“Mana mungkin nyaingin Roy, mereka nikah juga pasti karen Nisa sakit hati enggak jadi nikah sama Roy, makannya desak mau nikah sama siapa aja yang datang,” cela Buk Sari, mama Bang Roy.
Suara gemerincing gelang yang hampir memenuhi kedua tangan itu tak kalah berisik dari mulutnya. Setiap berbicara ia pasti mengguncang tangannya agar gelang-gelang itu terus berdenting. Entah apa maksudnya, mungkin agar terlihat lawan bicaranya, padahal tanpa melakukan itu semua orang juga tahu keluarganya terpandang di desa kami.Aku berusaha tak menggubris ucapannya, asyik memilah sayur di gerobak Mang Jaka, penjual sayur yang selalu setia berkeliling di depan rumah setiap pagi.“Eh, Neng Nisa, denger-denger udah nikah yak, kok enggak ngundang sih?” goda Mang Jaka, aku hanya tersenyum ramah menanggapinya.“Gimana mau ngundang sih Mang, dia aja enggak ngadain pesta. Malu lah, takut kali nanti nikahnya gagal lagi, atau mungkin calonnya enggak punya duit makannya cuma akad aja. Aku denger juga maharnya cuma seratus ribu. Ya ampun, hari gini anak gadis dihargain seratus ribu, dapat apa?”Aku menatap wanita yang baru tiba dan menyahut ucapan Mang Jaka tersebut, Bik Sri menghampiri besannya, keduanya menatapku tak suka. Entah kerasukan setan apa tiba-tiba wanita itu berubah total, padahal kemarin dia masih datang dengan penuh penyesalan ke rumah, masih memohon maaf kepadaku dan ibu.“Mbak Nisa, udah belum belanjanya?”Aku beralih menatap Danu yang berjalan menghampiriku sambil mendorong sepeda butut warisan dari bapak.“Tuh lihat, masak iya sama istrinya manggil mbak.”Gelak tawa ibu-ibu yang berkumpul dengan Bik Sri dan Bu Sari terdengar menghina, membuatku semakin kesal.Kutarik cepat tangan Danu menjauh. “Jangan panggil aku Mbak, lihat itu diketawain orang,” omelku, membuat Danu menggaruk kepalanya.“Terus aku manggil apa Mbak?” tanyanya masih tak mengerti.“Panggil aku Dek, atau apalah terserah kamu aja,” ketusku.Kutinggalkan Danu yang terus mengekor di belakang. Padahal, semalam kita sudah sepakat jika di depan orang harus berperilaku layaknya suami istri meski semalam ia tak menyentuhku karena dia memilih tidur di bawah sementara aku di atas dipan.“Ya wes Dek Nisa, jangan ngambek ini masih pagi,” godanya.Aku tak menghiraukan Danu dan terus berjalan tanpa sedikitpun menoleh membiarkan dia terus memanggilku.“Eh, manten anyar, kok jalan enggak gandengan, kayak musuh aja.” Bik Dewi yang baru saja keluar dari rumah menyapa.“Kalau gandengan terus, nanti luntur cintanya,” jawabku asal. Tak ingin meladeni Bik Dewi gegas aku masuk rumah.“Danu, kenapa itu istrimu? Pagi-pagi udah sewot,” tanya Bik Dewi yang masih kudengar.Danu menggedikkan bahu sepertianya ia pun enggan meladeni Bik Dewi. Secepatnya ia menyusul masuk ke rumah.“Loh ndak jadi pergi?” tanya bapak melihat Danu dibelakangku.Ditaruhnya teh yang baru ia seruput, menatapku dan Danu bergantian.“Ini… em… anu Pak Mbak Nisa, maksudnya Dek Nisa kan baru belanja tadi mau ganti baju dulu,” jawab Danu.Aku mengernyitkan dahi. Tadi ia tak mengatakan apapun, pikirku bingung.Kutaruh sayur di dapur lalu menghampiri Danu. "Mau kemana Mas?” tanyaku.Sedikit kikuk ketika mendengar sebutanku kepadanya, padahal semalam sudah kukatakan mulai malam itu, aku akan memanggil Mas Danu sepantasnya seorang istri.“Anu loh Dek, tadinya mau ngajak kamu ke pasar, beli baju.” Kembali pemuda itu menggaruk kepalanya, gerakan yang tak pernah terlewat ketika ia gugup.“Ya udah tunggu sebentar.” Aku segera bersiap.Meski sebenarnya malas untuk pergi keluar, tetapi demi melihat senyum di wajah bapak dan ibu semua pasti akan kulakukan.Tak lama kemudian aku kembali keluar, Danu masih berbincang dengan bapak, ibu baru saja keluar dengan cemilan.“Dua minggu lagi jadi rencana kita buat ngadain resepsi buat Nisa sama Danu, Pak?” tanya ibu.Bapak mengangguk lemah, padahal aku sudah bilang untuk tidak perlu mengadakan resepsi, tetapi bapak ingin sekali saja melihatku mengenakan gaun pengantin.“Bapak udah siapin semuanya, untungnya dekorasi yang kita sewa mau kita tunda Buk, jadi enggak kehilangan uang, kan sayang kalau enggak dipakai kita tetep bayar,” ungkap bapak.Aku sampai lupa jika kemarin sudah memberikan DP kepada wedding organizer saat akan menikah dengan Bang Roy. Beruntungnya mereka memberikan toleransi setelah bapak menceritakan semuanya.“Ya udah, pamit dulu Pak.” Danu berpamitan, bergantian menyalami ibu dan bapak begitu juga denganku.Kami pergi ke pasar besar yang ada di ujung desa dekat kota menggunakan motor butut milik bapak. Sebenarnya ada satu motor baru milik bapak yang kubelikan saat aku masih bekerja, tetapi Danu memilih menggunakan motor butut. Dia bilang, itu motor bapak pemberian putrinya, bapak aja enggan untuk menggunakan. Nanti, kalau ada rezeki dia yang akan membelikan untukku.Alasan kecil itu sebenarnya mampu menggetarkan hatiku, entahlah mulai ada perasaan aneh yang menggelitik.
