Share

Bab 2 Kehamilan Yang Tak Diinginkan

"Kamu bisa kan Bell nemenin aku fitness hari ini? Mumpung aku nggak ada jadwal nyanyi hari ini," ucap Laura yang tiba-tiba muncul dari arah depan. Ia menyusul Bella ke kamar mandi setelah supirnya tak kunjung muncul, sementara dirinya baru saja selesai menerima telepon dari seseorang.

"Kalau saya nolak, Ibu marah nggak?" Bella malah berbalik tanya.

"Ya nggak apa-apa sih. Cuma apa alasannya?" Laura semakin penasaran.

"Saya lagi datang bulan Bu. Lagipula saya sepertinya nggak enak badan," jawab Bella. Padahal ia menjadi lemah karena kehamilannya.

Laura manggut-manggut mengerti, meskipun sedikit kecewa karena harus fitness sendiri. Ia dengan lembut mengelus lengan Bella, seperti layaknya adik kandung sendiri. "Kamu pasti kelelahan karena aktivitas manggungku beberapa hari ini ya?" tebak Laura.

Bella tersenyum tipis sambil mengangguk kecil. Ia bersyukur karena Laura berpikir seperti itu. Karena ia tak mampu menceritakan apa yang terjadi sebelum mendengar tanggung jawab dari Ronald.

"Ya sudah. Kamu segera istirahat ya, biar segera membaik," ucap Laura. "Atau kamu mau aku antar ke rumah sakit?" tanya Laura memberikan tawaran.

Bella menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak usah Bu. Saya masih ada obat. Saya akan meminumnya dan segera tidur," tolak Bella.

"Ya sudah segera sembuh ya Bella. Aku berangkat fitness dulu ya," pamit Laura sambil melambaikan tangan.

"Baik Bu. Terimakasih," ucap Bella sambil menundukkan kepalanaya sedikit.

"Sama-sama," sahut Laura sambil berjalan pergi. Setelah itu bayangannya menghilang di balik pintu utama kostnya.

Setelah Laura pergi. Bella bergerak cepat untuk mandi. Hari ini dia akan menemui Ronald di perusahaan untuk meminta pertanggungjawaban dari lelaki itu. Sebab ia tak bisa menanggung kehamilannya yang tanpa suami tersebut seorang diri.

**

Satu jam kemudian Bella sampai di perusahaan Ronald. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu ruangan Ronald. Tak lama sang pemilik ruangan membuka pintu. 

"Masuk," suruh Ronald dari dalam ruangan. Kemudian Bella memutar knop pintu dan masuk ke dalam ruangan.

Ronald terkejut melihat kedatangan Bella. Ia mengedarkan pandangannya ke belakang Bella. Berpikir barangkali Bella datang dengan istrinya. Namun ternyata tidak ada.

"Kamu datang dengan istriku?" tanya Ronald.

Bella menggelengkan kepalanya. "Tidak Pak. Saya datang sendiri untuk diri saya sendiri," jawabnya dengan raut wajah tegas. Tak seperti biasanya.

Sebenarnya semenjak peristiwa itu. Ronald selalu dihantui rasa cemas saat bertemu Bella. Meskipun ia berusaha bersikap biasa. Ia juga sudah berusaha melupakan kejadian itu. Ia berharap Bella juga berpikir demikian. Padahal tidak semudah itu.

"Lantas untuk apa kamu menemui saya?" tanya Ronald dengan raut wajah sinis.

Bella mendekat dan memberikan alat tes kehamilannya. Mata Ronald membulat sempurna melihat benda itu. Jantungnya berdebar lebih kencang seperti ingin mencuat dari tempatnya.

"Apa ini?!" Ronald sebenarnya tahu, yang ada di tangannya adalah sebuah tes kehamilan. Namun yang membuatnya tercengang karena terdapat garis dua di sana. Yang berarti wanita di depannya sudah hamil dari hasil benihnya. Dia tak menyangka bahwa perbuatan tak sengajanya tempo hari akan menjadi seperti ini.

