Share

Panas dingin

last update Last Updated: 2024-02-24 13:49:45

Setengah hari menghabiskan waktu di rumah sang istri membuat Devan merasa frustasi. Kini hari telah malam, Devan maupun Laura sudah sama-sama berada di dalam kamar yang sama tanpa obrolan ataupun sapaan. Laura duduk di atas ranjang ditemani oleh sebuah laptop dan beberapa berkas, gadis berusia 27 tahun itu tampak asyik sendiri dengan pekerjaannya. Dia terlihat sangat berwibawa persis seperti seorang pemimpin sejati. Sementara dengan Devan sendiri, laki-laki muda itu tengah duduk seorang diri di atas sofa dengan ponsel di tangannya berbalas pesan di grup WA yang beranggotakan hanya tiga orang. Siapa lagi kalau bukan Devan Aziel dan Daffa.

“Dev, lu udah pulang kerja?” Aziel.

Devan keceplosan. “Aku nggak kerja.”

“Lah! Terus sekarang lu gi di rumah?” Daffa.

“Emm. Aku salah ketik. Maksudnya masih di tempat kerja,” Devan.

“Yahhh! Udah jam segini masih di tempat kerja. Padahal gue mau ngajak kalian keluar. Pusing gue di rumah,” Aziel.

“Eh, barusan Gue chat sama Kara, katanya dia lagi sama Naina sedang di cafe koi. Lu nggak pengen Dev, kita nyamperin mereka?” Daffa.

“Anjir! Mau ngapain Kita nyamperin mereka!” Aziel.

“Lu gak tau, Ziel? Brother kita sedang suka sama seseorang. Guehehehe.”

Devan berhenti mengetik pesan balasan. Dia tampak tengah berpikir, lalu menoleh kepala melirik pada Laura. Ada perasaan masih tidak percaya dengan apa yang terjadi bahwa kenyataan dirinya telah menjadi seorang suami di usia sangat muda bahkan masih sekolah, jangankan untuk menafkahi anak orang lain sedangkan untuk menafkahi dirinya sendiri dia harus membanting tulang. Namun, entah dia harus merasa beruntung karena istri yang dinikahinya seorang perempuan kaya raya, rumah saja seperti istana, sedangkan orangnya seperti jelmaan putri raja atau haruskah dia merasa sial karena telah terjebak dalam pernikahan ini yang terasa sangat konyol saat memikirkan usianya sekarang ini. Terlebih lagi dia merasa sangat canggung berada dalam satu ruangan bersama perempuan asing walaupun perempuan itu telah sah menjadi istrinya.

“Eemm,” Devan mulai angkat bicara. Namun, tampaknya Laura terlalu tenggelam dalam pekerjaan sampai dia tidak sadar dengan suara laki-laki yang sudah berstatus suaminya itu hingga membuat Devan merasa terabaikan.

“Mbak!” panggil Devan dengan nada besar. Laura terlonjak kaget, mengangkat kepala dan menatap pada arah datangnya suara. Seketika atensinya tersadarkan dari kenyataan bahwa dirinya tidak lagi sendirian di dalam kamar ini, tetapi ada suami yang tengah duduk menatapnya dengan tatapan kesal.

“Aku mau keluar.”

Laura menatap datar. “Kemana?”

Raut wajah Devan masam. “Harus tau ya kemana aku harus pergi? Apa itu penting buat, Mbak!”

Seketika Laura tertawa lucu atas pertanyaan laki-laki di hadapannya itu. Seolah-olah dia bertingkah laku seperti istri sungguhan yang tengah menanyai kepergian suaminya karena kepedulian. Apa dirinya terlihat seperti itu dimata laki-laki di hadapannya ini pikir Laura merasa sangat lucu. Laura kembali melirik pada Devan dan tawanya kembali pecah. Tawa yang syarat akan ejekan dan auranya penuh dengan keangkuhan. Ah! Yang benar saja! Dia seorang Dewi yang penuh dengan keagungan dan kemuliaan. Apa dirinya akan mudah menatap orang dengan rasa kepedulian terlebih lagi laki-laki yang baru Ia kenal, sangat tidak masuk akal.

