Setelah kejadian tadi, semuanya terasa berubah. Suasana kembali dingin dan terasa canggung. Ternyata firasatku tidak salah, kehadiran Bu Hanum memang mempengaruhi sikap Arsen padaku.Seperti malam ini, meski beberapa kali aku mencoba untuk mengajak Arsen bicara, ia tetap saja diam hingga kami habiskan malam ini tanpa adanya pembicaraan sama sekali.Padahal, banyak sekali hal yang ingin kutanyakan padanya.****Siang ini Arsen dan Bu Hanum benar-benar kedatangan tamu.Seorang pria berambut putih nampak sedang duduk di ruang tamu bersama Arsen dan juga Bu Hanum.Dari raut wajahnya, kutaksir usianya sekitar 60 tahunan.Tubuhnya berisi, tidak terlalu gemuk dan tidak juga kurus, Postur tubuhnya tinggi namun agak sedikit bungkuk.Aku yakin, dia adalah pria yang Bu Hanum maksud kemarin.Mengingat mungkin dia orang yang akan membeliku, akupun bergidik ngeri!"Semoga saja, dia urungkan niat buruknya itu!" gumamku seraya mengangkat kedua telapak tangan di depan wajah.Duk!Aku begitu terkejut s
"Sebenarnya masalah anak dalam kandungannya itu udah aku cantumkan dalam surat perjanjian tersebut. Mungkin bapak kurang jeli dalam membacanya," sambung Arsen tanpa merespon ucapanku."Hmm, jadi?"Pak Seno mengusap jambang tipisnya seraya menatap wajah Arsen.Ia terlihat kesal lalu meraih kertas yang tergeletak di atas meja dan terlihat mulai fokus membacanya."Bapak sudah tandatangan. Pilihannya tinggal dua, mau manfaatin dulu sebagai pembantu atau mau nunggu sampai nanti lahiran aja?" tanya Arsen seraya tersenyum tipis.Pak Seno nampak berpikir, sedangkan Bu Hanum terlihat mulai cemas. Mungkin dia khawatir transaksinya gagal.Sedangkan aku sendiri berharap Pak Seno membatalkan niatnya."Oke! Aku akan bawa dia sebagai pembantu. Hanya saja, jika memungkinkan untuk ditiduri, kenapa tidak? Bukan begitu?" ucap Pak Seno kemudian terkekeh."Tentu saja! Hanya saja bapak harus ingat poin pentingnya. Jika sampai terjadi sesuatu pada kandungannya, bapak harus membayarnya tiga kali lipat," jela
"Fahri Raditya Algi. Iyakan?" tanyaku sekali lagi saat pria itu malah mengerutkan dahinya dan terlihat bingung."Kok, mbak tau nama lengkap saya?" Kali ini ia malah balik bertanya."Aku Zea! Alifa Zea Amanda. Inget kan?" ucapku antusias.Sejenak pria itu terdiam seolah sedang mengingat.Beberapa saat kemudian ia tertawa lebar seraya menuntunku untuk keluar dari mobil."Ya ampun, Zea! Ternyata kamu Zea sahabatku. Aku gak nyangka kita bisa bertemu lagi!" ucapnya girang."Panggil aku Radit! Karena disini mereka memanggilku dengan nama itu," sambungnya.Aku mengangguk seraya tersenyum senang.Fahri Raditya Algi.Ia adalah sahabat kecilku sewaktu di kampung. Kami tumbuh dan bermain bersama karena kebetulan kami memang bertetangga.Hanya saja, setelah ibu dan bapakku meninggal aku dan dia jadi jarang bertemu. Kami biasa bertemu hanya pada saat di sekolah saja. Itupun hanya sampai SMP, karena kebetula
Brakk!Aku dan perempuan tadi terlonjak kaget saat pintu tiba-tiba saja dibuka dengan kasar."Fara, bagaimana keadaannya, hah?" ucap Pak Seno."Di-dia pendarahan, pak!" sahutnya terbata.Kulihat perempuan yang ternyata bernama Fara itu menundukkan wajahnya seraya meremas jari jemarinya.Entah apa alasannya sampai ia terlihat ketakutan seperti itu."Dasar gak becus! Kenapa dibiarkan saja!" sentak Pak Seno."Aku gak tau harus ngapain, pak!" cicitnya."Halah ...! Dasar gak berguna!" umpat Pak Seno seraya melayangkan tangannya pada wajah Fara."Pokoknya, kamu harus buat kandungannya baik-baik saja! Jika tidak, kamu akan tau akibatnya!" ancamnya seraya mengguncang tubuh Fara."Ba-bagaimana kalau kita ba-bawa ke rumah sakit saja, pak!" Dengan terbata Fara memberi usul."Lalu, apa gunanya kamu disini?!" sentak Pak Seno.Suaranya menggelegar dengan mata yang seolah akan kelu
