Termenung seorang diri dibawah pohon rambutan tepat disamping rumah. Kembali mengenang disini pertama kali aku membuka kembali hati untuk seorang lelaki, meyakinkan diri bahwa Mas Danu suami pilihan bapak itu pasti yang terbaik, tetapi sekarang aku kembali duduk seorang diri menatap rembulan dengan rindu yang semakin membuncah. Apa pilihan bapak salah, sebab sudah seminggu Mas Danu tak menghubungi atau menjawab pesanku. Entah dia sudah membacanya atau belum.Kutatap ponsel yang ada dalam genggaman, air mata menetes tanpa aba-aba. Rindu ini menyiksaku, rasa khawatir dia tak akan datang kembali membuat hati semakin risau. Aku ingin berbincang dengannya sebelum tidur, rindu saat Mas Danu membelai dan menyisir rambut panjangku setiap kali selesai mandi. Aku semakin terisak membayangkan hal yang mungkin akan semakin menyiksaku nanti.Perut yang masih rata kuusap perlahan, ada alasan terbesar aku harus sabar menanti sesuai ucapannya. Buah hati yang kami nanti harus tetap tumbuh sehat, aku t
“Pak, kenapa diturunin disini? Bapak salah alamat? Kami enggak pernah mesen barang beginian,” rentetan pertanyaan kulontarkan, tetapi mereka tak menghentikan aktivitasnya.“Kami enggak salah alamat Mbak.” Salah satu bapak-bapak itu menyerahkan sepotong kertas, memang benar alamat yang tertera alamat rumah bapak. “Tapi kami enggak pernah mesan barang ini, Pak.” “Iya Mbak, memang bukan Mbak yang mesan kami juga cuma dapat telepon buat nganter ke rumah ini. Terus, orang itu transfer setelah kami total semua harga barang,” terang bapak berpeci dengan kumis tebal tersebut.Aku menggaruk kepala semakin bingung, siapa yang mengirim barang-barang tersebut.“Masak Bapak enggak nanya siapa namanya?” Aku masih terus mendesak, mana tahu ada sedikit informasi. Tidak mungkin orang akan mengirimkan barang yang harganya tak sedikit itu secara sukarela.“Pesennya atas nama Pak Artha, Mbak,” jawab bapak tersebut.Aku mendengus pasrah, hanya bisa menatap mereka menurunkan barang-barang tersebut hingg
Kubuka dompet yang tak terlalu besar, menghela nafas berat melihat isinya yang hanya tinggal uang pecahan lima ribuan.“Nis,” panggil bapak. Gegas kututup kembali dompetku lalu menghampiri bapak, tak ingin bapak tahu kesusahan yang sedang kualami.“Iya Pak, ada apa?” Aku bersimpuh di bawah bapak yang sedang duduk di kursi roda. Bapak mengeluarkan uang seratus ribuan, lalu meraih tanganku dan meletakkan uang itu.“Ini bayar arisanmu, jangan pakai mas kawinmu,” titahnya.Aku menghitung uang tersebut. “Bapak dapat uang sebanyak ini dari mana? Kalau ada uang, lebih baik buat kontrol Bapak besok.” Aku mengembaikan uang tersebut.Kalaupun ada uang memang seharusnya digunakan untuk kontrol bapak besok pagi, karena memang sudah jadwalnya.“Danu kasih ini buat pegangan bapak, kamu pakai aja dulu buat bayar arisan. Enggak usah mikirin bapak, itu kewajibanmu lebih penting Nduk.” Bapak mengusap pucuk kepalaku. Tak kuasa kutahan tangis. “Ya udah Nisa pakai dulu, besok untuk berobat Bapak, aku j
Bapak tersenyum melihat menantu kesayangannya, memeluk erat seakan enggan melepas. Kusiapkan teh hangat dan cemilan. Singkong rebus, apa mungkin Mas Danu masih mau memakan makanan desa itu? Kembali kutaruh singkong rebus yang ada di dalam nampan, urung kubawa keluar.Sedikit kikuk, karena aku seperti tak menghadapi orang lain. Aku hanya menunduk duduk di depan Mas Danu dan lelaki yang mengenalkan dirinya candra tersebut.Mas Danu beralih, kini ia telah duduk disampingku, mengusap lembut perutku yang masih rata. Senyum mengembang sempurna disudut bibirnya, lesung pipi menambah manis wajahnya. Jantungku berdetak lima kali lebih cepat. Setelah satu minggu, wajah yang kurindu kini terpampang jelas di depan mata, tapi anehnya aku merasa kikuk sebab dia seperti orang lain, apa hanya karena penampilannya?“Papa datang,” lirihnya. Berulang diciumnya perutku.“Ehem.” Aku berdehem, melihat Candra dan bapak senyum-senyum sendiri memperhatikan tingkah Mas Danu, tetapi sepertinya pria itu tak kun
