"Siapa yang merendahkan suamimu, Mbak? Justru aku ajak kamu berpikir realistis sesuai gaji suamimu itu. Temanku ada yang ambil satu unit di sana. Dia bilang cicilannya flat tanpa denda sebulan lima juta. Dia bilang uang mukanya lima puluh juta. Itu saja masih sembilan tahunan lunasnya, apalagi kalau uang mukamu lebih kecil, nggak bisa bayangin gimana repotnya. Jangan terlalu bermimpi punya rumah bagus begitulah, Mbak. Sewajarnya saja. Rasanya kok seperti pungguk merindukan bulan." Lagi-lagi Abel mengolok-olok Senja dan Langit. "Sudahlah, Bel. Capek ngomong sama kamu. Maunya menang sendiri." "Lagian kuajak bicara realistis nggak mau. Jangan terlalu bermimpi, takutnya baru nyicil dua tiga bulan sudah angkat tangan. Nanti kalau kamu terlalu memaksa, bisa-bisa suamimu pakai jalan pintas, Mbak." Abel melirik Langit yang masih memijit kening. Dia heran kenapa ada manusia unik seperti adik iparnya itu. "Maksudnya apa pakai jalan pintas segala?" Senja ikut mengernyit. "Jalan pintas laki-l
"Terserah bapak dan ibu lebih percaya pada siapa. Yang jelas, Senja sudah menceritakan sedetail mungkin. Kalaupun Mas Adi tetap mengelak dan memberikan keterangan lain, biar itu menjadi urusannya dengan Allah. Memang benar saat kejadian hanya ada kami berdua di rumah ini, tapi Allah selalu melihat apapun yang dilakukan hambaNya. Allah yang akan membalas siapa yang berdusta di antara kami berdua." Akhirnya Senja pasrah setelah menjelaskan panjang lebar tentang kejadian tadi, tapi Susan dan Abel tetap bersikukuh jika Adi tak bersalah. Itu artinya mereka tetap menyudutkan Senja dan menganggap dialah yang mulai menggoda Adi terlebih dahulu. "Kamu juga! Baru saja menikah sudah ditinggal-tinggal pergi. Jadinya begini kan?! Menggoda suami orang!" tunjuk Abel pada Langit yang sedari tadi ikut menjelaskan. "Tutup mulutmu, Bel," sentak Langit tak terima. Langit masih diam saja ketika mereka semua menghinanya, tapi saat Senja disudutkan bahkan difitnah seperti ini, dia jelas tak rela."Dasar
"Kamu yakin akan pulang sekarang, Sayang? Nggak istirahat di sini dulu? Kamu masih lemas kan?" Langit mengusap kening istrinya begitu lembut dan penuh kasih. Dia tak tega melihat istrinya yang sakit itu masih difitnah pula oleh adik dan iparnya sendiri. "Nggak apa-apa, Mas. Aku cuma lemas saja tadi. Mungkin efek datang bulan juga, makanya seperti ini. Ditambah efek kangen sama kamu. Sekarang sudah ketemu kan? Lihat saja jauh lebih baik." Senja tersenyum dan sengaja memperlihatkan sedikit kekuatannya agar Langit tak terlalu cemas. "Yakin mau pulang?" tanya Langit lagi yang dibalas dengan anggukan. "Dokter sudah ngasih obat sama vitamin. InsyaAllah besok juga sudah sehat seperti biasanya. Kita harus segera menyelesaikan masalah ini, Mas. Takutnya makin melebar kemana-mana. Aku nggak mau ada fitnah antar saudara. Bapak pasti juga tak tenang di rumah. Aku nggak mau membuat beban pikirannya bertambah. Kasihan, Mas." Mendengar permintaan dan permohonan istrinya, Langit pun mengizinkan d
"Senja, kamu nggak apa-apa kan? Ririn bilang kamu dibawa ke klinik?" Anwar begitu panik saat mendengar berita itu dari Ririn, sahabat Senja sejak kecil. Dia pun buru-buru menelepon Senja saat itu juga. Susan ikut mendengar obrolan bapak dan anak itu dengan menyalakan speaker handphonenya. Beberapa kerabat yang lain pun ikut menguping. Mereka penasaran apakah ada perbedaan antara cerita Senja dengan cerita Abel yang baru saja mereka dengarkan. "Alhamdulillah membaik, Pak. Senja memang agak demam dan lemas dari pagi, makanya nggak ikut bapak ke rumah bibi. Sekarang sudah ada Mas Langit yang jaga Senja di sini. Jadi, bapak tak perlu khawatir lagi." Anwar sedikit lebih tenang setelah mendengar keadaan anak sulungnya itu. "Tadi Abel sudah menelepon ibumu. Dia cerita banyak tentang kejadian ini. Cuma bapak ....""Bapak nggak percaya sama cerita Abel kan? Pasti nanti bapak akan lebih percaya dengan cerita Senja. Bapak selalu begitu dari dulu. Gimana Abel nggak makin benci sama kakaknya d