Baru saja turun dari motor Bik Ratna yang memiliki kios sembako terbesar di desa menghampiri.“Eh Nisa, bilangin sama ibukmu ya, hutangnya kapan mau bayar? Janjinya kalau kamu udah nikah, tapi kan kamu enggak jadi nikah sama anaknya juragan Reno,” ucapnya sedikit berteriak tanpa melihat tempat membuat orang memandangku.“Iya Bik nanti aku bilang ke Ibu, emangnya berapa hutang Ibu?” tanyaku.Aku memang tak tahu jika ibu memiliki hutang kepada Bik Ratna. Apa kurang uang yang kukirim kepada ibu setiap aku gajian dulu, sehingga ibu memiliki hutang? Karena setahuku saat aku berhenti bekerja dan dirumah tak pernah ia pergi ke kios Bik Ratna, selalu menyuruhku ketika hendak membeli sesuatu.“Sebenernya sih ibumu enggak ngebolehin kamu tahu, tapi bagaimana nanti enggak dibayar-bayar,” cetusnya lagi, tangan melipat di dada dengan bibir mencebik.“Emangnya berapa Buk hutang mertua saya?” tanya Danu yang sudah berdiri di sampingku setelah memarkir motor.“Oh ini mantunya.” Bik Ratna menatap Danu dari atas hingga bawah, tatapan meremehkan membuatku tak suka. Bagaimanapun sekarang dia suamiku, rasa sakit menusuk hati ketika ada yang merendahkan.“Dari tadi kami tanya loh Bik, berapa hutang Ibu ibuk.” Aku sudah mulai kesal.“Emangnya kamu udah punya uang? Nikah juga seadanya. Makanya, kalau punya uang, jangan resepsi, tapi bayar hutang ibukmu, totalnya 4 juta!” jawabnya dengan nada menghina.Hanya empat juta, pikirku. Untung aku masih memiliki simpanan.“Nanti sore aku anter ya, Bik. Sekarang aku belanja dulu.” Aku menarik tangan Danu meninggalkan Bik Ratna yang masih terus mengumpat.“Dasar sombong, awas ya, kalau nanti enggak kamu anter uangnya!” seru Bik Ratna membuatku benar-benar malu.Kenapa Harus menagih di tempat umum? Sedang beberapa hari lalu aku datang ke kiosnya dan dia tak memberitahu pasal hutang ibu.Aku menghela nafas berat, berhenti sejenak. “Kita pulang aja yuk, Mas?” Aku memutar badan setelah beberapa saat tak ada jawaban.Kemana perginya Mas Danu? Lelaki itu semakin membuatku pusing. Tak berselang lama kulihat Mas Danu sedikit berlari menghampiriku.“Dari mana sih?” tanyaku kesal.“Tadi lupa ngambil kunci motor, nanti diambil orang,” jawabnya dengan nafas ngos-ngosan.Aku menggeleng lemah. “Nggak diambil juga gak papa, lagian mana ada yang mau sama motor butut.”“Hari apes enggak ada di kalender, butut juga masih bisa kita pakai Dek,” jawabnya lembut.“Ya udah ayuk,” aku berjalan di samping Mas Danu.“Kamu mau beli apa? Beli apapun yang kamu mau,” ujarnya membuatku menatapnya. Bukan aku ingin meremehkannya, tapi apa dia memiliki uang? Pasalnya, ia hanya bekerja dengan bapak, sedang bapak memberinya uang ketika panen dan aku tahu hasilnya pun tak begitu banyak.“Enggak usah natap aku kayak gitu, nanti aku gerogi,” cetusnya tanpa melihatku.“Ge-er banget.” Kutahan senyum dan berjalan lebih dulu.Kami berjalan mengelilingi pasar, mencari apa yang kubutuhkan. Benar saja, semua yang aku mau dia yang membayar, padahal aku sudah membawa uang sendiri. Setelah membeli beberapa potong baju untukku dan dirinya, tak lupa ia membelikan juga untuk bapak dan ibu.“Kita makan dulu Dek,” ajaknya.Aku hanya menurut. Kami berjalan menuju sebuah warung sate yang tidak terlalu jauh.Namun, baru saja hendak masuk ke dalam warung teriakan seseorang menghentikan langkahku dan Mas Danu.“Itu bos Rangga!” seru salah seorang sembari menunjuk ke arah Mas Danu.Melihat dua orang berpakaian hitam lengkap dengan kacamata dan sepatu yang mengkilap, Mas Danu terlihat begitu panik, tanpa aba-aba ia menarik tanganku.