Sore sudah hampir maghrib begini aku malah harus membukan aib Kamlia. Sebenarnya sungguh tidak tega, tapi demi masa depanku, aku harus tega. "Maafkan aku, Kamlia!" batinku.
Aku berjalan menuju kursi tamu yang terbuat dari rotan itu."Lebih baik kita duduk dulu," ajakku pada mereka semua.Aku duduk terlebih dahulu, disusul ayah dan ibuku yang duduk di sebelah. Lalu juragan Siran, Isterinya dan Kamlia duduk di kursi yang berhadapan denganku. Meskipun sempit tapi masih muat.Aku mulai dengan sedikit basa-basi pada mereka, "Sebelumnya aku minta maaf! Bukan maksudku melakukan ini semua. Hanya saja ke adaan memaksaku."Aku mengeluarkan ponsel. Dari tatapan mereka aku tahu mereka semua sangat penasaran dengan apa yang akan aku sampaikan. Tapi mereka masih diam seribu bahasa, membuatku menambah sedikit kata-kataku."Aku sangat senang Kamlia menginginkan aku menjadi suaminya. Tapi aku tidak bisa, karena seseorang memberitahuku satu hal yang membuat aku harus menolak menikahi Kamlia!""Cepatlah! Kau tak perlu bertele-tele!" Juragan Siran sudah sangat penasaran ternyata.Aku memencet ponselku, lalu memutar rekaman percakapan diponsel itu. Tadi malam aku menelepon Robi, ia adalah mantan kekasihnya Kamlia. kami berteman sedari dulu. Jadi dengan sangat enteng Robi menceritakan aibnya padaku. Sekarang aku manfaatkan aibnya demi diriku sendiri. Maafkan aku Rob!Suara Robi terdengar dari ponselku, ["Aku sangat mencintai Lia, tapi aku sungguh sangat kecewa padanya! Bisa-bisanya dia memilih menggugurkan janin itu padahal aku siap bertanggung jawab!"]Semua mata melihat pada Kamlia sekarang. "Apa itu, Lia?" salak Juragan Siran.Juragan Siran terlihat mulai marah. Tatapannya nyalang, tapi ia masih bisa mengendalikan emosinya."Aku tidak tau, Ayah!" elak Kamlia sambil menggelengkan kepalanya.Wajah polosnya membuat Juragan Siran mengalihkan tatapannya, aku mulai khawatir. Aku takut jika rencanaku ini tidak berhasil, tapi aku rasa 99% akan berhasil.Sekarang Juragan Siran menatapku. "Apa itu, Al?"Aku pun melanjutkan rekaman itu. ["Iya! Dia memilih pergi ke kota alasan kuliah, di sanalah ia menggugurkan janin kami, aku sangat menyesalinya! Ia bilang ia belum sanggup memilki anak! Sungguh wanita yang kejam sekali!"] sambung Robi."Itu adalah suara Robi! Seperti yang juragan tau, saat SMA dulu mereka pacaran. Ternyata telah melewati batas. Sekarang aku menolak Kamlia dengan alasan itu," jelasku langsung ke intinya."Tidak! Itu tidak benar!" Kamlia terlihat panik, tapi dari gelagatnya ia tidak pandai berbohong."Lia, bilang pada Ibu itu tidak benar!" pekik Anita, ibunya Kamlia."Ibu, itu tidak benar! Robi masih sangat mencintaiku, makanya dia memfitnahku! Aku mohon percayalah padaku!" Kamlia meminta bantuan pada ibunya. Wanita itu mulai meneteskan air mata, ia seperti korban yang paling tersakiti.Ayah dan ibuku tak mampu berucap apa-apa, mereka hanya diam."Kau bisa membuktikannya, Al?" tantang Juragan Siran padaku."Bisa! Kita bisa ke rumah sakit! Dokter akan memberitahu apakah Kamlia masih ting-ting atau sudah-" Aku tidak melanjutkan ucapanku. Mereka pasti tahu sambungannya."Baik, nanti habis