Share

BAB 4. AIB KAMLIA

Sore sudah hampir maghrib begini aku malah harus membukan aib Kamlia. Sebenarnya sungguh tidak tega, tapi demi masa depanku, aku harus tega. "Maafkan aku, Kamlia!" batinku.

Aku berjalan menuju kursi tamu yang terbuat dari rotan itu.

"Lebih baik kita duduk dulu," ajakku pada mereka semua.

Aku duduk terlebih dahulu, disusul ayah dan ibuku yang duduk di sebelah. Lalu juragan Siran, Isterinya dan Kamlia duduk di kursi yang berhadapan denganku. Meskipun sempit tapi masih muat.

Aku mulai dengan sedikit basa-basi pada mereka, "Sebelumnya aku minta maaf! Bukan maksudku melakukan ini semua. Hanya saja ke adaan memaksaku."

Aku mengeluarkan ponsel. Dari tatapan mereka aku tahu mereka semua sangat penasaran dengan apa yang akan aku sampaikan. Tapi mereka masih diam seribu bahasa, membuatku menambah sedikit kata-kataku.

"Aku sangat senang Kamlia menginginkan aku menjadi suaminya. Tapi aku tidak bisa, karena seseorang memberitahuku satu hal yang membuat aku harus menolak menikahi Kamlia!"

"Cepatlah! Kau tak perlu bertele-tele!" Juragan Siran sudah sangat penasaran ternyata.

Aku memencet ponselku, lalu memutar rekaman percakapan diponsel itu. Tadi malam aku menelepon Robi, ia adalah mantan kekasihnya Kamlia. kami berteman sedari dulu. Jadi dengan sangat enteng Robi menceritakan aibnya padaku. Sekarang aku manfaatkan aibnya demi diriku sendiri. Maafkan aku Rob!

Suara Robi terdengar dari ponselku, ["Aku sangat mencintai Lia, tapi aku sungguh sangat kecewa padanya! Bisa-bisanya dia memilih menggugurkan janin itu padahal aku siap bertanggung jawab!"]

Semua mata melihat pada Kamlia sekarang. "Apa itu, Lia?" salak Juragan Siran.

Juragan Siran terlihat mulai marah. Tatapannya nyalang, tapi ia masih bisa mengendalikan emosinya.

"Aku tidak tau, Ayah!" elak Kamlia sambil menggelengkan kepalanya.

Wajah polosnya membuat Juragan Siran mengalihkan tatapannya, aku mulai khawatir. Aku takut jika rencanaku ini tidak berhasil, tapi aku rasa 99% akan berhasil.

Sekarang Juragan Siran menatapku. "Apa itu, Al?"

Aku pun melanjutkan rekaman itu. ["Iya! Dia memilih pergi ke kota alasan kuliah, di sanalah ia menggugurkan janin kami, aku sangat menyesalinya! Ia bilang ia belum sanggup memilki anak! Sungguh wanita yang kejam sekali!"] sambung Robi.

"Itu adalah suara Robi! Seperti yang juragan tau, saat SMA dulu mereka pacaran. Ternyata telah melewati batas. Sekarang aku menolak Kamlia dengan alasan itu," jelasku langsung ke intinya.

"Tidak! Itu tidak benar!" Kamlia terlihat panik, tapi dari gelagatnya ia tidak pandai berbohong.

"Lia, bilang pada Ibu itu tidak benar!" pekik Anita, ibunya Kamlia.

"Ibu, itu tidak benar! Robi masih sangat mencintaiku, makanya dia memfitnahku! Aku mohon percayalah padaku!" Kamlia meminta bantuan pada ibunya. Wanita itu mulai meneteskan air mata, ia seperti korban yang paling tersakiti.

Ayah dan ibuku tak mampu berucap apa-apa, mereka hanya diam.

"Kau bisa membuktikannya, Al?" tantang Juragan Siran padaku.

"Bisa! Kita bisa ke rumah sakit! Dokter akan memberitahu apakah Kamlia masih ting-ting atau sudah-" Aku tidak melanjutkan ucapanku. Mereka pasti tahu sambungannya.

"Baik, nanti habis Maghrib kita ke rumah sakit," putus Juragan Siran.

Ia sungguh pria yang bijak, Juragan Siran tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Tak aku sangka ia tidak memarahiku, sempat aku berpikir akan dimarahinya, ternyata tidak. Aku punya harapan yang besar dalam pembuktian nanti.

"Jika Kamlia terbukti masih ting-ting! Artinya kau dan Robi sengaja memfitnahnya. Aku tidak akan memaafkanmu! Kau harus menikahinya malam ini juga," tekan ibunya Kamlia.

"Aku setuju!" jawabku singkat.

Aku melihat kedua orang tuaku, lalu berbicara pada mereka, "Ayah, Ibu! jika Kamlia terbukti, maka kalian harus merestuiku dengan Kinanti."

Aku bicara serius pada kedua orang tuaku. Tak aku pikirkan lagi tanggapan Juragan Siran atau yang lainnya. Ayah dan ibuku mengangguk begitu saja.