“Apa kamu pikir aku peduli?”

Devan yang sejak tadi sudah panas hati atas tingkah laku Laura yang seolah merendahkan dirinya menatap dingin pada istrinya itu. “Baiklah, terserah. Anggap saja aku sudah menjual diriku padamu jadi terserah gimana kamu akan memperlakukan aku. Aku pikir waktu enam bulan tidak akan stuck di tempat. Waktu pasti akan berlalu.”

Wajah Laura terlihat sangat konyol ketika menatap suaminya itu. “What? Kamu bilang apa barusan? Kamu menjual diri sama aku? Kamu pikir aku tante-tante girang! Astaga!” Laura terlihat jingkrak-jingkrakan tidak bisa tenang, dia tidak tahu harus bagaimana cara mengekspresikan diri atas rasa kesalnya terhadap ucapan Devan barusan. Jelas itu menjatuhkan harga dirinya.

Devan bangkit dari duduknya. Meraih Hoodie sweater berwarna putih, lalu berjalan menuju pintu.

“Kamu mau kemana?”

Devan menarik nafas dalam-dalam, dia memutar tubuh ke arah belakang. Kesal, marah bercampur aduk, entah apa mau istrinya itu.

“Kamu nggak usah salah paham,” Laura mencoba menjelaskan. “Aku bertanya bukan karena aku peduli dengan urusanmu. Aku masih ingat dengan kesepakatan kita. Masalahnya Papa sekarang sedang dalam fase terendah dalam kesehatannya, Aku berharap kamu mau bekerja sama. Tolong jangan pergi ke mana-mana untuk saat ini.”Laura tampak menahan nafas.

Devan menatap wajah Laura dengan tatapan datar, lalu kembali ke atas sofa dengan melempar hoodinya.

Laura tahu suaminya itu marah, tetapi dia lebih peduli dengan kesehatan ayahnya. Laura menjuntaikan kaki di lantai, dia berdiri lurus, lalu melangkah menuju meja sembari menenteng laptop dan beberapa berkas. Setelah semua dia taruh di atas sana, Laura meraih handuk beserta baju ganti dan melenggang masuk ke dalam kamar mandi. Saat akan melebarkan tirai saat itu pula sekelebat bayangan tentang Devan mandi menggerogoti isi dalam kepala Laura hingga membuatnya meremang dan merinding. Bisa-bisanya dia teringat tentang hal memalukan itu, padahal dirinya bukanlah seorang perempuan cabul.

“Aku nggak bisa keluar,” Devan mengetik pesan di grup WA.

“Lu ada masalah, Dev? Cerita sama kita,” Daffa.

“Yup. Gue mikir akhir akhir ini lu berubah. Apa ada hal yang lu sembunyiin dari kita berdua?” Aziel.

“Gak. Aman. Kalian berdua gak usah khawatir,” Devan. Kemudian dia menyimpan ponselnya. Walaupun keinginan untuk melihat sang pujaan hati terasa besar di dalam hasratnya, tetapi Devan berusaha untuk profesional, terlebih lagi dia juga menghormati Arya Wiguna yang baik dan tulus sebagai ayah mertua sementaranya. Devan jadi berpikir kenapa Arya dan Laura terlihat sangat bertolak belakang. Laura terlihat seperti iblis cantik yang angkuh dan tinggi tidak tersentuh. Di dalam pikiran seperti itu tampak Laura keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah terurai, baju pendek tanpa lengan dipadu dengan celana pendek sepaha membuat Devan panas meriang. Jakunnya bergerak-gerak menelan air ludahnya sendiri. Wajar bukan? Dia laki-laki baligh dan berakal sehat juga memiliki nafsu seksualitas berada dalam satu kamar yang sama dengan perempuan yang berpakaian minim tentu membuatnya oleng. Meskipun masih berusia 18 tahun dia sudah bisa membedakan tentang aurat perempuan yang membuat degup jantung tidak beraturan. Devan memutar tubuhnya ke arah dinding dan membelakangi Laura sembari memaki-maki gadis yang cukup berumur itu hanya berani di dalam hati.

Laura mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer sembari menatap punggung Devan. “Kamu mau tetap duduk jadi patung di sana?”