Maghrib kita ke rumah sakit," putus Juragan Siran.Ia sungguh pria yang bijak, Juragan Siran tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Tak aku sangka ia tidak memarahiku, sempat aku berpikir akan dimarahinya, ternyata tidak. Aku punya harapan yang besar dalam pembuktian nanti."Jika Kamlia terbukti masih ting-ting! Artinya kau dan Robi sengaja memfitnahnya. Aku tidak akan memaafkanmu! Kau harus menikahinya malam ini juga," tekan ibunya Kamlia."Aku setuju!" jawabku singkat.Aku melihat kedua orang tuaku, lalu berbicara pada mereka, "Ayah, Ibu! jika Kamlia terbukti, maka kalian harus merestuiku dengan Kinanti."Aku bicara serius pada kedua orang tuaku. Tak aku pikirkan lagi tanggapan Juragan Siran atau yang lainnya. Ayah dan ibuku mengangguk begitu saja.Adzan maghrib berkumandang, kami sholat di mesjid terdekat dengan rumahku. Setelah selesai sholat, kami berkumpul kembali di ruang tamu."Ayo! Sebaiknya kita segera berangkat ke rumah sakit," ajakku yang sudah tidak sabar membuktikannya.Semuanya sudah berdiri kecuali Kamlia. Ia masih duduk termenung di kursi rotan. Aku tau apa yang ia pikirkan, semakin ia terlihat khawatir dan tidak berdaya, semakin aku yakin Robi bicara benar."Ayo, Lia!" ucapku lembut.Ia menatapku, lalu menggeleng seakan meminta pertolongan padaku. Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk menolongnya. Aku sendiri sedang menyelamatkan hidupku dari jeratannya."Ayo, Lia! Kita buktikan jika kau di fitnah Robi!" Ibunya mengajak Kamlia untuk segera berdiri.Tanpa aku sangka, Kamlia langsung bersujud di kaki ibunya. Ia menangis sejadi-jadinya, sambil berkata dengan lirih, "Maafkan Lia ibu ... maafkan Lia."Mata Juragan Siran membulat sempurna seperti hendak keluar dari cangkangnya. Ia pasti paham arti tindakan Kamlia itu. Juragan Siran menarik tangan anaknya lalu melayangkan sebuah tamparan yang sangat keras. Kamlia pun menjerit. Aku merinding melihat kemarahan Juragan Siran."Ampun ayah! Ampun!" Kamlia memegang pipinya yang memerah, terlihat jelas bekas jari-jari tangan juragan Siran di sana."Kau! Kamlia! Berani sekali. Wanita hina!" Juragan Siran melayangkan beberapa kali lagi tamparan."Sudah ayah, sudah!" Ibunya Kamlia menangis sejadi-jadinya."Ini hasil didikan mu? Anita!" Juragan Siran juga melayangkan tamparan di wajah isterinya.Aku sungguh tidak tega melihatnya. Akhirnya aku berinisiatif menengahi kemarahan juragan Siran."Maaf juragan, maafkan saya! Saya tidak bermaksud melakukan ini semua!" Aku menundukkan kepalaku, menghindari tatapannya."Kau!" Juragan Siran menunjuk tepat di depan wajahku, "sudah melakukan hal yang benar."Juragan Siran pergi keluar dari rumahku, tanpa berkata apa pun kepada kedua orang tuaku. Kamlia dan ibunya yang masih dipenuhi air mata menyusul Juragan Siran. Menyelesaikan masalah di rumah mereka sendiri itu jauh lebih baik.Aku kembali duduk di kursi rotan, ingin menagih persyaratan yang mereka setujui tadi."Ayah, Ibu! Apa kalian masih ingin menjodohkan aku dengan wanita seperti Kamlia? Dia bahkan tega membunuh anaknya sendiri." Aku menggelengkan kepala atas perbuatan Kamlia."Ibu akan mencarikan