Share

cinta itu, luka

❤️❤️

Fadhil mengembuskan napasnya berat. Ia bahkan tidak langsung turun dari mobil meski kendaraan itu sudah tiba di depan rumahnya. Isi kepalanya terngiang-ngiang wajah Nisa, teringat bagaimana dulu saat mereka menghabiskan waktu bersama, meski hanya dalam status teman.

Nisa dan Fadhil sepakat membatasi kebersamaan mereka dalam ikatan persahabatan, meski banyak orang-orang di sekitar mereka yang berharap keduanya berjodoh. Tapi Fadhil menghargai keputusan Nisa yang hanya menginginkan hubungan mereka sebatas itu.

Dirasa cukup lama melamun, lelaki berkacamata itu keluar dari mobilnya dan masuk ke rumah. Bangunan yang memiliki dua lantai itu terlihat megah, meski dekorasi ruangan yang sederhana.

“Assalamu’alaikum, Bu.” Fadhil mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi kayu yang menghadap kolam ikan.

Wanita menjawab salam putra semata wayangnya, tapi wajahnya terlihat berubah saat melihat ke arah Fadhil yang pulang kerja dalam keadaan murung.

“Ada apa?” tanya Bu Sri. Fadhil tidak menjawab dan memilih ikut duduk di sebelah sang ibu.

“Tadi Fadhil meeting sama Imran, Bu.”

“Terus? Ketemu sama Nisa juga?”

Fadhil menggeleng.

“Selesai meeting tadi, Imran curhat soal rumah tangganya dengan Nisa. Dia bilang akan menceraikannya.”

Bu Sri menutup mulutnya dengan tangan kanan, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Pasalnya dulu, saat ia hendak melamar Nisa untuk Fadhil, ia kalah cepat dengan datangnya lamaran dari keluarga Imran. Ayahnya Nisa pun menjelaskan seperti apa keluarga Imran. Ayahnya Nisa pun memohon maaf karena tidak bisa menolak pinangan yang sudah datang.

“Apa cacatnya Nisa, sampai lelaki itu melepaskan Nisa?” tanya Bu Sri. Wanita itu hafal benar bagaimana sosok Nisa, karena Fadhil sering mengajak Nisa datang ke rumah untuk belajar bersama teman-teman yang lain. Bu Sri merasa nyaman dengan sikap Nisa yang sopan, juga sifatnya yang lembut.

“Imran juga meminta tolong pada Fadhil supaya kau mencarikan calon penggantinya.”

“Gila! Temanmu itu sudah gila!” pekik Bu Sri tidak bisa dicegah. Ia murka bukan karena meminta Fadhil mencari lelaki penggantinya, melainkan sikap Imran yang tidak bisa menjalankan ikatan rumah tangganya dengan benar.

“Fadhil harus gimana, Bu? Fadhil takut kalau jika nantinya Imran berpikiran untuk menjodohkan Fadhil dengan Nisa.” Fadhil berucap begitu, karena hatinya yakin, jika Imran tidak akan menyerahkan mantan istrinya pada sembarang orang, terlebih jika lelaki itu asing.

“Kamu harus kuat, Fadhil. Jangan sampai kamu mengambil kesempatan dalam kesulitan orang lain. Imran adalah sahabatmu, bantu dia menemukan jati dirinya. Meski ibu tahu, kamu melajang karena masih menunggu Nisa, kan?”

“Bu ... Fadhil masih sendiri, karena masih ingin membahagiakan ibu, bukan karena menunggu wanita yang sudah menikah!” Fadhil berdusta, meski ia sendiri tahu jika sang ibu sangatlah mengetahui dirinya meski ia berbohong sekali pun.

“Sudahlah, kamu mandi, sana. Habis itu kita makan.” Bu Sri menyudahi obrolannya. Wanita itu lantas bangkit dan berjalan ke dapur.

Fadhil masih diam di tempat duduknya, ucapan sang ibu terngiang-ngiang di telinganya. Ibunya benar, Fadhil masih mengharapkan Nisa, wanita itu benar-benar sudah mencuri seluruh hatinya. Meski Fadhil tahu, di luar sana banyak wanita yang lebih cantik dari Nisa. Tapi bagi Fadhil, Nisa tetap yang terbaik.

**

Imran masuk ke dalam rumah setelah menyimpan mobilnya di garasi. Seperti biasa, istananya tetap sepi, tapi kali ini terasa semakin sepi saat tidak ada sosok Nisa yang menyambut kedatangannya. Biasanya wanita itu akan langsung menyambut kedatangannya, mencium tangannya dan mengambil alih membawakan tas kerjanya. Tapi kali ini lain, Nisa tidak terlihat, bahkan helaan nafasnya pun tidak terdengar.

Lampu ruangan tengah sudah menyala karena sebentar lagi magrib. Langkah Imran terhenti di depan kamar yang ditempati Nisa. Batinnya bertanya-tanya sedang apa wanita itu, ia ingin tahu bagaimana keadaannya, apakah sudah makan, atau apa lah. Imran ingin tahu apa yang sedang ia lakukan di balik pintu itu.

Imran berjalan lebih dekat ke arah pintu, telinganya tidak mendengar suara apa pun, sepi. Tangan kanannya terangkat hendak mengetuk pintu, tapi dengan cepat ditariknya berbarengan dengan langkah mundur.

“Dasar, labil!” Ia merutuki dirinya sendiri, kenapa harus ingin tahu apa yang Nisa lakukan, setelah banyaknya air mata yang sudah jatuh karena ulahnya

Imran memutar tubuhnya, kembali berjalan hendak naik ke lantai atas, tapi indra penciumannya menangkap aroma masakan dari meja makan yang dekat dengan tangga. Matanya melihat secangkir kopi panas, juga makan malam dengan menu kesukaannya sudah tersaji di sana.

Mata Imran terasa panas, biasanya jika ia pulang kantor, Nisa akan memanjakan dirinya dengan hidangan lezat hasil olahan tangannya, menemani mendengarkan dirinya bercerita seputar kantor, plus memijat lengannya jika ia meminta. Tapi momen indah itu telah ia kubur dalam-dalam. Imran harus ikhlas membuang momen indah yang biasa ia ciptakan bersama Nisa.

Imran memutar badannya, dengan langkah tegap ia naik ke atas dan mengunci diri di kamar. Tubuhnya bersandar di pintu, air mata yang ditahannya tumpah, terdengar begitu pilu. Nisa diam, hatinya pun terasa sakit, terlebih saat wanita itu menangis di hadapannya.

Kenapa ikhlas harus sesakit ini? Melepaskan orang yang paling berharga supaya bahagia, apakah itu termasuk zalim? Imran hanya ingin melihat Nisa bahagia dengan menikahkannya dengan orang lain, melihatnya memiliki keturunan, bagi Imran, itu adalah bahagianya, meski harus dengan air mata.

Imran lalu berjalan mendekati meja rias. Tangannya meraih parfum miliknya, lalu menyemprotkan ke seluruh ruangan. Berharap aroma tubuh Nisa hilang dari kamar, meski Imran tahu perbuatannya itu sia-sia. Bukan aroma Nisa yang tertinggal, tapi hatinya memang masih terasa berat untuk melepaskan.

Imran terduduk di dekat ranjang, ia sudah melukai hati banyak orang. Hati Nisa, terlebih hati kedua orang tuanya. Hatinya pun luluh lantak. Tapi, talak yang sudah terucap dari bibirnya, pantang untuk ditarik kembali. Langkahnya harus tetap maju, yang harus Imran lakukan adalah harus segera menemukan sosok penggantinya, seiring masa Iddah Nisa yang terus berjalan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status