Share

Siapa Sebenarnya Dia?

“Siapa mereka?” tanyaku setelah kami berhasil bersembunyi di kebun pisang.

Alih-alih menjawab, Danu membekap mulutku agar aku tak mengeluarkan suara, rupanya dua orang itu masih berada di sekitar persembunyian kami.

Mas Danu melihat sekeliling setelah beberapa saat. Pikiranku mulai tak tenang, melayang entah kemana. Apa dia musuhnya, apa dia pencuri? Apalagi... setelah Mas Danu membelikanku banyak hal di pasar tadi, jangan-jangan uangnya bukan punya dia!? Ah, jiwa penasaranku sudah memberontak tak karuan meminta jawaban, ingin aku pertanyakan banyak hal kepadanya.

“Udah aman,” ujarnya sambil menarik perlahan tanganku agar mengikutinya.

“Siapa mereka, Mas? Kenapa kita lari?” tanyaku, dadaku masih berdegup kencang, nafas tersengal tak beraturan.

“Bukan siapa-siapa, kamu enggak usah khawatir,” jawab Mas Danu enteng, ia terus berjalan pelan menggandeng tanganku sembari melihat kanan dan kiri.

Memintaku untuk tidak khawatir, tetapi jelas ia sendiri merasa khawatir jika ditemukan oleh mereka. Kami memutar jalan untuk pulang, Mas Danu terlihat sangat takut jika bertemu kedua pria tersebut, entah apa sebenarnya yang ia sembunyikan, aku akan menanyakan jika kami sampai rumah.

“Maaf ya Dek, enggak jadi makan,” ucapnya memecah keheningan di antara kami, aku berkelana dengan pikiranku sementara Mas Danu fokus menyetir motor.

Aku tak menjawab ucapannya, rasa laparku sudah tekalahkan oleh rasa penasaran. Aku ingin segera sampai rumah dan mencecar Mas Danu, mengeluarkan banyak pertanyaan yang sudah mengganjal dalam benakku.

….

Kami tiba di rumah, kebetulan rumah sedang sepi, karena bapak dan ibu bilang akan pergi ke makam mbah untuk ziarah. Tinggalah aku dan Mas Danu, aku bisa bertanya sekarnag sebelum bapak dan ibu pulang.

“Siapa mereka Mas?” tanyaku, kali ini tak akan kubiarkan dia lepas.

Aku harus mendapat jawaban, apalagi dia ini suamiku sekarang, jelas penting untuk mengetahui asal usulnya. Bagaimana kalau-kalau ada keluarga yang juga mencarinya?

Mas Danu meneguk secangkir air dingin hingga tandas, mengusap sisa-sisa air di bibirnya. Ia diam sejenak, mungkin sedang menata kata untuk menjawab pertanyaanku.

“Bukan siapa-siapa, mereka orang gila,” jawabnya.

Aku mengeryitkan dahi tentu saja tak puas dengan jawaban asalnya. Sebenarnya mereka yang gila atau suamiku yang gila? Mana mungkin orang gila mengejar kami begitu saja, pun terlihat sangat ingin mendapatkan Mas Danu.

“Aku serius Mas.” Kuhentikan langkah Mas Danu yang hendak keluar dengan cangkul dan capil bersiap akan pergi ke sawah.

“Aku juga serius Dek, siapa coba yang manggil orang sebatang kara kayak aku ini bos kalau bukan orang gila?”

Aku kembali mengingat, memang benar kedua orang tersebut memanggil Mas Danu dengan sebutan Bos Rangga. Apa benar yang dikatakan Mas Danu? Apa yang mereka cari mirip dengan suamiku? Tapi jika begitu, seharusnya Mas Danu tak perlu lari dan sembunyi, pasti ada sesuatu.

“Kok Mas ngajak aku lari kalau mereka enggak ada maksud lain?” tanyaku lagi, aku mengekor di belakangnya.

Mas Danu menghentikan langkah, memutar badan dan tersenyum, sejenak kami saling pandang. Tatapannya membuatku salah tingkah. Jika dilihat-lihat, dia begitu tampan dengan lesung pipi dan kumis tipis. Aku menunduk cepat.

“Takut nyelakain kamu Dek, makannya reflek mengajak kamu lari. Udah ya, aku mau ke sawah, keburu siang.” Dia berlalu meninggalkanku yang masih mematung.

Aku masih melihat bahu Mas Danu yang semakin menjauh dengan sepeda bututnya. Kata bapak, dia mungkin kehilangan ingatan ketika kecelakaan, apa karena itu pula kadang dia terlihat seperti tidak waras? Ah entahlah, membuatku semakin pusing. Aku kembali masuk dan menyimpan barang belanjaanku.

Teringat pesan Bik Ratna, gegas kuambil uang dan pergi ke kiosnya. Tak ingin menunggu sore, aku harus segera membayar hutang Ibu agar ia tak mempermalukan Ibu lagi. Kukeluarkan motor bapak, mengendarai sedikit cepat agar segera sampai di sana.

Sepuluh menit kemudian aku sampai di kios Bik Ratna, ramai orang sedang berbelanja, dan orang yang tak ingin kutemui ternyata sedang berada disana, sial. Harusnya aku mengulur waktu saja, batinku merutuk. Tak punya pilihan, karena sudah sampai akhirnya aku tetap turun.

“Eh, Mbak Nisa,” sapa Ranti, ia menatapku dari atas hingga bawah.

Aku memang belum sempat menukar baju, celanaku kotor karena permainan kejar-kejaran pagi tadi.

Aku tak menjawab ucapannya, berjalan melewati Ranti dan ibu mertuanya.

“Duh, kasian pengantin baru diajak ke ladang,” sindir Bu Sari.

“Untung aku nikah sama Bang Roy, udah terjamin.”

Ranti mengibaskan rambutnya, memperlihatkan kalung sebesar kelingking yang melingkar di lehernya, tak lupa baju di lengannya ia gulung agar memamerkan gelang yang tak kalah besar, sudah seperti toko mas berjalan.

Tak menghiraukan keduanya gegas kucari Bik Ratna. “Bik,” panggilku, sepertinya ia sedang berada di dalam.

“Pasti mau bayar hutang,” cibir Ranti dengan tawa.

Berulang kuusap dada agar tak terpancing dengannya. “Bik,” panggilku lagi, aku sudah tak betah berada di samping keduanya.

“Eh Nisa, kenapa?” tanya Bik Ratna yang baru saja keluar sembari membawa beberapa barang.

Ia terlihat begitu ramah padahal pagi tadi seperti induk kucing yang baru saja melahirkan.

“Ini uangnya Bik.” Kukeluarkan uang dari dalam dompet dan mengulurkan kepada Bik Ratna. Alih-alih segera mengambilnya ia justru terlihat bingung.

“Loh udah dibayar kok sama suamimu,” terangnya yang membuatku semakin tak mengerti.

“Maksudnya Mas Danu yang bayar?” tanyaku penuh penekanan.

Bik Ratna mengangguk. “Iya lah suamimu siapa lagi. Oh ya, sama bilangin makasih ya, tadi uangnya dilebihin sama suamimu, bibik belum sempat ucapin makasih.” Senyum mengembang dibibir merahnya.

Aku mengeryitkan dahi. Dilebihkan? Apa aku tak salah dengar? Dari mana Mas Danu punya uang sebanyak itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status