Masa Iddah Nisa sudah berjalan satu bulan. Namun tekad Imran sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Banyak pihak yang berharap keduanya kembali rujuk, tapi sikap Imran yang kekeh membuatnya pantang untuk berkata mundur.
Imran dibuat ketar-ketir, sampai saat ini ia belum bisa menemukan sosok lelaki yang akan dijodohkan untuk Nisa. Imran tidak bisa menyerahkan Nisa ke sembarang orang. Bagaimana pun, Nisa adalah wanita yang baik dan pantas mendapatkan lelaki yang baik pula.Lelaki itu tidak memprotes sikap Nisa yang tetap menyiapkan pakaian kerjanya, juga sarapan pagi dan malam yang selalu menanti untuk disentuh. Meski begitu, Imran sama sekali tidak mencicipi barang sedikit pun.Pagi ini, Nisa bangun kesiangan. Dengan cepat-cepat ia menyiapkan sarapan pagi untuk Imran setelah menyiapkan pakaian kerja lelaki itu. Tapi saat tangannya sedang menggoreng telur, Imran sudah hendak berangkat kerja.“Mas ....” Panggilan Nisa membuat langkah lelaki itu terhenti. Tanpa memutar badan, ia menanti wanita itu melanjutkan perkataannya. Wajah Imran tertunduk, saat tadi ia menuruni anak tangga, wajahnya sekilas melihat ke arah Nisa, wajah wanita itu terlihat lebih muram. Matanya terlihat sangat sembab. Bagaimana pun, Nisa sama sekali tidak berhenti menangis saat keduanya menjalani pisah ranjang.“Mas ....” Nisa kembali memanggil dengan suaranya yang parau. Tubuh Nisa terlihat lebih kurus, juga rona wajahnya terlihat seperti orang yang sedang sakit.Imran tak kunjung memutar tubuhnya, tetap berdiri membelakangi Nisa, pun tidak berlalu dari sana. Nisa menghembuskan nafasnya berat. Ia paham dengan sikap Imran. Meski lelaki itu enggan menatap ke arahnya, Nisa terus melanjutkan perkataannya. “Bisakah kita tidak seperti ini?”“Kamu sudah paham, kan. Bagaimana harus bersikap, Nis?”“Saya paham, Mas. Tapi bisa ‘kah Mas makan yang Nisa masak? Nisa khawatir sama Mas Imran.”“Apa yang kamu harus khawatirkan? Saya bukan anak bayi.”“Mas ....”“Bisa jangan bersikap sia-sia seperti ini? Sikapmu tidak akan meubah apa pun.” Imran ingin segera pergi dari sana, sebelum imannya goyah. Sungguh, ia pun ingin memutar tubuhnya, memeluk Nisa. Tapi, ego menguasai dirinya, membuatnya sekeras batu.“Nisa menghargai keputusan, Mas. Tapi, bisakah Mas izinkan Nisa berbakti pada Mas, meski sampai masa Iddah ini berakhir. Jika setelah itu Mas akan tetap memilih untuk berpisah ... Nisa ikhlas, Mas.” Nisa mengucapkan itu dengan hati yang hancur. Air mata yang sedari tadi ditahannya tumpah juga. Meski begitu, ia masih berdiri dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.Imran menunduk, tas kerja di tangan kirinya digenggam erat. Dadanya bergemuruh hebat. Ia tidak menyangka jika Nisa mau menerima keputusan bodohnya. Juga dengan lapang hati mau berada di posisi ini.“Mas ... bisakah duduk dan sarapan dulu? Mas juga semalam tidak makan masakan Nisa?”Imran diam, pun tidak menjawab. Dengan hati yang benar-benar sakit dan hancur ia kembali berucap. “Mas udah kesiangan. Ada meeting pagi, harus cepet-cepet ke kantor.” Usai mengucapkan itu, Imran benar-benar pergi.Kedua kaki Nisa kehilangan kekuatan, ia luruh di lantai. Tangisnya pecah, pilu, pun sakit. Ia bahkan ingin mengurusi Imran sampai akhir, meski Nisa tahu, itu semua hanya sia-sia. Utuhnya kembali rumah tangganya hanya angan belaka.Imran sudah pergi ke kantor, setelah berhasil mengumpulkan kekuatan yang tadi tercecer, Nisa bangkit dan kembali membereskan rumah. Pun membereskan kamar yang ditempati Imran.Nisa menatap kosong pada kamar tidurnya dengan Imran. Semuanya masih sama, akan tetapi, foto pernikahan mereka yang terpajang di dipan ranjang sudah tidak lagi di tempatnya. Hanya dinding kosong. Entah Imran simpan di mana figura besar itu. Bingkai kecil foto pernikahan mereka yang biasa terpajang di meja kecil di sudut kamar pun lenyap, membuat hati Nisa terasa semakin sakit.Nisa masih bisa merapikan sprei juga beberapa pakaian kotor milik Imran. Diraihnya pakaian itu dan segera dibawa ke bawah usai membuat kamar itu kembali rapi.Perlahan-lahan Nisa berjalan ke dapur. Usai meletakkan pakaian kotor itu di keranjang, ia kembali ke kamarnya. Nisa merasa pusing, juga perut yang benar-benar mual.Rumah sudah rapi, Nisa merebahkan tubuhnya di kasur. Ia merasakan kepalanya begitu berat, pun perutnya benar-benar mual. Keringat dingin membasahi kening juga tengkuknya. Tangannya menarik selimut guna menutupi tubuhnya. Nisa merasakan tubuhnya panas juga dingin.