Share

Bab 4 Saya Bersedia

“Apa yang—”

Ucapan kebingungan pelayan itu langsung dihentikan Soraya dengan cubitan kecil di lengannya.

“Bantu aku, tolong,” bisiknya nyaris tidak menggerakkan bibir.

Di hadapannya, sebuah senyum penuh kemenangan terbit dari Sabrina. Gadis itu terlihat meneliti penampilan dari sosok lelaki yang dikenalkan Soraya sebagai calon suaminya.

“Kakak berhubungan dengan seorang pelayan?” ucap Sabrina. Seperti biasa, nada bicaranya dibuat lembut, tetapi sarat akan penghakiman.

Sementara itu, suara sumbang lainnya juga terdengar dari yang lain. Mereka kira, Soraya akan mengenalkan sosok lelaki yang lebih kaya daripada Cakra.

Namun, ketika mengetahui pengganti Cakra yang berhasil didapatkan hanyalah seorang pelayan, mereka semua merasa tak terkalahkan.

“Kamu yakin?” tanya Pak Kwong. Ekspresi ragunya semakin kentara.

Soraya tetap tersenyum. “Iya, aku yakin. Dia pilihan terbaik untukku.”

Ia pikir, kebohongannya kali ini akan menyelamatkannya. Namun ternyata, ucapan selanjutnya dari Pak Kwong justru membuat Soraya ketar-ketir.

“Baiklah, kalau memang itu keputusanmu.” Lelaki tua itu menatap lekat pada si pelayan. “Kalian harus menikah setelah pernikahan Sabrina dan Cakra digelar.”

Saat itu, seolah terdengar bunyi guntur di siang hari. Soraya jelas panik, sebab ia tidak menyangka ayahnya akan bertindak demikian.

“Ayah, maksudku—”

“Saya bersedia.” Tiba-tiba saja lelaki yang tengah digamitnya itu berujar. Soraya memelotot, mencoba memberikan kode untuk lelaki itu diam.

Sayangnya, kode tersebut seolah tidak dilihat. Lelaki itu justru terlihat tenang menyanggupi permintaan ayah angkatnya.

“Kalau begitu, bersiaplah. Setelah pernikahan Sabrina, pernikahan kalianlah yang selanjutnya.”

Setelah itu, Pak Kwon meminta pada seluruh penyelenggara pernikahan, juga tamu kembali masuk. Namun, tidak dengan Soraya.

Gadis itu diminta keluar dari ruangan, karena tidak ingin ia kembali menghancurkan pernikahan adiknya.

Tentu, Soraya mengiyakan. Saat ini, lebih baik untuknya keluar dan berbicara empat mata pada calon suami gadungannya.

“Ayo kita keluar dari ruangan ini,” ajak Soraya kepada pelayan itu.

Pelayan itu hanya mengangguk. Soraya membawanya ke samping gedung, di mana tempat tersebut sepi dari hilir-mudik tamu.

Saat suasana dinilai sudah aman, gadis itu kemudian menundukkan badan menghadap lelaki itu. “Maafkan aku, telah menyeretmu dalam masalahku.”

“Tidak masalah,” sahutnya.

Wanita itu memelotot. “Hah, kamu tidak marah?” tanya Soraya kaget.

Padahal dia takut setengah mati kalau pelayan itu akan menuntutnya atau berpikiran macam-macam terhadap Soraya.

Pelayan itu menggelengkan kepalanya, seraya berkata, “Justru aku berharap kamu tidak menarik kembali ucapanmu.”

Pelayan itu tersenyum, sehingga lesungnya di pipinya terlihat.

Bila diperhatikan, penampilan pelayan ini tidak buruk. Tampangnya bahkan cukup rupawan.

Tidak kuat menatap lelaki itu lama-lama, Soraya buru-buru mengalihkan pandangan. “Sayangnya, aku memang tidak berniat serius untuk itu.” Suaranya terdengar lembut, berbeda jauh ketika ia menghadapi keluarga angkatnya tadi.

“Kamu pikir, ayahmu akan membiarkan kamu lolos begitu saja?” tanya lelaki itu dengan pandangan mengarah ke Soraya.

“Aku minta maaf jika perbuatanku membuatmu tersinggung, tapi….” Soraya kemudian merogoh tas pestanya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. “Terimalah ini sebagai permintaan maafku. Soal ayahku, biar aku yang akan menjelaskannya.”