"Kamu kenal dia?" tanya Fara seraya memicingkan matanya."Tentu! Dia itu sahabatku saat di kampung. Kamu juga kenal Radit? Dia orang yang baik, gak mungkin 'kan dia ikut memperlakukanmu dengan tidak layak?" jelasku."Ya, Radit memang orang yang baik. Sayang, kebaikannya malah membuatnya ikut terjebak di sini," ucap Fara.Pandangannya kini kembali lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu yang telah berlalu.Hal itu tentu saja membuatku semakin tertarik untuk terus bertanya banyak hal padanya."Memangnya, apa yang membuat Radit bisa berurusan dengan Pak Seno?""Sebenarnya, Radit itu ...-""Fara!""Fara!"Ucapan Fara terjeda kala terdengar Pak Seno berteriak memanggil namanya."Aku pergi dulu!" ucapnya tergesa.Aku hanya bisa menghembuskan nafas gusar!Padahal aku masih ingin berbicara banyak hal dengannya.Kuraih koper dan kembali membukanya untuk memindahkan pa
"Pergilah jika kamu hanya ingin mengganggu! Jangan rusak kesenanganku!" sentak Pak Seno seraya menatapku tajam."Aku tak akan pergi sebelum kalian hentikan kedzaliman ini!" ucapku tak kalah lantang.Aku bergegas mengambil spatula lalu memukul satu persatu pria yang sedang melecehkan Fara."Berhenti! Kalian harus berhenti melakukannya!" teriakku."Abaikan wanita itu jika kalian tak ingin bernasib sama seperti Radit," ucap Pak Seno datar.Aku menoleh lalu menatap tajam pada Pak Seno.Merasa usahaku untuk menolong Fara sia-sia karena jumlah pria yang mengerjainya sekitar sepuluh orang, akupun bergegas menghampiri Radit yang sepertinya sudah pingsan."Berhenti menyetrum nya!" sentakku pada pria yang tetap menjalankan tugasnya.Pria itu tak merespon!Ia seolah menulikan telinganya akan ucapanku."Berhenti, atau aku pukul kamu!" ancamku dengan spatula yang siap melayang pada tangannya.Lagi,
Meski hatiku rasanya teriris melihat apa yang Fara lakukan, namun tak urung aku pergi juga.Aku tau, dia sengaja mengorbankan dirinya demi melindungiku, dan karena itu aku tak boleh menyia-nyiakan pengorbanannya!"Sudah siap, mbak? Mari!"Seorang pria dengan baju juga aksesoris serba hitam tiba-tiba saja menghampiriku.Aku menatap penampilannya dari atas hingga bawah."Kamu siapa?" tanyaku seraya memicingkan mata.Kurasa dia bukan salah satu bodyguard nya Pak Seno.Soalnya, penampilannya berbeda.Tak hanya memakai masker saja, pria yang kini berdiri di depanku juga memakai kacamata dan juga topi."Pak Seno memintaku untuk mengantarmu pada seseorang," sahutnya."Heh, memangnya aku ini barang apa? Di antar kesana kesini?!" sungutku."Tidak usah membuang waktu! Ayo!" ajaknya seraya menarik tanganku."Tunggu! Aku gak mau! Kamu harus bilang dulu, aku mau dibawa kemana dan untuk apa
"Padahal sudah jelas, aku telpon kamu untuk minta bantuan agar kamu menolong Fara. Tapi, nyatanya kamu juga turut menyakitinya!" kesalku seraya memalingkan wajah."Ya aku terpaksa! Aku cuma gak mau kamu disentuh oleh Pak Seno. Memangnya, kamu mau apa?" ucap Arsen."Kamu kan laki-laki! Kenapa gak kamu aja yang nolong aku?!" ketusku."Justru karena aku laki-laki! Mana mau Pak Seno sama aku," celetuknya seraya mengulum senyum."Arsen gak lucu! Maksudku bukan kamu yang gantiin posisi aku! Memangnya kamu gak bisa apa lawan dia? Lagian dia udah tua juga, pasti gak akan sulit untuk mengalahkannya," cerocosku."Sudahlah Ze! Gak usah dibahas lagi, kamu gak akan mengerti!" tukasnya."Iya, aku gak akan ngerti! Soalnya kamu juga gak pernah jelasin apa-apa!" ketusku.Arsen tak menjawab lagi. Ia malah menyandarkan punggungnya pada pohon dan terlihat kembali bersantai.Sedangkan aku sendiri terus menimbang dalam hati. Kiranya