Devan membisu. Dirinya dianggap seperti hantu yang tak kasat mata hingga perempuan itu bertindak sesuka hati saja.

“Kalau kamu ingin tidur, tidurlah di atas ranjang.”

Mendengar ucapan Laura membuat Devan semakin bergejolak.

“Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku hanya tidak ingin membuat kamu tidak nyaman berada di rumah ini. Aku bisa berbagi tempat tidur denganmu menggunakan pembatas.”

Devan bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ranjang. Dia langsung berbaring di sana hingga membuat Laura termangu menatap pada suaminya itu.

“Tidak punya tahu malu!” kutuk Laura di dalam hati. Memang dia yang menawarkan tetapi menurut Laura setidaknya ada basi basi atau apalah namanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Brondong Nona Presdir    Konferensi pers

    Usai menelpon orang yang dipercayakan untuk mengurus ayahnya di luar negeri, Laura berdiri di depan cermin dengan tatapan datar. Beberapa orang pembantu masuk ke dalam kamar. Mereka datang untuk mendandani Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, setelah pulang dari kediaman Wiguna, Laura langsung mencari Devan, dia mulai mengajak suaminya itu berbicara empat mata. Setelah pembicaraan itu mereka berdua sepakat untuk mengadakan konferensi pers hari ini. Axel masuk ke dalam kamar, dia melangkah mendekati Laura. “Nona, kita berangkat sekarang?”“Huum. Dimana Devan?”“Dia ada di ruang tamu.”Laura membalik tubuhnya, lalu melangkah dengan anggun. Axel berusaha mensejajarkan langkah mereka. “Nona, aku sudah berusaha menekan segala informasi tentang Devan, tapi setelah kejadian ini dia pasti akan jadi bahan perhatian. Sulit untuknya tetap seperti biasa.”“Baiklah.”Laura sudah berdiri di depan Devan yang menatapnya dengan pandangan tidak bersemangat. Baru saja tadi malam dia merasaka

  • Suami Brondong Nona Presdir    Skandal panas

    Nada dering ponsel terdengar begitu berisik memenuhi ruangan kamar hotel membuat mimpi indah Laura terganggu. Dia membuka mata sembari meliuk dan meraih ponsel itu. Dia memposisikan tubuhnya terlentang sembari menatap layar ponsel pada genggaman tangannya, tetapi suara gumaman Devan yang tengah meliuk memutar tubuh ke arah dirinya membuat Laura tersentak kaget. Tiba-tiba pipinya merona merah tersipu malu. Dia memperhatikan wajah Devan yang tengah terlelap dalam wajah damai. Tidak sengaja bibirnya tertarik membentuk lengkungan indah saat menikmati wajah tampan itu. Tidak bisa mengendalikan diri, tangan bergerak begitu saja menyentuh bibir yang membuatnya tergila-gila hingga membuat Devan bergerak, Laura bergegas menarik tangannya, lalu mengubah posisi tubuh terlentang seperti semula.“Mbak, kamu sudah bangun?”“Hmmm.”Devan miring ke arah Laura. “Lagi yuk, Mbak.”Sontak Laura melirik pada suaminya dengan tatapan melotot. “Bicara yang sopan!” cercanya dalam debaran jantung tidak mene

  • Suami Brondong Nona Presdir    Mau tapi Gengsi

    “Mas, ayo kita samperin Mbak Laura.”“Kita cari tempat makan lain aja.” Devan memutar tubuhnya dan itu membuat Tiara kebingungan serta serba salah. Untuk beberapa menit dia menatap kakak iparnya bangkit dari duduk dengan pandangan mata tertuju pada Devan yang sudah mendorong pintu sembari keluar, di saat itulah Tiara berlari mengejar saudara laki-lakinya itu. “Mas!” dadanya turun naik karena berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Devan mengulurkan helm. “Cepat pakai.”Tiara hanya bisa pasrah dan meraih helm tersebut. Dia tidak mengerti mengapa Devan begitu tampak marah ketika melihat kakak iparnya dengan laki-laki lain, menurut pemikiran Tiara bukankah seharusnya hal seperti ini tidak perlu terlalu di perhitungkan karena bisa jadi laki-laki itu adalah klien atau semacamnya jika mengingat status sosial kakak iparnya tidak sederhana seperti mereka berdua. Namun, begitu Tiara tetap duduk di belakang Devan dalam diam dan mereka mulai melaju.Sementara itu, Bisma yang melihat reaksi tid