Soraya menatap lurus ke arah lelaki itu. Ia terlihat kesulitan membaca ekspresi pelayan itu yang terlampau tenang.

Tetapi, tidak lama kemudian, lelaki itu tersenyum tipis.

“Aku tidak butuh uang,” tolak lelaki itu. Ia mendorong secara halus tangan Soraya. “Kamu tidak punya pilihan lain, selain melanjutkan kepura-puraan yang kamu buat, Soraya.”

Mata Soraya mengerjap kala mendengar lelaki itu mengucapkan namanya. “Apa maumu?” Keningnya mengerut dalam, menunggu si lelaki menjawab.

“Sama sepertimu, aku juga butuh bantuan seseorang untuk menjadi istriku.”

Mulut Soraya seketika terbuka. Ia tidak menyangka, ternyata ada sosok lain selain dirinya yang juga terlibat dalam kesulitan yang sama. Sama-sama sulit menemukan pasangan; meski untuk Soraya, kasusnya adalah pasangannya direbut adiknya sendiri.

Tidak ingin gegabah, Soraya lantas menggelengkan kepalanya lagi. “Kalau kamu ingin menikah denganku karena aku adalah putri Pak Kwong. Kamu salah besar. Aku bukan putri kandungnya.”

Panjang lebar Soraya menjelaskan, lelaki itu hanya mengangkat sebelah alisnya dan berkata, “Lantas?”

“Kamu tidak akan mendapatkan apa pun.”

Dalam pikiran Soraya, kemungkinan besar mengapa lelaki ini tetap bersikukuh ingin terlibat pernikahan dengannya adalah karena nama belakang Kwon yang ia emban.

Soraya tidak marah. Hanya saja, ia tidak ingin lelaki tersebut salah langkah, jika memang dugaannya benar—lelaki itu ingin menikahinya karena ia berasal dari keluarga berada.

Namun lagi-lagi, Soraya dibuat terperangah kala lelaki itu kembali terlihat menggelengkan kepalanya.

“Kamu benar-benar gadis yang menarik.” Lelaki itu tanpa sadar membuat Soraya merasa terbuai karena pujian spontannya. “Aku tidak peduli dengan itu, aku hanya butuh istri.”

“Dari tadi kamu terus berbicara butuh istri. Apa kamu pikir menikah itu hal mudah?” Soraya  mengentakkan kakinya, mulai kesal pada gestur lelaki itu yang terlampau santai.

Beberapa detik, terlihat lelaki itu tengah berpikir. Sebelum kemudian berujar, “Bagaimana kalau kita menikah dengan perjanjian?”

“Itu sama saja dengan menikah kontrak. Aku tidak mau!” jawab Soraya tegas. “Pernikahan buatku adalah hal sakral. Dan aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai!”

“Bagaimana kalau menikah dengan orang yang mencintaimu?”

Ucapan lelaki itu tiba-tiba membuat Soraya terpaku. “A-apa maksudmu?”

Pelayan itu terkekeh, “Lupakan.” Tangan lelaki itu mengibas-kibas. “Aku tidak bermaksud mempermainkan pernikahan. Hanya saja, kalau kamu keberatan dengan pernikahan sungguhan, aku tidak keberatan dengan pernikahan perjanjian itu.”

Bagi Soraya, saat ini suasana berubah menjadi panas. Bulir-bulir keringat mulai bercucuran, membuat ia merasa gerah karena situasi yang diciptakan si lelaki.

Soraya berdeham, sebelum kembali menatap lelaki tersebut. “Kita belum mengenal. Aku bahkan baru melihatmu beberapa menit lalu.”

Lelaki itu kembali tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, namaku Damar.”

Soraya menimbang-nimbang dengan melihat ke arah uluran tangan Damar. Beberapa detik berlalu, barulah ia juga mengulurkan tangan dan menyambut tangan lelaki itu.

“Soraya.”

Mereka berjabat tangan selama beberapa detik. Waktu yang singkat, tetapi entah mengapa Soraya bisa merasakan lelaki itu begitu yakin pada tawarannya.

“Jadi, bagaimana? Apa kamu bersedia terlibat pernikahan dengan seorang pelayan sepertiku, Soraya?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Jangan2 Damar udah kenal soraya sebelumnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status