**Alifah menangis tergugu saat mendengar kabar rumah tangga sang kakak. Awalnya ia hendak mengajak Bu Surya mengunjungi Nisa karena memang sudah lama tidak bertemu, tapi niatnya urung dilakukan saat mendengar kabar itu dari sang mama.“Kamu balik lagi aja ke rumah. Biarkan Mas sama Mbakmu menyelesaikan itu semua berdua.” Bu Surya berkata. Ia bukannya ingin menghalangi niat Alifah berkunjung, tapi keadaannya yang sedang hamil muda membuatnya takut jika terjadi apa-apa. Terlebih Alifah datang sendiri, tanpa ditemani sang suami yang sedang bekerja.“Kabar Mbak Nisa sekarang gimana, Ma? Alifah khawatir.”“Nisa baik-baik aja. Kita doakan saja. Semoga Masmu sadar dan mau kembali rujuk. Mama berharap Nisa masih tetap jadi menantu Mama.”“Alifah juga, Ma. Mbak Nisa itu wanita yang baik, juga solehah. Semoga Mas Imran mau kembali rujuk.”Siang itu usai berbincang-bincang dengan sang Mama, Alifah hendak kembali pulang. Dengan diantar driver online, ia pulang ke rumahnya yang tidak terlalu jauh dari rumah sang Mama.Saat sudah sampai di depan rumah, batinnya kembali mengingat sang kakak ipar. Hatinya merasa iba juga khawatir pada Nisa. Ia sama sekali tidak menyangka jika hal ini akan terjadi. Alifah merasakan tekanan batin yang dirasakan Nisa. Bagaimana ia harus menghadapi situasi ini sendirian, tanpa dukungan orang tua. Meski Alifah tahu, orang tuanya sangat menyayangi Nisa. Saat tangan Alifah hendak membuka handel pintu, tiba-tiba hati kecilnya mengatakan untuk datang ke rumah Nisa. Alifah lantas kembali mengunci rumahnya dan memesan driver online menuju rumah Nisa.Lima belas menit kemudian, Alifah tiba di kediaman sang kakak. Rumah itu terlihat rapi dan sunyi. Alifah turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam.“Assalamu’alaikum. Mbak Nisa!” seru Alifah memanggil. Tidak ada jawaban dari dalam. Ia lantas kembali menyerukan salam dan mengetuk pintu. Sepi.Alifah menggerakkan handel, pintu itu pun terbuka. Nisa tidak menguncinya.“Assalamualaikum, Mbak Nisa. Alifah datang, nih.”Alifah masuk usai menutup pintu. Wanita berperut sedikit buncit karena sedang hamil itu pun mengitari rumah, mencari keberadaan Nisa.Seingatnya saat mengobrol dengan sang Mama, beliau mengatakan jika Nisa tidur di kamar bawah. Alifah melangkah mendekati pintu kamar bercat putih itu, lalu mengetuknya perlahan. Tidak ada sambutan dari dalam, bahkan terdengar sepi.Penasaran, Alifah membuka pintu itu. Alifah melihat Nisa sedang tidur dengan memakai selimut sampai leher. Ia mendekat dan mencoba membangunkan Nisa, tapi wanita itu diam.“Mbak Nisa!” panggilnya lagi. Khawatir, Nisa terus mencoba membangunkan Nisa, tapi wanita itu diam. Tangan Alifah menyentuh kening Nisa, mata bulatnya membelalak karena Nisa sedang demam. Panik, ia lantas beranjak ke dapur, mencari alat untuk mengatur suhu juga untuk mengompres.“Mas Imran. Jangan tinggalin Nisa, Mas,” ucap Nisa lirih. Mata wanita itu masih terpejam, demamnya pun malah semakin tinggi. Nisa semakin meracau memanggil nama Imran. Dalam lirihnya, ia terus menyerukan agar tidak meninggalkannya. Alifah semakin khawatir, tangannya lantas meraih ponsel di dalam tas dan menghubungi Imran.Imran dibuat ketar-ketir dengan keadaan Nisa. Alifah meneleponnya saat dirinya hendak meeting pagi dengan seorang klien. Beruntung pertemuan itu belum dimulai, Imran pun mengatakan pada sekretarisnya untuk membatalkan meeting tersebut dan dengan tergesa-gesa ia meninggalkan kantor.Lelaki itu menyarankan agar Alifah menghubungi Dokter Mimi, dokter langganan Imran dan Nisa yang tak lain adalah teman kuliah Imran. Lelaki itu lebih percaya pada sang dokter karena sudah menjadi langganan selama mereka menikah jika ingin mengadakan konsultasi. Selama perjalanan Imran terus berdoa semoga Nisa tidak mengalami sakit yang serius.Jalanan yang sedikit macet membuatnya semakin tidak sabar. Berulang kali ia mengatakan sumpah serapah saat ada beberapa kendaraan roda dua menyalip di depannya dan nyaris tertabrak jika Imran tidak langsung menginjak rem.“Bego! Mentang-mentang pake motor, maen serobot aja!” seru Imran dengan nada kesal. Tangannya meninju stir mobil.Imran sendiri tahu jika ocehannya
Imran keluar rumah dan menghidupkan mesin mobil, disusul Alifah di belakangnya. Tanpa keduanya ketahui, di balik pintu kamar, ada seseorang yang mendengarkan dengan hati yang semakin remuk redam.Imran masih terduduk di sofa, matanya menatap lurus ke arah kamar. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Masuk ke dalam kamar dan mengurus Nisa, atau masuk ke dalam kamar dan menyerahkan obat lalu kembali ke kamarnya. Membiarkan Nisa mengurus dirinya sendiri.Kedua tangannya mengacak-acak rambutnya, ia benar-benar dilema kini. Matanya menatap plastik putih di meja, obat yang ditebus dari apotek sesuai anjuran Dokter Mimi. Mau diapakan obat itu.Saat tengah dilema, pintu kamar terbuka. Nisa keluar kamar dan berjalan mendekati Imran. Lelaki itu salah tingkah saat Nisa menatapnya dengan penuh kasih.“Mas ....” Nisa berjalan semakin dekat, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengannya.“Apa yang ada dalam pikiranmu, Nisa? Sejak kapan kamu tidak bisa mengurus diri sendiri?” bentak Imran. Nisa ya
Di balik pintu berbeda, ada hati yang semakin remuk redam. Imran tak henti-hentinya menangis, terlebih saat dirinya menyantap masakan Nisa. Masakan mantan istrinya itu tidak berubah, tetap enak. Ingin menolak keinginan Nisa, tapi rasanya sulit. Terasa semakin sesak saat melihat Nisa memandang dengan tatapan memohon.“Allah ... bantu hamba untuk lebih ikhlas!” Imran hanya bisa berteriak dalam hati. Dalam hal cinta, tidak ada hal yang paling membahagiakan dari pada melihat orang yang dicintai bahagia, meski harus merelakan senyum di wajah kita sendiri. Begitulah Imran, entah ini cinta atau egonya. Terlampau jauh melangkah, pantang untuk mundur.Imran bisa bernapas lega saat ia menyadari Nisa bisa bersikap seperti biasa. Saat dirinya tanpa sengaja berpapasan dengan Nisa di pintu dapur, ia bisa melihat dengan jelas gurat kesedihan yang dulu terlihat di wajah Nisa, perlahan memudar. Wanita itu sudah bisa menguasai kesedihan juga emosinya. Nisa sudah lebih ceria kini, ia bahkan sudah bisa
Imran tiba di rumah Fadhil sebelum Maghrib, lelaki berkacamata itu mempersilakan tamunya masuk dan langsung memasuki ruang makan, di mana sajian sedap sudah siap.“Assalamualaikum, Bu,” sapa Imran sambil mencium punggung ta’zim.“Waalaikumsalam, Nak. Apa kabar?” Bu Sri menyapa. Wanita paruh baya itu sudah lama tidak bertemu Imran, terakhir saat Imran dan Fadhil masih kuliah. Lalu setelahnya, mereka jarang dan bahkan tidak bertemu lagi.“Saya baik, Bu.” Imran menegakkan badannya, lalu menyerahkan sesuatu yang ditaruh dalam paper bag yang dibelinya saat menuju rumah Fadhil.“Masya Allah, Nak. Repot-repot sekali.” Bu Sri menerima pemberian Imran, lalu menggandeng tangan lelaki itu mendekati kursi meja makan. Fadhil sudah terlebih dulu duduk di sebelah kiri meja.“Hanya hadiah kecil, Bu. Semoga suka.”“Makasih, Nak.” Ketiganya lalu memulai acara makan dan terlibat obrolan hangat. Dari seputar kantor sampai pada akhirnya Bu Sri bertanya perihal Nisa. Imran yang mendapat pertanyaan seperti
