Share

Maaf

SUAMI DARI MASA LALU

Part 7

**

Aku masih bergelung di bawah selimut padahal sinar matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Perlahan kusibak selimut tebal yang sekian hari menemani tidur malamku itu. Menapak kaki dengan malas di lantai lalu melangkah menuju jendela untuk membuka tirai.

"Lin, maukah kamu menjadi pasangan Alex saat mengikuti pembukaan restoran barunya?" pinta Nyonya Lim semalam.

Aku tahu keluarga Pak Lim ingin mendekatkan aku dan Alex, walau mereka tak ingin memaksa dengan alasan perbedaan agama diantara kami. Namun, semakin hari mereka ingin mengabaikan perbedaan itu.

"Tak ada salahnya dicoba, kami pun ikhlas kalau Alex mengikuti keyakinanmu jika memang dia nyaman denganmu."

Kata-kata itu yang kupikirkan semalaman hingga membuat insomnia ku merajalela.

Deringan ponsel mengalihkan pandanganku dari bangunan berjejer di bawah lantai dua puluh ini.

"Sebentar lagi saya sampai, kamu handle dulu, ya."

Aku mengakhiri panggilan dari Hani.

Sedetik kemudian panggilan lain masuk, dari ... Kak Mila? Gugup kuangkat panggilan yang kalau tak penting tak akan pernah dia meneleponku.

"Assalamu'alaikum, Kak ... "

"Ayah memintamu datang ... Ada sesuatu yang penting."

"Ta-tapi, Kak ... "

Sambungan terputus. Kak Mila tak pernah berlama-lama bicara, cukup sepatah atau dua patah kata.

Aku memijit pelipis, bingung sebab nanti malam acara Alex sedang Kak Mila menyuruh datang sekarang.

Kutekan nomor Anita barangkali dia tahu kenapa permintaan ini penting.

"Kamu lagi dimana, An?"

"Di rumah sakit, Lin."

"Hah, siapa yang sakit?"

"Aku belum sempat mengabarimu, Hendra kecelakaan tadi malam, dia kritis." Hampir ponsel ini terlepas kalau saja tak ditahan tangan kananku.

"Jadi kenapa kamu bisa ada di sana."

"Iya, Mama Hendra meminta para alumni untuk mendoakan kesembuhannya."

"Oh. Kenapa dia bisa kecelakaan?"

"Dia dan istrinya bertengkar. Aku tak tahu kelanjutannya beritanya."

Ada rasa sesal merasuk direlung hati, niatku ini hanya untuk memberi pelajaran padanya bagaimana menghargai orang lain. Mungkin sudah jalan takdir Hendra.

"Anita, apakah kamu melihat keanehan dengan Ayahku?"

"Hmm, aku tak melihat beliau beberapa hari ini. Pulanglah sekalian menjenguk Hendra," ucap Anita.

Gadis yang betah menjomblo sepertiku itu mematikan panggilan ketika terdengar namanya disebut.

Kucoba menghubungi nomor Kak Mila lagi, tetapi dia tidak mengangkat panggilanku, sudah kupastikan itu. Setelah menimbang cukup lama akhirnya kuputuskan untuk pulang dan menemui Alex sebelum jam makan siang. Bagaimanapun Ayah lebih penting, terlepas dari apa yang kuterima selama ini darinya.

**

Sebuah restoran dengan konsep alam itu terletak di pinggiran kota sehingga butuh tiga puluh menit untukku sampai di sana. Dari pelataran parkir bisa kulihat kesibukan di dalam restro, Nampak juga beberapa wartawan yang ingin meliput acara yang kupastikan megah itu.

Kulewati papan-papan bunga yang berjejer disepanjang jalan. Setelah menaiki tangga yang menuju pintu utama, aku menanyai seorang perempuan yang tengah menata meja tamu.

"Pak Alex dimana ya, Mbak?"

"Nama Ibu siapa? Biar saya sampaikan pada beliau."

Sebenarnya aku ingin menemui Alex langsung agar waktuku tak terbuang. Terpaksa kubiarkan wanita itu masuk ke dalam menemui Alex.

"Raline! Ngapain kamu di sini?" Teguran berupa tepukan di bahuku membuatku menoleh cepat.

"Eh, Rangga. Ini ... Ketemu teman."

Dalam hatiku menggerutu kenapa bertemu Rangga dalam situasi ini, bisa-bisa Alex berpikir lain.

Rangga langsung duduk di depanku, meraih jemariku, menc*umnya tanpa dapat kucegah.

"Kamu ngapain di sini, Ngga?" tanyaku sembari menarik tanganku yang ada dalam genggamannya.

"Aku bekerjasama bisnis dengan Pak Alex pemilik restoran ini, yah, saling berbagi keuntungan."

Tiba-tiba Alex muncul.

"Alex! A-aku ... "

"Hai, Pak Alex, kenalkan ini calonku."