wanita lain!" kekeh ibuku."Oh ... tidak bisa! Tadi kalian sudah menerima persyaratanku. Kalian akan merestuiku dengan Kinanti jika Kamlia terbukti bersalah.""Kau masih muda, masih bujang! Ibu mohon jangan menikahi janda beranak dua itu!" kekeh ibuku untuk menolak Kinanti."Aku lebih memilih janda yang statusnya jelas. Dari pada pilihan ibu, gadis tapi janda!" sindirku.Ayah dan ibu terdiam. Mereka mempermasalahkan Kinanti yang statusnya janda. Tapi malah menyodorkan Kamlia yang gadis tapi janda. Yang paling tidak termaafkan adalah, ia juga tega membunuh darah dagingnya sendiri, sungguh aku tidak akan pernah menikahi wanita seperti itu.Tiba-tiba adikku Neysa datang dan bicara, "Sudahlah, Ayah, Ibu! Dari tadi aku mendengarkan perdebatan ini dari dalam kamarku! Status janda bukanlah hal yang harus dijauhi."Aku tidak menyangka Neysa bicara seperti itu. Aku pikir ia tidak keluar kamar karena tidak tahu perdebatan ini. Ternyata diam-diam dia menyimak dari dalam kamarnya."Baik! Ayah akan merestuinya! Tapi jangan ajak Kinanti tinggal di rumah ini. Kami tidak menyukai anak-anak!" Ayah pergi ke kamarnya begitu saja, sambil memijat kepala yang mungkin terasa pusing."Terima kasih, Ney! Kau memang adikku yang paling aku sayang!" Aku mendekatinya dan mengapitnya di ketiakku."Ihhh ... Abang sudah mau nikah juga! Masih aja jorok!""Saya terima nikah dan kawinnya Syafnita Kinanti binti Idris Rahmad dengan mas kawin tersebut dibayar ... tuunaaii," aku berhasil mengucapkan kabul dalam satu tarikan nafas dengan sangat lancar."Bagaimana saksi?" tanya Pak Penghulu pada saksi yang telah ditunjuk."Sah ... sah!" ucap saksi hampir bersamaan. Seketika rasa gugup yang membelenggu dari semalam, lepas seketika. Lega sekali rasanya."Ya Allah, aku bahagia sekali!" batinku.Kutatap wajah cantik dengan kerudung putih tulang yang duduk di sampingku. Sesaat pandangan kami bertemu. Wajahnya berseri, ia tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya dariku.Aku pun tersenyum tertahan menyaksikan tingkahnya yang malu-malu seperti kucing. Sungguh ia cantik luar biasa menurutku."Saudara Alfa, boleh tanda tangan di sini!" Suara Pak Penghulu membuyarkan lamunanku dalam kekaguman, ia memintaku untuk menandatangani buku nikah kami. Meskipun aku menikahi seorang janda, namun pernikahan ini juga terdaftar secara negara.Penghulu sekaligus wali
"Nggak! Abang tahu kau wanita yang mandiri," aku menjeda ucapanku. "Tapi untuk ke depannya kau jangan lupa sudah memiliki sandaran!"Aku memperingatinya dengan serius, aku mau dia membutuhkan aku dalam setiap situasi. Bukan bermaksud menginginkannya menjadi wanita manja, aku hanya ingin lebih berguna sebagai suami."Iya, Bang! Kau sandaranku dan anak-anak sekarang," balasnya menatapku. Terlihat harapan yang besar di sana.Setelah satu jam, kami berdua selesai membereskan barang yang berserakan di rumah. Mulai dari dapur, ruang tengah dan ruang tamu sampai ke teras. Semua sudah kami pel dengan bersih, perabot pun sudah kembali ketempat semula.Baru saja aku mau mengantarkan alat pel ke belakang, tangis Yura terdengar."Ibu ... hiks! Ibu di mana?" rengeknya terdengar kencang dari dalam kamar. Semakin lama semakin kencang saja suaranya memanggil ibunya.Kinanti segera berlari mengejar Yura hendak menenangkan bocah itu, tanpa peduli padaku. "Ibu di sini, Ra!" teriaknya.Ia berlari secepat