Adzan maghrib berkumandang, kami sholat di mesjid terdekat dengan rumahku. Setelah selesai sholat, kami berkumpul kembali di ruang tamu.

"Ayo! Sebaiknya kita segera berangkat ke rumah sakit," ajakku yang sudah tidak sabar membuktikannya.

Semuanya sudah berdiri kecuali Kamlia. Ia masih duduk termenung di kursi rotan. Aku tau apa yang ia pikirkan, semakin ia terlihat khawatir dan tidak berdaya, semakin aku yakin Robi bicara benar.

"Ayo, Lia!" ucapku lembut.

Ia menatapku, lalu menggeleng seakan meminta pertolongan padaku. Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk menolongnya. Aku sendiri sedang menyelamatkan hidupku dari jeratannya.

"Ayo, Lia! Kita buktikan jika kau di fitnah Robi!" Ibunya mengajak Kamlia untuk segera berdiri.

Tanpa aku sangka, Kamlia langsung bersujud di kaki ibunya. Ia menangis sejadi-jadinya, sambil berkata dengan lirih, "Maafkan Lia ibu ... maafkan Lia."

Mata Juragan Siran membulat sempurna seperti hendak keluar dari cangkangnya. Ia pasti paham arti tindakan Kamlia itu. Juragan Siran menarik tangan anaknya lalu melayangkan sebuah tamparan yang sangat keras. Kamlia pun menjerit. Aku merinding melihat kemarahan Juragan Siran.

"Ampun ayah! Ampun!" Kamlia memegang pipinya yang memerah, terlihat jelas bekas jari-jari tangan juragan Siran di sana.

"Kau! Kamlia! Berani sekali. Wanita hina!" Juragan Siran melayangkan beberapa kali lagi tamparan.

"Sudah ayah, sudah!" Ibunya Kamlia menangis sejadi-jadinya.

"Ini hasil didikan mu? Anita!" Juragan Siran juga melayangkan tamparan di wajah isterinya.

Aku sungguh tidak tega melihatnya. Akhirnya aku berinisiatif menengahi kemarahan juragan Siran.

"Maaf juragan, maafkan saya! Saya tidak bermaksud melakukan ini semua!" Aku menundukkan kepalaku, menghindari tatapannya.

"Kau!" Juragan Siran menunjuk tepat di depan wajahku, "sudah melakukan hal yang benar."

Juragan Siran pergi keluar dari rumahku, tanpa berkata apa pun kepada kedua orang tuaku. Kamlia dan ibunya yang masih dipenuhi air mata menyusul Juragan Siran. Menyelesaikan masalah di rumah mereka sendiri itu jauh lebih baik.

Aku kembali duduk di kursi rotan, ingin menagih persyaratan yang mereka setujui tadi.

"Ayah, Ibu! Apa kalian masih ingin menjodohkan aku dengan wanita seperti Kamlia? Dia bahkan tega membunuh anaknya sendiri." Aku menggelengkan kepala atas perbuatan Kamlia.

"Ibu akan mencarikan wanita lain!" kekeh ibuku.

"Oh ... tidak bisa! Tadi kalian sudah menerima persyaratanku. Kalian akan merestuiku dengan Kinanti jika Kamlia terbukti bersalah."

"Kau masih muda, masih bujang! Ibu mohon jangan menikahi janda beranak dua itu!" kekeh ibuku untuk menolak Kinanti.

"Aku lebih memilih janda yang statusnya jelas. Dari pada pilihan ibu, gadis tapi janda!" sindirku.

Ayah dan ibu terdiam. Mereka mempermasalahkan Kinanti yang statusnya janda. Tapi malah menyodorkan Kamlia yang gadis tapi janda. Yang paling tidak termaafkan adalah, ia juga tega membunuh darah dagingnya sendiri, sungguh aku tidak akan pernah menikahi wanita seperti itu.

Tiba-tiba adikku Neysa datang dan bicara, "Sudahlah, Ayah, Ibu! Dari tadi aku mendengarkan perdebatan ini dari dalam kamarku! Status janda bukanlah hal yang harus dijauhi."

Aku tidak menyangka Neysa bicara seperti itu. Aku pikir ia tidak keluar kamar karena tidak tahu perdebatan ini. Ternyata diam-diam dia menyimak dari dalam kamarnya.

"Baik! Ayah akan merestuinya! Tapi jangan ajak Kinanti tinggal di rumah ini. Kami tidak menyukai anak-anak!" Ayah pergi ke kamarnya begitu saja, sambil memijat kepala yang mungkin terasa pusing.

"Terima kasih, Ney! Kau memang adikku yang paling aku sayang!" Aku mendekatinya dan mengapitnya di ketiakku.

"Ihhh ... Abang sudah mau nikah juga! Masih aja jorok!"

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Roro Halus
lampu ijo nih, gass poll alfaa
goodnovel comment avatar
Allyaalmahira
akhirnya dapet lampu ijooo
goodnovel comment avatar
Baby Yangfa
yey Alfa boleh nikah sama Kinanti
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status