"Selamat datang di unit apartemen mungil ini, Mas!" seru Isyana sembari terkikik. Tempat huniannya jadi nampak seperti liang kelinci dibandingkan mansion megah milik Harvey.
Pria bertubuh jangkung dengan garis rahang tegas itu mengedarkan pandangannya ke seisi tempat tinggal istrinya. "Kecil, tapi rapi!" nilainya dengan nada dingin seperti biasa.
Isyana tak mengharapkan pujian keren untuk unit sewaan seharga dua juta per bulan di daerah Jakarta. Dia pun berkata, "Mas Harvey, tunggu di sofa sebentar ya. Aku mau packing baju dan barang lainnya ke koper dulu!"
"Ehh ... ngapain? Ribet amat kamu, hmm!" sahut Harvey mengerutkan alis tebalnya sembari mencekal pergelangan tangan Isyana.
Sedikit bengong karena memang tujuannya ke apartemen memang untuk mengambil baju dan lainnya, Isyana lalu menjawab, "Aku nggak ada baju ganti di rumahnya Mas Harvey 'kan?"
Namun, Harvey menarik tangan Isyana hingga terpental ke dalam dekapannya seraya berkata, "Nggak perlu lagi. Walk-in-closet kamarmu sudah kusuruh Bob mengisinya penuh dengan pakaian dan asesoris wanita baru dari butik. Kamu tinggal pakai saja nanti!"
Wajah Isyana terasa menghangat terkena napas Harvey karena mereka berdiri menempel begitu dekat satu sama lain. "Ehm, Mas. Iya boleh, tapi aku harus mengosongkan unit ini juga karena nggak kutempati lagi 'kan. Tolong lepasin dulu!" kata Isyana dengan hati-hati.
"Lepasin?" Alis kanan Harvey terangkat, dia menatap penuh arti ke wajah Isyana, "aku nggak keberatan kok, mau di kasur apa sambil berdiri nih?"
"Ya ampun, Mas! Maksudku, pelukan Mas Harvey dilepas dulu dari aku. Hihihi," jawab Isyana geli.
Alih-alih melepaskan kedua lengan kokohnya dari punggung Isyana, justru Harvey menelusuri garis rahang bawah istrinya dengan bibir hingga turun ke leher jenjang nan mulus itu.
"Aahh ... Mas, jangan–"
"Kenapa jangan?" tukas Harvey, enggan berhenti dan memelorotkan kerah gaun bermodel sabrina itu hingga pemandangan yang lebih indah dari tubuh molek istrinya nampak jelas.
Ciuman itu mulai turun ke gunung kembar yang membulat penuh dan mencapai puncak merah kecoklatannya. "Mass ... sudaahh!" rengek Isyana yang niatnya menolak Harvey, tetapi tubuhnya justru mendambakan sentuhan lebih banyak lagi.
Harvey segera meraup tubuh ramping itu ke gendongannya lalu membawa istri barunya menuju tempat tidur queen size satu-satunya di unit apartemen mungil tersebut. Dia tak berkata apa pun dan merebahkan perlahan Isyana di tengah ranjang.
Resleting punggung gaun yang dikenakan Isyana dilucuti dengan sekali tarik. "Aakhh ... Mas, kamu mau apa?" tanya Isyana panik saat bagian depan tubuhnya terekspos. Dia spontan menutupinya dengan menyilangkan kedua tangan.
"Mau kamu." Harvey sama sekali tidak ingin berhenti menikmati kemolekan istri yang baru dinikahinya beberapa jam lalu. Bibirnya terbenam dalam bibir Isyana yang lembut dan kenyal. Dia yakin bukan hanya dirinya yang terhanyut dalam hasrat menggebu-gebu, wanita yang menolaknya terus sedari tadi itu juga terlena tak berdaya.
Cahaya mentari sore mulai meredup hingga ruangan menjadi remang-remang karena Isyana tadi belum menyalakan lampu. Keheningan terpecah oleh suara deru napas pria dan desahan lembut wanita.
Selapis demi selapis pakaian Isyana ditanggalkan oleh suaminya. Dia membiarkan Harvey melihat tubuh polosnya untuk pertama kalinya. Dan senada dengannya, pria itu juga menanggalkan kemeja dan celana kain yang dikenakannya.