“Lari!” serunya sembari terus menggandeng tanganku.Tergagap aku mengikuti langkahnya yang begitu cepat, bahkan aku tak sempat bertanya siapa mereka.'Bos Rangga? Siapa maksudnya?'Aroma kayu putih memenuhi penciumanku. Tepukan di pipi mulai kurasa.“Mbak, Mbak Nisa gak papa? Ya ampun, Mbak.” Bik Hanum terlihat begitu khawatir berusaha menyadarkanku sepenuhnya.Kulihat sekeliling, foto-foto itu sudah tak berserakan mungkin mereka sudah membereskannya.“Pelan-pelan Mbak.” Bik Hanum membantuku terbangun. “Tri ambilkan minum,” perintahnya kepada Bik Lastri yang duduk di sampingnya memijat kakiku.“Ini Mbak minum dulu.” Menyodorkan segelas air kepadaku. Gegas kuteguk air dalam gelas hingga tandas.“Antar aku ke tempat Mas Danu, Bik,” pintaku. Otakku mulai memutar semua gambar-gambar kejadian yang baru saja terjadi, untaian kata-kata dari Deswa kembali terngiang. Aku harus menyaksikan sendiri.“Tapi Mbak, maaf apa enggak sebaiknya nunggu Den Rangga dulu?”Bik Hanum menunduk, sepertinya menyembunyikan sesuatu. Apa orang-orang bawaan Mas Danu semua tahu akulah yang dia sembunyikan?Aku menatap tajam Bik Hanum yang masih menunduk.“Iya Mbak, sebaiknya nunggu Den Rangga
“kabarnya sih kalau enggak dibalikin secepatnya dia mau dipenjara,” sambung Bik Dewi.“Kasihan ya, bik. Anaknya masih kecil-kecil,” ucapku tulus.“Halah, ngapain kamu kasihan sama dia, dulu juga dia enggak kasihan sama kamu. Itu namanya karma Nis,” cetus Bik Dewi kembali mengingatkanku kelakuannya yang membuat keluargaku malu dan menjadi bahan gibah sekampung.Tak ingin terlalu lama menggosip dengan Bik Dewi, gegas kucari alasan untuk segera pergi.“He, iya udahlah bik, namanya juga hidup. Aku pergi dulu ya, bik. Mau jalan-jalan biar sehat.”“Iya, bener tuh. Lagi hamil harus banyak gerak jangan ndekem aja di rumah,” tuturnya. Aku tersenyum dan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Mendung sore di penghujung bulan, rintik hujan tiba-tiba datang. Gegas kuputar badan, mempercepat langkah kembali ke rumah. “Duh, mbak kok ujan-ujanan sih, nanti kalau mbak sakit kami yang dimarah Den Rangga,” Bik Ratih berlari tergopoh setelah melihatku di depan pagar, membawakan payung
….Aku duduk di teras rumah, menyesap secangkir susu ibu hamil dilengkapi dengan buah buahan. Kuusap perut yang telah membuncit. Sudah empat bulan Mas Danu tidak pulang, kerinduan kami hanya bisa tersalurkan melalui panggilan video call. Rumah yang kini telah berdiri megah terasa begitu sepi meski ada dua orang pembantu dan beberapa satpam yang diminta Mas danu untuk menjaga. Padahal aku tak perlu mendapatkan penjagaan yang begitu ketat tetapi suamiku itu memaksa. Bahkan di setiap sudut rumah terpasang CCTV, entah apa yang dia khawatirkan padahal disini tak mungkin ada orang yang akan berniat jahat.Ponsel disampingku bergetar, kulihat layar dan segera menggeser tombol hijau. Memperlihatkan wajah Mas Danu. Aku tersenyum menyambutnya.“Udah sarapan Sayang?” tanyanya.Aku mengangguk. “Mas dikantor? Udah sarapan?”Ingin sekali aku menjadi istri sepenuhnya seperti dulu, menyiapkan makanan untuknya, menyiapkan pakaiannya. Namun, aku harus bersabar, setelah mengatakan alasannya tak ingin me
“150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi
“Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat
“Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “