Share

cinta itu, luka

Author: Ana Battosai
last update Last Updated: 2022-06-28 10:10:29

❤️❤️

Fadhil mengembuskan napasnya berat. Ia bahkan tidak langsung turun dari mobil meski kendaraan itu sudah tiba di depan rumahnya. Isi kepalanya terngiang-ngiang wajah Nisa, teringat bagaimana dulu saat mereka menghabiskan waktu bersama, meski hanya dalam status teman.

Nisa dan Fadhil sepakat membatasi kebersamaan mereka dalam ikatan persahabatan, meski banyak orang-orang di sekitar mereka yang berharap keduanya berjodoh. Tapi Fadhil menghargai keputusan Nisa yang hanya menginginkan hubungan mereka sebatas itu.

Dirasa cukup lama melamun, lelaki berkacamata itu keluar dari mobilnya dan masuk ke rumah. Bangunan yang memiliki dua lantai itu terlihat megah, meski dekorasi ruangan yang sederhana.

“Assalamu’alaikum, Bu.” Fadhil mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi kayu yang menghadap kolam ikan.

Wanita menjawab salam putra semata wayangnya, tapi wajahnya terlihat berubah saat melihat ke arah Fadhil yang pulang kerja dalam keadaan murung.

“Ada apa?” tanya Bu Sri. Fadhil tidak menjawab dan memilih ikut duduk di sebelah sang ibu.

“Tadi Fadhil meeting sama Imran, Bu.”

“Terus? Ketemu sama Nisa juga?”

Fadhil menggeleng.

“Selesai meeting tadi, Imran curhat soal rumah tangganya dengan Nisa. Dia bilang akan menceraikannya.”

Bu Sri menutup mulutnya dengan tangan kanan, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Pasalnya dulu, saat ia hendak melamar Nisa untuk Fadhil, ia kalah cepat dengan datangnya lamaran dari keluarga Imran. Ayahnya Nisa pun menjelaskan seperti apa keluarga Imran. Ayahnya Nisa pun memohon maaf karena tidak bisa menolak pinangan yang sudah datang.

“Apa cacatnya Nisa, sampai lelaki itu melepaskan Nisa?” tanya Bu Sri. Wanita itu hafal benar bagaimana sosok Nisa, karena Fadhil sering mengajak Nisa datang ke rumah untuk belajar bersama teman-teman yang lain. Bu Sri merasa nyaman dengan sikap Nisa yang sopan, juga sifatnya yang lembut.

“Imran juga meminta tolong pada Fadhil supaya kau mencarikan calon penggantinya.”

“Gila! Temanmu itu sudah gila!” pekik Bu Sri tidak bisa dicegah. Ia murka bukan karena meminta Fadhil mencari lelaki penggantinya, melainkan sikap Imran yang tidak bisa menjalankan ikatan rumah tangganya dengan benar.

“Fadhil harus gimana, Bu? Fadhil takut kalau jika nantinya Imran berpikiran untuk menjodohkan Fadhil dengan Nisa.” Fadhil berucap begitu, karena hatinya yakin, jika Imran tidak akan menyerahkan mantan istrinya pada sembarang orang, terlebih jika lelaki itu asing.

“Kamu harus kuat, Fadhil. Jangan sampai kamu mengambil kesempatan dalam kesulitan orang lain. Imran adalah sahabatmu, bantu dia menemukan jati dirinya. Meski ibu tahu, kamu melajang karena masih menunggu Nisa, kan?”

“Bu ... Fadhil masih sendiri, karena masih ingin membahagiakan ibu, bukan karena menunggu wanita yang sudah menikah!” Fadhil berdusta, meski ia sendiri tahu jika sang ibu sangatlah mengetahui dirinya meski ia berbohong sekali pun.

“Sudahlah, kamu mandi, sana. Habis itu kita makan.” Bu Sri menyudahi obrolannya. Wanita itu lantas bangkit dan berjalan ke dapur.

Fadhil masih diam di tempat duduknya, ucapan sang ibu terngiang-ngiang di telinganya. Ibunya benar, Fadhil masih mengharapkan Nisa, wanita itu benar-benar sudah mencuri seluruh hatinya. Meski Fadhil tahu, di luar sana banyak wanita yang lebih cantik dari Nisa. Tapi bagi Fadhil, Nisa tetap yang terbaik.

**

Imran masuk ke dalam rumah setelah menyimpan mobilnya di garasi. Seperti biasa, istananya tetap sepi, tapi kali ini terasa semakin sepi saat tidak ada sosok Nisa yang menyambut kedatangannya. Biasanya wanita itu akan langsung menyambut kedatangannya, mencium tangannya dan mengambil alih membawakan tas kerjanya. Tapi kali ini lain, Nisa tidak terlihat, bahkan helaan nafasnya pun tidak terdengar.

Lampu ruangan tengah sudah menyala karena sebentar lagi magrib. Langkah Imran terhenti di depan kamar yang ditempati Nisa. Batinnya bertanya-tanya sedang apa wanita itu, ia ingin tahu bagaimana keadaannya, apakah sudah makan, atau apa lah. Imran ingin tahu apa yang sedang ia lakukan di balik pintu itu.

Imran berjalan lebih dekat ke arah pintu, telinganya tidak mendengar suara apa pun, sepi. Tangan kanannya terangkat hendak mengetuk pintu, tapi dengan cepat ditariknya berbarengan dengan langkah mundur.

“Dasar, labil!” Ia merutuki dirinya sendiri, kenapa harus ingin tahu apa yang Nisa lakukan, setelah banyaknya air mata yang sudah jatuh karena ulahnya

Imran memutar tubuhnya, kembali berjalan hendak naik ke lantai atas, tapi indra penciumannya menangkap aroma masakan dari meja makan yang dekat dengan tangga. Matanya melihat secangkir kopi panas, juga makan malam dengan menu kesukaannya sudah tersaji di sana.

Mata Imran terasa panas, biasanya jika ia pulang kantor, Nisa akan memanjakan dirinya dengan hidangan lezat hasil olahan tangannya, menemani mendengarkan dirinya bercerita seputar kantor, plus memijat lengannya jika ia meminta. Tapi momen indah itu telah ia kubur dalam-dalam. Imran harus ikhlas membuang momen indah yang biasa ia ciptakan bersama Nisa.

Imran memutar badannya, dengan langkah tegap ia naik ke atas dan mengunci diri di kamar. Tubuhnya bersandar di pintu, air mata yang ditahannya tumpah, terdengar begitu pilu. Nisa diam, hatinya pun terasa sakit, terlebih saat wanita itu menangis di hadapannya.

Kenapa ikhlas harus sesakit ini? Melepaskan orang yang paling berharga supaya bahagia, apakah itu termasuk zalim? Imran hanya ingin melihat Nisa bahagia dengan menikahkannya dengan orang lain, melihatnya memiliki keturunan, bagi Imran, itu adalah bahagianya, meski harus dengan air mata.

Imran lalu berjalan mendekati meja rias. Tangannya meraih parfum miliknya, lalu menyemprotkan ke seluruh ruangan. Berharap aroma tubuh Nisa hilang dari kamar, meski Imran tahu perbuatannya itu sia-sia. Bukan aroma Nisa yang tertinggal, tapi hatinya memang masih terasa berat untuk melepaskan.

