Aku menatap sarapanku tanpa ada keinginan untuk memakannya sedikitpun. Meskipun terlihat enak, sepiring nasi goreng dari hotel berbintang ini sungguh tak membuatku tertarik. Sebenarnya, aku ingin tinggal di kamar saja sampai waktu check-out berakhir, namun aku butuh udara segar atau setidaknya pemandangan segar untuk membuat mata sepet-ku yang semalaman tidak bisa terpejam ini bisa terasa nyaman.
Mataku terasa panas dan berat karena semalaman memang sulit terpejam. Aku bahkan baru bisa tidur ketika suara adzan subuh menggema dari masjid yang letaknya tak jauh dari hotel. Biasanya memang pengantin baru akan kurang tidur di jam-jam awal pernikahan mereka, karena mereka menunaikan ibadah mereka setelah sah menjadi pasangan suami istri. Namun lain dengan ceritaku, aku tidak bisa tidur karena cemas memikirkan suamiku yang tiba-tiba pergi tanpa menjelaskan alasannya secara detail.
Seperti yang dikatakannya di depan pintu semalam, Reinard benar-benar tidak pulang. Menyisakan rasa kesal, sedih dan tentu saja cemas di dalam hatiku. Seharusnya kami sudah berbahagia semalam, atau jikapun kami belum bisa melakukannya, kami bisa berpelukan semalaman atau tidur seranjang berdua. Agar aku tidak kesepian dan kedinginan.
Sampai detik ini juga, Reinard tak bisa aku hubungi. Lebih tepatnya, aku sedang menunggu telepon atau pesan darinya yang menanyakan kabarku. Tapi nihil. Ponselku teronggok dingin di atas nakas, seperti ponsel rusak. Bahkan yang biasanya bunyi untuk sms-sms spam orang iseng minta pulsa atau menawarkan KPR rumah pun tidak ada sama sekali. Aku heran, apa jangan-jangan ponselku memang rusak? Akh, tapi tidak. Tadi pagi aku bisa menelpon Arian, menanyakan bagaimana keadaan mobilku yang kemarin dibawanya.
“Pengantin baru yang terlihat berantakan sepagi ini.” sebuah suara membuatku mendongak seketika. Sedetik kemudian, aku berdecak malas. Aku heran kenapa malah bertemu orang ini di sini.
“Ngapain lo di sini? Buntutin gue?” mood-ku bertambah buruk Ketika sosok pria bertubuh atletis ini berdiri di depanku. Ia terlihat segar bahkan sepagi ini dengan stelan celana santainya. Salah satu tangannya memegang sebuah tas Adidas berwarna hitam. Namanya Daniel, mantan pacarku semasa SMA. Kami memang masih menjalin komunikasi sampai sekarang, tapi bukan disebut komunikasi yang baik—dari versiku. Karena aku sebal setiap mengingat dia menyakitiku Ketika SMA.
“Nggak usah ke-PEDE-an deh Jul.” bukannya pergi, ia justru meletakkan tasnya di kursi yang kosong sedangkan ia sendiri duduk tepat bersebrangan denganku. “Aku habis nge-gym. Aku member aktif di sini.”
Aku tak menyahut. Pandanganku Kembali pada piring nasi goreng di depanku. Sebenarnya nasi goreng ini terlihat enak, namun setiap kali aku ingin mencoba memakannya, pikiranku kembali pada Reinard dan nafsu makanku langsung amblas.
“Lo kok nikah enggak bilang-bilang gue sih?” tanpa persetujuanku, Daniel mengambil segelas es jeruk yang ada dihadapanku. Aku hendak melayangkan protes, namun keduluan sedotan yang sudah masuk ke dalam mulutnya.
“Ih, itu udah gue minum kali!” Sungutku kesal. Padahal aku sudah meminumnya sedikit. “Lo minum sisa gue tau!” terpikir dalam benakku untuk memesan segelas es jeruk lagi pada waiters nanti.
Daniel justru terkekah. “Kenapa? Ciuman tidak langsung?” ia meletakkan gelas es jeruk itu kembali ke atas meja. “Enggak apa-apa. Kan kita dulu udah sering.” Senyumnya melebar.
Aku memutar bola mata malas, Daniel mengingatkanku tentang masa lalu kami yang penuh dengan cinta. Andai saja ini bukan di tempat umum, mungkin piring beserta nasi goreng ini sudah melayang mengenai kepalanya. Aku paling benci setiap kali Daniel membahas tentang masa lalu kami di sekolah. Pria itu selalu saja mengaitkan semua hal tentang hubungan kami dulu sebagai pacar di sekolah. Mungkin kenangan membahagiakan Daniel adalah memacariku, sedangkan kenangan terburukku adalah pernah menjadi pacarnya.
“Lo tau enggak Jul, kalau gue patah hati waktu denger lo nikah.” Ia membenarkan letak duduknya dengan nyaman. Aku semakin yakin jika pria ini tidak ingin segera pergi dan malah ingin mengajakku ngobrol ngalor-ngidul. Padahal pagi ini aku sedang dalam mode menarik diri dan tidak ingin didekati oleh siapapun ,apalagi Daniel.
“Bodo. Emang gue pikirin.” Sahutku cuek. Kembali pura-pura sibuk dengan sendok nai gorengku.
“Gue beneran Jul. kenapa waktu itu lo nolak lamaran gue?” ia menatapku serius. “Gue beneran tiap kali ngelamar lo.”
Aku menoleh pada Daniel dengan kening berkerut. Aku ingat jika pria itu teru-menerus mengajakku menikah setiap bertemu. Lah, ternyata dia serius dengan kata-katanya.
“Ya karena gue enggak mau sama lo lah.” Jawabku enteng. Aku tidak ingin mengambil pusing dengan apa yang baru saja Daniel katakan. Toh bagaimanapun pria itu hanya masa lalu dan aku sama sekali tidak memiliki sekelumit perasaan lagi padanya.
“Atas dasar apa?” pria itu melipat tangannya di atas meja.
“Kita enggak sedekat itu untuk menikah!” sahutku kemudian. “Sudahlah….gue malas membahas masalah pernikahan sama lo Daniel!”
Daniel terkekah.
“Lantas sedekat apa lo sama suami lo sampai mau menikah sama dia?” ia menaikkan salah satu alisnya.
Mulutku bungkam seketika. Daniel benar, aku sama sekali tak dekat dengan Reinard. Bahkan aku hanya tahu namanya, pekerjaannya dan orangtuanya. Bahkan aku tidak tahu tentang hal mendetail tentang dia. Apa yang dia suka, apa hobinya bahkan bagaimana hidupnya selama ini sebelum ada aku. Aku hanya tahu Reinard secara umum.
“Hey…..Jul.” suara Daniel mengaburkan lamunanku. Ia mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Mikirin apa?”
Aku berdeham.
“Gue kenal sama dia Dan. Lo enggak usah sok tahu.” Sahutku ketus.
“Lo yakin?” Daniel menatapku dengan intens. “Lo enggak pengen minta bantuan gue buat cari tahu siapa suami lo?”
Aku beranjak dari tempat dudukku. “Gue enggak perlu bantuan lo buat cari tahu siapa suami gue. Karena gue kenal dia. Dan gue yakin, gue enggak salah pilih.” Kataku bersamaan dengan derit kursi yang kugeser.
Aku tidak mau terus berada di dekat manusia toxic macam Daniel. Mama pernah bilang bahwa dalam sebuah hubungan pernikahan, kita tidak perlu mendengarkan kta-kata orang. Cukup kitalah yang berjalan sendiri dengan kepercayaan diri kita, menerima pasangan apa adanya dan tentu aja mendukung setiap apapun yang dikerjakannya.
Sesampainya di kamar, aku segera mengemasi barangku. Aku rasa, malam pengantin sudah lewat dan aku ingin segera kembali ke apartement. Selamat tinggal kamar hotel yang super nyaman, yang seharusnya menjadi saksi bisu apa yang kami lakukan semalam. Semua sudah selesai, dan bayangan malam pengantin yang indah itu sudah lenyap begitu saja dari benakku.
Sebelum beranjak meninggalkan kamar hotel, aku lebih dulu mengetik pesan untuk Reinard dan berharap suamiku membacanya.
‘Aku pulang ke apartement.’
Namun lagi-lagi tak ada balasan apapun darinya.
“Oke…..selamat berbelanja.” Kata Brian sebelum mengakhiri teleponnya.Siang ini aku pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan harianku yang sudah menipis. Aku juga butuh beberapa coklat agar pikiranku rileks. Semenjak pertemuanku dengan Reinard dua hari yang lalu, aku jadi sulit tidur dan pikiranku bergejolak tidak tenang.Aku membeli beberapa ikat sayuran, makanan olahan, daging beku, ikan beku dan kebutuhan yang lain seperti peralatan mandi.Nge-mall untuk sekedar membeli sayuran atau sabun adalah hal paling menggembirakan bagiku. Setidaknya aku berhasil membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan bahagia. Apalagi jika aku sudah disuguhkan dengan toko sepatu, tas ataupun toko pakaian. Yakin, aku bisa lupa diri.Setelah lebih dari satu jam asyik mengitari satu etalase ke etalase yang lain, akhirnya aku menyerah. Menuju kasir untuk membayar lalu pulang. Aku ingin bersantai sambil selonjoran kaki di rumah, menonton TV dan meminum soda.Saat siap mengambil plastic belanjaa
Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a
“Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe
Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya
Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp
Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men