"Isya, kau sangat cantik. Apa aku boleh memilikimu seutuhnya?" tanya Harvey dengan suara parau terjerat hasrat, menatap Isyana di bawah kungkungan badan kekarnya.
"Ak—aku ... aku masih perawan, Mas!" jawab Isyana menghindari tatapan mata suaminya yang menghanyutkan.
"HAHAHA. Aduh, jawabnya kok beda sih sama yang kutanyakan tadi!" Harvey serasa ingin tepok jidat. Dia sudah tak tahan lagi, tetapi istrinya bak putri malu. Gemas!
Isyana menggigit lidah menyesali perkataannya tadi dan memejamkan mata karena malu. Namun, detik selanjutnya dia membolakan kedua matanya karena sentuhan benda keras panjang di lipatan lembutnya.
"Kau akan mendapatkan kehormatan menghilangkan kemurnianku untuk pertama kalinya, Isyana!" ujar Harvey serius.
"Ja—jadi ... Mas Harvey juga masih perjaka ting-ting?!" seru Isyana seakan-akan tak percaya. Gerak-gerik pria itu mengesankan sebaliknya. Dia berpikir Harvey telah berpengalaman menjalani aktivitas panas bersama banyak wanita sebelum bersamanya.
Harvey pun menanggapi dengan helaan napas tak sabar. "Isya Sayang, yaiyalah ... masa Mas mau asal celup? Benih milikku terlalu berharga untuk disemai di sembarang rahim wanita!" jawabnya agak kesal.
"Ohh ... benar juga ya!" sahut Isyana polos.
"Jadi kita mau making love apa ngemeng sampai besok pagi ayam berkokok, Sayangku yang rada odong-odong?!" gerutu Harvey karena konsentrasinya terpecah.
Isyana mengangguk dengan ekspresi tegang, jantungnya berdegub kencang seperti derap kaki kuda pacu. Maka Harvey mencoba membuat istrinya rileks dengan belaian lembut tangannya di paha mulus Isyana.
"Percaya sama aku, semua akan baik-baik saja, Sayang!" bujuk Harvey sembari mengecupi leher jenjang Isyana.
"Yaa, Mass!" desah Isyana dengan pandangan mata berkabut hasrat.
Penyatuan dua sisi keras dan lembut itu terjadi perlahan-lahan. Isyana terisak-isak saat sesuatu robek dan berdarah dari dalam dirinya.
"Sshh ... Sayang, setelah ini nggak akan ada rasa sakit lagi. Mas janji sama kamu!" ujar Harvey sambil mulai bergerak ritmis menghunjam dalam-dalam.
"Aarrhh ... Mass!" Isyana percaya kata-kata suaminya karena memang ada yang berubah dari awal menyakitkan tadi menjadi rasa nyaman berbeda yang sulit terlukiskan.
Kedua tangan Isyana mulai meraba-raba bagian depan tubuh Harvey yang berlekuk-lekuk ototnya terpahat begitu elok. "Mas Harvey kekar banget, aku suka deh lihatnya!" puji Isyana jujur.
"Semua ini punya kamu, Istriku!" jawab Harvey dengan senyum bangga. Tak percuma dia membentuk badannya dengan latihan gym bersama instruktur khusus.
"Tapi, kita hanya nikah kontrak 'kan, Mas?" debat Isyana yang tahu posisinya yang hanya sementara sebagai istri Harvey.
Pria itu tak menjawab pertanyaan Isyana karena tak ingin merusak suasana romantis yang tadinya tercipta di antara mereka. Harvey merasa Isyana memang agak telmi dan kelewat lugu, pantas saja dia selalu dicurangi ibu tiri dan adik tirinya.
Lama kelamaan Isyana merasakan otaknya semakin tumpul, dia hanya ingin mengikuti naluri dalam raganya yang membutuhkan kepuasan dari tubuh suaminya.
Sama halnya dengan Harvey, dia tenggelam dalam kenikmatan liang sempit istrinya yang masih perawan. Milik Isyana seakan-akan menelan bagian keperkasaannya dan mencengkeram kuat-kuat. Rasanya dia tak tahan lagi untuk meledakkan magma berisi benih berharganya.
