SUAMI DARI MASA LALU
Part 7**Aku masih bergelung di bawah selimut padahal sinar matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Perlahan kusibak selimut tebal yang sekian hari menemani tidur malamku itu. Menapak kaki dengan malas di lantai lalu melangkah menuju jendela untuk membuka tirai."Lin, maukah kamu menjadi pasangan Alex saat mengikuti pembukaan restoran barunya?" pinta Nyonya Lim semalam.Aku tahu keluarga Pak Lim ingin mendekatkan aku dan Alex, walau mereka tak ingin memaksa dengan alasan perbedaan agama diantara kami. Namun, semakin hari mereka ingin mengabaikan perbedaan itu."Tak ada salahnya dicoba, kami pun ikhlas kalau Alex mengikuti keyakinanmu jika memang dia nyaman denganmu."Kata-kata itu yang kupikirkan semalaman hingga membuat insomnia ku merajalela.Deringan ponsel mengalihkan pandanganku dari bangunan berjejer di bawah lantai dua puluh ini."Sebentar lagi saya sampai, kamu handle dulu, ya."Aku mengakhiri panggilan dari Hani.Sedetik kemudian panggilan lain masuk, dari ... Kak Mila? Gugup kuangkat panggilan yang kalau tak penting tak akan pernah dia meneleponku."Assalamu'alaikum, Kak ... ""Ayah memintamu datang ... Ada sesuatu yang penting.""Ta-tapi, Kak ... "Sambungan terputus. Kak Mila tak pernah berlama-lama bicara, cukup sepatah atau dua patah kata.Aku memijit pelipis, bingung sebab nanti malam acara Alex sedang Kak Mila menyuruh datang sekarang.Kutekan nomor Anita barangkali dia tahu kenapa permintaan ini penting."Kamu lagi dimana, An?""Di rumah sakit, Lin.""Hah, siapa yang sakit?""Aku belum sempat mengabarimu, Hendra kecelakaan tadi malam, dia kritis." Hampir ponsel ini terlepas kalau saja tak ditahan tangan kananku."Jadi kenapa kamu bisa ada di sana.""Iya, Mama Hendra meminta para alumni untuk mendoakan kesembuhannya.""Oh. Kenapa dia bisa kecelakaan?""Dia dan istrinya bertengkar. Aku tak tahu kelanjutannya beritanya."Ada rasa sesal merasuk direlung hati, niatku ini hanya untuk memberi pelajaran padanya bagaimana menghargai orang lain. Mungkin sudah jalan takdir Hendra."Anita, apakah kamu melihat keanehan dengan Ayahku?""Hmm, aku tak melihat beliau beberapa hari ini. Pulanglah sekalian menjenguk Hendra," ucap Anita.Gadis yang betah menjomblo sepertiku itu mematikan panggilan ketika terdengar namanya disebut.Kucoba menghubungi nomor Kak Mila lagi, tetapi dia tidak mengangkat panggilanku, sudah kupastikan itu. Setelah menimbang cukup lama akhirnya kuputuskan untuk pulang dan menemui Alex sebelum jam makan siang. Bagaimanapun Ayah lebih penting, terlepas dari apa yang kuterima selama ini darinya.**Sebuah restoran dengan konsep alam itu terletak di pinggiran kota sehingga butuh tiga puluh menit untukku sampai di sana. Dari pelataran parkir bisa kulihat kesibukan di dalam restro, Nampak juga beberapa wartawan yang ingin meliput acara yang kupastikan megah itu. Kulewati papan-papan bunga yang berjejer disepanjang jalan. Setelah menaiki tangga yang menuju pintu utama, aku menanyai seorang perempuan yang tengah menata meja tamu."Pak Alex dimana ya, Mbak?""Nama Ibu siapa? Biar saya sampaikan pada beliau."Sebenarnya aku ingin menemui Alex langsung agar waktuku tak terbuang. Terpaksa kubiarkan wanita itu masuk ke dalam menemui Alex."Raline! Ngapain kamu di sini?" Teguran berupa tepukan di bahuku membuatku menoleh cepat."Eh, Rangga. Ini ... Ketemu teman."Dalam hatiku menggerutu kenapa bertemu Rangga dalam situasi ini, bisa-bisa Alex berpikir lain.Rangga langsung duduk di depanku, meraih jemariku, menc*umnya tanpa dapat kucegah."Kamu ngapain di sini, Ngga?" tanyaku sembari menarik tanganku yang ada dalam genggamannya."Aku bekerjasama bisnis dengan Pak Alex pemilik restoran ini, yah, saling berbagi keuntungan."Tiba-tiba Alex muncul."Alex! A-aku ... ""Hai, Pak Alex, kenalkan ini calonku."Aku mendelik ke arah Rangga. Kesal berlipat-lipat melihat kelakuannya yang seenaknya mengatakan aku calonnya."Rangga hanya bercanda, Lex. Kami hanya rekan bisnis.""Kita makan siang ke dalam, Raline. Ada banyak tamu istimewa di sana. Permisi Pak Rangga, saya pinjam Raline sebentar." Alex meraih tanganku, setengah menarikku menyeberangi lautan meja kursi yang tertata rapi di ruangan sangat luas itu. Aku melirik ke belakang, Rangga menatap tajam kepergianku.Alex membawaku ke ruangan VIP restoran itu, semua mata yang rata-rata adalah kaum adam menatap kagum kehadiranku."Kenalkan ini Raline. Boleh dia ikut bergabung bersama kita?" tanya Alex pada tamu-tamunya. Aku mengangguk sambil tersenyum pada mereka satu persatu."Lengkap sudah, Lex, apa lagi? Kami tinggal menunggu undangan dari mu saja," goda mereka.Alex hanya tertawa menanggapi ucapan tamu-tamunya."Lex, bisa kita bicara sebentar?""Bicaralah di sini.""A-aku ... ""Aku tak mau mendengar penolakanmu, Raline. Kita sudah sepakat, bukan? Apa karena Pak Rangga?"Aku bungkam melihat kilatan di mata Alex, apa dia cemburu pada Rangga?**"Kamu memang anak durhaka, Raline! Ayah sangat berharap kedatanganmu, tapi malah kau tak mau datang." Mataku memejam mendengar teriakan Kak Mila di ujung telepon. Kasar, dia mematikan sambungan. Sebuah foto tiba-tiba masuk lewat media pesan. Aku terbelalak mendapati foto ayah dengan wajah penuh lebam dikirim Kak Mila di sana.Buru-buru kutekan kembali nomor Kak Mila."Angkat Kak Mila!" desisku. Pada panggilan ketiga Kak Mila mengangkatnya juga."Apa lagi?""Bagaimana keadaan Ayah, Kak? Aku betul-betul ada urusan perusahaan yang penting dan tak bisa ditunda. Akan kuusahakan mengambil penerbangan pagi besok.""Kalau kau mau mendapat maaf dariku dan Ayah, cepat besok datang."Aku mengangguk cepat bertepatan dengan bunyi.tut ...tut...**Aku merasa sendiri di tengah keramaian pesta, menjadi pribadi lain yang tak kukenal. Bagai mayat hidup kuikuti semua perintah Pak Lim dan istrinya. Mengapit lengan Alex, menebar senyum di setiap sudut dan menemani Alex minum demi menghargai tamu-tamu privasinya.Kuakui sekarang aku I'll feel pada Alex, rasa simpati yang perlahan tumbuh, mekar dan berkembang kini berguguran tertiup angin.Alex memang pantas menjadi pria idaman, tapi sifat dan wataknya bertolak belakang denganku. Mungkin terbawa budaya luar, dia yang dulu betul-betul pendiam sekarang menjadi pendiam tapi liar."Ayolah, Lin. Jangan munafik, kita sudah sama-sama dewasa." Alex menarik gaunku dan memaksa menelusuri bongkahan dadaku.Aku terkejut tak menyangka Alex akan berbuat kurang ajar begini saat mengantarku pulang ke apartemen. Menyesal aku menyuruhnya singgah, padahal hanya sekedar basa basi yang berujung petaka bagiku."Alex! Lepas! Kau gila, ya." Kucoba mendorong tubuh kekar Alex yang mengapit tubuhku ke tembok.Sekuat tenaga aku melepaskan diri dengan menggigit pergelangan tangan Alex."Aww!"Dia menjerit hingga aku berhasil lepas. Buru-buru aku keluar dari apartemen dan berteriak minta tolong. Beruntung security sedang patroli sehingga dia bergegas mendekatiku."Ada apa, Bu?""Di-dia ingin memperk*saku."Dengan napas terengah-engah aku menunjuk Alex yang masih ada di dalam."Lepas! Kau tak tahu siapa aku?" Teriak Alex pada security yang ingin menangkapnya. Tak ingin memperpanjang masalah kulerai security itu."Sudahlah, Pak, biarkan dia pergi."Alex mendengus kesal sebelum beranjak pergi disusul security itu dari belakang.Gegas kumasuk dan mengunci pintu, tubuh luruh di lantai berderai air mata. Terbayang foto wajah Ayah yang lebam kebiruan. Sejahat-jahatnya aku masih punya sisi baik yaitu tak pernah dendam pada orang tua dan akan selalu menghormati, menyayangi sampai kapanpun jua."Apakah ini karma bagiku karena mengabaikan Ayahku yang sakit? Dan lebih mementingkan orang lain?"Tbc...**RALINEBukan hanya tubuhku yang sakit, tapi hatiku hancur berkeping-keping. Dua jam sudah aku berendam, meratap di dalam air bathup yang dingin hingga jari tangan dan kakiku keriput. Kubiarkan air keran itu hidup hingga meluber ke lantai kamar mandi walau terdengar sekilas bunyi dering ponsel yang tertelan bunyi keran yang mengalir. Dadaku semakin sesak mengingat kejadian yang menimpaku. Semakin berusaha kulupakan semakin berat napas melewati tenggorokan hingga kesulitan bernapas dan air mata kembali membanjir seiring air yang meluber dari bathup yang melimpah. Apa nanti yang akan kukatakan pada Bima mengenai istrinya yang sudah dua kali dilecehkan Dion dan kali ini lebih parah apalagi statusku adalah istri Bima tapi Dion ikut mencicipi tubuhku. Kembali air mata yang mengambang di pelupuk mataku. Kupukul tubuhku dengan perasaan jijik sambil berteriak. "Awas kau Dion! Aku akan membalas semua perbuatanmu! Tunggu Dion! Tunggu!"Merasa puas meluapkan semua perasaan, perlahan aku ban
DionMalas, begitu Bos menyuruhku untuk tugas ke Surabaya lagi. Aku sudah terlalu nyaman hidup di Jakarta yang glamor. Tapi, karena tak ada yang kenal wilayah Surabaya sepertiku, jadilah aku berada di sini sekarang. Bertemu dengan masa lalu dan teman-teman sekolah termasuk Bima. Pria gagah itu semakin matang saja, tapi sayang masih lajang. Aku menertawakannya dalam hati, apa beda dengan diriku?Aku sudah mulai menaruh rasa iri pada Bima sejak sekolah menengah atas. Mulai dari cewek-cewek yang mengidolakannya, prestasi yang bagus dan sejumlah keberuntungan yang pantas menumbuhkan rasa iri. "Dia dipecat dari perusahaannya di Jakarta.""Pernikahannya gagal.""Sekarang bekerja di toko bangunan."Berseliweran berita tentang Bima yang singgah di telingaku saat kumpul dengan para alumni dan aku tersenyum puas. Akhirnya Bima mendapatkan hal buruk juga, jangan selalu keberuntungan terus yang berpihak padanya. Ketika itu aku menunggu pelangganku di sebuah kafe aku melihat Anita, tetanggaku s
**RALINEBau peralatan sembahyang keluarga Pak Lim menguar dari bilik rawat itu. Rupanya Nyonya Lim sedang sembayang. Aku menunggu sampai perempuan paruh baya itu selesai. "Raline? Kapan kamu sampai? Ayo, masuk." Kak Moi mendapatiku berdiri menyandar tiang penyangga. "Baru sampai kok, Kak. Nyonya lagi sembahyang, saya tak ingin mengganggu," jawabku keberatan. "Nggak, apa. Ayo!" Kak Moi meraih tanganku memasuki ruang inap. Nyonya Lim melirik lalu menghentikan kegiatannya. Perempuan paruh baya itu menatapku dengan berkaca-kaca, segera dirangkulnya diriku dan menangis dipelukanmuku cukup lama. "Kami senang kamu datang, Lin. Mudah-mudahan Bapak segera sadar."Nyonya Lim menuntun tanganku mendekati ranjang Pak Lim yang banyak selang. Kepala dan kaki lelaki paruh baya itu diperban. Aku melirik monitor yang bergerak lambat. "Pah, ini Raline sudah datang! Bangunlah," ucap Nyonya Lim menutup mulutnya menahan tangis. Tetiba ruangan itu begitu sunyi yang terdengar hanyalah bunyi monitor.