Aku terbangun mendengar kehebohan di luar kamar. Aku terkejut karena ada rambut panjang tepat di depan wajahku. Aku mencium aromanya yang wangi. Seketika ingatanku tentang pernikahan kemaren muncul."Oh ... iya! Inikan, Kinanti, isteriku," aku membatin merasa lucu, baru bangun masih linglung dengan statusku sendiri.Suara gaduh di luar memaksaku segera bangun dari tidurku. Aku juga membangunkan isteriku."Yang, sayang! Bangun!" Mungkin tidur berbantal lenganku terlalu nyaman, hingga aku sulit membangunkannya. Beberapa kali aku harus menggoyang bahu Kinanti. "Sepertinya di luar, Mixi sama Yura dimarahi ibu," aduku pada isteriku yang masih terlelap."Kenapa, Bang?" tanyanya masih setengah tidur. Namun sudah berusaha untuk bangun. Rupanya Kinanti tidak bingung dengan statusnya sekarang. Berbeda denganku, ia tidak linglung dengan kehadiranku di sisinya."Mixi dan Yura, mereka sudah ke luar!" jawabku.Kinanti segera berdiri, ia juga mendengar suara kencang ibu. Aku juga berdiri dan segera
Setelah selesai berpamitan, kami pun keluar dari rumah itu. Tidak ada satu kado pun yang kami bawa dari hajatan kemaren, padahal teman-teman sepermainanku dulu, turut hadir dan membawakan aku kado. Tapi tidak satu pun yang aku buka, apa lagi aku bawa. Biarlah menjadi milik bapak dan ibu.Aku telah selesai memanaskan mesin motor maticku, lalu mengeluarkannya dari teras rumah. Pangkalan ojek beberapa meter dari rumahku. Aku rasa lebih baik berbonceng empat dari pada mereka berjalan kaki."Yura bisa di depan!" titahku. Anak itu nurut, ia naik di depan dan Mixi di belakang. Sempit sekali motor ini. Aku bahkan mepet ke depan. "Semoga suatu saat bisa beli mobil," batinku.Sampai di pangkalan ojek, sudah ada seorang tukang ojek, langsung saja aku merentalnya untuk dua jam perjalanan. Mixi dan Yura berboncengan dengan tukang ojek, aku mengiringi mereka tepat di belakang hanya berbonceng dengan Kinanti."Yang! Pegangan. Nanti jatuh!" Aku menarik tangannya agar melingkar di pinggangku. Sebelum
Kami sampai di rumah, Kinanti menyiapkan piring untuk kami sarapan. Setelah sarapan, aku pamit mau ke bengkel Mang Ardhan untuk mengambil pakaianku. Selama ini aku tinggal di bengkel, aku dan Mang Ardhan selalu bekerja bersama."Yang, Abang ambil baju di bengkel ya," teriakku. Kinanti sudah berada di dapur setelah membereskan piring kami tadi. Mungkin ia mau bersih-bersih rumah dulu setelah ini, biarlah aku pergi sendiri, jaraknya juga tidak terlalu jauh."I-iya, Bang!" sahutnya yang juga berteriak.Aku mengendarai motor dengan pelan, di perjalanan aku ingin membeli rokok. Aku pun mengarahkan motor ke sebuah warung di pinggir jalan. Aku tadi tidak tahu di situ ada Bang Panji, andai aku tahu tak akan aku mampir di sini. Bang Panji terlihat sedang ngobrol dengan teman-temannya. Begitu aku turun dari motor, aku merasa mereka semua melihat sinis padaku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.Aku tidak ingin peduli dengan tatapan mereka, mungkin itu hanya perasaan aku saja. Ya sudah, aku