Imran terduduk di dekat ranjang, ia sudah melukai hati banyak orang. Hati Nisa, terlebih hati kedua orang tuanya. Hatinya pun luluh lantak. Tapi, talak yang sudah terucap dari bibirnya, pantang untuk ditarik kembali. Langkahnya harus tetap maju, yang harus Imran lakukan adalah harus segera menemukan sosok penggantinya, seiring masa Iddah Nisa yang terus berjalan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Baru untuk Istriku    Tamat

    “Fadhil, kok, kamu lain hari ini?” tanya Bu Sri saat menemani putra semata wayangnya itu makan siang. Bi Sumi, Nisa dan Syafira sedang pergi ke supermarket membeli es krim, karena Syafira rewel minta jajan. “Lain gimana, Bu? Fadhil masih ganteng ‘kan, meski mau punya anak dua?” tanya Fadhil sambil terkekeh. “Ish, kamu, nih!” Bu Sri urung melanjutkan perkataannya karena takut Fadhil akan kepikiran. Fadhil melanjutkan makannya, sementara Bu Sri terus memandangi putranya itu. Perasaan Bu Sri dipenuhi kekhawatiran yang membuatnya takut. Wajah Fadhil seolah membuat Bu Sri Dejavu. Bayangan masa lalu itu seolah kembali. Dulu ... sebelum atau Fadhil meninggal dunia, Bu Sri memiliki firasat seperti ini. Terlebih rona wajah Fadhil sama persis seperti mendiang suaminya dulu. Satu hari sebelum ayah Fadhil meninggal, rona wajahnya terlihat cerah, bersih dan seperti bercahaya. Tidak ada tanda-tanda sakit atau apa pun. Bahkan sangat sehat dan segar bugar. Masih teringat jelas saat Bu Sri

  • Suami Baru untuk Istriku    kecelakaan

    Kesedihan dan patah hati membuat Imran berubah menjadi sosok yang lebih kuat. Sikapnya terlihat jelas dengan ia lebih giat dalam bekerja. Tidak pernah sekali pun Imran menunjukkan gelagat sedih di hadapan orang tuanya atau pun orang lain. Karena Imran benar-benar sedang menerapkan ajaran dari Fadhil untuk bisa bersikap secukupnya.Keceriaan terpancar dari raut wajah Imran. Lelaki itu sudah membuang jauh-jauh rasa sedih dan iri terhadap kebahagiaan yang dimiliki Fadhil. Imran sudah ikhlas, lahir dan batin. Bu Surya pun bisa bernapas lega melihat putra sulungnya bisa mengambil hikmah dari perbuatannya itu.“Kalau Allah masih menyisakan jodoh untuk Imran. Pasti suatu saat nanti dipertemukan, kok, Ma. Mama nggak usah khawatir,” ucap Imran pada sang mama saat sore hari usai pulang dari kantor.“Mama cuma ....”“Mama nggak usah takut. Allah maha segalanya, serahkan pada-Nya,” ucap Imran bijak. Kali ini Bu Surya tidak lagi banyak membantah. Ia percaya pada putranya, bahwasanya Imran bisa mem

  • Suami Baru untuk Istriku    selanjutnya

    Sejak obrolannya dengan Fadhil waktu itu, Imran seolah menjadi sosok manusia yang baru. Tidak mudah uring-uringan atau pun marah karena hal sepele. Terlebih saat ia ditolak oleh orang tua Fitri, Imran dengan mudah bisa move on dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Meski tidak bisa dipungkiri, Imran masih sering memikirkan gadis itu.Beberapa bulan kemudian, saat sedang di kantor, salah seorang teman mengantarkan undangan pernikahan untuk Imran. Pada kertas undangan berwarna putih dengan ukiran batik itu tertulis nama Fitri dan Imran. Yah ... nama calon suami Fitri juga Imran, tapi bukan dirinya yang terpilih, melainkan orang lain.“Ikhlas itu memang tidak mudah, tapi saya pasti bisa melewati ini semua!” ujar Imran dalam hati. Lalu mengembuskan napasnya panjang.Dibukanya kertas undangan yang diikat dengan tali yang terbuat dari serabut kayu itu, lalu dibacanya kata demi kata acara yang tertulis di sana. Acara akad nikah Fitri bertepatan dengan acara tujuh bulanan kehamilan Ni