Aku dan Mas Danu berjalan beriringan setelah mencuci dari sungai, sesekali tertawa berserita bagaimana dulu aku sok jual mahal kepadanya. Alhasil aku pula yang harus merayu untuk melakukan ritual malam pertama. Jika mengingat hal itu aku seperti ingin menyembunyikan wajah dari Mas Danu.“Udahlah Mas, jangan diinget-inget terus.” Aku berjalan lebih dulu, ngambek menjadi salah satu jurus pamungkas menyembunyikan rasa amalu.Mas Danu mempercepat lengakh mengejarku. “Nanti kita ceritain ke anak-anak,” ledeknya di sela tawa.“Awas aja kalau sampai bocor ke anakku.” Aku mengacungkan jari mengancam. mas danu tertawa, terus menggodaku. Di depan rumah kami berpapasan dengan Bik Dewi yang sedang menyapu halaman. “Dih, makin mesra aja kalian,” cetusnya.“Eh Bik, pagi-pagi udah nyapu, rajin banget. biasanya nunggu Indah.” Aku tersenyum ramah, sudah pasti ucapanku itu akan membautnya kesal. Memang bukan rahasia umum lagi Bik Dewi akan menunggu menantunya untuk beberes rumah. Terkadang masak pu
“Mas, keluarga mas di kota gimana? Maksudku apa mereka enggak ….”“Yang penting aku cinta kamu,” sela Mas Danu sebelum aku selessi bicara.Aku menatap kesal, ia masih terus asyik mencuci ubi yang baru saja kita ambil dari kebun belakang. Karena terlalu sibuk mengurus bapak, kebun kecil peninggalan ibu itu telah lama tak terurus. Bunga-bunga kesayangan ibu banyak yang telah mati, rencana aku akan merawatnya kembali nanti setelah bapak sudah betul-betul sehat.“Bukan gitu Mas, maksudku nanti mereka apa enggak keberatan kalau tahu mantunya ini orang desa.” Kupertegas kata tanpa basa-basi.“Yang penting aku cinta kamu,” jawabnya, mengulang jawaban yang sebelumnya.“Mas, aku serius,” rajukku. Baginya mungkin bukan masalah, tetapi bagi seorang perempuan respon keluarga besar akan sangat mempengaruhi kehidupan setelah menikah, walaupun terpenting adalah sikap dan kebijakan suami.“Aku juga serius Dek.” Mas Danu menghentikan aktivitasnya, lalu menatapku dengan senyuman.Aku menghela nafas. “
“Bagaimana pekerjaanmu Nu?” tanya bapak, kami sednag berbincang sambil menonton televisi.“Lancar Pak. Besok aku berangkat ke kota, mungkin kali ini sedikit lama karena memang pekerjaan lebih banyak,” jawab Mas Danu.Ah, rasanya berat sekali melepas kepergiannya, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.“Berapa hari Mas disana?” Aku menyahut.Mas Danu mengedikkan bahu. “Kalau pekerjaan udah selesai nanti secepatnya aku pulang Dek.”Aku mengangguk lemah. Sebenarnya aku ingin tahu lebih detail apa pekerjaan suamiku di kota, tetapi setiap kutanyakan ia selalu menjawab sekenanya. Buruh, sopir, dan yang lainnya, entah mana pekerjaan tetapnya, dan lebih membingungkan bagaimana seorang buruh bisa memberiku banyak barang mahal. Aku pernah mencecar Mas Danu dari mana uang untuk membeli semuanya, dia menjawab itu uang halal, aku tak perlu khawatir. Jika sudah waktunya ia akan mengajakku ke kota. Aku sendiri tak tahu kapan waktu yang tak pasti itu.Suara deru mesin mobil membuatku beranjak, melihat
“150 juta, apa kamu punya uang sebanyak itu untuk membayar rumah Mbah?” tanya Tante Diana, menatap Mas Danu merendahkan, tatapan sinis jelas sekali ia tak suka suamiku bertanya.Mas Danu tersenyum, menunduk sesaat. Lantas mengangkat wajah menatap Tante Diana. “Cuma segitu?”Tante Diana melotot bersiap menjawab ucapan Mas Danu, tetapi Om Herman lebih dulu maju.“Kamu enggak usah sok belagu, daripada banyak tanya lebih baik cepet kasih uangnya. Lagipula ini juga gara-gara mertuamu itu.”Aku memegang lengan Mas Danu, lalu menggeleng lemah, memintanya untuk tidak menuruti kemauan saudara-saudara bapak.Pakde Tarno tertawa keras. “Udah pasti dia itu enggak punya duit, mobil itu mungkin punya bos atau majikannya, bangun rumah juga pasti hasil ngutang. Orang miskin mana mampu dapat orang kaya. Apalagi Nisa dulu sering gagal nikah sampai delapan kali, orang kaya mana yang mau menikah sama dia, juga pasti mikir-mikir,” caci Pakde tarno.Bapak keluar dengan wajah merah padam, menggertakan gigi