Share

Nikah Juga

Danu menatapku, begitu juga aku, sejenak kami saling pandang. Namun, secepatnya aku mengalihkan pandangan dari pemuda itu.

“Bapak ini ngomong apa,” ucapku sedikit kesal.

“Bapak ini gimana, ya jelas anak Bapak yang cantik itu ndak mau sama aku.” Danu terkekeh, tapi bisa kulihat ia salah tingkah.

“Bapak serius lho.” Bapak menatapku dan Danu bergantian, memang tak ada raut bercanda di wajahnya.

“Bapak sama ibuk kan udah tua, nanti siapa yang jaga Nisa? Dia itu sendirian, enggak punya saudara. Bapak pengen lihat dia menikah,” ujar bapak serius.

Wajahnya yang terlihat sudah keriput termakan usia tak sedikitpun memperlihatkan raut wajah bercanda. “Ibuk juga sakit-sakitan mikirin anak gadisnya,” sambung bapak, tangannya menggenggam lembut jari jemariku yang memilin ujung baju.

Aku tak bisa berkata-kata, menolak pun tak mungkin. Aku hanya bisa pasrah, mungkin pilihan bapak ini yang terbaik untukku.

“Tapi kan, aku enggak punya apa-apa dan siapa-siapa Pak, aku ini sebatang kara,” lirih Danu, ia menunduk melas.

Bapak tersenyum menepuk pelan pundak Danu. “Itu ndak penting, bapak tahu kamu laki-laki baik-baik, kamu pasti bisa jaga Nisa, makanya bapak pengen ngambil mantu kamu.” Bapak tertawa tipis.

Danu sepertinya tak kuasa menolak, ia menyetujui permintaan bapak untuk segera meminangku. Sementara bapak pulang lebih dulu dengan senyum sumringah, tak sabar ingin mengabarkan hal itu kepada ibu.

“Apa ndak apa-apa, Mbak?” tanya Danu, memecah keheningan kami beberapa saat setelah bapak meninggalkan saung tempat kami beristirahat.

Aku menatapnya sejenak, sedikit ada keraguan dalam dadaku. Apa mungkin aku melaksanakan pernikahan tanpa cinta ini? Tapi, untuk apa cinta jika pada akhirnya akan menyakiti layaknya tujuh pria yang telah melamarku sebelumnya?

“Gimana menurutmu?” Aku balik bertanya.

“Ya kalau aku sih, seneng aja,” jawabnya dengan tawa renyah.

“Kamu pikirin aja dulu lah, aku berharap pernikahan sekali seumur hidup. Kamu sendiri pasti udah denger bagaimana orang sekampung memanggil dan gosipin aku sebagai perawan tua.” Aku beranjak, bersiap meninggalkan Danu.

Ya, meski pernikahan tanpa cinta, aku berharap hanya menikah sekali seumur hidup, bersyukur jika Tuhan memberikan cinta di antara kami esok jika dia benar-benar ingin menikah denganku.

….

Minggu malam tak kusangka Danu datang membawa sekotak cincin emas, entah dari mana ia mendapatkan itu. Lelaki berambut gondrong itu mengatakan siap menerima permintaan bapak dan menikah denganku secepatnya. Aku tak terkejut, justru was-was melanda hati, takut kalau-kalau pernikahan ini mungkin akan kembali gagal.

Bapak dan Ibu sengaja merahasiakan hal ini, hingga sehari sebelum menikah, Ibu baru memberitahukan kepada kerabat dan tetangga untuk membantu membuat hidangan selamatan, sesuai tradisi di desa kami.

“Beneran Nisa mau nikah, Rum?” tanya Bik Marti, tetangga sebelah.

Ibu mengangguk membenarkan ucapan Bik Marti. “Alhamdulilah, semoga jodoh terbaik,” jawab Ibu.

“Sama siapa? Pemuda yang di rumahmu itu? Sebenarnya dia siapa? Kok Nisa mau, nikah sama orang yang enggak jelas asal usulnya,” cecar Bik Marti yang kudengar begitu jelas dari kamarku.

“Udah pilihan bapaknya, Mbak,” ibu menjawab dengan tenang.

Keduanya kemudian berlalu menuju dapur mempersiapkan sayur mayur yang akan diolah, sementara aku lebih senang mengurung diri di kamar. Jika aku keluar, yang aku dengar hanyalah omongan panas dan nyinyir dari para tetangga.

Mondar-mandir berjalan di depan cermin, jantungku berdetak tidak karuan. Berulang kutatap jam yang tergantung di dinding, waktu terasa begitu lambat, padahal aku ingin hari ini cepat berlalu.

Tak seperti acara akad yang dilengkapi hiasan serta banyak pasang mata menyaksikan, acara akad pernikahanku hanya tetangga dekat yang menghadiri dan kerabat. Aku pun tak berniat memesan perias, rasa trauma membuatku berdandan seadanya.

Aku menunggu di kamar seorang diri. Semakin mendekati waktu yang ditentukan, jantungku berdetak kencang seolah ingin melompat keluar. Duduk tak tenang, berdiri pun tak nyaman, hawa panas membuatku berkeringat, padahal kipas angin menyala begitu kencangnya.