Imran sudah tiba di restoran yang diberitahu Fadhil. Lelaki itu berulang kali mengela nafasnya panjang. Otaknya terus memikirkan Fadhil, entah bagaimana tanggapan lelaki itu atas ucapannya semalam. Imran merasa jantungnya berdetak kencang, terlebih saat dirinya melihat sosok Fadhil yang berjalan mendekat. Rasanya mau copot.“Sorry, lama. Tadi macet,” ucap Fadhil. Lelaki jangkung itu terlihat santai, membuat ketampanannya terlihat semakin memesona.Keduanya kembali terdiam, bahkan Imran dan Fadhil terlihat canggung. Mirip pasangan suami istri yang sedang berbulan madu.“Fadhil ... saya.” Imran berucap, tapi menggantung kalimatnya, udara di sekitarnya terasa sesak saat dirinya hendak mengatakan untuk meminta Fadhil menikahi Nisa. Lidah Imran terasa kelu untuk mengatakan itu.“Saya terkejut, Imran.” Fadhil terlihat berpikir, ia juga terlihat memikirkan ucapan Imran semalam. Pun Fadhil terjaga semalaman dan tidak bisa tidur. “Bagaimana mungkin kamu bisa melakukan hal segila ini. Dengan me
Imran masih merasakan jantungnya berdetak kencang, padahal sudah satu jam berlalu obrolannya dengan Fadhil. Sebuah keyakinan yang berasal dari mimpi yang membuat Imran dengan yakin memilih Fadhil sebagai penggantinya untuk Nisa.“Kamu harus kuat, Imran!” serunya pada diri sendiri.Masa Iddah Nisa hanya tersisa beberapa hari lagi. Wanita itu masih berharap ada keajaiban dan mukjizat lunaknya hati Imran dan mengajaknya untuk kembali rujuk. Akan tetapi, lelaki itu justru terlihat sebaliknya. Imran malah terlihat lebih kuat dan tegar.Imran manusia bukan, sih?Terlebih saat pulang dari kantor sore ini, Imran pulang dengan menenteng kue cubit kesukaan Nisa dan meletakkan makanan itu di meja makan. Seperti biasa, sepucuk surat kecil ditulis Imran dan meletakkan di atas dus makanan itu.Lagi-lagi, Nisa menerimanya dengan perasaan senang sekaligus sedih. Senang karena Imran masih memperhatikannya dan mengingat apa yang ia suka, sedih karena ia tidak bisa menikmati makanan itu bersama Imran.
Imran dan mertuanya sudah duduk di sana. Nisa memilih duduk di sebelah Bu Surya. Imran terpesona melihat Nisa yang mengenakan baju yang paling disukainya. Baju itu adalah salah satu yang diberikan darinya saat mereka menikah.“Apa yang kamu ingin bicarakan, Imran?” tanya Bu Surya tak sabar.Imran menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan.“Hari ini masa Iddah Nisa berakhir dan secara agama, kami bukan lagi suami istri.” Kalimat Imran terhenti saat ia merasakan nyeri di dadanya. Pun dengan Nisa, wajahnya tertunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat. Sakit!Bu Surya dan Pak Surya mendengarkan tanpa mencela ucapan Imran.“Imran sudah memikirkan ini dengan baik. Setelah sidang di pengadilan nanti, Imran akan pergi dari rumah ini. Rumah dan mobil, Imran serahkan sepenuhnya untuk Nisa.”Semua orang yang mendengarkan dibuat terkejut, terlebih Nisa yang sudah jauh-jauh hari membereskan pakaiannya ke dalam koper dan bersiap pulang kembali ke rumah pribadinya.“Mas ... apa ndak b
Hari yang dinanti Imran pun tiba. Dirinya sendiri datang ke pengadilan agama tanpa ditemani Pak Surya atau Bu Surya. Kedua orang tuanya enggan untuk sekadar menemani, mereka justru semakin murka atas sikap bodoh Imran. Bahkan tadi sebelum Imran berangkat, wajahnya mendapatkan bogem mentah dari sang Papa dan membuat sudut bibirnya berdarah.Imran hanya bisa terduduk lesu dengan sesekali mengusap pipinya yang masih terasa sakit. Tapi tidak ada seorang pun yang mengerti akan dirinya, jauh di dalam hatinya, Imran pun merasakan sakit dan pedih. Terlebih tidak ada seorang pun yang mendukung keputusannya. Irman benar-benar sendirian.Setelah melalui banyak proses, akhirnya hakim pun mengetuk palu tiga kali.Imran dan Nisa resmi bercerai. Baik secara agama maupun secara hukum.Tubuh Imran nyaris limbung saat mendengar kalimat terakhir sang hakim, terlebih saat telinganya mendengar suara palu yang diketuk. Seolah tusukan anak panah yang menancap di dadanya. Sakit tapi tidak berdarah.Pulang da