"Oma Widya akan sangat senang kalau bibitku tumbuh subur di rahim kamu, Sayangku!" ujar Harvey sembari mendekap hangat wanita bertubuh ramping itu di bawah badannya yang bermandikan peluh.
Isyana merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dalam perutnya dan hatinya begitu ringan. Dia tersenyum menatap wajah rupawan suaminya. "Makasih ya, Mas. Semoga anak kita nanti bisa lahir sehat tanpa kurang suatu apa pun!" jawabnya. Dia berjanji akan merawat janin yang mungkin akan berwujud tak lama lagi.
"Good. Ehm ... Isya, aku masih belum puas. Apa kita bisa lanjut?" Harvey merasakan yang tadi melemas kembali bangkit.
"Hahh ... lagi?" cicit Isyana dengan panik. Namun, dia tak memprotes ketika Harvey mulai bergerak penuh kekuatan menghentakkan pinggulnya. "Oughh ... Mas!" lenguh Isyana pasrah.
Lampu-lampu di taman bunga yang dinamai Luna-Alba City Garden mulai dinyalakan sore jelang petang. Sepasang suami istri yang bergandengan tangan menyusuri jalan setapak di antara rimbunnya pepohonan pinus itu saling melempar tatapan mesra."Mas bangga sama kamu, Isya Sayang!" ujar Harvey dengan senyuman lebar."Makasih, Mas. Banyak hal yang kucapai hingga saat ini, semua nggak lepas dari dukungan yang besar dari kamu!" sahut Isyana kalem. Dia tidak lantas besar kepala karena pencapaiannya. Jauh di lubuk hatinya, Isyana masih sama seperti dulu. Wanita yang lugu dengan cara pandang sederhana terhadap kehidupan. Harvey menghentikan langkah mereka karena keduanya telah jauh dari keramaian. Dia melingkarkan kedua lengannya di punggung Isyana sembari menatap wajah cantik jelita istrinya. "Terima kasih untuk tidak berubah. Di mataku, kamu wanita yang mengagumkan dengan ketegaran dan kemurnian langka. Isya ... apa kau tahu jikalau aku bisa, seisi dunia akan kupersembahkan di bawah kakimu!" g
"Jeng Cintya, lama nggak ketemu buntutnya sudah banyak aja nih!" sapa Isyana di sebuah family restoran yang ada di Jakarta Pusat. Dia bertukar peluk cium dengan sahabat lamanya itu yang memang belakangan sangat sibuk dengan karir dan keluarganya.Cintya Husodo, istri pengusaha tekstil dan garment tersebut hanya bisa tertawa malu-malu. Selama lima tahun pernikahan, mereka telah memiliki tiga anak, yang pertama perempuan yaitu Khanza. Adiknya laki-laki bernama Xavier, yang bungsu juga laki-laki yaitu Ronaldo. Karena sang ayah fans berat pemain sepak bola CR7."Ahh ... masih kalah sama kamu, Jeng Isya!" sahut Cintya seraya duduk di sofa bersebelahan dengan Isyana. "Beda satu aja lho, Jeng! Hahaha." Isyana yang memiliki empat anak pun tertawa renyah sebelum mengutarakan maksudnya mengajak sahabat lamanya itu bertemu. Isyana pun mulai berbicara serius, "Jadi begini Jeng Cintya, saya mendapat tugas dari perusahaan tempat saya bekerja; First Sunshine Apparel Company buat menyelenggarakan f
Berita kelahiran putri kembar Isyana telah sampai ke Negeri Sakura. Nyonya Barbara Koganei langsung meminta Tuan Akehito Koganei untuk menemaninya terbang ke Jakarta dari Bandara Haneda. "Aku ingin putri kembar Isyana dan Harvey menjadi anak angkat kita, Mama. Apa boleh?" tanya Tuan Akehito kepada istrinya di dalam kabin pesawat Japan Airlines yang telah mengudara baru saja."Papa serius? Boleh, nanti Mama yang bilang ke mereka. Nama kedua bayi perempuan itu Luna dan Alba. Rencananya kita mau kasih kado apa nih?" tanya Nyonya Barbara. Suaminya itu konglomerat pengusaha bisnis jaringan supermarket dan minimarket di Jepang. Selain itu ada tiga hotel yang menjadi milik keluarga Koganei masing-masing di Tokyo, Nagoya, dan Osaka. Sejenak pria asal Jepang itu berpikir lalu tercetuslah ide, dia berkata, "Papa akan hadiahkan sebuah taman yang berlokasi di Jakarta dengan nama mereka. Pasti akan menjadi hadiah kelahiran yang berkesan dan dikenang sepanjang masa!""Wow, ide Papa spektakuler se
