"Kamu jual semua aset yang papa punya termasuk rumah ini, Lang. Belikan saja papa rumah minimalis atas nama istrimu. Jadi, kalau nanti papa pergi sudah jelas rumah itu untuk siapa. Papa tak butuh rumah sebesar ini." Dimas menatap satu persatu benda di ruang tengah itu. "Papa bisa tinggal dengan kami di perumahan permata cinta. Dengan begitu, Senja bisa bantu Mbak Astuti untuk merawat papa. Nggak perlu tinggal sendiri, Pa." Senja yang sedari tadi diam ikut menimpali. "Jangan, Ja. Setelah menikah, sebaiknya kalian memang hidup mandiri dan terpisah dari orang tua. Kalian bisa saling mengisi, saling melengkapi dan memahami satu sama lain. Papa bisa tinggal di rumah lain, asalkan ada asisten sudah cukup. Papa ingin menikmati masa tua ini dengan santai, berkebun di taman kecil atau menikmati sore dengan teh hangat." Dimas manggut-manggut lalu tersenyum tipis. "Kalau begitu, papa bisa tinggal bersebelahan dengan kami. Ada beberapa unit rumah yang belum terjual di sana. Iya kan, Mas?" Senj
"Mas, mana bisa wasiat seperti itu. Sebagai istri aku juga berhak mendapatkan warisan. Bagaimanapun keadaannya. Kamu nggak bisa seenaknya begitu. Aku bisa menggugatmu kalau aku mau!" Tasya meradang. Dia tak terima dengan wasiat Dimas yang menurutnya terlalu konyol itu. "Kalaupun kamu nggak suka sama istrimu sendiri, bukan begini caranya, Mas. Kamu bisa melanggar hukum!" Tasya kembali berkomentar. "Tenang dulu, Mbak. Kami-- Tasya memotong ucapan pengacara Dimas itu dengan menggerakkan telapak tangannya ke udara. "Kamu nggak bisa dong bagiin hartamu cuma sama anak dan menantumu saja. Apalagi menantu barumu itu dapat setengah bagian. Memangnya boleh begitu? Pembagian harta kan maksimal sepertiga bagian, Mas. Gimana sih! Tanya pengacaramu itu kalau nggak percaya." Tasya masih tak terima. Dia nggak mau pergi tanpa membawa apapun. Apalagi dia sudah janji pada Faisal akan memberinya jatah khusus jika membantunya mengembalikan kepercayaan Dimas. "Kalaupun wasiat itu kuubah, kamu juga ng
"Benar yang dikatakan Faisal kan, Mas? Wajar aku memilihmu karena saat itu kamu langsung mengajakku menikah, sementara dengan Langit hanya diajak pacaran. Perempuan mana yang mau hanya dijadikan pacar dan cuma sekadar jadi teman kondangan?" Tasya kembali merayu dengan memegang tangan Dimas. Tak menepis dan tak menerima, Dimas hanya diam saja. Senja khawatir jika saat ini papa mertuanya kembali bimbang. Tasya menatap Senja yang mulai was-was, tapi dia berusaha menutupi rasa itu. Senja justru tersenyum lalu mengambil handphonenya di saku gamis. "Maaf kalau ini membuat papa semakin shock dan kecewa," ujar Senja santai, tapi justru membuat Tasya semakin panik. Tasya tak tahu cara apalagi yang akan dilakukan Senja untuk mematahkan semua pembelaannya. "Kamu punya bukti lain, Ja?" tanya Dimas lirih lalu menoleh ke arah anak menantunya itu. Senja mengangguk. Dia menggulir galeri handphonenya lalu memperlihatkan pada mertuanya beberapa obrolan dan foto-foto vulgar dan tak pantas yang dikir
"Panggil Pak Samudera sekarang, Lang. Papa akan ubah surat wasiatnya sebelum bercerai." Ucapan Dimas membuat Tasya shock seketika. "Bercerai, Mas? Maksudmu bagaimana?" tanya Tasya masih dengan mimik wajah terkejutnya. "Memangnya kamu sudah ingat soal surat wasiat itu?" cecar Tasya lagi. Dimas menoleh dengan mata memerah menahan amarah. "Kalau aku belum ingat apapun, apakah pantas seorang istri memperlakukan suaminya seperti ini? Aku bukan suami yang pelit dan perhitungan, tapi kenapa kamu hambur-hamburkan uang itu diam-diam tanpa sepengetahuanku?" Tasya tercekat mendengar pertanyaan itu. "Aku memang tak ingat soal wasiat itu, makanya kuminta Pak Samudera datang ke sini. Aku akan baca lagi wasiat yang pernah kutulis itu. Kamu sudah kuberikan mobil, perhiasan dan barang-barang branded, rumah ibu pun sudah bagus kan? Tenang saja, aku tak akan mengambilnya. Anggap saja itu rasa terima kasihku padamu karena selama ini sudah mau menjadi istriku, meski aku juga tak tahu bagaimana sikapmu
"Aku nggak tahu lagi harus menjelaskan dengan cara apa dan bagaimana. Bahkan membawa orang yang dituduh sebagai pelaku pun tetap tak dipercaya." Tasya kembali melanjutkan aktingnya. "Sepertinya mama Tasya memang layak dikasih penghargaan sebagai aktor terbaik. Akting mama luar biasa. Kenapa nggak jadi artis saja kalau ingin mendapatkan banyak uang, Ma? Kenapa harus memanfaatkan ketulusan dan cinta papa untuk mendapatkan ratusan juta itu? Apa masih kurang banyak uang yang mama hambur-hamburkan selama ini? Buat bangun rumah ibu, beli motor baru, beli barang-barang branded, bayar brondong itu, buat-- "Lihat, Pa! Menantu papa itu benar-benar kurang ajar. Dia menuduh mama membayar Faisal untuk melayani mama. Ini benar-benar fitnah paling kejam dan menjijikkan. Aku nggak terima diperlakukan seperti ini apalagi di rumah suami sendiri," ujar Tasya kembali merajuk. Tak tahan dengan semua sandiwara Tasya yang menjijikkan itu, spontan Langit menggebrak meja. Dimas sampai terlonjak seketika me
"Papa sudah tahu semuanya. Kenapa kalian datang ke sini bersama-sama?" tanya Senja pada kedua orang itu. Tasya menatap rivalnya lekat lalu tersenyum sinis saat Senja masih berusaha menetralkan keterkejutannya. "Memori papa belum sempurna. Jadi, kamu jangan pernah bermimpi untuk menghasutnya. Aku tahu bagaimana dia karena sudah tiga tahun kami bersama, sementara kamu hanya menantunya kemarin sore. Jangan belagu!" bisik Tasya saat Senja memunguti satu persatu foto itu. "Ohya? Kita lihat saja nanti siapa yang lebih dipercaya papa. Aku yang baru mengenalnya atau kamu yang sudah tahunan bersamanya," tantang Senja tak mau kalah. Tasya cukup shock melihat tingkat kepercayaan diri Senja yang tinggi itu. Ekspresi yang sebelumnya mengejek dan merasa tak terkalahkan, kini justru berubah drastis. Tasya begitu kesal dan muak, tapi dalam hati sangat khawatir dengan trik-trik yang akan dilakukan Senja selanjutnya. Tasya tahu jika perempuan yang dia anggap kampungan itu bukan lawan yang patut dir