yang ada dalam pikiranmu, Nisa? Sejak kapan kamu tidak bisa mengurus diri sendiri?” bentak Imran. Nisa ya
Di balik pintu berbeda, ada hati yang semakin remuk redam. Imran tak henti-hentinya menangis, terlebih saat dirinya menyantap masakan Nisa. Masakan mantan istrinya itu tidak berubah, tetap enak. Ingin menolak keinginan Nisa, tapi rasanya sulit. Terasa semakin sesak saat melihat Nisa memandang dengan tatapan memohon.“Allah ... bantu hamba untuk lebih ikhlas!” Imran hanya bisa berteriak dalam hati. Dalam hal cinta, tidak ada hal yang paling membahagiakan dari pada melihat orang yang dicintai bahagia, meski harus merelakan senyum di wajah kita sendiri. Begitulah Imran, entah ini cinta atau egonya. Terlampau jauh melangkah, pantang untuk mundur.Imran bisa bernapas lega saat ia menyadari Nisa bisa bersikap seperti biasa. Saat dirinya tanpa sengaja berpapasan dengan Nisa di pintu dapur, ia bisa melihat dengan jelas gurat kesedihan yang dulu terlihat di wajah Nisa, perlahan memudar. Wanita itu sudah bisa menguasai kesedihan juga emosinya. Nisa sudah lebih ceria kini, ia bahkan sudah bisa
Imran tiba di rumah Fadhil sebelum Maghrib, lelaki berkacamata itu mempersilakan tamunya masuk dan langsung memasuki ruang makan, di mana sajian sedap sudah siap.“Assalamualaikum, Bu,” sapa Imran sambil mencium punggung ta’zim.“Waalaikumsalam, Nak. Apa kabar?” Bu Sri menyapa. Wanita paruh baya itu sudah lama tidak bertemu Imran, terakhir saat Imran dan Fadhil masih kuliah. Lalu setelahnya, mereka jarang dan bahkan tidak bertemu lagi.“Saya baik, Bu.” Imran menegakkan badannya, lalu menyerahkan sesuatu yang ditaruh dalam paper bag yang dibelinya saat menuju rumah Fadhil.“Masya Allah, Nak. Repot-repot sekali.” Bu Sri menerima pemberian Imran, lalu menggandeng tangan lelaki itu mendekati kursi meja makan. Fadhil sudah terlebih dulu duduk di sebelah kiri meja.“Hanya hadiah kecil, Bu. Semoga suka.”“Makasih, Nak.” Ketiganya lalu memulai acara makan dan terlibat obrolan hangat. Dari seputar kantor sampai pada akhirnya Bu Sri bertanya perihal Nisa. Imran yang mendapat pertanyaan seperti
Imran sudah tiba di restoran yang diberitahu Fadhil. Lelaki itu berulang kali mengela nafasnya panjang. Otaknya terus memikirkan Fadhil, entah bagaimana tanggapan lelaki itu atas ucapannya semalam. Imran merasa jantungnya berdetak kencang, terlebih saat dirinya melihat sosok Fadhil yang berjalan mendekat. Rasanya mau copot.“Sorry, lama. Tadi macet,” ucap Fadhil. Lelaki jangkung itu terlihat santai, membuat ketampanannya terlihat semakin memesona.Keduanya kembali terdiam, bahkan Imran dan Fadhil terlihat canggung. Mirip pasangan suami istri yang sedang berbulan madu.“Fadhil ... saya.” Imran berucap, tapi menggantung kalimatnya, udara di sekitarnya terasa sesak saat dirinya hendak mengatakan untuk meminta Fadhil menikahi Nisa. Lidah Imran terasa kelu untuk mengatakan itu.“Saya terkejut, Imran.” Fadhil terlihat berpikir, ia juga terlihat memikirkan ucapan Imran semalam. Pun Fadhil terjaga semalaman dan tidak bisa tidur. “Bagaimana mungkin kamu bisa melakukan hal segila ini. Dengan me
Imran masih merasakan jantungnya berdetak kencang, padahal sudah satu jam berlalu obrolannya dengan Fadhil. Sebuah keyakinan yang berasal dari mimpi yang membuat Imran dengan yakin memilih Fadhil sebagai penggantinya untuk Nisa.“Kamu harus kuat, Imran!” serunya pada diri sendiri.Masa Iddah Nisa hanya tersisa beberapa hari lagi. Wanita itu masih berharap ada keajaiban dan mukjizat lunaknya hati Imran dan mengajaknya untuk kembali rujuk. Akan tetapi, lelaki itu justru terlihat sebaliknya. Imran malah terlihat lebih kuat dan tegar.Imran manusia bukan, sih?Terlebih saat pulang dari kantor sore ini, Imran pulang dengan menenteng kue cubit kesukaan Nisa dan meletakkan makanan itu di meja makan. Seperti biasa, sepucuk surat kecil ditulis Imran dan meletakkan di atas dus makanan itu.Lagi-lagi, Nisa menerimanya dengan perasaan senang sekaligus sedih. Senang karena Imran masih memperhatikannya dan mengingat apa yang ia suka, sedih karena ia tidak bisa menikmati makanan itu bersama Imran.