Pintu kamar diketuk, gegas kuhampiri dan membukanya. “Deswa,” lirihku. Kutarik cepat tangan sepupuku itu.

“Dingin banget tangan kamu Mbak, kayak mayit aja.” Dia meremas tanganku.

Dingin, katanya, padahal aku sendiri merasa gerah.

“Takut banget, lihat ini jantungku udah mau copot.” Kutempelkan tangan Deswa di dadaku.

“Ya ampun, tenang aja lah.” Deswa terkekeh pelan.

“Kamu ini kayak enggak tahu aja, setiap mau nikah ada aja yang gagalin, aku takut ngecewain Bapak sama Ibu lagi.” Aku menunduk lesu.

“Udah percaya aja, semua pasti baik-baik aja.” Deswa menenangkan.

Aku kembali berdiri, kenapa pak penghulu lama sekali? Aku kembali melirik jam dinding, sudah lewat pukul tujuh, padahal acara akad seharusnya dimulai sepuluh menit yang lalu. Aku terduduk lemas, keringat dingin membasahi dahiku.

“Sabar Mbak, udah jangan cemas.” Deswa mengusap punggung. “Bentar aku lihat keadaan di luar.”

Aku mengangguk lemah membiarkan Deswa keluar. Kurebahkan tubuh, menutup wajah dengan bantal, rasanya aku tak ingin bangun. Jika sampai kali ini gagal, aku tidak ingin menikah, biarlah aku menjadi perawan tua seumur hidup, rutukku dalam hati.

Beberapa saat berkelut dengan pikiran, tubuhku diguncang pelan oleh Deswa.

“Mbak, kok malah tidur sih,” omelnya sembari terus mengguncang pelan tubuhku.

Padahal aku sedang berusaha menyembunyikan tangis, mengatur nafas agar ia tak tahu, air mataku sudah menetes.

“Mbak bangun dong, itu pak penghulunya udah dateng tinggal nunggu manten lakinya,” ungkap Deswa yang semakin membuatku tak ingin menampakkan wajah.

'Mungkin Danu sudah kabur karena berubah pikiran' batinku, bodohnya aku masih saja percaya dengan lelaki, menyebalkan.

“Memangnya untuk ke sini menempuh jarak sejauh dari kota? Padahal, tempat tinggalnya aja enggak sampe dua menit juga sampai. Aku tahu pasti si Danu udah kabur, enggak mungkin juga dia mau nikah sama--” belum selesai aku mengomel, suara bariton pemuda itu terdengar jelas dari kamar.

Dia mengucap salam dan meminta maaf karena terlambat. Aku mematung mendengar suara itu, rupanya ia tak main-main.

“Tuh, kan. Mbak ini terlalu pesimis.” Deswa mendorong pelan tubuhku. “Ayo cepetan bangun, itu hijabnya di benerin,” tuturnya sambil menarik tanganku yang tetap tak beranjak.

“Mbak!” panggilnya kesal.

Akhirnya aku menurut, beralih duduk di depan meja rias membiarkan Deswa mendandaniku. Aku duduk bagai patung, menajamkan telinga mendengar setiap bait kata ijab kabul yang diucapkan Danu. Gema kata ‘sah’ terdengar, aku menunduk lega. Meskipun aku tak tahu siapa dia, dari mana asalnya, satu yang pasti, aku percaya pilihan bapak. Selain itu, mulai sekarang aku harus menghormati Danu, karena dia suamiku.

Deswa membawaku keluar, berjalan pelan menghampiri Danu dan menyambut uluran tangannya serta mencium punggung tangan yang sekarang berubah sedikit lebih gelap itu. Dulu, saat ia pertama kali dibawa bapak ke rumah, kulitnya putih bersih, tak ada sedikitpun goresan, mulus lebih dari kulitku, tak seperti sekarang.

Setelah acara makan-makan selesai aku membantu di dapur, rupanya Ranti juga datang, pikirku ia tak akan memiliki muka untuk menginjakkan kaki di rumahku.

“Halah palingan nikah paksaan, lihat aja satu bulan juga nanti pasti cere,” cibirnya yang kudengar sangat jelas meski ia berbisik dengan beberapa ibu-ibu yang ada di sana.

“Sayang ya, sekolah tinggi-tinggi punya gelar. Eh, nikahnya malah sama laki enggak jelas,” jawab Buk Dewi.

Perempuan berambut lurus dan badan kurus kering itu memang terkenal dengan mulut nyinyirnya. Tak heran ia akan senang menggosip setiap kali berkumpul dengan ibu-ibu. Sialnya rumah Bu Dewi tepat berada di depan rumahku, mana mungkin ibu tidak memintanya membantu, bisa panjang mulutnya mengomel tanpa henti.

Aku tak ingin merusak suasana kebahagiakan bagi bapak dan ibu, lebih memilih meninggalkan mereka. Toh, hanya perlu membuktikan ucapan Ranti tak benar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status