Sebenarnya Bella juga tak menginginkan anak dari lelaki itu. Karena Bella tak pernah mencintai laki-laki itu. Disengaja atau tidak disengaja Bella tetap harus meminta pertanggung jawaban dari Ronald, karena semua itu perbuatan Ronald.

"Kamu pasti sengaja menjebakku kan?" tuduh Ronald dengan mengeraskan rahangnya. Matanya menatap Bella dengan tatapan membunuh.

Tangan Ronald yang tadi mengepal karena menahan emosi kemudian melayang dan mendarat dengan keras di pipi sebelah kanan Bella. Meninggalkan bekas merah seperti kepiting rebus di pipi putih mulus milik Bella. 

Bella menangis sambil memegangi pipinya yang terasa panas. Kekuatannya yang tak seberapa membuat dia sampai terhuyung ke belakang beberapa langkah. Setelah itu ia menatap Ronald dengan kilatan amarah. Namun tak lama ia menurunkan pandangannya. Nyali Bella menjadi ciut setelah ditatap balik oleh Ronald. 

"Jangan memutar balikkan fakta Pak. Anda sendiri yang malam itu datang dan menodai saya," sahut Bella dengan kalimat yang menohok membuat wajah Ronald memerah karena menahan malu bercampur emosi.

Alih-alih kasihan. Ronald malah bertambah kesal dan menarik kerah baju Bella. Kaki wanita itu sampai harus berjinjit karena tarikan dari tangan kekar Ronald. "Kurang ajar! Kamu tahu betul waktu itu aku mabuk!" Pernyataan ini hanyalah alibi Ronald untuk lepas dari tanggung jawab.

"Lalu, sekarang apa yang harus saya lakukan?" tanya Bella yang sudah bersimbah air mata.

"Kenapa harus bertanya lagi. Kamu gugurkan saja bayi itu. Beres kan," jawab Ronald dengan entengnya. Seolah mempertahankan nama baiknya lebih penting daripada darah dagingnya sendiri. Tak masalah jika dia harus mengorbankan janin Bella. Toh belum tentu anak yang dikandung oleh Bella itu adalah anaknya, pikirnya.

Bella menggelengkan kepalanya. Dia tidak akan mungkin tega menghabisi nyawa darah dagingnya sendiri. Anak itu tak salah. Hanya perbuatan Ronald yang salah. "Saya tidak bisa melakukannya," tolaknya terisak.

Ronald mulai muak, rahangnya mengeras. Kemudian maju satu langkah dan mencengkram rahang Bella. "Lalu apa maumu hah?!"

Dengan susah payah Bella berusaha melepaskan cengkeramannya. Ronald akhirnya melepaskan cengkeramannya. Tetapi bukan karena kasihan pada Bella. Namun alasannya karena ada suara pintu diketuk dari luar.

"Siapa?" tanya Ronald dengan raut wajah cemas. Namun tak ada jawaban. Tak ada jawaban dari luar. Seseorang di balik pintu malah memutar knop pintunya. Sontak Ronald menjadi panik. Ia mendorong Bella menuju ke toilet yang ada di dalam ruangannya. 

Karena tak mau terjadi masalah Bella memilih untuk menurut. Dia cepat-cepat masuk ke toilet. Setelah itu Ronald berusaha menormalkan kembali raut wajahnya. Agar tak menimbulkan kecurigaan.

Dia berdehem. Keduanya tangannya direntangkan untuk memeluk Laura. Kemudian tersenyum untuk menyambut kedatangan istrinya. Seolah tadi tidak terjadi apa-apa. "Ha–halo sayang…" sapanya dengan nada gugup.

Laura mengerutkan keningnya. Alih-alih menyambut pelukan dari suaminya. Ia malah mencium aroma kecurigaan. Saat melihat ekspresi wajah cemas yang berusaha disembunyikan oleh sang suami. 

"Kamu gugup. Apa terjadi sesuatu?" tanya Laura dengan tatapan mata menyelidik. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status