"Eh ... kalian sudah pulang? Ibu baru mau ke pasar beli ayam buat kalian!" sambut Kinanti dengan lembut. Sangat lembut ia bicara pada anak-anak, jiwa keibuannya begitu kental terlihat.Ia melirik ke arahku, aku mengalihkan pandangan. Kepalaku terasa berat saat sudah di ujung begini. Arghh ... ini bocah berdua menggangguku saja."Kalian tunggu di luar ya, Ibu membereskan ini dulu," sambung Kinanti sambil menunjuk kantong kresek yang tadi aku bawa. Ia meminta anaknya ke luar."Baik, Bu!" Mereka keluar begitu saja tanpa menyapaku, mungkin mereka dapat melihat wajahku yang sedang kesal."Jangan ganggu Ibu dulu ya!" teriaknya setelah Mixi dan Yura berlalu dari kamar.Kinanti melihatku kembali lalu berjalan ke arah pintu. "Maaf ya, Bang! Biar aku kunci dulu pintunya."Ia pasti tahu hukumnya melayani suami. Hanya saja hasratku sudah hilang untuk saat ini. Aku menetralkan perasaanku, rasanya aku ingin marah pada dua bocah ajaib yang tiba-tiba datang mengganggu. Aku mulai kesal, tapi tetap aka
Lidahku kelu, aku tak kunjung menjawab. Pelayan muda itu kembali bicara padaku, "Silahkan lihat-lihat dulu, Mas!"Ada beberapa ibu-ibu, semua melihat ke arahku. Rasanya aku ingin mundur saja, tapi barang yang aku cari tersusun indah di patung bagian atas. Sedikit lagi aku akan mendapatkannya. Aku putuskan untuk menegakkan kepala berjalan santai mendekati patung, tidak aku hiraukan lagi tatapan aneh mereka."Mbak! Aku mau yang ungu sama merah!" putusku.Gadis itu pun langsung menurunkan patung dan melepasnya di depanku. Aku segera berbalik badan, seketika aku teringat dengan warna ungu. Entah mengapa warna ungu identik dengan status janda. Rasanya tidak pantas aku membelikan Kinanti warna ungu, nanti ia berpikiran lain."Mbak, yang ungu ganti warna lain aja," ucapku sambil terus berjalan ke kasir tanpa memastikan barang yang ia ganti.Aku menunggu beberapa saat pesanan ku selesai dibungkus."Berapa, Mbak?" Aku menerima kantong kresek dan mengeluarkan dompetku."Seratus enam puluh ribu,
Aku melotot, melihat Kinanti masih memakai pakaian yang tadi, sedangkan ia juga melotot dan langsung menyalakku, "Maksud Abang apa? Kenapa belinya warna ungu?"Aku spontan melihat ke tangannya, ia memegang dua buah pakaian dinas dengan warna ungu. Aku menepuk dahiku, merutuki kebodohan gadis yang membantuku di toko tadi. Tapi sudah terjadi, Kinanti sudah terlanjur melihatnya, aku harus membujuk wanitaku, jangan sampai malam ini gagal lagi.Aku segera berjalan ke arahnya. Kugenggam kedua tangan isteriku sambil duduk di lantai sedangkan ia duduk di atas ranjang. Aku pun coba meyakinnya, "Maaf, Sayang! Ini sebuah kesalahan! Tadi Abang pilih merah dan hitam."Ia masih melotot ke arahku, mungkin ia merasa aku sengaja membelikannya warna ungu, karena statusnya yang seorang janda. Padahal tadi aku sudah minta ganti sama penjualnya, eh ... malah di ganti jadi ungu semua. "Masih muda sudah budek," gerutuku dalam hati untuk gadis tadi."Yang merah dan hitam itu kreseknya, Bang! Nih lihat!" Ia m