  • Suami Baru untuk Istriku    firasat

    Imran masih duduk dengan di kursi restoran, tanpa ada niat untuk pergi atau mengurung diri seperti yang ia lakukan dulu jika menghadapi situasi ini. Lelaki itu justru mencoba menghabiskan makanannya yang masih tersisa, meski makanan itu terasa pahit di lidah. Teringat pesan sang mama agar tidak menyisakan makanan, karena banyak di luaran sana orang-orang yang sulit untuk mendapatkan makanan.Lelaki itu tidak menangis lagi, bahkan Imran merasa air matanya sudah kering. Yang ingin Imran lakukan sekarang adalah menghabiskan makanan itu dan pergi untuk segera pulang ke rumahnya. Imran tidak lagi menempati apartemennya sejak ia tertangkap basah oleh Pak Surya di saat sedang mabuk.Saat Imran hendak menyendok suapan terakhir, seseorang menepuk bahunya. Imran menoleh. “Fadhil!” Fadhil tersenyum lalu duduk di hadapan Imran. Kening Fadhil berkerut saat melihat piring bekas makan seseorang.Imran yang menyadari keanehan di wajah Fadhil berucap. “Tadi saya makan sama Fitri.”“Dia ke mana?” tany

  • Suami Baru untuk Istriku    Gagal

    Seperti kisah sinetron yang akan menuju ending yang bahagia dan tidak ada lagi air mata. Kisah cinta Nisa, Imran dan Fadhil pun seperti itu. Imran turut bahagia dan terharu kala mendengar kabar tentang kehamilan Nisa, pun dengan orang tua Imran, mereka tentu bahagia pula.Bu Surya sering mengunjungi Nisa di rumahnya. Bersama Alifah ia datang. Bu Sri tentu tidak keberatan dengan hal itu. Justru dengan seringnya Bu Surya datang berkunjung, hubungannya dengan ibu dari Fadhil pun terlihat semakin akrab, bahkan keduanya semakin kompak.Nisa bersyukur karena dua wanita yang paling disayanginya kini terlihat bak teman, semoga saja mereka akan terus menjalin hubungan baik ini.Imran doble bahagia, karena sebentar lagi Fitri akan pulang dan niatnya untuk melamar dan meminang gadis itu akan segera ia wujudkan di hadapan Semuanya. Tentunya Fitri sudah mengetahui latar belakang Imran dan gadis itu dengan hati terbuka menerima. Imran tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan ini dan akan mencintai Fi

  • Suami Baru untuk Istriku    dua tahun kemudian

    Dua tahun kemudian ....“Unda ....” Syafira merengek pada Nisa minta digendong, sedangkan wanita itu tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk Fadhil di dapur. Syafira bangun tidur tanpa sepengetahuan Fadhil, lelaki itu entah ke mana. Biasanya, bocah mungil itu akan digendong Fadhil jika ikut bangun subuh seperti ini.Syafira ... kini bocah itu mulai bisa berjalan dan mengoceh. Ia bisa membedakan mana bundanya dan orang lain. Syafira semakin manja dan enggan digendong orang lain, bahkan jika pun terpaksa, harus diiming-imingi hal lain. Ajak jajan, misalnya.Nisa mematikan kompor dan melap tangannya, lalu menggendong Syafira.“Kok anak bunda udah bangun, sih. Ayah, mana, nih? Bunda lagi bikin sarapan, Syafira sama ayah dulu, ya,” ucap Nisa sambil berjalan ke kamarnya. Di sana, ia melihat Fadhil baru ke luar dari kamar mandi.“Syafira udah bangun, Nis?”“Iya ... gendong bentar, ya, Kak. Nisa lagi buat sarapan buat Kak Fadhil.”Tanpa menunggu jawaban Fadhil, Nisa menyerahkan Syafira pada le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status