*RalineKandungan ini begitu kuat, segala cara telah kucoba. Memakan buah nanas muda dan terakhir adalah minum jamu buatan Mbok Jum, tetangga komplek ini yang berjualan jamu di pasar. Sore itu sepulang kerja, Lidia memanggilku. "Lin! Sudah lama tak singgah, mampir dulu," ajak Lidia di balik pagarnya.Aku yang bawaannya malas terpaksa mengiyakan, tak enak dia seperti sengaja menungguku. Kebetulan Bima belum pulang juga. "Bagaimana dengan Dion? Apa hubungan kalian berjalan dengan lancar?" tanya Lidia menyelidik. Aku mengedikkan bahu. "Ya, begitulah. Ada apa memanggilku?"tanyaku tak ingin berlama-lama di sini sebab Perutku serasa diaduk-aduk ketika menci*um aroma farfum Lidia yang menyengat. "Kamu kenapa? Kok menutup mulut?" tatap Lidia heran, tapi kemudian dia tersenyum. "Hayo, kamu hamil ya? Persis seperti aku waktu itu. Mencium bau apa saja mual. Tapi aku nggak pengen, kubuang aja."Hatiku tergelitik mendengar cerita Lidia. "Kamu buang pake apa?" Aku tak berani menatapnya ta
**Pov Bima"Hendra sudah cerita semuanya dan aku meradang." Mama Hendra menatap tajam ke dalam bola mataku. "Aku ingin melaporkan istrimu itu atas tuduhan penyalahgunaan undang-undanh ITE. Mana dia? Pasti sekarang ia takutkan?" Mama Hendra melirik pintu kamar.Aku hanya diam tak melakukan pembelaan terhadap Raline, aku ingin ia dapat pelajaran dari kejadian ini. Akan tetapi mengingat ia sedang hamil memaksaku ikut bicara. "Maafkan, Raline, Bu. Apa kita tak bisa menempuh jalan damai?" Mama Hendra mendesah, sedikit membenahi posisi duduknya. Sesekali ia melirik ke pintu kamar yang tertutup. "Bim, kamu tahu keadaan Hendra, Bukan? Sudah kemana-mana aku membawanya berobat. Kalau biaya sudah tak terkatakan ... " Mama Hendra menjeda ucapannya. Sebutir air mata jatuh menimpa pipinya yang keriput. Hatiku ikut pedih mendengarnya. Hendra telah kehilangan Ayahnya sejak duduk dibangku esempe, hanya Mamanya yang berjuang untuk hidup mereka dan sekarang Mama Hendra sudah pensiun, mereka hanya
**Pov Bima"Raline!" Aku menghentikan pemilik gocar yang mendorong Raline. "Terus jalan, Pak!" pukas Raline. Aku menahan laju kursi roda itu. "Kamu mau apa? Urus saja selingkuhanmu itu," ucap Raline dengan tatapan entah. Ada sebening kaca di sudut matanya tapi kemarahan juga bergelayut di mata itu. "Cemburu, kah ia?""Dia karyawanku yang mengalami kecelakaan kerja," jawabku menghalau kecurigaan Raline. "Bagus! Lebih penting karyawan daripada istri sendiri, ya?""Istri? Loh, kamu sendiri yang bilang kita hidup sendiri-sendiri, Bukan?"Raline diam, tapi kaca di sudut mata menetes, buru-buru disekanya dan menyuruh Bapak itu untuk melanjutkan jalannya kursi roda. 'Astaghfirullah, apa yang telah kukatakan dalam keadaan Raline yang sedang sakit itu.'Aku lekas menggantikan Bapak gocar itu setelah membayar ongkos gocar-nya. Semoga Maya tak mengapa menungguku.Lekas kudorong kursi menuju ruang UGD ketika kuperhatikan sekilas wajah Raline yang pucat pasi.Sesampainya di pintu ugd, seoran