Sejak kejadian honeymoon kala itu, sikap Adi mulai berubah. Dia sering malas ngobrol banyak hal dengan Abel. Apalagi saat melihat sikap Senja pada suaminya, rasa cemburu itu tiba-tiba menghantam dada. Adi kesal dan cemburu melihat senyum Senja dan perhatiannya pada Langit saat mereka makan ataupun saat Langit akan berangkat kerja. Senja yang begitu melayani suaminya dengan baik, jauh berbeda dengan Abel yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Selama menikah, tak sekalipun Abel menyiapkan makannya atau mencarikan kaos kaki dan menyemir sepatu pantofelnya. Semua dilakukan Adi sendiri meski dalam keadaan hati yang dongkol. "Aku juga sibuk kerja, Mas. Kamu siapkan sendiri bisa kan?" ucap Abel tiap kali Adi minta tolong dicarikan kaos kaki atau dibersihkan sepatunya. "Biasanya juga kamu harus sendiri saat di rumah bunda, Mas. Jangan manja ah." Lagi-lagi Adi tak bisa protes, sampai akhirnya dia tak lagi meminta tolong hal-hal sepele itu pada istrinya. Adi menghela napas panjang. Dia kem
"Sayang, kamu kenapa?" Langit menghentikan pukulannya setelah melihat Senja limbung, sementara Adi masih memegangi sudut bibirnya yang pecah-pecah. "Sayang ...." Langit mengusap-usap kedua pipi Senja lalu membopongnya dengan tergesa menuju mobil. Langit akan membawa istrinya ke klinik terdekat. Di saat itu pula ada beberapa tetangga yang melihat. Salah satu dari mereka buru-buru menelepon Abel dan mengabarkan jika suaminya dihajar oleh Langit. Handphone Adi berdering saat dia masih membersihkan wajahnya dengan tissu. Umpatan dan makian keluar dari bibirnya tiap kali mengingat sikap Langit padanya tadi. Dia benar-benar tak menyangka jika Langit tiba-tiba datang dan menghancurkan semuanya. "Mas, Kinan bilang kamu dihajar sama Langit? Kenapa?" Suara panik Abel terdengar dari seberang setelah Adi menerima panggilan itu. "Iya, nggak waras dia. Istrinya lagi sakit bukannya dibawa ke klinik malah sibuk kerja dan nggak pulang berhari-hari. Tadi aku pulang mau ambil berkas, nggak sengaja
Suasana di rumah lumayan sepi. Abel mulai kerja kantoran dan biasanya pulang sebelum maghrib tiba. Adi pun sama saja mulai sibuk dengan pekerjaannya, sementara kedua orang tua Senja menginap di rumah kerabat karena ada hajatan kecil-kecilan. Awalnya Senja ingin ikut, tapi bapaknya melarang. Anwar tak ingin melihat menantunya kecewa saat dia pulang rumah dalam keadaan tak bertuan. [Sayang, nanti aku pulang ya. Kamu pengin makan apa nanti kubelikan sekalian.] Pesan dari Langit muncul di layar. Meski masih tampak lemas, Senja sedikit berbinar saat melihat pesan dari suaminya. Maklum, sudah lima hari mereka tak bertemu. Rasa rindu jelas ada, apalagi saat ini keadaan Senja memang tak baik-baik saja. [Buah aja, Mas. Sama camilan pedas juga mau. Apa saja deh] Senja membalas pesan itu lalu kembali meletakkan handphonenya di atas meja. Beberapa saat kemudian dia sudah terlelap sampai adzan dzuhur berkumandang. Merasakan perutnya yang keroncongan, mau tak mau Senja mulai beranjak dari kama
"Kamu pakai cincin, Ja? Kapan belinya?" Susan melirik jemari Senja saat makan malam bersama. "Oh ini, Bu. Mas Langit yang beliin," balas Senja sembari melihat kembali cincin permata putih itu. "Buat gantiin mahar kali, Bu. Kemarin maharnya kan cuma duit empat ratus ribu. Mana ada spesialnya coba." Abel menyahut lalu kembali menikmati malam malamnya. "Nggak kok. Ini memang hadiah spesial aja dari Mas Langit." "Hadiah spesial cuma cincin yang harganya nggak seberapa?" Abel masih saja mencibir. "Sama kalung juga kok. Cantik ada liontin hatinya," balas Senja dengan senyum tipis membuat Abel terlihat begitu kaget. "Kamu dibeliin cincin sama kalung, Mbak? Coba lihat kalungnya kaya apa? Bagusan mana sama kalungku?" Abel menarik kursi yang diduduki Senja sampai membuatnya nyaris terjatuh saking kagetnya. "Abel! Apa-apaan sih kamu!" sentak Senja sembari menepis tangan adiknya yang kini berusaha menyingkap hijabnya. "Gila kamu, Bel!" ucap Senja geram karena auratnya nyaris terlihat, pad
"Oleh-oleh buat ibu sama bapak dari Mas Adi." Abel menaruh dua paper bag di atas meja dengan senyum bangga. "Kemeja baru?" Anwar menyahut lalu mengucapkan terima kasih pada anak bungsunya itu. "Wah, tas sama sandal. Beneran ini buat ibu?" pekik Susan tak percaya sebab dia tahu kalau barang itu cukup bermerk dan lumayan mahal menurutnya. "Bilang makasihnya sama Mas Adi saja, Pak, Bu. Dia yang beli kok. Aku kan cuma pilihin warna sama ukurannya saja." Abel menarik lengan Adi agar duduk di sebelahnya. Anwar dan Susan pun mengucapkan terima kasih pada menantunya itu. "Maaf kamu nggak dapat jatah ya, Mbak. Kamu kan sudah bersuami. Minta saja sama suamimu sendiri." Abel melirik sinis. "Iya, Bel. Lagian mana pernah kamu jatah aku? Bukannya dari dulu kamu nggak pernah sekalipun beliin aku sesuatu?" tukas Senja begitu santai sembari berbalas pesan dengan suaminya."Dih! Kamu kan punya duit sendiri, jangan mental gratisan deh." Abel melengos kesal. "Siapa yang mental gratisan sih, Bel. Ak