Handphone di tas kerja Cakra berdering terus selama beberapa menit. Akhirnya, Joko yang mendengarnya pun menghampiri bosnya dan berkata, "Mas Bos, hape sampeyan muni terus niku!" (Mas Bos, handphone kamu berbunyi terus itu!)Dengan perasaan tak enak Cakra pun berlari-lari ke teras belakang rumah di mana dia menaruh tas bersama barang-barang milik karyawannya. Ketika melihat si penelepon adalah istrinya dengan catatan lima kali missed call, Cakra segera menjawab panggilan tersebut, "Halo, Dek Al. Ada apa? Tumben kok telepon nggak henti dari tadi?" "Halo, Mas—aku sudah di IGD Rumah Sakit Mitra Keluarga. Tadi Pak Yono yang jemput aku di gerai kue di mall. Aku sudah pecah ketuban, Mas!" ujar Alicia dengan kepanikan tersirat dari suaranya."Oke, Mas nyusul kamu ke sana sekarang. Apa ada yang nemenin di IGD, Dek?" tanya Cakra yang ikut panik."Kak Isya nungguin aku di sini, Mas. Hahaha. Jadi wanita hamil nungguin wanita mau melahirkan nih!" Alicia masih sempat-sempatnya bercanda. Sementara
Blitz kamera wartawan menyerbu sosok wanita berperut buncit yang memberikan press conference di atrium Mall Fritzgerald. Isyana berbicara mewakili First Sunshine Apparel Company cabang Indonesia di podium. Bob Oliver yang duduk menemani big bossnya di deretan kursi tamu VVIP tersenyum dengan tatapan kagum. Dia berkomentar, "Luar biasa, saya turut bangga dengan prestasi Nyonya Isyana, Tuan Muda!""Dia wanita yang sepadan sebagai pendamping hidupku, Bob. Bahkan, kehamilan tidak menghalangi segala aktivitasnya yang sibuk. Isabella juga memuji istriku!" jawab Harvey dengan senyuman menghiasi wajah tampannya. "Oya, bakery Nyonya Alicia ramai diserbu pengunjung mall ini, Tuan Muda Harvey!" lapor Bob Oliver yang tempo hari membantu mengurus soft opening gerai bakery dan pastry milik Alicia.Alis Harvey terangkat sebelah melirik ke asisten pribadinya itu. "Baguslah, awasi terus bisnis Alicia. Aku ingin tahu apakah dia sehebat kakak tirinya dalam berusaha!" titahnya."Tentu saja, akan saya p
"Halo, apa benar ini Ibu Isyana Prameswari?" "Halo, iya. Saya Isyana Prameswari, dengan siapa saya berbicara?" jawab wanita itu di telepon dari nomor baru tak dikenal.Suara wanita yang terdengar profesional menjawab Isyana, "Perkenalkan, saya Nikita Alexandra. Di sini saya menghubungi Anda mewakili First Sunshine Apparel Company yang berpusat di Houston. Kami ingin menawarkan kerja sama bisnis dengan Bu Isyana. Desain outfit Anda khususnya busana anak-anak menarik perhatian CEO perusahaan induk di Amerika. Mrs. Isabella MacConnor-Benneton ingin merekrut Anda sebagai desainer perwakilan kami untuk wilayah Asia. Bagaimana tanggapan Anda, Bu Isyana? Kami berharap akan ada respon positif."Isyana nyaris tak dapat berkata-kata, dia telah lama mengidolakan Isabella MacConnor yang desainnya sungguh spektakuler dan unik. Tak ada angin maupun hujan, dirinya direkrut menjadi tim desainer malahan menjadi Ambassador Designer untuk wilayah Asia. "T—tentu saya mau bergabung, Bu Nikita. Apakah ki