  • Suami Brondong Nona Presdir    Sakit tapi Tidak Bersuara

    Tiara berlarian menghambur memeluk Devan, sedangkan Daffa tetap duduk di atas motor sport sembari memandangi gadis pujaannya tengah melepaskan rindu dengan sahabat baiknya. Arya yang duduk di sebelah menantunya itu sampai mengernyitkan dahi, bingung kenapa ada gadis lain memeluk suami putrinya.Devan berusaha melerai pelukan adiknya itu. “Tiara, jangan kenceng-kenceng dong meluknya, ini Mas sampai nggak bisa nafas.”Tiara bergegas melepaskan pelukan dari tubuh masnya itu sembari cengengesan. “Hehehe,” lalu ekspresi itu cepat berubah berganti marah-marah. “Mas kenapa nggak ada kasih kabar! Mas tahu nggak kalau Tiara khawatir banget! Gak mikir gimana takutnya Tiara kalau sampai terjadi apa-apa sama Mas seperti waktu itu.”Melihat kecemasan yang dipunyai adiknya membuat Devan merasa bersalah, bukan maksud hatinya untuk membuat sang adik merasa khawatir teramat sangat seperti ini, semua karena pekerjaannya yang tidak berkesudahan sedangkan ponselnya jatuh di dalam timba sabun saat memberi

  • Suami Brondong Nona Presdir    Perasaan Gue Tulus untuk Tiara

    Jam istirahat, Tiara melangkah menuju kelas XII IPS, dia ingin mencari keberadaan Devan yang sedari pagi tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Bukan hanya pagi ini, bahkan dari kemarin mas nya itu tidak ada kabar ataupun pulang ke rumah orang tua mereka sekedar untuk bertanya kabar tentang dirinya. Namun, sentuhan tangan seseorang membuat Tiara memutar kepala, ketika dia tahu orang yang menyentuh bahunya tersebut adalah laki-laki yang paling tidak ingin ia lihat membuat wajahnya cemberut.“Mau cari Devan,” tanya Daffa sembari memamerkan senyumnya, tetapi Tiara malah merespon dengan wajah jutek. “Jangan ganggu aku!”Daffa melangkah dan berdiri di hadapan adik perempuan sahabatnya itu. “Galak amat sih adik manis.” Tangan Daffa terulur ingin menyentuh dagu Tiara tetapi gadis itu bergegas menepisnya kasar. “Lama kelamaan kamu gak sopan ya.” Mata Tiara melotot dengan aura tidak senang. Bukannya tersinggung, Daffa malah tertawa seperti orang yang sedang menikmati permainan menyenangkan

  • Suami Brondong Nona Presdir    Uring-uringan tidak menentu

    “Susah banget sih ngomong sama bocah abg! dikit-dikit marah, dikit-dikit tersinggung. Lama kelamaan dia udah kayak cewek gak sih!” Laura amat sangat kesal dengan sikap datar Devan padanya. Bahkan suami brondongnya itu berani mengacuhkan dirinya begitu saja hanya karena bocah itu menganggap ucapannya di kantor tadi menyakiti. Sebagai seorang yang tidak pernah berpikir keras bagaimana cara mengerti perasaan seorang laki-laki, kini Laura melakukan hal itu. Dia pusing memikirkan apa yang menyebabkan suami brondongnya tersinggung sedangkan ucapan yang dia katakan semua merupakan fakta, lalu di bagian mana yang telah membuat tersinggung?“Gini amat nikah sama bocah!” Laura berbaring sembari menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ingin menutup mata, tetapi urung setelah melihat sosok Devan keluar dari kamar mandi. Dada Laura kembang kempis menahan sesak ketika melihat dada telanjang suaminya itu. Matanya bergerak sendiri menikmati keindahan yang tengah tersungguh. Air dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status