Aku mendelik ke arah Rangga. Kesal berlipat-lipat melihat kelakuannya yang seenaknya mengatakan aku calonnya.

"Rangga hanya bercanda, Lex. Kami hanya rekan bisnis."

"Kita makan siang ke dalam, Raline. Ada banyak tamu istimewa di sana. Permisi Pak Rangga, saya pinjam Raline sebentar." Alex meraih tanganku, setengah menarikku menyeberangi lautan meja kursi yang tertata rapi di ruangan sangat luas itu. Aku melirik ke belakang, Rangga menatap tajam kepergianku.

Alex membawaku ke ruangan VIP restoran itu, semua mata yang rata-rata adalah kaum adam menatap kagum kehadiranku.

"Kenalkan ini Raline. Boleh dia ikut bergabung bersama kita?" tanya Alex pada tamu-tamunya. Aku mengangguk sambil tersenyum pada mereka satu persatu.

"Lengkap sudah, Lex, apa lagi? Kami tinggal menunggu undangan dari mu saja," goda mereka.

Alex hanya tertawa menanggapi ucapan tamu-tamunya.

"Lex, bisa kita bicara sebentar?"

"Bicaralah di sini."

"A-aku ... "

"Aku tak mau mendengar penolakanmu, Raline. Kita sudah sepakat, bukan? Apa karena Pak Rangga?"

Aku bungkam melihat kilatan di mata Alex, apa dia cemburu pada Rangga?

**

"Kamu memang anak durhaka, Raline! Ayah sangat berharap kedatanganmu, tapi malah kau tak mau datang." Mataku memejam mendengar teriakan Kak Mila di ujung telepon. Kasar, dia mematikan sambungan. Sebuah foto tiba-tiba masuk lewat media pesan. Aku terbelalak mendapati foto ayah dengan wajah penuh lebam dikirim Kak Mila di sana.

Buru-buru kutekan kembali nomor Kak Mila.

"Angkat Kak Mila!" desisku. Pada panggilan ketiga Kak Mila mengangkatnya juga.

"Apa lagi?"

"Bagaimana keadaan Ayah, Kak? Aku betul-betul ada urusan perusahaan yang penting dan tak bisa ditunda. Akan kuusahakan mengambil penerbangan pagi besok."

"Kalau kau mau mendapat maaf dariku dan Ayah, cepat besok datang."

Aku mengangguk cepat bertepatan dengan bunyi.

tut ...tut...

**

Aku merasa sendiri di tengah keramaian pesta, menjadi pribadi lain yang tak kukenal. Bagai mayat hidup kuikuti semua perintah Pak Lim dan istrinya. Mengapit lengan Alex, menebar senyum di setiap sudut dan menemani Alex minum demi menghargai tamu-tamu privasinya.

Kuakui sekarang aku I'll feel pada Alex, rasa simpati yang perlahan tumbuh, mekar dan berkembang kini berguguran tertiup angin.

Alex memang pantas menjadi pria idaman, tapi sifat dan wataknya bertolak belakang denganku. Mungkin terbawa budaya luar, dia yang dulu betul-betul pendiam sekarang menjadi pendiam tapi liar.

"Ayolah, Lin. Jangan munafik, kita sudah sama-sama dewasa." Alex menarik gaunku dan memaksa menelusuri bongkahan dadaku.

Aku terkejut tak menyangka Alex akan berbuat kurang ajar begini saat mengantarku pulang ke apartemen. Menyesal aku menyuruhnya singgah, padahal hanya sekedar basa basi yang berujung petaka bagiku.

"Alex! Lepas! Kau gila, ya." Kucoba mendorong tubuh kekar Alex yang mengapit tubuhku ke tembok.

Sekuat tenaga aku melepaskan diri dengan menggigit pergelangan tangan Alex.

"Aww!"

Dia menjerit hingga aku berhasil lepas. Buru-buru aku keluar dari apartemen dan berteriak minta tolong. Beruntung security sedang patroli sehingga dia bergegas mendekatiku.

"Ada apa, Bu?"

"Di-dia ingin memperk*saku."

Dengan napas terengah-engah aku menunjuk Alex yang masih ada di dalam.

"Lepas! Kau tak tahu siapa aku?" Teriak Alex pada security yang ingin menangkapnya. Tak ingin memperpanjang masalah kulerai security itu.

"Sudahlah, Pak, biarkan dia pergi."

Alex mendengus kesal sebelum beranjak pergi disusul security itu dari belakang.

Gegas kumasuk dan mengunci pintu, tubuh luruh di lantai berderai air mata. Terbayang foto wajah Ayah yang lebam kebiruan. Sejahat-jahatnya aku masih punya sisi baik yaitu tak pernah dendam pada orang tua dan akan selalu menghormati, menyayangi sampai kapanpun jua.

"Apakah ini karma bagiku karena mengabaikan Ayahku yang sakit? Dan lebih mementingkan orang lain?"

Tbc...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status